Oleh Benni Setiawan
Gagasan, Solo Pos, Jum'at, 24 Januari 2014
Potret keberagamaan di Indonesia masih buram. Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan 2013 oleh The Wahid Institute menunjukkan jumlah kasus intoleransi selama tahun kemarin sebanyak 245. Jumlah tersebut menurun dibandingkan dengan tahun 2012 yang mencapai 278 kasus. Namun, pemerintah dinilai belum memiliki pola penyelesaian kasus sehingga banyak korban pelanggaran kebebasan beragama yang terabaikan selama bertahun-tahun.
Dari 245 kasus, 106 peristiwa melibatkan aktor negara dan 139 peristiawa oleh aktor non-negara. Pelaku pelanggaran dari aparat negara, antara lain, mencakup pemerintah kabupaten/kota (32 kasus), disusul aparat kepolisian (30 kasus), aparat kecamatan (9 kasus), dan satpol PP (6 kasus). Kasus terbanyak di Jawa Barat (40 kasus), diikuti Jawa Timur (19 kasus), Jawa Tengah (10 kasus), dan Jakarta (8 kasus).
Bentuknya berupa pelarangan rumah ibadah, pemaksaan keyakinan, pelarangan kegiatan keagamaan, kriminalisasi dan diskriminasi atas dasar agama, pembiaran, serta pelarangan aliran keagamaan yang diduga sesat. Korbannya antara lain kelompok Syiah, jemaat gereja, dan Ahmadiyah (Kompas, 21 Januari 2014).
Bertolak Belakang
Praktik intoleransi yang dilakukan oleh aparat negara seakan bertentangan dengan Pasal 28 E ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya”. Hak ini juga dijamin dalam Pasal 29 ayat (2) : "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”.
Selain termuat di dalam Lembaran Negara berupa hukum tertinggi, kebebasan berkeyakinan dan beragama pun termuat dalam Pasal 71 dan 72 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 71 menegaskan bahwa “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang.diterima oleh negara Republik Indonesia.”
Pasal 72 disebutkan bahwa “Kewajiban dan tanggungjawab pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.”
Dua ketentuan di atas menjadi bukti otentik, selayaknya negara menghormati dan melindungi pilihan keyakinan itu. Bukan malah menjadi pendulum praktik intoleransi.
Intoleransi oleh negara bertolak belakang dengan semangat kebhinekaan. Melalui “kekuasaannya” negara seakan ingin menyatukan pluralitas keberagamaan tersebut. Padahal, menyatukan keyakinan berarti meniadakan keragaman (kebhinekaan).
Menyatukan keyakinan dalam beragama juga menyalahi Sunnatullah. Pasalnya, Allah telah menciptakan manusia dalam rupa dan ragam yang berbeda. Dalam setiap rupa itu tentu mengandung perbadaan dalam cara pandang. Alih-alih menyatukan keyakinan tersebut, dalam satu masjid saja, praktek salat seringkali berbeda antara satu jamaah dengan jamaah lain.
Oleh karena itu, keragaman dalam keberagamaan merupakan modal sosial bagi kebangkitan umat. Keragaman selayaknya disemai menjadi kekuatan dalam membina keagamaan yang aktif, meminjam istilah Nurcholish Madjid.
Keagamaan yang aktif merupakan serangkaian aktifitas beragama yang tidak hanya berorientasi pada hal-hal yang berhubungan dengan akherat (eskatologi). Namun, mewujud dalam keseharian berdimensi sosial (kebangsaan).
Dimensi sosial merupakan hal mutlak yang perlu terus diusahakan oleh umat beragama. Pasalnya, dimensi sosial merupakan bagian dari peribadatan yang paling nyata. Ia merupakan wujud dari keagamaan yang saleh.
Seseorang tidak dapat disebut sebagai orang yang saleh (baik), jika ia hanya mementingkan ibadah mahdloh (ibadah individu) saja, dan meniadakan ibadah sosial (ghoiru mahdloh). Ibadah sosial merupakan wujud dari kesalahen ibadah individu. Pasalnya, antara ibadah individu dan ibadah sosial merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ia bagaimana dua sisi dalam mata uang.
Sepakat dalam Perbedaan
Lebih lanjut, dalam membina kerukunan dan meniadakan praktik intoleransi, selayaknya negara, mau belajar bagaimana membina kerukunan dari pendahulunya. Salah satunya dari, Profesor Mukti Ali. Guru Besar IAIN (kini UIN) Sunan Kalijaga ini melontarkan konsep yang sangat terkenal, yaitu, agree in disagreement (sepakat dalam perbedaan).
Pernyataan khas Mukti Ali yang kemudian menjadi spirit dalam membangun keberagamaan di Indonesia tersebut disampaikan pada November 1971, dalam simposium di Goethe Institut Jakarta.
Sepakat dalam perbedaan merupakan realitas historis yang selayaknya dipahami oleh negara. Ketika kita tidak bersepakat dalam perbedaan, maka yang terjadi adalah permusahan. Permusuhan yang didasari atau dilandasi oleh agama, merupakan awal dari sebuah malapetaka.
Oleh karenanya, seyogianya negara mampu menjaga keberagamaan di Nusantara, bukan malah menambah permusuhan di antara umat beragama. Negara sudah saatnya menoleh lembaran sejarah kebangsaan dan belajar dari pada pendahulu. Negara selayaknya mengembangkan konsepsi Mukti Ali tersebut, bukan malah mengeruhkan suasana kebhinekaan.
Bukan Alat Kejahatan
Negara merupakan pengayom bagi seluruh komponen bangsa. Jika negara gagal mengemban amanat ini, maka kebangsaan akan rapuh dan hancur. Pasalnya, negara hanya menjadi tameng bagi kelompok-kelompok tertentu untuk membenarkan tindak kejahatannya.
Pada akhirnya, praktik intoleransi oleh negara merupakan potret buram dan tamparan bagi falsafah bangsa (Pancasila). Oleh karena itu, negara selayaknya menyadari kekeliruannya, karena negara bukan alat kejahatan. Namun, sarana menjaga harmoni kebangsaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar