Oleh Benni Setiawan
"Essai", Koran Sindo, Minggu, 26 Januari 2014
Banjir, tanah longsor, gunung meletus telah akrab dengan bangsa Indonesia sejak lama. Namun, penanganan apa yang kemudian disebut bencana tersebut seakan selalu gagap. Seakan-akan bangsa ini tidak berpengalaman menghadapi bencana. Seakan-akan bencana baru saja terjadi.
Sungguh pendek ingatan bangsa ini tentang bencana. Bencana bagi bangsa ini tampaknya baru terjadi saat ini, sehingga bencana yang telah lampau hilang dari alam bawah sadar. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa bencana seakan baru saja terjadi di republik ini sehingga penanganan terhadap hal itu selalu amburadul?
Tiga Hal
Irwan Abdullah (2008) menengarai ada tiga hal dalam menghadapi bencana alam. Pertama, bencana seyogianya ditanggapi sebagai “proses” yang harus dilihat dari tahapan historis, dalam sumber- sumber pembentukan dan kelahirannya, dalam nilai-nilai yang dipilih, dandalamkekuatanyangmenggerakkan proses itu hingga menjadi suatu bencana. Sebagaisebuahproses, bencanadapat dikelola dan dikendalikan pada tingkatan yang berbeda-beda berdasarkan kemampuan pengetahuan, sikap, tindakan- tindakan, dan kelembagaan yang tersedia.
Pemahaman yang lengkap tentang keseluruhan hubungan manusia dengan lingkungan dalam proses mutual production of each other existence, memungkinkan adanya prediksi dan kesiapan dalam menghadapi bencana itu sendiri dan juga memungkinkan minimalisasistatuskerentananmasyarakat terhadap suatu bencana. Kedua, suatu bencana perlu ditanggapi sebagai “konteks”, bukan sekadar event atau peristiwa yang terjadi pada suatu saat.
Sebagai sebuah konteks, dia memberikan perspektif dan definisi tentang code of conductyang dipatuhi secara kolektif, baik bagi masyarakat maupun berbagai pihak lain dalam berbagi bentuk tindakan dan kebijakan yang dirumuskan dalam situasi normal. Dengan melihat bencana sebagai konteks, kita bisa membebaskan diri dari suatu perangkap normalitas di mana kehidupan yang merupakan kehidupan yang bersifat labil atau disorder sehingga membutuhkan pengakuan dan praktik penafsiran yang lain secara akademis maupun kebijakan.
Keberadaan “daerah bencana” atau “korban bencana” merupakan ruang kebijakan yang harus menjadi bagian dari suatu kebijakan normal sehingga tidak seharusnya dirumuskan secara mendadak, tiba-tiba, pada saat bencana itu hadir dan seperti biasanya, menimbulkan chaosdan disorganized. Ketiga, bencana sebagai “ranah’ bagi pemahaman yang lebih dalam dan mendasar tentang hakikat dari hubunganhubungan dalam konstruksi masyarakat.
Melalui bencana dapat diketahui esensi dan rahasia tentang kelemahan dan kekuatan tersembunyi dalam suatu masyarakat, yang dalam situasi “normal” tertutup oleh sistem dan struktur yang membungkusnya. Karena keberadaan dan akibat suatu bencana menjangkau spektrum yang luas, bencana memberi potensi untuk menghubungkan analisis ilmu sosial dengan pilihanpilihan ideologis dan kepentingan yang menentukan kehadiran suatu bencana, mempengaruhi tanggapan, serta misi yang diemban dalam keseluruhan proses pemulihan dan rekonstruksi.
Kemanusiaan
Bencana yang terjadi di Indonesia tampaknya jauh dari ketiga hal tersebut. Bencana tidak dipahami sebagai sebuah proses sehingga produk penanganannya selalu saja bagai pemadam kebakaran. Saat bencana datang, semua bak jadi pahlawan yang mampu mengurai masalah tersebut. Namun, saat semua kembali normal, kita lupa tugas dan kewajiban untuk senantiasa menjadi harmoni dengan alam. Alam kembali kita babat sehingga gundul dan gersang. Proses pemahaman yang timpang tersebut kemudian berhubungan erat dengan konteks.
Konteks bencana telah lenyap sehingga tidak ada master plan (program berkelanjutan) penanganan bencana secara terpadu. Setiap lembaga, baik pemerintah maupun swasta mengajukan konsepnya sendiri, dan enggan untuk menjalin komunikasi dengan satuan lain. Kondisi inilah yang kemudian menjadikan korban bencana sebagai pihak penderita. Masalah selesai ketika mereka diungsikan dan diberi kebutuhan pokok. Padahal mereka juga manusia, yang dianugerahi pikiran dan kekuatan oleh Tuhan.
Mereka bukanlah penderita. Mereka adalah kekuatan nyata untuk bangkit dari keterpurukan akibat bencana. Penanganan yang keliru dan menempatkan manusia sebagai “korban” inilah yang kemudian mendistorsi makna kemanusiaan. Kemanusiaan sirna saat bencana datang. Padahal kemanusiaan adalah kekuatan manusia untuk berbuat lebih, setidaknya untuk dirinya sendiri. Ketika kemanusiaan telah sirna, proses pemahaman hubungan manusia dan alam pun akan lenyap.
Manusia sulit memahami bahwasanya dirinya membutuhkan alam. Sebaliknya alam membutuhkan sentuhan manusia. Meminjam istilah filsof Yunani kuno sebelum Socrates, alam adalah sumber kebajikan. Namun, saat kemanusiaan tak menjadi bagian dari manusia, ia akan berada dalam posisi yang superior. Manusia memandang ia penguasa alam. Namun, saat bencana datang, ia bagai sampah yang tersapu angin, lemah tak berdaya.
Oleh karena itu, mengembalikan dan menumbuhkan kemanusiaan dalam diri manusia menjadi hal utama, jika bangsa ini ingin bangkit dari bencana. Kemanusiaan harus dikembalikan dalam posisinya sebagai hal yang inhern dalam tubuh manusia. Sehingga ia mampu berkaca, berpikir, merenung, dan berbuat agar kekacauan akibat bencana tidak berulang di kemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar