Search

Selasa, 30 Oktober 2007

Membangun Jakarta Berbasis Kemanusiaan

Akhirnya, pasangan Fauzi Bowo-Prijanto memenangi hajatan akbar Pilkada Jakarta 2007. Fauzi Bowo-Prijanto yang didukung 20 partai politik mengantongi suara sekitar 57, 87 persen suara, sedangkan Adang Daradjatun-Dani Anwar memperoleh suara 42,3 persen. Walaupun perolehan suara Fauzi Bowo-Prijanto tidak seperti jumlah partai pendukung, kemenangan Foke-sapaan akrab Fauzi Bowo-- menurut Budiman Sudjatmiko adalah kemenangan nasionalis, pluralis, dan Islam kebangsaan.

Kemenangan Fauzi Bowo-Prijanto sudah selayaknya tidak dirayakan dengan pesta, melainkan bagaimana menyusun stategi perjuangan untuk rakyat Jakarta, sebagaimana disuarakan pasangan yang mengusung jargon "Jakarta untuk Semua" pada masa kampanye.

Pekerjaan berat Fauzi Bowo-Prijanto ke depan adalah membangun Jakarta menjadi kota yang ramah bagi semua. Artinya, Jakarta yang tidak lagi menjadi gudang preman yang "mangkal" di setiap sudut jalan dan terminal, kota yang rapi tanpa banyak penggusuran, kota tanpa banjir yang melanda setiap tahun, dan kota yang ramah lingkungan dengan teraturnya jalan-jalan raya serta tiadanya kemacetan di jam-jam kantor. Semua itu adalah impian bagi warga Jakarta.

Warga Jakarta yang di siang hari mencapai 9.000.000 jiwa dan di malam hari 7.000.000 jiwa sangat berharap kepemimpinan baru ini dapat membawa angin perubahan yang mendasar. Warga Jakarta tentunya tidak menginginkan pemimpinnya kali ini hanya mampu beretorika dan membuat janji manis di saat kampanye. Warga Jakarta tentunya berharap persoalan sosial di Ibukota dapat diatasi dengan sebaiknya dan menjadi contoh bagi daerah lain.

Tentunya pekerjaan berat membangun Kota Jakarta tidak hanya menjadi tanggung jawab gubernur dan wakil gubernur baru. Membangun kota Jakarta menjadi tanggung jawab kita bersama. Gubernur dan wakil gubernur hanyalah pemimpin yang mempunyai kebijakan dan kewenangan untuk mengatur dan mengarahkan, yaitu mengatur dan mengarahkan kebijakan yang tepat guna dan berpihak kepada rakyat.

Ambil contoh, yang perlu direalisasikan Gubernur dan Wakil Gubernur baru Jakarta adalah bagaimana menata kawasan kumuh di kolong jembatan, jalan-jalan dan pinggiran sungai, menata pedagang asongan yang mulai memenuhi badan jalan, dan seterusnya.

Mereka tentunya tidak ingin digusur. Mereka ingin ditata agar kehidupannya menjadi lebih baik. Salah satunya adalah dengan menata permukiman penduduk, memindahkannya ke rumah susun, dan relokasi.

Walaupun agaknya klise dengan pendekatan hati ke hati tentunya warga Jakarta akan mau untuk ditata dan diatur. Hal ini dikarenakan, warga Jakarta mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain. Warga Jakarta yang 70 persen berpendidikan sekolah menengah atas (SMA) tentunya merupakan aset daerah yang perlu dipelihara dan ditata dengan baik.

Pendekatan dari hati ke hati ini adalah cerminan kebijakan dan bijaknya birokrasi Jakarta. Pemimpin baru tentunya harus menunjukkan iktikad dan tekad untuk melayani warga dengan baik dan sepenuh hati.

Perubahan Paradigma

Guna mewujudkan hal itu, dibutuhkan perubahan paradigma birokrat Jakarta. Paradigma lama sebagai government "tata perintah" menjadi governance "tata kelola". Pemerintah (birokrat) bukanlah mengatur, memerintah dengan pendekatan kekuasaan yang dicirikan dengan pemaksaan dan kekerasan. Pemerintah sudah saatnya memimpin warganya dengan pendekatan yang humanis dan seni memimpin.

Pendekatan humanis dan seni memimpin ini dapat dilakukan dengan: pertama, pendekatan partisipatoris. Warga masyarakat sebagai bagian dari pemerintahan adalah entitas hidup. Ia bukanlah barang yang dapat dipindah sewaktu-waktu dengan dipaksa atau diangkut.

Warga adalah manusia yang wajib dimanusiakan karena ia adalah manusia. Salah satunya dengan mengundang dan meminta saran kepada mereka untuk membangun Jakarta. Partisipasi masyarakat menjadi bagian penting dalam governance. Hal ini dikarenakan, warga masyarakat adalah bagian terbesar dalam sistem pemerintahan demokrasi. Demokrasi membutuhkan partisipasi, tanpa partisipasi berarti tidak ada sistem demokrasi.

Kedua, menumbuhkan rasa tanggung jawab warga masyarakat. Rasa tanggung jawab menjaga lingkungan agar tetap asri sudah selayaknya diberikan kepada masyarakat secara penuh. Salah satunya dengan membangun pola relasi baru antara warga dan pejabat.

Sudah saatnya pejabat merakyat. Dengan demikian relasi yang dibangun tidaklah top down. Masyarakat diajak untuk memikirkan lingkungan yang asri adalah kebutuhan. Jadi kebijakan yang diambil adalah bottom up. Inisiatif dan gagasan utama adalah dari masyarakat.

Ketika inisiatif dan gagasan dari masyarakat, dengan sendirinya masyarakat akan melaksanakan program kerjanya dengan sepenuh hati. Masyarakat tidak lagi diperintah dan dipaksa. Masyarakat tinggal digerakkan dengan kesadaran yang telah dimiliki.

Kedua hal di atas adalah agenda nyata menata Jakarta menjadi lebih baik. Gubernur dan wakil gubernur adalah penyambung suara rakyat. Ia adalah pemimpin bukan penguasa. Maka tidaklah semestinya program kerja pemerintah hanya dinikmati pejabat. Rakyat adalah bagian dari sistem pemerintahan yang demokratis. Demokrasi tidak hanya wilayah memilih atau dipilih, namun konsep pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Pada akhirnya, menjadikan Jakarta sebagai kota yang ramah dan nyaman menjadi tanggung jawab kita bersama. Ayo benahi Jakarta karena Jakarta untuk semua.

Penulis adalah peneliti Yayasan Nuansa Sejahtera


Last modified: Suara Pembaruan, 21/8/07

Kekerasan Psikis Lebih Berbahaya daripada Kekerasan Fisik

Jawa Pos, Jumat, 27 Juli 2007,

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa), anak adalah keturunan kedua. Manusia yang masih kecil. Orang yang berasal dari atau dilahirkan di suatu negara atau daerah. Orang yang masuk dalam di suatu golongan pekerjaan (keluarga).

Menurut UU No 4/1979, LN.1979-32 tentang Kesejahteraan Anak, didefinisikan secara khusus anak merupakan keturunan dalam keluarga.

Padahal, dalam arti luas, anak adalah generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri serta sifat khusus. Anak memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, serta sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.

Menurut UNICEF, Guide to the Convention on the Rights of the Child (CRC) sebagaimana dikutip Muhammad Joni dan Zulchana Z. Tanmas (1999), ada empat kategori hak-hak anak.

Pertama, hak terhadap keberlangsungan hidup (survival rights). Yaitu, hak-hak anak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (the right of life). Selain itu, hak memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya (the right to the highest standard of health and medical care attainable).

Kedua, hak terhadap perlindungan (protection rights). Yaitu, hak-hak anak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan, dan ketelantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga.

Ketiga, hak tumbuh kembang (development rights). Yaitu, hak-hak anak dalam konvensi hak anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan nonformal) serta hak mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, serta sosial.

Keempat, hak berpartisipasi (participation rights). Yaitu, hak-hak anak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak anak untuk mengemukakan pendapat dalam segala hal yang memengaruhi anak (the rights of a child to express her/his views in all matters affecting that child).

Pertanyaannya, bagaimana dengan anak-anak Indonesia? Anak-anak Indonesia masih terkungkung dalam kekerasan. Menurut data, pada 2003, kekerasan terhadap anak mencapai 481 kasus. Pada 2004 meningkat menjadi 547 kasus dengan rincian 221 kasus kekerasan seksual, 140 kekerasan fisik, 80 kekerasan psikis, dan 106 kasus lain.

Pada 2005, jumlahnya meningkat lagi menjadi 766 kasus. Rinciannya, 327 kasus kekerasan seksual, 233 kekerasan fisik, 176 kekerasan psikis, dan 130 kasus lain. Pada semester pertama 2006 terdapat 460 kasus.

Menurut Terry E. Lawson, setidaknya ada empat macam abuse. Yaitu, emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse. Dalam tulisan ini hanya dibahas mengenai emosial abuse dan verbal abuse.

Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak mengabaikan setelah mengetahui anaknya meminta perhatian. Mereka membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Mereka boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi.

Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan tersebut berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji kepada anaknya akan terus-menerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu.

Verbal abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak menyuruh anak diam atau tidak menangis setelah mengetahui anaknya meminta perhatian. Jika si anak mulai berbicara, ibu terus-menerus menggunakan kekerasan verbal seperti "kamu bodoh" atau "kamu cerewet". Anak akan mengingat semua kekerasan verbal itu jika semua kekerasan tersebut berlangsung dalam satu periode.

Jack Canfield, seorang pakar kepercayaan diri (1982), melaporkan hasil penelitian terhadap 100 anak. Setiap anak menerima rata-rata 460 komentar negatif atau kritik dan hanya 75 komentar positif atau yang bersifat dukungan dalam satu hari. Komentar negatif tersebut sangat berbahaya bagi perkembangan emosi dan kecerdasan anak.

Bentuk kekerasan psikis tersebut sulit diketahui, apalagi dilaporkan. Kekerasaan psikis hampir terjadi dalam kehidupan anak. Ironisnya, banyak orang tua yang tidak tahu dan kurang peduli terhadap hal tersebut.

Kekerasan psikis yang sempat muncul ke publik merupakan tindakan Densus 88 Antiteror terhadap anak Abu Dujana. Anak Abu Dujana mengalami depresi berat akibat menyaksikan ayahnya ditangkap pihak berwajib.

Kekerasan psikis, menurut hemat saya, lebih berbahaya daripada kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Kekerasan fisik akan melekat dalam diri anak hingga anak menjadi dewasa. Anak akan terpengaruh oleh kondisi di mana mereka dibesarkan dengan kekerasan.

Anak yang mengalami kekerasan psikis cenderung pendiam, tidak tanggap terhadap sesuatu, menutup diri, dan seterusnya. Jika kondisi tersebut tidak cepat ditangani, akan terjadi depresi berat pada anak yang akhirnya anak akan bunuh diri.

Menurut konvensi hak anak, sudah selayaknya orang tua, masyarakat, dan semua pihak mencegah kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan psikis.

Sudah saatnya orang tua mendidik anak-anaknya dengan kasih sayang. Orang tua juga dilarang berkata kotor, membentak di depan anak-anaknya. Anak harus mendapatkan porsi lebih daripada yang lain. Keadaan tersebut akan mendorong anak hidup lebih baik dan terhindar dari tekanan psikis.


Benni Setiawan, anggota Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah

Minggu, 21 Oktober 2007

Membangun Pendidikan tanpa Kekerasan

Jawa Pos, Metropolis, Selasa, 04 Sept 2007,

Pada 21 Agustus 2007 lalu, hampir seluruh media massa cetak menyoroti mengenai dugaan penganiayaan dan tindak kekerasan dalam dunia pendidikan. Adalah Franky Edward Damar (16) peserta didik di SMK Pelayaran Wira Maritim asal Sambiarum Surabaya meninggal dunia saat mengikuti masa orientasi siswa (MOS). Sempat muncul dugaan Edward meninggal akibat hukuman dari senior saat MOS. Peristiwa ini semakin menambah deret panjang kematian peserta didik dalam dunia pendidikan.

Kekerasan yang dilakukan di dalam dunia pendidikan nampaknya akan selalu berulang. Hal ini dikarenakan seluruh komponen pendidikan (peserta didik, karyawan, guru, kepala sekolah) belum banyak menyadari hakikat pendidikan sebagai sebuah proses. Proses dalam menggali potensi yang diberikan Tuhan kepada manusia sejak lahir, proses untuk bergaul dengan lingkungan yang berbeda, dan proses untuk tumbuh kembang dengan teman sebaya.

Proses mulia di atas seringkali dimaknai secara sempit oleh komponen pendidikan. Pendidikan hanya dimaknai di dalam lingkungan sekolah, pelajaran, ulangan harian, ujian kenaikan kelas dan kelulusan. Di dalamnya seringkali ada bentuk penghargaan dan hukuman. Siapa benar dan melakukan kebaikan akan mendapat hadiah atau penghargaan. Sebaliknya siapa yang salah dan melakukan tindakan yang dilarang akan mendapat hukuman.


Tidak manusiawi

Menurut Clanzic, hukuman dan ganjaran dalam dunia pendidikan pada dasarnya mematikan inisiatif belajar, mempengaruhi jiwa anak, dan karenanya hukuman dan ganjaran adalah tindakan yang tidak berperikemanusiaan dan menimbulkan permusuhan. (Nurul Huda, SA: 2002).

Hal ini dikarenakan komponen pendidikan seringkali memaknai hukuman sebagai hal yang negatif dan memaknai penghargaan sebagai hal yang positif. Sangat jarang ditemukan di dalam dunia pendidikan ada hukuman yang benar-benar mendidik dan membuat peserta didik sadar akan kesalahan dan tidak akan mengulangi perbuatannya.

Kebanyakan hukuman yang diberikan baik oleh senior saat MOS atau guru saat kegiatan belajar mengajar hanya menimbulkan kedengkian dan rasa dendam dalam diri peserta didik. Peserta didik tidak menjadi paham kesahannya dan akan terus melakukan kesalahan itu sebagai bentuk pembangkangan terhadap guru. Dan pada akhirnya akan menimbulkan suasana belajar yang kurang kondusif dan menjemukan.

Keadaan ini tentunya tidak akan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, memiliki pengetahuan, keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, mempunyai kepribadian mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan, sebagaimana tujuan pendidikan diselenggarakan.

Guna mewujudkan tujuan pendidikan di atas dan menekan angka kematian peserta didik di dalam dunia pendidikan kiranya komponen pendidikan perlu menelaah apa yang telah diajarkan Dorothy Law Nolte ini:

Jika anak dibesarkan dengan celaan, maka ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, maka ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, maka ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, maka ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, maka ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, maka ia belajar berlaku adil.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, maka ia akan menemukan cinta dalam kehidupan.
Begitulah anak selalu belajar dalam kehidupannya.

Petuah bijak tersebut di atas adalah bentuk pendidikan tanpa kekerasan. Komponen pendidikan harus menyadari bahwa anak adalah makhluk unik. Ia akan selalu belajar dari lingkungannya. Jika lingkungannya mengajarkan kebaikan, maka ia akan belajar kebaikan dan sebaliknya, jika lingkungannya mengajarkan kekacauan dan keburukan, maka ia akan menjadi insan yang sulit diatur.
Maka, hukuman yang selama ini selalu diartikan negatif sudah saatnya diganti dengan hal-hal yang positif.

Contohnya, ketika penulis mengenyam banngku SMA sekian tahun lalu, seringkali hukuman yang diberikan selalu menyenangkan dan membuat jera. Hukuman yang diberikan oleh guru atau guru bimbingan konseling (BK) biasanya hal-hal yang mendidik. Seperti, jika terlambat masuk sekolah, peserta didik dipersilahkan memilih hukuman membaca al-Qur’an dua juz atau membaca buku diperpustakaan dan menuliskannya kembali dalam bentuk resume atau makalah. Kegiatan ini lebih menyenangkan dari pada harus "ditempeleng" atau dipukul, membersihkan WC dan kamar mandi, atau membersihkan seluruh area sekolah. Dengan hukuman yang mendidik inilah banyak peserta didik yang "kapok" jera dan mencoba tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari.

Bentuk pendidikan ala militeristik dengan penuh makian, hinaan, celaan dan hukuman fisik sudah saatnya diminimalisir. Bentuk hukuman semacam itu hanya akan membuat peserta didik dendam dan tidak jera melakukan kesalahan. Dan pada akhirnya akan menularkan dan menjadi tradisi buruk yang akan mengancam jiwa orang lain dikemudian hari. (manifesto_06@yahoo.com)
*) Benni Setiawan, Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia.

Anak Tiri itu Bernama Pendidikan

Bangka Pos / Yudi
Anak Tiri itu Bernama Pendidikan
Sebagai bekas jajahan Belanda, pejabat kita masih mewarisi tradisi luhur kolonialis. Ia tidak ingin rakyatnya pandai apalagi mampu membaca, menulis, dan menganalisis dengan baik. Pemerintah takut kursi kekuasaan yang telah diraihnya dengan susah payah akan hilang begitu saja.


KEMBALI, wacana mendesak agar pemerintah segera merealisasikan anggaran pendidikan minimal 20 persen dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) menjadi tema sentral dalam pelbagai diskusi yang diadakan oleh pemerhati, praktisi dan pengamat pendidikan.

Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa pada tahun anggaran 2008, pendidikan masih saja belum mendapat porsi sebagaimana mestinya.

Pada pidato Presiden Yudhoyono di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 2007 lalu, disebutkan anggaran untuk departemen pendidikan nasional (Depdiknas) pada tahun anggaran 2008 ditetapkan Rp 48,3 triliun, atau 5,7 persen dari total belanja pemerintah yang sebesar Rp 836 triliun. Anggaran ini tentunya sangat jauh dari amanah UUD 1945.

Pertanyaan yang muncul kemudian mengapa pemerintah masih saja menganaktirikan pendidikan dibanding dengan bidang atau sektor lain? Ada apa dengan pendidikan di republik yang didirikan oleh para guru ini?

Pendidikan masih saja tidak menjadi hal yang penting di republik ini. Pendidikan masih saja menjadi momok menakutkan bagi pemerintah. Pemerintah sepertinya takut jika rakyat di negeri ini pandai dan mempunyai kemandirian. Ia takut jangan-jangan ketika rakyat pandai banyak program kerja yang telah disusun rapi dimentahkan. Lebih dari itu, pemerintah sepertinya ingin terus berkuasa hingga akhir hayat, dengan memelihara kebodohan di negara yang merdeka pada 17 Agustus 1945 ini.

Belajar dari perjalanan sejarah peradaban dunia, kita akan menemukan bahwa bangsa-bangsa yang sekarang maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, dan sekarang disusul China, India, Malaysia, Korea Selatan, Singapura, dan Thailand, adalah negara-negara yang sejak memulai pembangunannya mendudukkan pendidikan sebagai prioritas pertama. Negara-negara ini menganut paradigma ‘To Build Nation Build Schol’ (H Soedijarto, Kompas, 13/9). Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sampat saat ini belum mampu meletakkan prioritas pembangunan berbasis pendidikan.

Mental Kolonialis

Sebagai bekas jajahan Belanda, pejabat kita masih mewarisi tradisi luhur kolonialis. Ia tidak ingin rakyatnya pandai apalagi mampu membaca, menulis, dan menganalisis dengan baik. Pemerintah takut kursi kekuasaan yang telah diraihnya dengan susah payah akan hilang begitu saja.

Mental kolonialis yang telah hengkang dari bangsa Indonesia sejak 62 tahun silam masih membekas dalam pikiran pemerintah Indonesia. Kekuasaan adalah hal yang menyenangkan, mendapat pengakuan (sanjungan) dari masyarakat dan dapat mengangkat derajat serta martabat pribadi dan keluarga hingga anak cucu.

Pikiran primordial ini sulit dihilangkan dalam tradisi keseharian pemerintah. Mereka lebih bangga meletakkan sektor lain, seperti ekonomi sebagai andalan program kerja. Akan tetapi, apa yang terjadi? Kenaikan harga sulit dikendalikan. Kelangkaan minyak tanah menjadi pemandangan setiap hari. Korupsi masih saja menjadi pekerjaan harian dan seterusnya. Gagal. Itulah yang patut disuarakan.

Demikian pula, dengan sistem pertahanan dan keamanan. Pemerintah Indonesia tidak bergeming sedikitpun melihat banyaknya TKI disiksa oleh majikannya di Malaysia dan Arab Saudi hingga meninggal dunia. Perjanjian pertahanan dan keamanan dengan Singapura pun tidak lebih baik. Bangsa besar seperti Indonesia hanya dijadikan bulan-bulanan negeri dengan luas sepersepuluh dari Pulau Jawa itu. Lagi-lagi gagal dan rapuh.

Sistem politik dan pertahanan dalam negeri. Sebagaimana telah diungkapkan oleh Radhar Panca Dahana (Kompas, 8/9), di dalam negeri, politik pemerintah tampak begitu sensitif dan defensifnya dalam menghadapi kritik, protes, atau serangan-serangan dari lawan-lawan politisnya. Keluar, kita terus berada pada posisi yang minor dan tertekan. Lagi-lagi tidak memuaskan.

Mungkin tidak hal yang membanggakan ada di negeri ini. Semua serba mepet kalau tidak mau disebut memprihatinkan. Hal ini semua dikarekan tidak kunjung direalisasikannya anggaran minimal 20 persen dalam APBN. Masyarakat Indonesia menjadi bodoh dan tidak berdaya. Anak-anak miskin terpaksa turun ke jalan untuk mendapatkan sesuap nasi. Akan tetapi, nasibnya akan segera berakhir, karena Pemda DKI Jakarta akan menggusur mereka dengan Perda Ketertiban Umum (KU).

Guru-guru dari daerah menjerit dan menangis akibat gajinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap hari. Guru-guru pun meratapi nasib karena gedung sekolah sebagai tempat belajar mengajar tidak kunjung direnovasi. Peserta didik harus menumpang di rumah warga dengan fasilitas seadanya seperti di SD Pojok III Kecamatan Tawangsari Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah. Di sisi lain gedung wakil rakyat di Senayan yang masih kokoh berdiri akan segera direnovasi dengan anggaran APBN Rp 40 miliar.

Para guru besar (profesor) harus banyak mengajar di kampus dan ngamen dari seminar ke seminar untuk dapat membeli buku baru. Karena, gajinya tidak cukup untuk biaya transport.

Sungguh pendidikan di Zamrud Khatulistiwa ini menjadi anak tiri. Anak tiri yang harus mau menerima perlakuan kasar dari Sang Ibu tiri.

Sadarlah wahai pemerintah. Engkau dipilih untuk memimpin bukan untuk menjadi penguasa. Segera realisasikan anggaran pendidikan minimal 20 persen, sebelum bangsa ini benar-benar runtuh. (*)

*) Benni Setiawan, Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia

Selamatkan Hutan Jawa Barat

Hutan adalah paru-paru dunia. Terdapat banyak makhluk hidup yang mempertahankan keturunan serta sumber makanan dan minuman di dalamnya. Hutan juga sangat bermanfaat untuk menahan laju air hujan. Air hujan disimpan dalam akar dan tanah oleh pohon yang ada di hutan. Ketika hutan gundul, tak pelak lagi bencana mengancam. Sebagaimana terjadi di Jawa Barat akhir-akhir ini, kekeringan melanda sejumlah daerah, seperti di Sukabumi, Cirebon, dan Indramayu.

Secara umum hutan Indonesia sudah rusak. Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), laju penghancuran (deforestasi) hutan di Indonesia tahun 2002-2005 merupakan yang terbesar dan terparah di dunia. Setiap tahun, menurut FAO, rata-rata 1,871 juta hektar hutan Indonesia hancur atau 2 persen dari luas hutan yang tersisa pada tahun 2005, yakni 88,495 juta hektar.

Kerusakan hutan di Jabar sudah sedemikian parah. Kawasan lindung di Jabar, khususnya hutan, saat ini tinggal 18 persen atau 0,65 persen. Idealnya, kawasan lindung Jabar mencapai 45 persen atau sekitar 1.641.326 hektar dari total 3.647.392 hektar luas wilayah.

Sementara itu, berdasarkan data Dinas Kehutanan Jabar, luas lahan kritis mencapai 580.397 hektar. Sebanyak 129.272 hektar benar-benar kritis, 129.697 hektar semikritis, dan 321.428 hektar potensial kritis.

Berangkat dari data tersebut, tampaknya kita tidak boleh larut terjebak pada hitung-hitungan angka. Hitung-hitungan angka hanya akan menjadi wacana yang melangit tanpa mampu menyentuh atmosfer bumi (persoalan yang dihadapi masyarakat sekarang).

Persoalan yang dihadapi masyarakat sekarang, yaitu rusaknya hutan, banjir, tanah longsor, dan kekeringan, menjadi menu harian dan harus dihadapi. Harta benda hilang dalam waktu singkat akibat bencana alam ini.

Kerusakan hutan di Indonesia sudah saatnya dipandang jernih oleh semua pihak. Artinya, masyarakat harus sadar bahwa hutan Indonesia sudah rusak. Maka, harus ada upaya nyata dalam menyelamatkannya. Pertanyaannya, bagaimana menyelamatkan dan mengembangkan hutan Indonesia khususnya di Jabar?

Daniel D Chiras (1985) menyatakan bahwa mentalitas frontier sebagai penyebab utama rusaknya alam, hilangnya sinergi dalam masyarakat, merajalelanya korupsi dan nepotisme.

Mentalitas frontier ini dicirikan dengan tiga persepsi utama. Pertama, bumi adalah sumber alam yang tidak terbatas untuk digunakan manusia, dengan premis dasar bahwa selalu ada yang lebih. Kedua, menganggap bahwa manusia bukan bagian dari alam. Ketiga, bahwa alam harus dikuasai.

Mentalitas frontier sudah saatnya dihentikan. Salah satunya dengan melakukan proses penyadaran, bahwa sumber daya alam terbatas. Manusia adalah bagian dari alam dan manusia mempunyai kewajiban untuk melestarikan alam. Melibatkan pengembang

Guna mewujudkan hal tersebut, beberapa hal yang perlu dilakukan antara lain pertama, mengajarkan pendidikan etika lingkungan kepada masyarakat. Pendidikan etika lingkungan adalah upaya nyata manusia untuk sadar bahwa persediaan sumber daya alam yang dimiliki bumi terbatas. Manusia adalah bagian dari alam dan manusia tidak boleh superior terhadap alam (Maftuchah Yusuf, 2000).

Pengertian tersebut setidaknya memberikan informasi bahwa alam adalah hal yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari manusia. Artinya, jika alam rusak, manusia akan binasa. Oleh karena itu, manusia tidak boleh serakah mengeksploitasi alam demi kepentingan sesaat. Alam wajib dilestarikan sebagai sumber penghidupan makhluk hidup lain, termasuk manusia.

Pendidikan etika lingkungan ini harus ditanamkan sejak dini. Artinya, anak usia TK sudah harus diperkenalkan dengan etika lingkungan. Ambil contoh, ketika menebang pohon, kewajiban manusia adalah menumbuhkan tumbuhan baru. Hal ini guna tetap menjaga ekosistem yang telah ada. Menebang pohon pun harus mendahulukan asas manfaat. Artinya, sekiranya pohon tersebut tidak mengganggu, biarkanlah ia hidup.

Mengajarkan untuk mulai menanam satu pohon di lingkungan sekitar rumah juga penting. Lahan kosong yang ditanami tumbuh-tumbuhan akan dapat mengurangi dampak kekeringan.

Kedua, kepedulian pengembang untuk tetap menjaga ekosistem alam. Pihak pengembang juga perlu mengetahui seluk-beluk tempat sebelum membangun bangunan permanen di lereng-lereng bukit. Apakah daerah tersebut daerah resapan air atau tidak. Jika daerah resapan air, pihak pengembang tidak mendirikan bangunan di atasnya karena dapat menyebabkan bencana alam.

Pihak pengembang juga diharapkan mampu menumbuhkan pohon baru yang mereka tebang. Menumbuhkan pohon baru di tempat-tempat hunian akan menjadikan semakin asri dan merupakan daya tarik tersendiri bagi masyarakat.

Ketiga, peran serta pemerintah dalam menegakkan hukum. Menghukum seberat-beratnya cukong kayu, yang menjual hasil hutan Indonesia keluar negeri, adalah agenda nyata. Anggapan masyarakat bahwa cukong kayu dilindungi pejabat pemerintah sudah saatnya dibuktikan ketidakbenarannya oleh aparat penegak hukum.

Hukum harus tajam kepada siapa pun. Hukum harus adil. Hal ini dikarenakan salah satu asas hukum adalah keadilan untuk semua. Hukum tidak boleh hanya tajam kepada orang-orang kecil dan tumpul kepada pejabat negara.

Akhirnya, peran serta semua pihak untuk menyelamatkan hutan Indonesia adalah kunci utamanya. Tanpa adanya kesadaran arti penting hutan bagi kehidupan makhluk bumi, kerusakan bumi akan menjadi hal nyata. Manusialah yang paling merugi akibat kerusakan alam.

BENNI SETIAWAN Pemerhati Pendidikan

Kompas, Kamis, 11 Oktober 2007.

Sarjana, Kembalilah ke Desa

Sarjana, Kembalilah ke Desa

  • Oleh Benni Setiawan

MERAIH gelar kesarjanaan bagi sebagian orang merupakan kebanggaan tersendiri. Dengan meraih gelar dalam bidang tertentu, ia akan mudah mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Apalagi gelar tersebut dikeluarkan atau diperoleh dari institusi atau perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) yang telah mempunyai nama, baik dari segi prestasi, kualitas tenaga pengajar, guru besar, maupun berbagai fasilitas yang ada di dalam kampus.

Masa depan seseorang banyak telah digantungkan kepada berbagai perguruan tinggi ternama di dalam dan luar negeri tersebut. Sehari-hari mereka bergelut dengan buku, untuk jaminan masa depan.

Menurut data, jumlah mahasiswa Indonesia sekitar 1,5 juta atau sekitar tujuh persen dari sekitar 20 juta penduduk kelompok usia sekolah. Jumlah itu relatif kecil, jika dibandingkan dengan mahasiswa negara industri maju, yaitu sekitar 30-40 persen dari seluruh jumlah penduduk kelompok usia sekolah.

Demikian pula dengan jumlah lulusan sarjana strata tiga (S3). Menurut data statistik, hanya ada 65 orang untuk setiap 1.000.000 penduduk Indonesia. Adapun di berbagai negara lain berbanding 6.500 per 1.000.000 penduduk, dan untuk negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat, bahkan Israel lebih besar lagi, yaitu 16.500 per 1.000.000 penduduk.

Selain masih sedikitnya jumlah lulusan sarjana di Tanah Air, jumlah pengangguran dari sektor itu pun cukup tinggi. Data statistik dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) 2005 menyebutkan bahwa pengangguran lulusan diploma atau akademi sekitar 322.836 orang, sedangkan sarjana lulusan universitas sekitar 385.418 orang.

Bila ditotal, setidaknya ada sekitar 708.254 pengangguran dari kalangan sarjana muda. Tingginya angka pengangguran itu disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, minimnya lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan atau jurusan sarjana tersebut. Banyak sarjana yang harus berprofesi menjadi tenaga bidang lain, yang sama sekali tidak berhubungan dengan bidang yang digeluti selama menjadi mahasiswa.

Kedua, menurunnya kualitas sarjana. Penurunan kualitas itu dipengaruhi oleh gaya hidup mahasiswa sekarang yang serbainstan dan sedikit banyak terpengaruh oleh budaya modern yang "kebablasan". Banyak mahasiswa sekarang berpikiran praktis. Artinya, mereka ingin cepat lulus dengan nilai yang memuaskan atau bahkan cumlaude (dengan pujian) dan mendapat pekerjaan yang diimpikan.

Cara berpikir seperti itu juga banyak dipengaruhi oleh faktor mahalnya biaya kuliah di Tanah Air. Hal itu disebabkan oleh banyak universitas berlomba-lomba menjadi badan usaha milik negara (BHMN). Universitas BHMN biasanya mematok harga lebih mahal dibandingkan dengan universitas biasa.

Pengelola universitas beralasan, mereka tidak lagi mendapat subsidi dari pemerintah sehingga harus menaikkan harga sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) untuk memenuhi kebutuhan lembaga.

Ketiga, enggannya sarjana untuk pulang kampung membangun tanah kelahirannnya. Mereka lebih suka hidup di kota dengan berbagai fasilitas yang ada. Mereka merasa tidak percaya diri hidup di kampung, apalagi telah meraih berbagai gelar kesarjanaan.

Mereka merasa asing di desanya sendiri. Hal itu dikarenakan realitas yang dihadapi selama kurang lebih lima tahun sangat sedikit bersinggungan dengan situasi dan kondisi yang ada di desa atau kampung. Banyak sarjana menjadi pengangguran di kota, padahal di desa mereka sangat diharapkan. Banyak desa atau kampung yang membutuhkan tenaga sarjana untuk membangun peradaban baru yang lebih baik.

Kembali ke Desa

Belum lagi warga desa yang masih dililit beban buta aksara, kemiskinan, dan kebodohan. Guna mengurangi atau menekan tingkat buta aksara, kemiskinan dan kebodohan sudah saatnya mengikutsertakan alumnus perguruan tinggi atau peserta didik yang bersekolah di luar kota.

Putra daerah harus kembali ke desanya untuk membangun tatanan masyarakat baru. Kembalinya para sarjana ke desa, selain dapat membangun peradaban baru, juga mudah mendapat pekerjaan sesuai dengan bidang atau ilmu yang ditekuni, walaupun gaji dan penghasilan yang diterima tidak sebesar di kota.

Kembalinya para sarjana ke desa juga sebagai bentuk pengabdian dan sumbangsih nyata terhadap perkembangan dan pembangunan bangsa dan negara. Hal itu dikarenakan, pertumbuhan bangsa dan negara tercermin dari sejahteranya penduduk desa. Selain itu, yang lebih utama adalah menekan jumlah pengangguran dari lulusan sarjana.(68)

-- Benni Setiawan, dosen Universitas Muhammadiyah Jember, asal Sukoharjo.

Suara Merdeka, Sabtu, 20 Oktober 2007.

Ujian Nasional dan Kedaulatan Guru

Forum
Ujian Nasional dan Kedaulatan Guru

Oleh BENNI SETIAWAN

Ujian nasional telah menjadi rutinitas bangsa ini. Setiap tahun agenda nasional ini selalu menjadi bahan perbincangan, entah karena jumlah angka ketidaklulusan yang tinggi atau mekanisme ujian yang sarat kekurangan.

Masalah ketidaklulusan, misalnya, pada tahun 2005 mencapai hampir 15 persen di seluruh Indonesia. Bahkan, di Aceh mencapai 50 persen. Pada tahun 2006 sekitar 9 persen siswa SMA gagal lulus ujian nasional (UN). Angka ketidaklulusan dipengaruhi oleh nilai Matematika yang di bawah standar (4,00).

Pada tahun ini angka kelulusan UN dipatok dengan nilai rata-rata 5,0 dengan nilai minimal rata-rata 4,25 atau boleh salah satu nilainya 4,0 dengan catatan nilai lainnya harus 6,0.

UN telah menjadi momok tersendiri bagi peserta didik dan guru. Artinya, peserta didik yang mendapat peringkat pertama di kelas pun dapat gagal karena UN. Hal ini dikarenakan ketika pada hari itu mereka mendapat nilai di bawah standar, ia harus menunggu satu tahun lagi untuk melanjutkan studinya atau mengikuti program Kejar Paket C atau B. Demikian juga seorang guru tidak memiliki kewenangan sedikit pun mengenai hasil UN.

Guru hanya dapat terdiam dan termangu melihat peserta didiknya tidak lulus UN. Pendidikan yang telah lama dijalani kandas oleh hasil ujian dalam waktu tidak lebih dari tiga hari. Seorang guru telah kehilangan kedaulatannya. Artinya, pergaulan, pendidikan, sendau gurau yang telah berlangsung tidak pernah dihargai oleh pemerintah. Pemerintah melalui UN telah menjadi hakim yang dapat memutuskan semuanya.

Mementingkan hasil

Guru sebagai individu yang mengetahui seluk-beluk dan kemampuan peserta didiknya tidak mampu berbuat banyak. Mereka tidak diberi kewenangan sedikit pun untuk menilai apakah peserta didiknya dapat lulus atau tidak.

Padahal, sesuai Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 61 Ayat (2) UU Sisdiknas, seharusnya evaluasi hasil belajar dan penentu kelulusan peserta didik dilakukan oleh pendidik/guru dan satuan pendidikan/sekolah.

Kedaulatan guru sebagai insan pendidik dengan serta-merta dicabut oleh UN. Keadaan ini semakin memperparah kondisi pendidikan Indonesia. Artinya, pendidikan Indonesia masih bertumpu pada nilai-nilai akademis (kognitif) dan mengesampingkan nilai-nilai (kecerdasan) yang lain.

Pendidikan Indonesia masih sangat mementingkan hasil daripada proses. Artinya, pendidikan yang selama ini dijadikan basis penyadaran dan pendewasaan tidak lebih diukur dari nilai-nilai yang dapat dibuat. Materi kecerdasan yang lain, seperti kecerdasan emosional, dan spiritual, tidak tersentuh dan dihargai sama sekali.

Maka, tidak aneh jika akhir-akhir ini bangsa Indonesia banyak dihebohkan dengan kesurupan. Kesurupan kali tidak hanya menimpa pekerja pabrik-pabrik, tetapi juga menimpa peserta didik. Beban berat atau depresi akibat keadaan yang demikian menjadi hal yang biasa.

Menjelang UN, peserta didik ditekan sedemikian rupa untuk mengikuti jam tambahan. Hal ini dilakukan guna mengejar materi yang belum selesai dan mengenalkan peserta didik soal-soal UN. Banyak waktu yang sedianya digunakan peserta didik untuk refreshing dan bercanda dengan teman direnggut sedemikian rupa oleh UN.

Hal tersebut masih ditambah beban jam tambahan yang diberlakukan oleh lembaga bimbingan belajar.

Tren pasar

Sistem pendidikan Indonesia juga masih mengikuti tren pasar. Artinya, pendidikan Indonesia masih suka bongkar pasang sesuai keinginan orang-orang pusat (Jakarta). Jakarta sering kali dijadikan miniatur pendidikan Indonesia sehingga apa yang terjadi di Jakarta dengan serta-merta diterapkan di daerah.

Dengan demikian, daerah sama sekali tidak memiliki kemandirian. Ia dipaksa untuk mengikuti tren Jakarta yang belum tentu sesuai dengan potensi lokal yang ada. Demikian pula dengan para gurunya (pendidik).

Pendidik sering kali disalahkan oleh pemerintah, orangtua, bahkan peserta didik. Hal ini dikarenakan mereka dianggap tidak mampu membimbing peserta didik secara maksimal. Ketidakmampuan ini ditunjukkan oleh hasil UN. Ketika hasil UN jelek, pendidik (guru) dituding sebagai penyebab utama. Namun, hal ini berbeda ketika hasil UN menunjukkan hasil yang maksimal, lembaga bimbingan belajar sering kali mendapat acungan jempol dari berbagai pihak. Peran serta pendidik (guru) tidak pernah dihargai sedikit pun.

Lembaga bimbingan belajar sering kali mengklaim dirinya sebagai pihak yang berjasa meluluskan peserta didik. Ia menuliskannya di berbagai media massa lokal dan nasional dengan menyebutkan siswa yang telah berhasil dibimbingnya beserta nilainya. Hal itu dapat kita lihat dari maraknya lembaga bimbingan belajar yang telah "berhasil" mengantarkan siswanya mendapatkan jatah di perguruan tinggi negeri.

Pendidik (guru) yang selama ini berjuang sekuat tenaga dan upaya dengan gaji rendah tidak mendapatkan ruang sediki pun untuk bicara. Ia lebih banyak nrimo dengan keadaan yang semakin tidak berpihak.

Maka, guna mengakhiri periode pengasingan guru, perlu dilakukan upaya bersama. Menurut Freire dalam The Politic of Education: Culture, Power, and Liberation, relasi yang harus dibangun antara pendidik dan pemerintah adalah evaluasi, bukan inspeksi. Dalam inspeksi, pendidik hanya menjadi obyek pengamatan pejabat dari pusat.

Adapun dalam evaluasi, setiap orang adalah subyek yang bekerja sama dengan pejabat-pejabat itu dalam melakukan kritik dan menjaga jarak dengan kerja mereka.

Dengan demikian, UN seharusnya tidak dilakukan secara nasional. Ujian secara nasional hanya akan menambah luka hati pendidik dan mengerdilkan aspek multikulturalisme. Ujian dalam bentuk apa pun sudah saatnya menjadi kewenangan pendidik (guru) dalam penilaiannya. Hal ini dikarenakan pendidik (guru) lebih mengetahui kapasitas kemampuan peserta didik dibandingan dengan pemerintah.

BENNI SETIAWAN Pendidik dan Pemerhati Pendidikan

Kompas, Selasa,20 Maret 2007.

Rabu, 17 Oktober 2007

Santun di Jalan, Cermin Budaya Bangsa

Jawa Barat
Senin, 10 September 2007

Forum
Santun di Jalan, Cermin Budaya Bangsa

Oleh Benni Setiawan

Jalan Raya Subang, Jawa Barat, tampaknya menjadi jalan "angker" bagi pengguna jasa transportasi darat. Setidaknya dalam seminggu terakhir Juli 2007, sekitar 100 nyawa mati sia-sia di jalan. Bahkan, pada 29 Juli delapan orang meninggal akibat kecelakaan antara bus pariwisata dan sedan di Subang. Hal tersebut semakin menambah deret panjang jumlah kematian di jalan. Menurut data, 36.000 orang per tahun mati di jalan.

Kecelakaan di jalan sepertinya "kalah pamor" dari kecelakaan yang disebabkan pesawat jatuh, kapal tenggelam, dan kereta api anjlok. Kematian di jalan dianggap hal biasa oleh sebagian masyarakat dan bahkan pemerintah. Sangat sedikit perhatian yang diberikan pemerintah mengenai hal ini. Hal itu tentu berbeda jika dibandingkan dengan kecelakaan pesawat, kapal, atau kereta api. Menteri dan tak kurang Presiden mengucapkan belasungkawa sedalam-dalamnya kepada keluarga korban. Akan tetapi, tidak ada satu pun pejabat pemerintah mengucapkan belasungkawa atas kematian di jalan.

Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa kematian di jalan masih saja dianggap sebagai hal biasa oleh masyarakat? Padahal, kematian di jalan adalah penyumbang kematian terbesar di Tanah Air.

Menurut data, kematian di jalan jauh lebih besar dibandingkan dengan kecelakaan di udara, laut, maupun kereta api. Jumlahnya mencapai 90 persen dengan kerugian material Rp 41 miliar untuk kecelakaan pada 2005. Dengan angka kematian yang mencapai 36.000 jiwa, Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia setelah Nepal (Kompas, 6/1/2007). Kurang disiplin

Kematian di jalan disebabkan beberapa faktor, di antaranya kurangnya kedisiplinan pengguna jalan. Data yang dihimpun Departemen Perhubungan menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen kecelakaan di jalan diakibatkan perilaku warga yang kurang disiplin, 4 persen faktor kendaraan, 3 persen faktor jalan, dan hanya 1 persen faktor lingkungan.

Rendahnya sikap disiplin masyarakat dalam berkendara merupakan bukti semakin terkikisnya-kalau tidak mau dibilang rendahnya-budaya bangsa. Budaya bangsa Indonesia semakin terkikis laju modernisasi dan globalisasi. Masyarakat Indonesia enggan mempelajari dan belajar mengenai budaya bangsa.

Ambil contoh dalam budaya masyarakat Sunda. Dalam kosmologi Sunda diajarkan, jika seseorang menabrak seekor kucing hingga mati, ia harus mengitari kucing tersebut tujuh kali dan tidak melakukan perjalanan selama 40 hari.

Apa yang terjadi sekarang? Seseorang yang telah mencelakai jiwa orang lain (menabrak) dengan seenaknya melarikan diri. Padahal, nyawa orang lebih berharga daripada seekor kucing.

Masyarakat Indonesia hanya mengambil mentah-mentah piwulang Sunda tersebut. Ia tidak mampu menerjemahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Banyak anggota masyarakat yang masih menghargai seekor kucing daripada nyawa seseorang.

Hilangnya semangat mempelajari budaya bangsa juga telah menghilangkan jati diri bangsa Indonesia. Mungkin benar apa yang dinyatakan Surya Paloh, Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar, dalam Silaturahmi Kebangsaan pada 24 Juli lalu di Palembang. Bangsa Indonesia yang dahulu dikenal ramah sekarang dikenal pemarah. Bangsa Indonesia yang dahulu dikenal suka bergotong royong sekarang menjadi bangsa yang individual. Bangsa Indonesia yang dahulu dikenal santun menjadi bangsa yang arogan dan seterusnya. Jati diri bangsa

Indonesia telah kehilangan jati diri sebagai bangsa. Maka, tidak aneh jika bencana menjadi hal biasa di negeri ini. Bencana kematian di jalan dianggap biasa dan tidak menjadi program atau perhatian pemerintah.

Keadaan tersebut sudah saatnya dihentikan sekarang juga. Ada beberapa hal yang sekiranya perlu dilakukan. Pertama, pola hidup disiplin. Disiplin adalah sikap tertib dan patuh pada peraturan yang berlaku. Sikap disiplin dapat terlihat dalam keseharian, seperti sikap mau antre. Selain sikap antre, guna menekan angka kematian di jalan, sudah selayaknya semua pihak tidak menjadi calo dalam pengurusan surat izin mengemudi (SIM).

Sudah menjadi rahasia umum, pengurusan SIM merupakan lahan korupsi. Ironisnya, calo SIM adalah aparat yang seharusnya menegakkan disiplin berlalu lintas itu sendiri. Dengan membayar uang jasa ratusan ribu rupiah, seseorang akan mudah mendapatkan SIM yang dibutuhkan.

Sikap tidak disiplin inilah yang mengakibatkan seseorang yang belum cakap berkendara menjadi tidak taat hukum. Padahal, dalam ujian SIM ada pertanyaan dan praktik berkendara yang baik. Jika seseorang yang tidak pernah lulus ujian SIM mendapatkan SIM dengan mudah, tidak aneh jika banyak kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian di jalan raya.

Kedua, pola pendidikan berkelanjutan. Sudah saatnya lembaga pendidikan (sekolah) menjadi wadah yang efektif dalam mendidik peserta didik dan masyarakat untuk bersikap disiplin. Sekolah-sekolah sudah saatnya mengajarkan sikap disiplin berlalu lintas dan berkendara. Seperti di Yogyakarta, lembaga swadaya masyarakat Mitra Selamat di Jalan (MSJ) mendidik guru TK menjadi pionir bagaimana seharusnya berperilaku di jalan.

Dengan mendapatkan pendidikan berperilaku di jalan sejak dini, seseorang akan mampu bersikap disiplin dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sikap disiplin harus dilatih sejak dini sehingga ketika dewasa disiplin telah menjadi bagian hidup yang tidak dapat ditinggalkan.

Pada akhirnya, sikap disiplin (santun) di jalan adalah cermin budaya bangsa Indonesia, bangsa yang saling menghormati sesama pengguna jalan. Jika masyarakat Indonesia sudah tidak lagi santun di jalan, bangsa ini telah kehilangan budaya dan jati dirinya. Benni Setiawan Pemerhati Pendidikan

Lampu Kuning Kebebasan Pers?

Lampu Kuning Kebebasan Pers?

  • Oleh Benni Setiawan

DIKABULKANNYA gugatan mantan Presiden Soeharto terhadap Majalah Time menurut beberapa pakar adalah pertanda atau lampu kuning terhdap kebebasan pers. Artinya, Majalah Time sebagai media massa cetak terenggut hak-haknya untuk memberikan berita kepada masyarakat secara terbuka dan apa adanya.

Dengan demikian, kebebasan pers dalam menyuarakan dan menemukan data dan fakta mendapat ancaman serius dari hukum. Hal ini dikarenakan, media massa tidak boleh memberitakan hal-hal yang sensitif mengenai kekuasaan, harta dan bahkan kehidupan pribadi jika tidak ingin mengalami nasib yang sama seperti Time.

Majalah itu juga harus membayar denda kepada Soeharto sebesar satu triliun rupiah, selain harus membayar kerugian materiil dengan permintaan maaf secara terbuka di lima media cetak nasional, dan lima majalah terbesar di Indonesia dalam tiga kali penerbitan secara berturut-turut. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah dengan dikabulkannya kasasi Soeharto kebebasan pers akan terunggut?

Kebebasan pers menjadi menu harian ketika genderang reformasi ditabuh. Presiden Habibie sebagai salah satu pejabat negara yang berhasil membuka kran kebebasan berpendapat dan pers. Walaupun demikian hal itu tidak dapat dipisahkan dari tuntutan kebebasan pers di era reformasi.

Kebebasan pers selama ini banyak dimaknai sebagai upaya pers untuk dapat menyajikan data dan fakta dari sebuah peristiwa kepada masyarakat. Penyajiannya cenderung buka-bukaan sesuai dengan misi dan ideologi pers. Tidak dapat dipungkiri, pers selama ini menyajikan berita berupa rekam peristiwa, data, fakta dan analisis tidak dapat dipisahkan dari ideologi dan misi pers.

Ideologi Pers

Saya berpandangan bahwa setiap pemberitaan yang ada di dalam dunia pers tidak akan pernah lepas dari ideologi dan misi pers. Ideologi inilah yang akan menentukan cara atau corak berita yang disajikan. Apakah dengan lembut, kasar dengan penuh makian, atau biasa-biasa saja asalkan tidak menyingung perasaan dan martabat orang lain.

Dalam pers juga ada hak jawab. Sebagaimana jika ada kesalahan atau ketidakakuratan sebuah data. Seseorang diperkenankan untuk membuat "berita tandingan" dengan melakukan klarifikasi terhadap sebuah berita. Adanya keseimbangan ini sering menimbulkan persoalan baru.

Sebagaimana kasus Pak Harto dan Majalah Time. Menurut Time, Pak harto memiliki kekayaan 15 miliar dollar AS (sekitar Rp150 triliun, kurs Rp 9.400,- per dolar AS). Sulitkah membuktikan kekayaan Pak Harto? Time dinilai tidak "objektif dan kurang akurat, tidak sesuai dengan asas kepatutan" oleh Mahkamah Agung (MA). Oleh karena itu, penyiaran berita itu dinilai mencemarkan nama baik Pak Harto. Atas dari itu, MA memenangkan kasasi Pak Harto.

Pers Bertanggung Jawab

Kasus ini pada dasarnya tidak akan banyak mengancam eksistensi kebebasan pers. Pers sampai kapan pun tetap bebas merdeka dalam menyuarakan hasil temuannya. Akan tetapi, pers juga harus bertanggung jawab terhadap apa yang ia beritakan. Apakah itu menyangkut hajat hidup orang banyak atau menyangkut pribadi dan martabat seseorang.

Kebebasan pers memang telah menjadi ikon dunia penerbitan atau pemberitaan. Akan tetapi, dengan adanya kebebasan pers, pers juga patut mawas diri. Artinya, selain berbicara panjang lebar, pers juga patut menghormati pribadi dan privasi seseorang. Pendek kata, adanya perimbangan antara kebebasan pers dan pers yang bertanggung jawab.

Pers yang bertanggung jawab adalah pers yang memberitakan sebuah peristiwa dengan data dan fakta menyangkut hajat hidup orang banyak dengan tanpa menciderai kebebasan pers dan menyingung hak-hak pribadi seseorang.

Pers yang bertanggung jawab adalah pers yang menyajikan berita sebagai sebuah kebutuhan masyarakat dengan cara memberikan pendidikan dalam segala hal dan benar menjadi pionir demokrasi yang mencerahkan dan mencerdaskan.

Pers yang bertanggung jawab tidak mesti menyajikan berita yang spektakuler agar mendapat perhatian penuh masyarakat. Artinya, kalau toh memberitakan hal tersebut, haruslah ada pesan moral dan tetap menghargai norma-norma yang berlaku di tengah masyarakat.

Sudah saatnya pers Indonesia menjadi sehat dengan kebebasan pers dan pers yang bertanggung jawab. (11)

--- Benni Setiawan, dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Jember

Suara Merdeka, Sabtu, 22 September 2007.