Sungguh berita buruk ketika Jawa Tengah termasuk salah satu provinsi penyumbang buta aksara tertinggi di Indonesia setelah Jawa Timur.
Jumlah penduduk buta aksara di Jawa Tengah mencapai 598.014 orang. Jumlah ini tersebar di 10 kabupaten, yaitu Brebes, Tegal, Cilacap, Pati, Sragen, Wonogiri, Banjarnegara, Blora, Batang, dan Boyolali.
Persoalan buta aksara bukanlah hal yang baru. Bahkan, di negara- negara Amerika Latin tingkat buta aksara mencapai 40 persen dari jumlah penduduk. Ambil contoh di Bolivia, Meksiko, Venezuela, Haiti, Peru, Guatemala, dan lain-lain.
Penyebab utama persoalan ini adalah faktor kemiskinan. Kemiskinan telah banyak merenggut hak manusia. Artinya, karena kemiskinan seseorang tidak dapat menikmati haknya sebagai warga negara. Mereka hanya dijadikan komoditas politik untuk dapat mengucurkan dana dari pemerintah dalam negeri maupun luar negeri. Tetapi, dana-dana itu tidak pernah sampai ke tangan mereka.
Kemiskinan pula yang menjadikan seseorang enggan menyekolahkan anaknya. Hal ini disebabkan sekolah ialah sesuatu yang mahal. Alih- alih untuk sekolah, buat makan saja susah.
Keadaan tersebut di atas diperparah oleh anggapan sebagian masyarakat bahwa pendidikan tidak ada gunanya. Pandangan itu berupa mengenyam pendidikan yang tinggi pun pada akhirnya hanya menjadi kuli bangunan, ibu rumah tangga, dan ngemong anak-anak. Kerja di dapur, sumur, dan kasur.
Pendidikan belum mampu menyentuh hal yang hakiki. Pendidikan hanya dimaknai dalam konteks kerja dan mendapat posisi apa setelah sekolah. Pendidikan sebagai proses pencerdasan dan kemandirian masih sangat awam bagi masyarakat.
Masyarakat masih banyak yang terjebak oleh polarisasi kaum kapitalis. Artinya, pendidikan menjadi mahal sehingga orang miskin tidak dapat menikmatinya. Pendidikan dipersepsikan sebagai bagian dari dunia kerja. Setelah meraih gelar A, B, C, dan D, seseorang akan mampu memperoleh kedudukan E, F, G, dan H.
Keadaan tersebut di atas sudah saatnya diakhiri. Mengembalikan hakikat pendidikan sebagai sebuah proses pencerdasan dan kemandirian adalah kunci utamanya. Selain itu mengubah paradigma pendidikan yang berwujud sekolah formal menjadi pendidikan di setiap saat dan tempat.
Beberapa hal yang dapat dilakukan guna menanggulangi buta aksara di Jawa Tengah adalah, pertama, komitmen pemerintah daerah untuk memajukan sektor pendidikan, yaitu dengan menyisihkan dana atau APBD 20 persen untuk pendidikan.
Kembali ke desa
Kepala daerah juga harus memiliki visi memajukan pendidikan. Apalagi, beberapa daerah di Jateng saat ini tengah melangsungkan hajatan pilkada. Masyarakat harus disadarkan untuk memilih pemimpin yang mempunyai komitmen membangun daerah dengan pendidikan sebagai andalannya.
Kedua, menggalakkan gerakan gemar membaca. Gerakan gemar membaca dapat dimulai dengan mengaktifkan kembali perpustakaan desa dan koran masuk desa. Perpustakaan desa yang dikelola kelurahan adalah modal untuk merangsang minat baca masyarakat. Selain itu, adanya koran masuk desa akan sangat membantu masyarakat menerima informasi dan perkembangan zaman.
Adanya keinginan sejumlah orang termasuk pemilik koran lokal untuk memberikan informasi aktual ke desa-desa sudah saatnya direspons oleh masyarakat. Koran-koran itu sudah saatnya dikelola dengan baik. Misalnya dengan membuat wadah untuk koran di tempat-tempat strategis. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat dalam menjangkau.
Koran-koran yang sudah dibaca pun dapat dimanfaatkan dengan cara mengkliping setiap peristiwa yang penting. Pemuda desa yang berpendidikan tingkat menengah tentunya dapat melakukan aktivitas ini. Setiap desa atau bahkan dusun memiliki arsip yang dapat dijadikan sumber rujukan.
Program gemar membaca ini juga dapat dimulai dari lingkungan keluarga. Keluarga ialah guru utama setiap individu. Menyediakan perpustakaan keluarga dan tempat-tempat khusus untuk membaca mungkin dapat dilakukan oleh setiap keluarga.
Ketiga, peran serta alumnus perguruan tinggi atau peserta didik yang bersekolah di luar kota. Putra daerah harus kembali ke desanya untuk membangun tatanan masyarakat baru. Kecenderungan tidak kembalinya putra daerah setelah belajar atau menempuh pendidikan tinggi akan semakin menambah "kegersangan" ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan daerah kota yang sudah tinggi tingkat melek hurufnya semakin dipenuhi intelektual berilmu tinggi.
Keadaan ini juga akan menimbulkan banyak ketimpangan. Banyak sekali orang berilmu di kota menjadi penganggur. Sedangkan di desa tenaga mereka masih sangat dibutuhkan. Masyarakat berpendidikan ini adalah aset desa yang harus menjadi tulang punggung masyarakat di masa yang akan datang. Keempat, peran serta organisasi sosial keagamaan, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Ormas ini mempunyai andil besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Muhammadiyah dan NU dapat bekerja sama dengan organisasi otonomnya seperti Aisiyah, Nasiatul Aisiyah, Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) , Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Fatayat NU, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan seterusnya.
Ormas ini dapat melakukan program kerjanya melalui pimpinan ranting dan pimpinan cabang. Kelompok-kelompok pengajian yang selama ini ada dapat dijadikan modal untuk pendidikan membaca dan menulis. Mereka mudah tergerakkan atau tersadarkan oleh ikatan emosional ormas. Pada akhirnya persoalan buta aksara adalah persoalan bersama yang wajib segera diselesaikan. Perhatian semua pihak mengenai kondisi ini adalah kunci utamanya, tanpa adanya dukungan dan kesadaran dari masyarakat, penyakit sosial ini akan semakin parah dan akan menelan banyak korban.
Benni Setiawan Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia, Tinggal di Sukoharjo, Jawa Tengah
Kompas, Selasa, 27 Februari 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar