Search

Sabtu, 22 Juni 2013

Onthel

Oleh Benni Setiawan*)


Radar Surabaya, Sabtu, 22 Juni 2013

KENAIKAN harga BBM tentu meresahkan. Kita harus pandai dalam mencari celah dana atau alternatif dalam menekan pengeluaran di tengah pendapatan yang stagnan.

Salah satunya menekan pengeluaran konsumsi BBM alat transportasi. Jika kita sering menggunakan sepeda motor sebagai alat transportasi setiap hari, maka kenaikan harga akan begitu terasa. Jika setiap hari menghabiskan satu liter premium dengan harga Rp 4.500 sebelum kenaikan. Maka kini pengeluaran menjadi Rp 6.500. Maka, pengeluaran tambahan yang harus kita tanggung adalah Rp 2.000 per hari.

Mungkin uang itu tidak berharga bagi orang kaya. Namun, bagi buruh atau pekerja rendahan, uang itu sangat berharga. Mengingat hal tersebut, selayaknya kita mencari alternatif agar roda kehidupan tetap berjalan di tengah gaji yang tidak naik.

Bangsa Indonesia mempunyai kekhasan dalam berkendaraan, yaitu sepeda onthel. Onthel dapat kita jadi-kan alternatif transportasi yang ramah lingkungan dan tanpa BBM. Onthel juga terjangkau harganya. Perawatannya pun cukup sederhana jika dibandingkan dengan sepeda motor.
Onthel telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Ia sering digunakan pejabat tempo doeloe untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Mereka merasa bangga dapat mengendarai sepede onthel. Hal ini dikarenakan, onthel tanpa BBM, mudah dikendarai, membuat sehat dan yang lebih utama adalah onthel menyimpan khasanah budaya yang adi luhung. (*)

*)Benni Setiawan, Pemerhati masalah sosial.

Jumat, 14 Juni 2013

Partai Politik di Persimpangan Jalan

Oleh Benni Setiawan


"Opini", Sinar Harapan, Jum’at, 14 Juni 2013

Partai politik bungker koruptor. Kalimat tersebut kembali nyaring terdengar akhir-akhir ini. Hal ini terbukti dengan semakin banyak kader parpol terseret kasus korupsi. Tidak hanya dari parpol nasionalis, namun juga parpol berlabel Islam.

Perilaku korup tersebut menimbulkan sikap apatis masyarakat. masyarakat seakan sudah bosan dan enggan berurusan dengan parpol. Maka tidak aneh jika dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) golput seringkali memenangkan hajatan lima tahunan itu. Teranyar adalah hasil pilkada Jateng yang memenangkan Golput daripada pasangan Ganjar Pramono-Heru Sudjatmoko yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Tingginya angka golongan putih ini selayaknya menjadi catatan bagi perjalanan parpol. Artinya, menghadapi pemilu 2014, parpol harus berubah dan benar menjadi alat penyambung aspirasi rakyat.

Parpol bukan hanya menjelma menjadi “malaikat” yang siap menolong rakyat disaat jelang pemilu atau pilkada. Semua parpol mengklaim sebagai parpol yang bersih, jauh dari korupsi, dan memperjuangkan nasib rakyat. Namun, setelah pemilu atau pilkada usai parpol secepat kilat berubah menjadi Butho Cakil, yang siap mempecundangi rakyat dengan janji-janji palsu.

Mungkin benar apa yang pernah dikatakan oleh Jason Jones dan Shân Wareing, “Bagaimana caranya agar kita tahu kapan politisi berbohong? Jawabnya setiap kali mereka berbohong, mereka selalu menggerakkan bibir mereka”. Artinya, politisi tidak pernah berhenti berbohong dan selalu berbohong.

Persoalan-persoalan tersebut di atas nampaknya telah mendarah-daging dalam diri parpol. Mereka tidak lagi peduli dengan konstituen (rakyat), ketika mereka sudah berada pada posisi yang menguntungkan, dan sebaliknya "menyembah-nyembah" rakyat ketika posisinya terjepit.

Kharisma
Lebih dari itu, parpol yang telah memenangkan kursi di dewan dan Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II) tidak bisa lepas dari kekuatan pendahulunya. Artinya, mereka masih menggunakan kharisma pendahulunya untuk mempertahankan (mendulang) suara.

Ambil contoh, PDI Perjuangan, yang masih menjual kharisma dan kepemimpinan Megawati (Soekarno) dan ajaran Marhaennya. Partai Golkar dengan kejayaan masa silam Orde Baru, yang mampu membuat rakyat hidup dengan harga-harga murah. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang tidak dapat dilepaskan dari kharisma para kiai dan NU. Partai Amanat Nasioanal (PAN) yang tergila-gila dengan H.M. Amien Rais, dan Partai Demokrat dengan SBY.

Kita dapat melihat dengan jelas betapa kepemimpinan baru pun tidak mampu lepas dari pendiri atau “orang besar” yang telah berjasa kepada parpol. Gambar-gambar berukuran besar terpampang di setiap sudut kantor DPP hingga ranting.

Hal yang lebih menggelikan adalah ketika pemilihan kepala daerah (pilkada). Calon-calon kepala daerah merasa belum "PD" dengan programnya. Ia masih memasang gambar, petuah dan sebagainya untuk melancarkan aktivitasnya menuju kemenangan.

Fenomena tersebut di atas tentunya tidak dapat terpisahkan pada kondisi bangsa Indonesia. Keadaan seperti ini mengutip pendapat Kuntowijoyo termasuk dalam masyarakat tradisionalis yang masing mengagungkan mitos (kharisma).

Pengagungan mitos ini tentunya sangat membelenggu. Artinya, masyarakat akan semakin dibuat bodoh dan tidak berdaya dengan pilihannya kelak.

Parpol sebagai salah satu organisasi yang diharapkan mampu mencerdaskan masyarakat, ternyata menjadi organisasi yang menyesatkan dengan kepalsuan. Mereka dengan bangga menyesatkan rakyat dengan cara-cara yang tak lazim. Parpol tidak menjual program-program pencerahan bangsa, melainkan menjual kharisma seseorang yang belum tentu terbukti kebenarannya.

Keadaan yang demikian sudah saatnya disadari oleh masyarakat. Artinya, ketika parpol masih belum mampu menjual program kerjanya, maka kewajiban rakyat untuk menjauhinya dan tidak memilihnya. Memilih parpol yang demikian, sama artinya membeli “keledai dunggu” yang tidak dapat memberikan manfaat lebih.

Masyarakat Terdidik
Rakyat sudah saatnya keluar dan menjadi masyarakat terdidik. Artinya, peran serta kaum cendekiawan sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan persoalan ini.

Beberapa pihak yang berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pertama, mahasiswa dan kaum intelektual (terdidik) sebagai agent of change dapat melakukan proses pendampingan ini ketika mereka kembali ke kampung halaman. Warga desa yang mudah dibodohi oleh parpol korup tentunya menjadi garapan bagi mahasiswa dan kaum intelektual (terdidik). Mahasiswa dan kaum intelektual (terdidik) dapat memberikan pengarahan dan pendidikan bagi pemilih pemula maupun pemilih lama dengan jalan, menjelaskan latar belakang, program kerja dan seterusnya.

Kedua, lembaga sosial keagamaan. Walaupun lembaga ini tidak dapat dilepaskan secara langsung dari parpol, mereka mempunyai kewajiban untuk membina warganya agar tetap kritis terhadap pilihannya. Ormas tentunya tidak menginginkan warganya dibodohi oleh kepentingan sesaat.

Ketiga, kesadaran rakyat sendiri. Artinya, mereka berkewajiban untuk keluar dan mencari informasi sebanyak mungkin, agar mereka tidak terjebak oleh tipu daya parpol.
Keempat, adalah peran serta media massa. Media massa cetak maupun elektronik sudah saatnya menyajikan berita dan fakta secara aktual dan dapat dipertanggung jawabkan. Independensi media massa saat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Jangan sampai media massa dibeli oleh kepentingan parpol yang tidak “PD” dengan apa yang telah mereka programkan.

Semoga pemilu 2014 nanti rakyat mampu memilih parpol yang dapat memperjuangkan nasib dan masa depannya. Tak terkecuali, rakyat mampu memilih parpol yang tidak hanya menjual kharisma pendahulunya melaikan program pencerahan dan pendidikan bagi rakyat.

Penulis adalah Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity

Teologi Welas Asih untuk Semua

Oleh Benni Setiawan


"Gagasan", Solo Pos, Jum’at, 14 Juni 2013

Karen Armstrong, penulis buku kenamaan hadir di Indonesia, Jum’at-Sabtu, (14-15/06). Kehadiran Armstrong ini dalam rangka menyebarkan semangat welas asih (Compassion). Acara yang digagas Penerbit Mizan ini tentu semakin mengukuhkan peran agama dalam ranah kemanusiaan.

Charter for Compassion (Piagam Belas Kasih) bertujuan mengembalikan belas kasih (welas asih) sebagai inti kehidupan religius dan moral. Prinsip belas kasih yang bersemayam di dalam jantung seluruh agama, etika, tradisi spiritual, mengimbau kita untuk selalu memperlakukan semua orang lain sebagaimana kita sendiri ingin diperlakukan.

Belas kasi mendorong kita untuk bekerja tanpa lelah menghapuskan penderitaan sesame manusia, melengserkan diri kita sendiri dari pusat dunia kita dan meletakkan orang lain di sana, serta menghormati kesucian setiap manusia lain, memperlakukan setiap orang, tanpa kecuali, dengan keadilan, kesetaraan, dan kehormatan mutlak.

Dalam kehidupan publik maupun pribadi pun penting untuk secara konsisten dan empatik mencegah apa-apa yang mengakibatkan penderitaan. Bertindak atau berbicara secara kasar karena kebencian, chauvinism atau kepentingan sendiri, untuk memiskinkan, mengeksploitasi atau mencabut hak-hak dasar siapapun, dan menghasut kebencian dengan merendahkan orang lain—musuh kita sekalipun—merupakan penyangkalan kemanusiaan kita bersama.

Namun, seringkali, agama belum mampu memberi jawaban atas persoalan yang timbul. Wajah agama seakan baku, kaku, dan tunggal. Padahal, agama mempunyai banyak wajah dan penafsiran. Islam, misalnya, mengajarkan kepada umatnya untuk sedikit-demi sedikit dalam menjalankan perintah Allah. Agama Islam sangat menekankan arti penting persatuan, persaudaraan dan tidak membeda-bedakan masyarakat. Islam secara tegas menyatakan yang membedakan hanyalah ketakwaan seseorang. Ketakwaaan akan membebaskan umat dari belenggu ketidakadilan.

Ketidakadilan yang muncul mengiringi perjalanan proses keagamaan dapat kita lihat dengan banyaknya peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan agama. Agama dijadikan legitimasi oleh seseorang untuk menghakimi dan menyerang kelompok lain yang tidak sepaham. Mereka seringkali mengerahkan masa dengan bertindak anarkitis bahkan brutal.
Meminjam bahasa Paulo Freire, kesadaran mereka masih berada pada taraf kesadaran magis bahkan naïf. Mereka belum mampu berfikir kritis tentang apa yang telah mereka perbuat. Keadaan ini semakin berkembang dan terus meluas ke daerah-daerah. Maka tidak aneh jika sekarang, banyak umat Islam yang menjadi "polisi".

Artinya, mereka bebas dan berhak untuk bertindak atas nama agama. Hal yang melekat dalam dirinya adalah apa yang telah mereka kerjakan adalah benar. Kebenaran ini akan mendapatkan balasan dari Tuhan berupa pahala yang melimpah dan gelar syahid (kemuliaan).

Contoh di atas dengan jelas menggambarkan bahwa agama telah menjadi ortodoksi-ideologis (meminjam bahasa Mohammed Arkoun, filsof dari Aljazair). Dengan demikian, agama menjadi sangat kaku dalam memandang sebuah persoalan. Lebih dari itu, agama kembali dikuasai oleh sebagian pemilik otoritas menafsir yang diangkat dan dipilih oleh kaumnya sendiri.

Visi Kemanusiaan
Keadaan yang demikian menjadikan agama semakin jauh dari realitas sosial. Artinya, manifestasi agama sebagai rahmatan lil alamin telah hilang. Agama telah menjadi rahmatan lil qoumiy (rahmatan untuk jamaahku). Agama telah kehilangan daya dobraknya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial yang timbul. Agama hanya berkutat pada hal yang melangit (eskatologi) dan kurang menyentuh persoalan bumi. Terjebaknya agama pada persoalan langit yang kaku telah menjadikan agama mapan. Artinya, agama ya agama. "Agama itu ibadah kepada Tuhan dan menjunjung panji-paji Tuhan, menegakkan agama adalah jihad akbar".

Pemahaman seperti ini akan menghilangankan visi agama kemanusiaan. Agama diturunkan bukan untuk Tuhan. Pada dasarnya agama diturunkan untuk manusia itu sendiri. Dengan adanya agama manusia mampu mengetahui baik dan buruk, halal haram dan seterusnya. Ketika agama lebih mengedepankan aspek-aspek hablu mina Allah (hubungan dengan Allah, vertikal) dan mengerdilkan aspek hablul minan nass (hubungan dengan sesama manusia, horizontal), maka tatanan kehidupan manusia akan hancur.

Artinya, agama hanya dijadikan sebagai alat legitimasi untuk menyerang kelompok-kelompok yang tidak sepaham. Maka guna menghindari hal-hal di atas, maka agama perlu mengubah wujudnya dalam bingkai kemanusiaan. Pendek kata, agama mempunyai visi kemanusiaan yang berpihak.

Teks-teks suci bervisi keumatan inilah yang akan mendorong agama menjadi sesuatu yang inhern dalam kehidupan umat manusia. Agama tidak hanya menjadi milik sebagain orang saja atau bahkan menjadi milik Tuhan. Agama akan menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari dan amat dekat dengan umatnya.

Kedekatan agama dengan umatnya akan menjadi sebuah kekuatan baru dalam memaknai kehidupan beragama. Artinya, agama adalah teman atau bahkan sahabat yang selalu dapat membantu dan menyelesaikan setiap persoalan yang timbul di tengah masyarakat.
Dengan demikian agama mempunyai visi kemanusiaan. Artinya, agama tidak melulu bersentuhan dengan Tuhan dalam artian ibadah, melainkan agama adalah teks terbuka yang wajib ditafsirkan guna menyelesaikan persoalan keumatan. Guna mendapatkan pemahaman keagamaan yang demikian tentunya diperlukan adanya sekian teori yang dapat dijadikan sebagai sebuah rujukan.

Pertama, agama adalah milik bersama. Otoritas pemegang teks-teks agama tidak boleh dimiliki oleh satu orang atau kelompok orang. Umat beragama diberikan kebebasan untuk dapat memilih dan memahami setiap ajaran yang diturunkan dalam bingkai kemanusiaan itu tadi. Dengan demikian, sakralitas teks dan otoritas penafsir menjadi hal yang boleh ada dalam pemahaman keagamaan sekarang.

Kedua, agama harus memiliki keberpihakan. Artinya, pemahaman konsepsi keagamaan yang cenderung kaku dan banyak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sudah saatnya ditiadakan. Agama sudah saatnya memaknai kehidupan dan zaman. Konsepsi keagamaan yang selama ini cenderung bersifat eskatologis menuju sikap keagamaan yang membumi. Yaitu sikap agama yang dapat menyelesaikan persoalan keumatan yang semakin kompleks.

Semoga spirit teologi welas asih yang ditularkan oleh Armstrong di Indonesia mampu membuka mata dan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya spirit kemanusiaan dalam keberagamaan. Keberagamaan yang saling menyapa antar umat dan menjadi motor perubahan sosial menuju pemanusiaan dan keadilan yang beradab.

*)Benni Setiawan, Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity