Search

Selasa, 01 April 2008

Pendidikan Berbasis Moral

Suara Merdeka, WACANA 31 Maret 2008

Pendidikan Berbasis Moral


Oleh Benni Setiawan


VIDEO porno kembali menggemparkan warga Klaten, Jawa Tengah. Setelah terkuaknya video mesum antara perangkat desa dengan seorang siswi SMA, kini beredar video porno peserta didik biru-putih (SMP). Video berdurasi lima menit tersebut, menggambarkan sepasang anak muda yang sedang melakukan kegiatan layaknya pasangan suami-istri.


Beredarnya video porno tersebut seakan menambah deret persoalan pendidikan di Indonesia. Pendidikan Indonesia belum mampu menjadi pioner dalam menyelesaikan persoalan moralitas bangsa. Pendidikan di Indonesia hanya berorientasi kepada materi dan hasil. Pendidikan Indonesia belum mampu menyentuh persoalan riil yang dialami oleh masyarakat.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana mengajarkan pendidikan yang mampu menjadikan peserta didik mandiri, bertanggung jawab, dan tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat ?
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) 2003 Pasal 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan mencakup masalah bagaimana mengembangkan anak didik sebagai manusia individu sekaligus warga masyarakat (Sumaji, dkk: 1998). Tujuan pendidikan adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Darmaningtyas: 2004)
Dengan demikian, pendidikan pada dasarnya adalah usaha nyata dalam membentuk moralitas anak didik menjadi generasi bangsa yang tangguh. Generasi bangsa yang tangguh adalah manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia (bermoral). Maka dari itu, pendidikan sebagai elemen pencerahan bangsa harus dapat memosisikan dirinya mendorong terwujudnya pendidikan berbasis moral.

Pendidikan berbasis moral akan sangat berguna bagi peserta didik dalam mengembangkan diri dan bergaul dengan masyarakat. Moral adalah bekal di dalam mengembangkan diri. Hal itu dikarenakan, ketika moral telah di dalam diri manusia akan dapat mempertanggungjawabkan segala aktivitasnya terhadap dirinya sendiri, orang lain, dan utamanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Masalah moral, adalah suatu masalah yang menjadi perhatian manusia di mana saja, baik dalam masyarakat yang telah maju, maupun dalam masyarakat yang masih terbelakang. Hal itu dikarenakan, kerusakan moral seseorang mengganggu ketentraman yang lain. Jika dalam suatu masyarakat banyak orang yang rusak moralnya, maka akan guncanglah keadaan masyarakat itu.


Mochtar Bukhori mendefinisikan pendidikan moral sebagai to guide the young towards voluntary personal commitment to values (pekerjaan membimbing generasi muda untuk secara sukarela mengikat diri kepada norma-norma atau nilai-nilai. Diharapkan, pendidikan moral akan membentuk kapasitas intelektual (intellectual resources) generasi muda yang memungkinkan mereka untuk membuat keputusan bertanggung jawab (informed and responsible judgment) atas hal atau permasalahan rumit yang dihadapinya dalam kehidupan.

Jadi, orientasi pendidikan moral yakni pengikat diri, dengan nilai-nilai, harus terjadi secara sukarela, harus tumbuh dari dalam dan bukan karena ancaman atau ketakutan akan sesuatu. Maka, peran penting orang tua dan pendidik (guru) sangat diharapkan. Orang tua mendorong anak-anaknya untuk mandiri dan mampu bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya.

Kepedulian orang tua dalam mendidik putra-putrinya menjadi kata kunci. Menyediakan waktu untuk sekadar bersendau gurau, bermain dan berempati terhadap apa yang dialami putra-putrinya, dapat meningkatkan kemampuan seseorang untuk mandiri dan bertanggung jawab.

Saling tegur sapa dalam keluarga akan mendorong peserta didik untuk terus belajar. Ketidakpedulian orang tua terhadap anak-anaknya merupakan persoalan yang mengancam eksistensi anak. Hal itu dikarenakan, menurut Elie Wiesel, kejahatan terbesar di dunia bukanlah kemarahan atau kebencian, melainkan kemasabodohan.

Ketika suasana di dalam keluarga sudah mendukung, kondisi di sekolahan pun juga harus demikian. Guru bukanlah monster yang menakutkan. Guru harus menjadi sahabat peserta didiknya. Jadi ada keterbukaan antara peserta didik dan gurunya. Keterbukaan itu akan menimbulkan suasana belajar yang menyenangkan. Peserta didik dapat menyampaikan keluh kesah dan berbagi pengalaman dengan gurunya, dan atau sebaliknya.

Dengan demikian, peserta didik akan malu melakukan kesalahan atau melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Ia akan sadar, bahwa melakukan perbuatan melanggar norma akan merusak citra keluarga, sekolah, dan dirinya sendiri. Kesadaran yang tumbuh dari jiwa yang disemai dengan kasih sayang itulah, cikal bakal generasi terdidik harapan bangsa.

Kasus merebaknya video porno yang dilakukan oleh peserta didik, pada dasarnya adalah cerminan ketidakpedulian orang tua, guru, dan masyarakat terhadap perkembangan generasi muda bangsa. Mereka dibiarkan tumbuh kembang tanpa belaian kasih sayang dan perhatian. Ketika mereka melakukan kesalahan, orang tua selalu menyalahkan tanpa merenung mengapa hal itu bisa terjadi. Anak-anak menjadi pihak yang selalu disalahkan.

Pada akhirnya, kepedulian semua pihak untuk mendidik generasi muda penerus bangsa menjadi kata kunci dalam menyelesaikan dan mencegah kasus tersebut terulang kembali. Wallahu aĆ­lam.(68)

— Benni Setiawan, penulis Buku ”Manifesto Pendidikan Indonesia”.