Search

Kamis, 07 Januari 2010

KB dan Kesehatan Reproduksi



Perempuan, Suara Merdeka, 06 Januari 2010

APA kabar program keluarga berencana (KB)? Setelah Soeharto lengser, program ini sepertinya mulai ditinggalkan. Kini program KB kembali mendapat perhatian publik.

Selain diancang untuk mewujudkan tatanan keluarga kecil bahagia, program ini juga menekan pertumbuhan penduduk dunia.

Namun, banyak feminis dan pengamat masalah perempuan menyatakan KB harus sesuai dadn berpihak pada perempuan. KB harus dimaknai dalam konteks kesehatan reproduksi.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana KB dalam konteks kesehatan reproduksi?

Tercatat, tahun 2007 peserta KB mencapai 5,6 juta, diikuti peningkatan pada tahun 2008 menjadi 6,5 juta akseptor. Sepanjang 2009, sampai dengan Juli, akseptor di RSUP Dr Kariadi Semarang mencapai 1.188 akseptor.

Penggunaan KB itu terinci atas metode IUD (intrauterine device) 61 orang, vasektomi 127 orang, suntik 79 orang, pengguna pil 41 orang, dan yang paling besar pengguna kondom sebesar 880 orang.

Peningkatan akseptor KB searah dan sebangun dengan meningkatnya anggaran dari pemerintah. Anggaran untuk Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2006 hanya Rp 700 miliar.

Tahun 2007 meningkat menjadi Rp 1,04 triliun. Dan, tahun 2008 meningkat lagi menjadi Rp 1,2 triliun. Sementara tahun anggaran 2009 sebesar Rp 1,6 triliun.

Setelah rezim ini runtuh, program KB semakin redup terdesak oleh agenda penyelamatan sosial ekonomi dan politik bangsa.

Program KB kembali menjadi perbincangan dan agenda menginggat banyaknya usia produktif putus sekolah. Sesuai budaya masyarakat desa, anak-anak yang sudah tidak sekolah, biasanya langsung dinikahkan.

Pernikahan di usia produktif mengakibatkan terjadinya ledakan penduduk (baby boom).
Angka kelahiran di Indonesia rata-rata 2,6% atau setiap keluarga memiliki 2,6 anak. Beberapa daerah angkanya bahkan lebih besar, sehingga harus dikendalikan.
Masalah Sosial Kemiskinan yang diakibatkan oleh ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari akan mengakibatkan masalah sosial.

Lebih lanjut, ledakan jumlah penduduk tidak dibarengi oleh perluasan lahan bumi. Artinya, bumi yang stagnan akan semakin sempit dan berat, karena meningkatkan jumlah penduduk bumi.

Tujuan demografis inilah yang menjadi latar belakang adanya program KB.
Namun demikian, tujuan demografis seringkali mengalahkan aspek kemanusiaan dan moral.

Peserta KB (akseptor) yang notabene perempuan seringkali belum memperoleh hak-haknya sebagai manusia dan warga negara. Kesehatan reproduksi mereka sering diabaikan oleh pemerintah.

Kesehatan reproduksi haruslah dilihat dalam konteks kesehatan menurut Konstitusi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), di mana Indonesia juga menjadi anggota. Kesehatan menurut WHO adalah keadaan sehat fisik, mental, dan sejahtera secara sosial, bukan hanya tidak adanya penyakit atau kecacatan.

Dengan demikian, kesehatan reproduksi adalah kondisi di mana proses reproduksi dicapai dalam keadaan sehat fisik, mental, dan sejahtera secara sosial dan bukan sekadar tiadanya penyakit atau kelainan proses reproduksi.

Dengan konsep ini, tujuan KB akan sejalan seiring dengan konsensus Kairo ICPD yang mengintegrasikan isu kependudukan, pembangunan, dan hak asasi manusia ke dalam cetak biru 20 tahun Program Aksi.

Konsensus ini menyebutkan, penduduk stabil akan tercapai dengan sendirinya bila kebutuhan layanan KB dan kesehatan reproduksi bagi semua individu terpenuhi.

Untuk mewujudkan cita-cita mulia tersebut, perlu langkah nyata dalam menggalakkan program KB dalam bingkai kesehatan reproduksi. Yaitu, dengan pertama, menggratiskan KB. Program KB gratis mungkin masih kalah pamor dengan program sekolah gratis dan kesehatan gratis.

KB gratis akan mendorong seseorang (terutama penduduk miskin) dengan sukarela datang ke bidan atau puskesmas. Keengganan masyarakat untuk KB, salah satu faktornya masih mahalnya biaya program ini.

Kedua, meningkatkan peran serta BKKBN dalam menyosialisasikan program KB. Sudah menjadi rahasia umum jika koordinasi dan implementasi program BKKBN sangat lemah. Peran serta, koordinasi, dan implementasi BKKBN semakin tidak berdaya di tengah berlakunya otonomi daerah.

Ketiga, mengajak akseptor KB laki-laki. Hingga kini KB identik dengan perempuan. Namun, pada dasarnya KB dapat juga dilakukan oleh laki-laki. Walaupun masih rendah, peran serta kaum laki-laki dalam menyukseskan program KB menjadi penting.

Kesediaan laki-laki ber-KB akan semakin mendorong kaum perempuan untuk turut serta dalam program ini. KB merupakan program mulia. Namun, aspek kemanusiaan dan moral juga penting untuk menjamin kualitas hidup akseptor KB. (37)

- Benni Setiawan, penulis, tinggal di Sukoharjo.