Search

Minggu, 09 Januari 2011

Teologi Antikorupsi

Opini, Jurnal Nasional, Jum'at, 07 Januari 2011

SURVEI Transparency Internasional Indonesia (TII) tahun 2010 menempatkan Denpasar mendapatkan skor paling tinggi (6,71), disusul Tegal (6,26), Solo (6,00), Yogyakarta dan Manokwari (5,81). Kota Cirebon dan Pekanbaru mendapatkan skor terendah (3,61), disusul Surabaya (3,94), Makassar (3,97) dan Jambi (4,13). Kota-kota dengan skor tertinggi mengindikasikan, para pelaku bisnis menilai korupsi mulai menjadi hal kurang lazim terjadi, dan usaha pemerintah dan penegak hukum di sana dalam pemberantasan korupsi cukup serius. Sebaliknya, korupsi masih lazim terjadi dalam sektor-sektor publik. Sedang pemerintah daerah dan penegak hukum kurang serius memberantas korupsi, menurut persepsi para pelaku bisnis di kota-kota yang mendapat skor rendah. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa korupsi masih tumbuh subur? Bagaimana teologi (agama) dapat berperan dan dalam menyelesaikan persoalan pelik ini?

Jalan Menuju Kebahagiaan

Ada beberapa alasan mengapa seseorang korupsi. Pertama, korupsi jalan tercepat menuju kebahagian dunia. Dengan korupsi orang akan kaya dan dihormati masyarakat. Karena orang kaya mempunyai nilai lebih di tengah masyarakat. Sikap masyarakat yang sering kali menghormati orang kaya dan tidak memedulikan orang miskin adalah tindakan pendukung terjadi korupsi.

Sikap "arogan" ini ditengari gaya hidup glamor dan malu disebut miskin. Padahal, kita sering melihat realitas di lapangan, sebagian pejabat pemerintahan lebih bangga disebut miskin ketika akan datang bantuan dari pusat. Hingga mereka akan mendapatkan berapa persen bagian dari dana yang diturunkan.

Meminjam istilah Sindhunata, keadaan ini tidak ada beda dengan perilaku "muja". Artinya, mencari kekayaan dengan cepat tanpa memedulikan dari masa sumber kekayaan itu. Perilaku muja tidak memedulikan keadaan orang lain bahkan keluarga. Pemuja makhluk halus, tidak segan mengorbankan keluarga sebagai tumbal. Sebagai ganti dia akan mendapatkan kekayaan melimpah dalam waktu singkat tanpa harus kerja keras (Benni Setiawan: 2008).

Kedua, korupsi sudah menjadi sistem dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana pernah disinyalir oleh Muhammad Hatta 40 tahun silam. Korupsi telah menjadi karakter bangsa Indonesia. Jika kita tidak korupsi, uang ini akan dikorup orang lain. Berlomba-lomba dalam korupsi sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Mungkin perkataan tepat dari mereka adalah "hari gini tidak korupsi, apa kata dunia", sebagaimana iklan di televisi.

Munir Mulkhan pernah mensinyalir suburnya korupsi di Indonesia karena ada persaingan antara satu kelompok dengan kelompok lain. Jika kementerian A tidak dikuasai kelompok Y, kelompok X tidak akan mendapat jatah apa-apa. Perebutan posisi dan kedudukan secara tidak sehat merupakan lahar subur korupsi. Ketiga, masyarakat yang acuh terhadap persoalan korupsi. Artinya, masyarakat pun sedemikian tersistem menggunakan jasa koruptor untuk memperlancar kegiatan. Ambil contoh, ketika melanggar lalu lintas. Kebanyakan masyarakat menyelesaikan kasus ini dengan sidang di tempat. Yaitu dengan membayar sesuai kesepakan dengan pihak terkait, pelaku dapat lolos.

Koruptor Adalah Kafir

Bagaimana agama (Islam) berkontribusi menyelesaikan persoalan ini. Korupsi telah menjadi perhatian ajaran teks suci (Islam) sejak 14 abad silam. Korupsi dalam QS Ali Imran (3:161), disebut ghulul. Secara harfiah, ghulul berarti penghianatan terhadap kepercayaan (amanat). Sebagaimana diungkapkan Syed Hussein Alatas (1987), inti korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi atau pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan.

Selain itu dalam Al Quran korupsi didiskripsikan dengan kata al-suht, Surat al-Maidah (5: 42, 62, 63). Dalam kitab tafsir Ahkam Al Quran, dikutip definisi sahabat Ibn Mas'ud) tentang al-suht sebagai menjadi perantara dengan menerima imbalan antara seseorang dengan penguasa untuk suatu kepentingan (al-Jashash, Ahkam Al Quran, 1405 H, 84).

Dalam hadis Nabi Muhammad SAW, sangat banyak rujukan mengenai korupsi, baik menyangkut jenis-jenis korupsi seperti risywah (penyuapan), penerimaan hadiah oleh pejabat, penggelapan, dan lain-lain. Maupun menyangkut kebijakan dan strategi Nabi Muhammad SAW, dalam memberantas korupsi. Beberapa strategi Nabi Muhammad dalam menangani korupsi adalah pemeriksaan terhadap para pejabat seusai menjalankan tugas (Syamsul Anwar: 2005).

Rasulullah memperingatkan, koruptor tidak dilindungi, disembunyikan, atau ditutupi. Barangsiapa demikian, maka dia sama dengan pelaku korupsi itu sendiri. Sebagaimana diriwayatkan dari Sumurah Ibn Jundub, dalam Hadis Abu Dawud, Sunan Abi Dawud (Syamsul Anwar:2006).

Maka dari itu, koruptor juga perlu dihukumi kafir. Sebagaimana rumusan yang telah dikeluarkan Muhammadiyah dan NU. Kafirnya seorang koruptor karena dia telah menyekutukan Allah dengan uang dan kekuasaan. Franz Magnis-Suseno (2009) menyatakan, orang maupun lembaga korup tidak dapat membedakan antara benar dan salah. Itu fatal. Garis jelas antara kemanusiaan yang wajar dan sikap penjahat menjadi kabur. Orang menjadi terbiasa menipu, mencuri, main curang, dan tidak bertanggung jawab.

Pada akhirnya, mengutip pendapat Abdul Munir Mulkhan (2006), masalah korup atau tidak korup bagi seseorang atau sebuah bangsa, bukan persoalan dasar kelahiran (bawaan lahir atau takdir). Persoalannya, terletak pada kesadaran dan penegakan hukum dalam kehidupan seseorang atau bangsa itu sendiri. Wallahu a'lam.

Penulis: Peneliti Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta