Mbokde Yani tiba-tiba kirim pesan melalui WhatsApp dan juga telp mengabarkan berita duka. Putri tercintanya, Mila Tridayati meninggal dunia. Padahal kami sedang membincang kesehatan Mila. Sebelumnya Mbokde sudah mengabarkan jika Mila sudah lima hari koma di sebuah rumah sakit di Magelang, Jawa Tengah.
Informasi dari WA Mbokde Yani, Mila berkunjung ke rumah Kakak (Niko) di Magelang. Mila tinggal bersama Ayahnya di Semarang. Setelah di Magelang dia kejang dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Sampai di Rumah Sakit, dokter sudah memberi penjelasan bahwa hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan Mila. Setelah dirawat beberapa hari, Jumat, 13 September 2024 Allah memanggil pulang ke rumah keabadianNya.
Kepulangan Mila kepangkuan Sang Khalik bertepatan dengan hari lahir Satriya (anak pertama saya). Satriya kecil tumbuh bersama Mila. Selisih umurnya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 6 tahun. Saat Mila SD dia sering main ke rumah atau kami main ke rumah Mbah Saminah (Nenek Mila).
Mbah Saminah
Mbah Saminah (Allahu yarham) dengan Ibu saya adalah kakak-adik, beda Ibu, satu Bapak. Mila adalah cucu kesayangan Mbah Saminah. Bersama kakaknya Rahmat sejak kecil Mila diasuh oleh Mbah Saminah dengan cinta tanpa batas. Mbokde Sriyani (Ibunya Mila) merantau ke Jakarta, dan Pakde Misdi (Bapaknya Mila) mengais rizki di Semarang.
Mbah Saminah adalah sosok simbah yang luar biasa. Di tengah segala keterbasannya dia selalu ingin dan suka menolong orang lain. Suatu ketika kami silaturahmi ke rumah Mbah Saminah bersama Satriya. Tak lupa saat sudah masuk rumah, Mbah Saminah selalu mempersilahkan untuk mengambil makan di dapur. Setelah kami makan dan hendak pamit pulang, selalu saja ada hal yang harus kami bawa pulang dari tangan Mbah Saminah.
Suatu ketika kami dibawakan satu plastik telor. Kami tahu bahwa Mbah Saminah baru saja membeli itu di warung keliling. “Wis iki gowonen kabeh”, kata Mbah Saminah. “Engko Mila tak tukoke meneh’, sambungnya. Dan kami harus membawa itu, kalau tidak Mbah Saminah pasti tidak suka—untuk tidak menyebut marah.
Ketulusan Mbah Saminah ini tampaknya menular ke anak dan cucu-cucunya, salah satunya kepada Mila. Mila tumbuh menjadi pribadi baik. Dia tumbuh menjadi gadis yang ringan untuk menolong. Walaupun agak pemalu dan tidak banyak bicara, dia selalu ingin menjadi teman yang baik untuk Satriya kecil.
Ngemong
Sebagaimana seorang kakak, dia bisa ngemong Satriya dengan caranya. Saat Satriya rewel, Mila selalu gendong, sampai dia tenang dan bisa diajak main lagi. Mila pun selalu menceritakan kegiatan di sekolahnya kepada Satriya kecil. Mungkin karena dia anak ragil, dari tiga bersaudara. Dia mencurahkan karakter kakak kepada Satriya. Saya kira Satriya beruntung kenal dengan Mila.
Saat Mila sudah beranjak dewasa, saya ingat sebuah peristiwa saat Mbah Saminah menyerahkan bungkusan “bancakan”. “Iki bancakan opo, Mbah?” tanya saya. “Iki Mila mau ngomong neng wis Men—haid”, jawab Mbah Saminah. Kebiasaan di desa kami, kalau gadis pertama kali haid, maka orangtua mengadakan syukuran dengan memberikan makanan bancakan (nasi, sayuran bercampur potongan parutan kelapa, dan potongan telur).
“Wis gedhe kowe Mil”, sapa saya. Dengan senyum hangat dia menjawab “iya”. Senyum Mila selalu mengingatkan saya pada sosok artis, Laudya Cynthia Bella. Sejak kecil wajah ayu Mila sangat mirip dengan Bella, artis berdarah Sunda dan menjadi brand ambassador beberapa produk kecantikan.
Iya Mila memang sangat mirip dengan Bela. Kini Mila sudah menghadap Tuhannya. Saya berdoa semoga Allah mengampuni segala dosanya, mengasihaninya, menghapus semua jejak kesalahannya, menjauhkan dari siksa kubur, dan segala fitnah setelah kematian.
Selamat jalan ya Nduk Mila. Salam untuk Mbah Saminah, Mbah Cipto, Mbah Reso Suki, Mbah Tarjo dan semua keluarga kita yang sudah mendahului. Semoga Mila mendapatkan kelapangan kubur dan surga Allah swt. Aamiin