Sindo Edisi Sore Opini Sore
Rabu, 30/01/2008
Di sini berbaring seorang guru Semampu membaca buku usang Sambil belajar menahan lapar Hidup sebulan dengan gaji sehari ………………. (Winarno Surakhmad,Kapan Sekolah Kami Lebih Baik dari Kandang Ayam)
Masih ingat dengan petikan puisi di atas? Ya,puisi tersebut telah membuat Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla berang,saat peringatan Hari Pendidikan Nasional pada 2005.Namun,keberangan JK,ternyata belum menjadi semacam agenda nasional untuk menyejahterakan guru. Baru-baru ini,sebanyak 6.200 guru di Kabupaten Merangin,Jambi,mogok mengajar.
Aksi ’’nekat”guru di Merangin ini bukanlah yang pertama.Sebelumnya, ribuan guru di Lombok unjuk rasa hingga bentrok (Rabu, 25/01/2006).Pada hari yang sama,puluhan guru swasta honorer unjuk rasa di Semarang Jawa Tengah.Persatuan Guru Republik Indonesia di Jawa Barat unjuk rasa menuntut realisasi anggaran pendidikan 20% APBN dan APDB (6/02/2006).Pada akhir bulan Desember 2005,guru di Slawi,Jawa Tengah,melakukan mogok makan menuntut insentif gaji Rp200.000. Demonstrasi yang dipelopori dan digawangi langsung oleh guru di Tanah Air sungguh menyedihkan.Artinya,mengapa penerus Ki Hajar Dewantara,basis pencerahan bangsa,pendidik anakanak Indonesia,sudah sampai hati turun ke jalan.
Unjuk rasa guru merupakan cerminan bangsa miskin.Seharusnya,guru mengajar di dalam kelas,mendidik anak bangsa dapat membaca dan menulis, menjadi penerus cita-cita perjuangan bangsa,bukan turun jalan menuntut hak-haknya.Mengapa negara yang didirikan para guru ini begitu menelantarkannya? Sebagaimana kita ketahui bersama, Soekarno,Hatta,Ki Hadjar Dewantara, Ahmad Dahlan,dan Hasyim Asy’ari adalah seorang pendidik (guru).Mereka telah menjadi pemimpin bangsa dan membawa bangsa ini menuju kemerdekaan dari tekanan penjajahan dengan pendidikan. Tampaknya,guru di Indonesia tidak bernasib baik.Mereka sekarang termasuk dalam golongan masyarakat marginal.
Artinya,gaji yang mereka terima setiap bulan sudah tidak lagi cukup sekadar untuk makan.Guru harus menghemat tenaganya di kelas untuk menggarap sawah hasil warisan dari orangtua.Dengan sawah sepetak,mereka mencoba bertahan hidup di tengah impitan ekonomi. Sepertinya,guru sudah tidak mempunyai harga diri di depan bangsa sendiri. Mereka sering dilecehkan.Hal itu tampak dengan tidak seimbangnya antara pendapatan yang mereka peroleh dengan pengeluaran yang mereka gunakan.
Timpang Ketimpangan sistem pun terjadi di negara ini.Ambil contoh,gaji seorang anggota Dewan beserta tunjangannya yang mencapai 100 juta pada akhir 2005.Seorang guru harus berjuang dengan mogok makan guna mendapat insentif gaji Rp200.000.Seorang guru pun tidak pernah bermimpi mendapatkan gaji dalam satu bulan hingga ratusan juta rupiah.Cukuplah gajinya dapat untuk membayar listrik setiap bulan,dapur dapat mengepul,dan membeli buku bacaan.
Namun,keinginan tersebut tinggallah mimpi di siang bolong.Alih-alih dapat membeli buku bacaan guna meningkatkan ilmu yang telah dimiliki,untuk membayar jasa angkutan umum pun sulit. Maka,jangan disalahkan jika guru melakukan aksi turun ke jalan dan mogok mengajar.Ketika guru unjuk rasa dan mogok mengajar,sebenarnya banyak pihak yang dirugikan,pertama, peserta didik.Ketika guru unjuk rasa dan mogok mengajar,peserta didik tidak mendapatkan haknya,yaitu ilmu pengetahuan pada hari itu.Mereka harus pulang pagi.Mereka pun harus menghindar dari penertiban Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di tempat perbelanjaan dan keramaian lainnya. Kedua,pihak yayasan atau pemilik sekolah.Guru yang melakukan unjuk rasa biasanya dari kalangan guru yang mengajar di sekolah-sekolah swasta.
Ketika mereka unjuk rasa,pihak yayasan harus bersiap menerima kritik dari masyarakat.Artinya,masyarakat telah banyak mengeluarkan biaya untuk anak-anak mereka,tetapi peserta didik tidak mendapatkan haknya. Pandangan miring dari masyarakat pun akan menimpa pemilik yayasan. Apabila hal ini terus-menerus berlangsung, tahun depan yayasan tersebut tidak akan mendapatkan peserta didik lagi.Hal itu disebabkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sekolah.Maka tak jarang,bagi masyarakat yang mempunyai dana berkecukupan (kaya),lebih memercayakan anaknya untuk dididik di luar negeri,atau yayasan sekolah luar negeri yang ada di kota-kota besar. Ketiga,pemerintah.
Setelah tingkat kepercayaan masyarakat menurun akibat banyaknya guru yang melakukan unjuk rasa,hal itu akan berimbas kepada pemerintah.Artinya,pemerintah sebagai pemegang kekuasaan negara dianggap tidak mampu lagi menyejahterakan rakyatnya.Sebagaimana kita ketahui bersama,kesejahteraan rakyat adalah salah satu elemen hak asasi manusia (HAM).
Maka itu,diperlukan langkahlangkah pencerahan agar aksi guru ini tidak meluas dan menjadi gerakan rakyat yang dapat mengganggu stabilitas nasional,yaitu pertama,tidak membedakan hak antara guru honorer swasta dan negeri.Persamaan hak untuk mendapatkan fasilitas yang layak dari negara merupakan sesuatu yang harus dipenuhi.Guru adalah pendidik bangsa,sedangkan bangsa ini seharusnya berterima kasih kepada penyelenggaraan pendidikan swasta yang telah banyak mengurangi pengeluaran negara. Kedua,segera merealisasikan anggaran APBN untuk pendidikan sekurang-kurangnya 20%.
Anggaran yang telah diamanatkan UUD 1945 itu harus direalisasikan dalam waktu dekat.Hal tersebut untuk menghindari adanya gugatan class action dari masyarakat kepada pemerintah.Hal ini disebabkan pemerintah telah sengaja menunda dan tidak merealisasikan amanat UUD 1945. Dua hal tersebut di atas,tampaknya menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi pemerintah.Artinya,ketika kesejahteraan guru tidak mendapat porsi lebih,kebodohan,buta aksara,dan seterusnya akan menjadi ancaman serius bangsa ini.Inilah balada guru di negeri miskin.Guru harus bergelut dengan kemiskinan dan kelaparan di tengah tuntutan dari pembuat kebijakan. Terus berjuang guru Indonesia.Perjuanganmu adalah sejarah yang akan terus dikenang hingga akhir hayat di kandung badan.
(*) BENNI SETIAWAN Praktisi Pendidikan
1 komentar:
global sevilla school
Posting Komentar