Search

Rabu, 30 Desember 2009

Pemuda dan Kemerdekaan



Harian Jogja, 29 Desember 2009

Pemuda adalah tulang punggung bangsa. Pemuda adalah generasi penerus cita-cita perjuangan dan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Di tangan pemudalah bangsa dan negara dipertaruhkan. Maka tidak salah jika ada adagium, “ketika pemuda rusak moralnya maka robohnya bangsa ini”.
Mengingat keutamaan pemuda di atas, sudah sewajarnya jika pemuda mempunyai tanggung jawab mempertahankan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang baik. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana peran strategi pemuda dalam kemerdekaan?
Kemerdekaan menurut Soekarno dalam Pancasilan dan Perdamaian Dunia (1985), “….di dalam risalah tahun 1933 itu, telah penulis katakan, bahwa kemerdekaan, polite keonafhan kelijkheid, political independene, tak lain dan tak bukan, ialah suatu jembatan, suatu jembatan emas. Saya katakan dalam bab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan, kita punya masyarakat” (Nurul Huda SA: 2003).
Pengertian di atas mengajarkan kepada kita betapa kemerdekaan yang diusahakan dengan sekuat tenaga pada dasarnya adalah jembatan emas. Jembatan emas adalah keinginan untuk hidup adil dan makmur.
Jembatan adalah penghubung jalan. Ia ada sebagai bagian dalam perjalanan hidup. Mengapa harus dengan perumpamaan jembatan? Jembatan selain berfungsi sebagai penghubung ia adalah cita-cita besar. Cita-cita besar inilah yang perlu didorong dan dikembangkan ke arah yang lebih baik.
Dengan demikian diperlukan orang-orang yang sigap dan mampu membangun jembatan yang kokoh. Tanpa itu semua jembatan akan cepat rapuh yang pada akhirnya kita jatuh ke lembah yang dalam (penjajahan). Menjadi jembatan yang kokoh inilah yang menjadi tugas dan peran pemuda.

Kesadaran untuk belajar
Bagaimana menjadi pemuda yang mampu menjadi jembatan yang kokoh? Pertama, kesadaran pemuda untuk mau belajar. Belajar adalah aktivitas sepanjang masa. Belajar tidak mesti dalam bentuk formal di sekolah maupun perguruan tinggi. Belajar dapat dilakukan di luar sekolah, seperti orang lain, lingkungan dan alam. Hal ini sesuai dengan petuah Bapak pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara.
Ki Hajar Dewantara selain mengajarkan principles of reaction “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”, di depan memimpin, di tengah mampu menguatkan dan di belakang mampu mendorong, juga mengajarkan “Jadikanlah semua tempat sekolah dan semua orang guru”. Petuah sederhana dengan penuh makna.
Belajar tidak mesti diformalkan dalam bentuk gedung-gedung sekolah. Kita dapat berlajar dimana saja dan kapan saja. Kita dapat belajar dari alam yang banyak mengajarkan arti kearifan, dan orang lain yang mengajarkan arti pengalaman hidup.

Gemar membaca
Dengan demikian, pemuda Indonesia sudah saatnya bangkit dari keterpurukan. Pemuda harus menjadi pelopor dalam belajar atau pendidikan. Salah satunya dengan gerakan gemar membaca dan menulis.
Aktivitas membaca akan membuat pemuda menjadi cerdas. Membaca adalah jendela dunia. Dengan membaca pemuda akan mampu menangkap dan menganalisis apa yang terjadi. Tanpa membaca seseorang akan menjadi buta realitas. Yang pada akhirnya, ia akan mudah untuk dijajah oleh kepentingan asing.
Selain membaca pemuda Indonesia harus bisa menulis. Menulis adalah aktivitas yang melibatkan banyak indera. Indera mata untuk melihat, tangan untuk menggerakkan, otak untuk berfikir dan seterusnya. Dengan menulis seseorang akan terhindar dari kepikunan. Hal ini karena menulis akan dapat meningkatkan daya ingat dan memori yang ada di dalam otak.
Aktivitas menulis juga dapat digunakan untuk melakukan advokasi terhadap masyarakat. Menulis juga sebagai “protes” terhadap kemapanan dan penindasan yang dilakukan secara sistematis oleh sistem negara (pemerintah). Dengan menulis seseorang akan dapat dikenal dan ide-idenya akan menjadi acuan gerak bagi orang lain.
Menulis juga akan melahirkan ruang kritis bagi masyarakat atau meminjam istilah Habermas sebuah masyarakat yang reflektif (cerdas) yang berhasil melakukan komunikasi yang memuaskan. Komunikasi yang memuaskan kemudian akan mencapai konsensus bebas dominasi. Konsensus yang bebas dominasi bisa tercapai melalui diskursus-diskursus rasional
Habermas menggunakan kata rasional/rasio tidak dalam pengertian yang ada dalam budaya positivis/empiris saat ini di mana istilah ‘rasio’ direduksi menjadi kontrol alam dan teknis masyarakat, hanya sebagai kesadaran subjektif untuk menguji hipotesis-hipotesis ilmiah secara empiris. Bagi Habermas, pengertian ini mengkhianati pengertian ‘rasional’ yang muncul dari semangat pencerahan, di mana rasional berarti kepentingan, kecenderungan, spontanitas, harapan, tanggapan terhadap penderitaan dan penindasan, kehendak untuk emansipasi dan kebahagiaan. Maka, yang disebut ‘irasional’ adalah segala bentuk penindasan dan ketidakdewasaan manusia (masyarakat yang tidak sejajar antar satu dengan yang lain, yang tidak deliberatif dan argumentatif) (F. Budi Hardiman: 2009).
Dengan kata lain, kita bisa mengatasi kepentingan dominasi dengan menciptakan masyarakat yang komunikatif. Diskursus dilakukan bukan untuk menyingkirkan pihak lain, melainkan untuk mencari apa yang baik bagi kehidupan bersama (praksis bersama). Manusia akan mempunyai posisi yang sejajar dan keputusan yang diambil mengenai praksis bersama akan mempunyai legitimasi yang kuat karena itu semua adalah hasil dari konsensus yang rasional (bebas penindasan). (Gadi K Makitan: 2009).
Dengan demikian, pemuda tidak hanya jago dalam aksi parlemen jalanan namun juga mumpuni dalam memainkan isu dan memengaruhi kebijakan publik.
Pada akhirnya, pemuda mempunyai tugas besar menjadi masyarakat komunikatif tanpa dominasi. Tugas ini tidak mudah. Maka dari itu, singsingkan lengan baju. Tetap semangat.

*)Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.

Senin, 28 Desember 2009

Membaca Kebudayaan Menafsir Keindonesiaan



Resensi, Seputar Indonesia, Minggu, 26 December 2009

GADAMER dalam TruthandMethods menyatakan,membaca akhirnya merupakan kerja menafsir.Sang penafsir harus mampu menangkap makna awal atau “asli” dari teks tertulis si pengarang.


Untuk itu penafsir harus mencermati beberapa tempat beradanya makna, yaitu makna yang dihurufkan pengarang dari peristiwa kehidupan atau pengalaman hidupnya yang diwujudi dalam aksara. Kemudian ia harus membandingkan dengan teks-teks di sekitar tema serupa yang biasanya disebut penafsir antarteks. Selanjutnya adalah kesediaan penafsir dengan kesadaran sikapnya untuk rendah hati terbuka dan membuka cakrawala mata bacanya pada cakrawala makna teks, sehingga saling dibuahi menemukan “makna baru” dalam peleburan cakrawala (fusion of horizons).

Tiga hal inilah yang mungkin diancang Mudji Sutrisno dalam buku Ranah-Ranah Kebudayaan.Dia ingin mengutarakan sesuatu yang tersembunyi dari makna teks.Keberhasilannya dalam mengutarakan makna tersembunyi tersebut membuahkan sebuah pemaknaan baru yang dapat membuka cakrawala kita sebagai manusia pembaca (penafsir). Dosen dan guru besar pada STF Driyarkara Jakarta ini resah dengan kondisi bangsa Indonesia.Keresahannya diutarakan dalam 33 esai pendek berbingkai kebudayaan. Menurut peraih gelar MA dan PhD dari Universitas Gregoriana,Roma, 1986 ini proses kebudayaan intinya adalah humanisasi.

Yaitu kerja-kerja peradaban yang semakin mencipta kondisi hidup bersama semakin manusiawi,semakin menyejahterakan satu sama lain, karena orangorangnya juga saling mengembangkan kemanusiaan sesama dan dirinya. Humanisasi dari apa ke mana? Humanisasi dari kondisi sosial manusia saling memangsa sesamanya sebagai serigala (homo homoni lupus) menuju ke kondisi hidup bersama sebagai sahabat (homo homoni socius) (halaman 75–76).

Lebih lanjut ia menyatakan, bila asumsi mengenai ruang nilai kebudayaan adalah sama dengan moralitas (yang sudah disistematisasikan logis nantinya sebagai etika) dan bila moralitas secara khusus dalam refleksi hubungannya manusia dengan yang transenden (ilahi) dan alam semesta disepakati sebagai religiositas; dan salah satu wujud-wujud sosialnya adalah agama, maka tindakan politik sebagai tindakan rasional merencanakan dan membuat hidup bersama lebih sejahtera dengan memanfaatkan semua energi kreatif, kesempatan,kemungkinan,dan daya organisasinya, tidak mungkin menyejahterakan atau menjadi tindakan humanisasi bila tidak mendasarkan dirinya pada moralitas.

Di sinilah letak simpang tajam antara politik kekuasaan sebagai politisasi untuk kepentingan dan politik kesejahteraan–sebagai kulturalisasi demi memperjuangkan nilai sejahteranya hidup bersama dalam “homo homoni socius” (halaman 79-80). Dia mencontohkan korupsi. Baginya korupsi tidak hanya merupakan salah urus, tetapi lebih-lebih sebagai mentalitas kultural dan struktural ke mana-mana.Pokok ini direkomendasikan untuk diperangi secara hukum dengan penghukuman betul dan pengadilan ad hocserta “counter culture”dengan aksi membuat malu dan merasa salah dari pelaku.

Membuatnya diisolasi masyarakat dan mengajak masyarakat tidak memberi suap dan upeti. Bacaan teori besar merupakan konseptualisasi nilai-nilai yang mendukung kelangsungan hidup yang mampu mengartikan peristiwa hidup yang diwujudkaan dalam rangkuman pandangan hidup,pandangan dunia, dan way of life yang ditradisikan terus-menerus dari generasi ke generasi.

Sementara, berhadapan dengan mereka dari kehidupan yang sama telah menghayati secara diam,merayakan dan memuliakan secara estetis serta konsekuen berlaku baik dalam perilaku,maka bacaan kebudayaan bukan lagi teori besar,melainkan sebuah kesehariaan laku dan peri hidup yang dimaknai hingga bacaan budaya menjadi bacaan rakyat sehari-hari yang dimaknai secara berharga. Teori besar membaca kebudayaan dalam sistematisasi rasional dan filsafat budaya besar dalam teoriteori, sedangkan ‘teori-teori kecil ‘ (baca: rakyat jelata) atau kita umumnya membaca kebudayaan sebagai keseharian yang diberi makna secara sederhana dan efektif agar survival hidup berjalan terus.

Dekade ini memunculkan bacaan budaya cultural studies atau kajian-kajian budayasebagai reaksi epistemologis terhadap teori besar kebudayaan. Romo Mudji dalam buku ini mengajak bangsa besar seperti Indonesia menjadikan “kebudayaan” sebagai salah satu solusi dalam mengurai benang kusut persoalan kebangsaan dan kenegaraan. Kebudayaan akan memberi ruang humanis dalam catatan sejarah perjalanan bangsa. Hal ini karena kebudayaan di satu ruang hidupnya memberi acuan nilai mengenai bagaimana manusia harus hidup.

Ruang ini membuat pandangan hidup, dunia, dan cita ke depan mengenai apa yang benar,apa yang baik dan yang indah (halaman 147). Walaupun buku ini merupakan serpihan pemikiran yang berpencar dan dikumpulkan,serta di sanasini masih banyak salah ketik bahkan pengulangan pembahasan,karya ini layak dibaca khalayak Indonesia. Khususnya pejabat (pemimpin) yang sedang mengemban amanat kebangsaan.(*)

Benni Setiawan,
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Kamis, 26 November 2009

Kepastian Usaha




"Telaah", KR Bisnis, Selasa Legi, 24 November 2009

Krisis listrik Indonesia melanda pulau Jawa dan Bali, sebagai konsumen terbesar nasional (80 persen), meresahkan kalangan dunia usaha. Mereka harus merugi akibat tidak adanya kepastian kapan krisis listrik ini akan berakhir. Bahkan karena berlarut-larutnya krisis listrik ini dalam minggu pertama bulan Juli Asosiasi Pengusaha Jepang merugi hingga 48 miliar. Lebih dari itu, pelaku industri petrokimia menunda investasi 1,5 miliar dollar Amerika Serikat atau hampir 14 triliun rupiah pada tahun ini lantaran krisis listrik belum teratasi hingga kini.
Tidak hanya itu pengusaha tekstil Indonesia juga mengalami banyak kerugian.Karena menggunakan bahan bakar minyak untuk genset pengeluaran untuk tenaga listrik mencapai Rp. 7 juta per bulan. Padahal pemasukan dari hasil usaha berkurang sehingga pengusaha banyak yang merugi.
Data tersebut di atas memang cukup mengkhawatirkan. Artinya, perkembangan iklim investasi dan dunia usaha akan mengalami mati suri akibat krisis listrik ini. Tidak berkembangnya iklim dunia usaha ini pada akhirnya akan merugikan buruh. Mereka akan banyak di rumahkan atau bahkan di PHK akibat perusahaan terus merugi.
Ketidakjelasan kapan berakhirnya krisis listrik ini juga akan mengakibatkan pengusaha untuk memindahkan dana investasinya ke luar negeri. Sebagaimana yang akan dilakukan oleh Jakarta Japan Club yang akan menyatakan hengkang ke Vietnam.
Ancaman hengkang oleh pengusaha Jepang ini merupakan pukulan nyata bagi pemerintah yang konon ingin terus mengembangkan dunia usaha, percepatan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan devisa negara, dan percepatan penyerapan tenaga kerja melalui iklim investasi yang sehat.
Bahkan pemerintah selalu menyatakan akan menyiapkan karpet merah untuk pengusaha, agar impiannya tercapai. Namun, apa yang terjadi? Alih-alih dapat mempersiapkan karpet merah dan kepastian dunia usaha, untuk menyelesaikan krisis listrik saja pemerintah kelabakan.
Pasokan listrik adalah “nyawa” bagi dunia usaha. Tanpa adanya listrik yang cukup, pengusaha dan perusahaan akan merugi. Menurut data, kebutuhan pasokan listrik Indonesia untuk tahun 2005 sebesar 107 TWH, namun pemerintah hanya mampu memenuhi 34. 146 MW. Dengan demikian pemerintah (PLN) hanya mampu memenuhi kebutuhan pasakon listrik 52 persen. Pengembangan pembangkit listri 100.000 MW pun hingga kini belum ada kabarnya.
Tidak seimbangnya antara pasokan dan rasio penggunaan listrik mengakibatkan terjadinya pemadaman bergilir. Pemadaman bergilir ini tentunya berdampak negatif terhadap iklim usaha. Seperti, target produksi per hari akan, banyaknya waktu istirahat, kerusakan mesin, dan menurunnya hasil produksi. Padahal, pihak pemesan tidak mau tahu mengenai kondisi yang sedang dialami oleh pengusaha.
Krisis pasokan listrik yang dihasilkan dari total pembangkit 24.856 MW ini sudah saatnya segera diselesaikan oleh pemerintah. Pemerintah mesti bertanggung jawab mengenai mengapa krisis pasokan listrik bergitu panjang dan tidak segera rampung. Pemerintah juga sekiranya perlu memikirkan energi alternatif guna memenuhi kebutuhan industri.
Keinginan pemerintah yang akan memberlakukan pemindahan kerja ke hari Sabtu dan Minggu kiranya perlu didukung. Kebijakan ini sebagai upaya untuk menghemat listrik dan mengurangi beban puncak energi listrik pada hari kerja efektif (Senin-Jum’at).
Namun, perlu kiranya pemerintah juga bertanggung jawab mengenai kesejahteraan buruh dan ketersediaan dana pengusaha untuk membayar upah. Pemindahan hari kerja sudah saatnya dikomunikasikan dengan baik antara pemerintah, pengusaha dan buruh (tri partit). Hal ini dikarenakan, akan berkaitan erat dengan apakah pemindahan kerja ini termasuk dalam kerja lembur atau tidak.
Kemudian mengenai usaha pemerintah menerapkan peraturan baru mengenai penggunaan bahan bakar nabati (BBN) sebesar 2,5 persen dari konsumsi bahan bakar industri, juga perlu dicermati dengan saksama. Artinya, pemerintah harus berani menggaransi bahwa penggunaan BBN tidak akan berpengaruh pada penyediaan kebutuhan pangan rakyat. Harus ada regulasi yang jelas agar tidak ada penyelewengan bahan pangan yang dikonfersi ke BBN.
Selanjutnya, pemerintah juga perlu menindak tegas penyelundup bahan bakar minyak (BBM) yang sediannya untuk pasokan bahan bakar pembakit listrik yang dijual ke Singapura. Tindakan tegas pemerintah akan dapat mengembalikan sedikit semangat investor untuk tetap menanamkan sahamnya di Indonesia.
Kepastian usaha nasional dari industri yang menggunakan pasokan tenaga listrik menjadi kata kunci bagi pemerintah, jika ingin meningkatkan devisa dan mengurangi jumlah pengangguran. Namun, jika krisis energi ini tidak segera diselesaikan oleh pemerintah, maka iklim usaha akan terganggu yang pada akhirnya pengusaha dan tenaga kerja akan terkena dampak negatifnya.

Benni Setiawan, Peneliti Lentera Institute.

Minggu, 22 November 2009

Menilik Sejarah Pemikiran Militer




Resensi, Seputar Indonesia, Minggu, 22 November 2009

Setiap 10 November bangsa Indonesia memeringati Hari Pahlawan.Sebuah hari penghormatan yang didedikasikan kepada para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia,khususnya untuk arek-arek Surabaya.

Rakyat Surabaya menghadapi tentara Inggris sebagai unit kesatuan yang (solid) kokoh dan akan bertempur dengan semboyan “Merdeka atau Mati”, sumpah yang telah diucapkan bersama. Pemikiran militer secara kolektif rakyat Surabaya adalah sederhana, tidak berbelit-belit (halaman 237). Apa yang terjadi di Surabaya menjadi penanda bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia tentu tidak dapat lepas dari peran serta prajurit (tentara/militer).

Mereka dengan gagah berani mengorbankan harta dan nyawa untuk kemuliaan bangsanya. Pascakemerdekaan pun, peran serta militer dalam membangun bangsa Indonesia terus berlanjut. Mereka banyak menduduki posisi penting dalam pemerintahan.Bahkan ketika pemilu 2009 lalu, beberapa purnawirawan Jenderal TNI tergerak hati untuk maju memperebutkan kursi RI 1 dan RI 2.

Namun, mengapa hingga kini bangsa Indonesia tidak kunjung maju dan sejahtera.Malah korupsi semakin menjadi, rakyat kecil semakin menderita, dan pejabat hidup dengan bergelimangan harta. Kegelisahan ini mendorong Soehario K Padmodiwirio, nama asli penulis buku Pemikiran Militer Sepanjang Masa Bangsa Indonesia. Hario Kecik,begitu nama revolusinya ingin mengungkap dan mengurai persoalan tersebut dengan melihat sejarah panjang pemikiran militer di Indonesia.

Karena dalam pandangannya didasarkan pada fakta yang ada menunjukkan bahwa masalah militer tidak pernah dapat dipisahkan dengan masalah militer dan diplomasi suatu negara. Salah satu kecemerlangan purnawirawan Jenderal Angkatan Darat ini terletak pada pemikirannya mengenai mengapa pascaperang gerilya yang dijalankan oleh Pangeran Sambernyowo, tidak lagi terjadi perlawanan terhadap VOC.

Padahal sebetulnya pada waktu itulah seharusnya bangsa kita mengangkat senjata melawan kekuatan Belanda yang berada dalam keadaan lemah itu. Tetapi mengapa tidak demikian? Sebabnya terutama harus dicari dalam masalah konsep pemikiran militer dari Pangeran Sambernyowo dan keterbatasan sejarah yang pada waktu itu yang objektif, seperti masalah tidak adanya komunikasi dengan dunia luar.

Selain itu kita tidak dapat mengharapkan dari seorang yang berjiwa feodal terbatas itu untuk berpikir secara futuristik. Ia hanya berpikir bagaimana mendapatkan gelar yang disandang almarhum ayahnya. Setelah mendapat kepastian dari Pakubuwono III bahwa ia akan mendapatkan gelar itu jika mau kembali ke Surakarta,ia menyerah dan meninggalkan semboyan “Tiji- Tibeh”,yang boleh dikatakan satusatu ikatannya dengan rakyat desa.

Kecuali itu, ia juga masih ingin memberi kehidupan di lingkungan keraton kepada istri dan anaknya. Dengan sendirinya ia tidak dapat berpikir untuk membuat “kader revolusioner generasi baru”. Pikirannya setelah mendapat tanah lenggahan dan mulai hidup dalam lingkungan yang tenang,jati dirinya mengalami evolusi yang dikuasai oleh yang bersifat ‘pelarian yang fiktif mengembara di dunia fantasi keagungan dan keluhuran kefeodalannya’.

Ia tertelan dalam kabut kefeodalan yang tidak cocok lagi dalam zaman selanjutnya. Karena itu,setelah dapat dimasukkan ‘kandang penjinakan’ oleh Belanda VOC, Mataram jatuh ke dalam suasana lethergis yang berlangsung kurang lebih 70 tahun dari tahun 1756 sampai timbulnya perang yang dinamakan Belanda Javaoorlog (Perang Jawa) pada tahun 1825 (halaman 67-68). Mungkin inilah yang menjadi kegelisahan Hario Kecik. Ia khawatir keadaan ini berulang.

Meminjam istilah Omar Kayam sebagaimana dikutip buku ini menyatakan “semua hal ikhwal yang terjadi di alam semesta termasuk di subatomik level materi yang terjadi sekarang adalah kelanjutan atau akibat dari suatu kejadian di waktu lampau”. Banyak pemimpin bangsa kita tidak mampu berbuat lebih untuk rakyat dan kemakmuran bangsa karena terbuai oleh kenikmatan sesaat.

Padahal kesempatan yang ia miliki tidak berulang dua kali. Cara pandang pemimpin bangsa, seperti ini hanya semakin menumbuhsuburkan perilaku korupsi dan kerusakan bangsa Indonesia. Semua dipandang hanya dari segi materi. Sumpah jabatan dan amanat penderitaan rakyat tidak lagi menjadi senjata atau semangat untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa. Buku ini mengurai dengan jelas dan detail mengenai sejarah panjang pemikiran militer di Indonesia.

Secara rinci mantan Komando Resimen Mahasiswa Fakultas Kedokteran/Dai Tai Co Gakuto Tai Ika Dai Gaku Jakarta ini berhasil memotret kecenderungan (gaya pemikiran militer) dengan gaya bahasa sederhana nan lugas. Semua diungkapkan tanpa tendensi, mengalir indah menelusuri relung zaman. Buku ini sangat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mengkaji lebih lanjut sejarah ke-Indonesiaan, terutama dalam kajian militer.

Tidak hanya dalam kajian militer saja, buku ini juga menilik lebih lanjut sejarah pemikiran politik bangsa Indonesia. Buku ini menawarkan sebuah pendekatan yang dapat dibilang baru dalam penelusuran sejarah. Yaitu, sebuah pengungkapan data dinarasikan secara objektif dengan penalaran yang komprehensif.

Selain itu, kelebihan buku ini terletak pada pengalaman penulis dalam bidang kemiliteran sekaligus pelaku sejarah.Karena itu,apa yang dituturkan begitu bermakna dan mempunyai spirit juang.Maka tidak aneh ketika Stanley Adi Prasetyo dalam pengantarnya menyatakan buku ini dengan gamblang merunut kembali pemikiran militer yang pernah ada di Republik beserta para tokohnya yang berpengaruh.(*)

Benni Setiawan,
Mahasiswa Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga,Yogyakarta.

Panduan (tanpa menggurui) menjadi guru efektif



"Jeda", Solo Pos, 22 November 2009,Hal.V

Judul : The First Days of School
Penulis : Harry K Wong & Rosemary T Wong
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Edisi : I, Mei 2009
Tebal : xix + 412 Halaman

Menjadi guru merupakan cita-cita mulia. Anak-anak banyak yang menggantungkan cita-cita mereka menjadi guru. Mereka mengidolakan menjadi seorang guru yang penyabar, tenang, berwibawa, dan bijaksana. Mereka tidak pernah berpikir bahwa tugas guru amatlah berat, yakni mendidik, dan bukan sekadar mengajar. Tugas yang berat ini seringkali tidak seimbang dengan penghasilan yang mereka dapatkan. Seringkali harus utang ke sana-kemari untuk sekadar menyambung hidup. Toh semua itu tidak pernah terpikirkan di benak anak-anak.

Guru juga merupakan sosok sempurna bagi anak-anak. Sosok yang digugu lan ditiru (dipatuhi dan diteladani). Sosok bak dewa inilah yang menjadikan posisi dan peran guru di masyarakat sangat dihormati. Ia seringkali diminta nasihatnya, baik dalam urusan privat maupun publik. Karena jasanya inilah mereka seringkali dipanggil ”Mas Guru atau Mbak Guru” oleh orang yang lebih tua, atau ”Pak Guru” oleh yang lebih muda dan sebaya.

Penghormatan ini tidak hanya dalam bentuk lisan, namun juga perbuatan. Apa yang menjadi kebiasaan guru akan diterima dan diikuti. Maka, tidak aneh jika pada saat Pemilu legislatif dan Pilpres lalu, guru merupakan tim sukses gratis bagi partai politik atau pasangan capres-cawapres tertentu, ini karena mereka melakukan penetrasi halus terhadap calon pemilih dan mewartakan bahwa calon yang diusungnya merupakan figur pemimpin yang pantas memimpin bangsa ini dalam lima tahun mendatang.
Hal tersebut di atas semakin dikuatkan oleh pencitraan bahwa pasangan capres dan cawapres tertentu merupakan seorang guru, pembela guru, dengan mem-PNS-kan para guru honorer, sertifikasi yang menyejahterakan guru, dan berpihak kepada guru dengan gaji ke-13.

Namun, dari sekian banyak kelebihan guru, tugas mendidik bukanlah perkara yang mudah. Mendidik bukan hanya datang ke sekolah dan mengajarkan materi yang telah digariskan pemerintah. Mendidik berarti memasukkan nilai, meminjam istilah Driyarkara, ke dalam peserta didik. Proses inilah yang seringkali belum disadari guru.

Lebih dari itu pendidikan bukan mengajarkan kepada orang hal-hal yang sekarang belum diketahui. Pendidikan adalah mengajarkan kepada orang perilaku yang saat ini belum dipraktikkan (Hal 8).

Proses tiada akhir
Dengan demikian, pendidikan tidak hanya berlangsung di dalam kelas. Pendidikan berlangsung dalam setiap kehidupan. Pendidikan yang berhasil bukan hanya dilihat dari hasil nilai ulangan harian dan Ujian Nasional. Namun, pendidikan yang berhasil merupakan proses tiada akhir dalam mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik.

Buku The First Days of School ini memberikan gambaran yang jelas dan rinci bagaimana menjadi pendidik (guru) yang efektif. Bercerita tentang A-Z cara mengajar, mendidik, dan proses memasukkan nilai. Kelebihan buku ini berangkat dari hasil riset selama bertahun-tahun dan pengakuan langsung guru-guru yang telah berpengalaman mendidik.

Buku ini tidak menggurui, namun benar-benar mendidik. Berangkat dari filosofi belajar yang menyenangkan, menggairahkan, meneguhkan, dan mencerahkan. Oleh karena itu sangat filosofis namun tetap ringan dan mudah dipahami. Bertutur apa adanya mengenai tugas guru, trik mengatasi gangguan dalam belajar-mengajar, dan apa saja yang dapat dilakukan guru dalam mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik.

Buku ini menarik selain karena disertai gambar-gambar yang menghibur dan semakin menguatkan gagasan-gagasan segar, juga diformat sedemikian rupa, sehingga memudahkan pembaca untuk langsung mengetahui maksudnya. Buku yang ditulis seorang guru ini begitu memesona. Tidak hanya dalam tutur bahasanya, namun juga pengemasan ide-idenya.

Membaca buku ini seakan berselancar menuju dunia yang indah. Membayangkan peserta didik yang datang dengan segera dan enggan pulang ke rumah karena merasa tenang dan enjoy di sekolah. Dan, inilah sebenarnya filosofi belajar. Yakni, menjadikan peserta didik betah dengan guru (juga orangtua), dan tak mau berjauhan dari mereka.

Bagi para guru, dengan membaca buku ini akan kian menambah wawasan dan cara pandang dalam belajar mengajar, sehingga layak dibaca calon guru dan atau orang yang bercita-cita menjadi guru. Dengan bekal inilah kita semakin bersemangat meraih cita-cita mulia itu.

Dengan begitu, kehadiran buku ini sangat tepat, karena di tengah tak terarahnya sistem pendidikan nasional—yang kian feodal, haus materi, tercerabut dari budaya Nusantara, dan tidak memerhatikan kualitas guru.

Benni Setiawan, Penulis buku Menifesto Pendidikan Nasional (2006) dan Agenda Pendidikan Nasional (2008).

Kamis, 19 November 2009

Republik Para Maling



Surya, Kamis, 19 November 2009

Bangsa Indonesia adalah bagian dari Bangsa Timur dengan penuh keakraban, cinta kasih dan kedamaian serta berlandaskan rasa iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apakah hal tersebut masih relevan dengan keadaan sekarang? Apakah bangsa ini masih mengakui adanya eksistensi kekuatan lain selain manusia (Tuhan)?
Bangsa timur dengan penuh keberadaban tampaknya sudah hilang dari bumi Indonesia. Yang ada di negeri dengan berjuta persona ini tinggallah keangkaramurkaan. Yang kuat dan berkuasa ingin langgeng dengan apa yang telah ia peroleh. Sedangkan yang miskin tetapnya menjadi miskin tanpa kekuatan yang pada akhirnya mati terbujur kaku.
Betapa tidak, disaat negeri ini dilanda krisis kepemimpinan, rakyat dipaksa antri minyak tanah, kekeringan, kelaparan, dan banyak sekolah roboh, pejabat Indonesia dengan sikap bak kesatria menohok hati rakyat. Presiden dan menteri ingin naik gaji. Konon sudah lima tahun gaji menteri tidak naik.
Di sisi lain, masyarakat harus “bertamasya” hingga ke puncak gunung untuk mendapatkan air bersih. Air bersih di sumur-sumur desa sudah mengering sejak empat bulan lalu. Seluruh anggota keluarganya juga turut serta mencari air untuk kebutuah sehari-hari. Rombongan keluarga anggota dewan bersenang-senang dan berbelanja dengan anggaran dan uang rakyat untuk menambah koleksi.
Lebih lanjut, anggota DPR komisi III melakukan acrobat politik. Mereka memanggal Kapolri guna menguak kasus cicak vs buaya. Namun, ternyata apa yang dilakukan komisi III kontra produktif dengan harapan masyarakat.
Desakan masyarakat untuk mencopot Kapolri dan Jaksa Agung pun semakin menguat. Hal ini karena, kedua pimpinan tersebut tidak mampu menjadikan lembaganya sebagai kekuatan melawan korupsi dan koruptor, malah banyak diantaranya terlibat. Namun, pemimpin bangsa besar ini kehilangan keberanian untuk menyatakan kebenaran dan menegakkan kedaulatan sebagai bangsa dan negara.
Betapa tidak, di tengah semakin banyaknya tenaga kerja Indonesia (TKI) disiksa hingga meninggal dunia, duta olah raga dihajar empat polisi hingga babak belur, perjanjian pertahanan dan keamanan yang merugikan, ia hanya dapat tersenyum tanpa mampu berbuat banyak.
Elit pemerintah Indonesia sepertinya tidak mempedulikan nasib sekitar 2,7 juta tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri pada akhir tahun 2006 dan diperkirakan mencapai 3,4 miliar dolar AS atau setara Rp. 30,6 trilyun devisa yang telah disumbangkan kepada negara. Jumlah ini masih kalah jauh dibandingkan dengan sumbangan 8 juta buruh migran Filipina bagi negaranya yang berkisar 14 miliar dolar AS-21 miliar dolar AS pertahun (Kompas, 9/6/2007).
Belum lagi dengan jumlah TKI yang disiksa dan meninggal dunia untuk membela banga dan negara di luar negeri. Pada Maret 2007 saja, departemen luar negeri (Deplu) mencatat ada 10 kasus penganiayaan dan pemerkosaan terhadap TKI. Baru-baru ini Muntik bin Bani, Vanita dan Murungan, meregang nyawa oleh majikannya.
Bangsa ini sudah tidak mempunyai kedaulatan lagi. Yang ada hanyalah kekuasaan dalam negeri yang garang terhadap rakyatnya sendiri dan loyo menghadapi luar negeri. Rakyat dibiarkan mati kelaparan dan busung lapar sebagaimana terjadi di nusa tenggara timur (NTT) baru-baru ini. Sedangkan pemimpin sebagai panutan mereka pesta pora dengan kenaikan gaji dan tunjangan diluar batas kewajaran.

Melupakan eksistensi Tuhan
Pemimpin bangsa ini juga telah melupakan eksistensi Tuhan. Ia tidak lagi mempercayai Tuhan sebagai kekuatan di luar manusia. Pemerintah sepertinya melupakan anugerah yang telah diberikan kepada Tuhan kepada manusia.
Seperti, hutan yang sengaja dibakar atau ditebang secara liar. Pembalakan hutan yang sering mengakibatkan bencana seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan adalah salah satu bukti bahwa pemerintah sudah melupakan Tuhan.
Pemerintah dengan enaknya mengeluarkan surat untuk merusak hutan dengan alasan pengelolaan hutan. Pemerintah juga dengan tanpa berdosa memperbolehkan seseorang untuk membabat hutan hingga 2 hektar, sebagaimana di Riau.
Tuhan pun menjadi tidak ada di negeri ini. Yang ada penuhanan terhadap kekuasaan, kekayaan dan jabatan. Pemegang kekuasaan merasa dirinyalah yang paling berjasa di negeri ini. Maka, ia dengan bangga mengajukan kenaikan gaji dan tunjangan di tengah penderitaan dan kelaparan masyarakat Indonesia.
Pemerintah juga bangga telah memperoleh devisa negara yang tinggi dan berlebih dari jerih payah dan keringat TKI di luar negeri, tanpa memperhatikan hak-haknya sebagai manusia merdeka dan makhluk Tuhan. Pemerintah juga tidak peduli dengan kehidupan masyarakat Indonesia di tengah himpitan bencana alam. Ia lebih peduli dengan kedudukan dan kekuasaan yang telah diperoleh.
Pendek kata di negeri ini yang ada adalah sifat individualisme yang tinggi. Pejabat sudah terbuai oleh kekuasaan dan kekayaannya. Sedangkan rakyat terus saja menahan derita yang tak kunjung berakhir.
Patutlah negeri ini disebut sebagai republik maling. Artinya, tatanan ketatanegaraan timpang. Pejabat yang serakah dan tidak dapat nrimo dengan apa yang telah mereka peroleh. Rakyat hidup menderita dan hanya dijadikan modal sosial untuk mendapatkan dana asing.
Bak maling, yang merampas kekayaan orang lain tanpa memperdulikan apakah orang tersebut dapat makan atau mempertahankan hidupnya kelak. Yang ada dibenak para pejabat pemerintahan adalah bagaimana saat ini dapat mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya.
Lebih dari itu, bagaimana dapat mempertahankan kekuasaan hingga akhir hayat. Hal ini dikarenakan, kekuasaan adalah sumber kekayaan, prestisi (pengakuan dan penghormatan) masyarakat dan menaikkan derajat martabat keluarga. Selamat datang di republik para maling.

Benni Setiawan, Peneliti Lentera Institute.

Selasa, 17 November 2009

Tafsir Kritis TBC di Tengah Globalisasi



Jurnal Nasional, Selasa 17 Nov 2009

Benni Setiawan
Kader Muda Muhammadiyah, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Sejak berdiri 97 tahun (18 November 1912-18 November 2009) silam, Muhammadiyah telah bersama membangun bangsa Indonesia. Muhammadiyah melalui tokoh-tokohnya seperti Ki Bagus Hadikusumo telah meletakkan dasar negara. Memasuki usianya yang hampir seabad dan usia bangsa Indonesia 64 tahun, persyarikatan dengan amal usaha terbesar di dunia dan Nusantara kini mempunyai persoalan yang cukup pelik. Diantaranya masalah krisis global, global warming, illegal logging dan illegal fishing, pengangguran, kemiskinan, korupsi, dan seterusnya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa Muhammadiyah harus terlibat dan mencari solusi dalam persoalan-persoalan tersebut?
Persoalan tersebut tentunya membutuhkan penyelesaian yang bijak dan tepat sasaran. Jika tidak, Muhammadiyah sengaja membiarkan kesengsaraan ada di tengah masyarakat.
Lebih dari itu, apa yang telah diperjuangkan oleh KH Ahmad Dahlan dalam melakukan gerakan puritan telah sirna. Artinya, jika dahulu Kiai Dahlan berusaha mengentaskan kemiskinan dan membuat masyarakat pandai dengan mendirikan rumah sakit, panti asuhan dan sekolah-sekolah bagi rakyat kecil, tinggal kenangan. Pergeseran perjuangan untuk membela wong cilik telah dilupakan pemimpin sekarang.
Muhammadiyah mempunyai peran dan posisi strategis dalam persoalan kebangsaan tersebut. Hal ini karena, Muhammadiyah merupakan gerakan amar ma'ruf nahi munkar dan belum terjebak dalam kegiatan politik praktis. Dengan demikian, tugas menyelamatkan umat dari kesengsaraan adalah tugas semua kalangan, termasuk di dalamnya Muhammadiyah.
Ajaran KH Ahmad Dahlan, yang selama ini masih dipakai oleh warga Muhammadiyah adalah penafsiran Surat al-Maun. Surat ini mengajarkan kepada manusia agar tidak mendustakan agama. Mendustakan agama dalam ayat ini ditandai dengan tidak memberi makan orang miskin dan menghargai anak yatim. Dalam pengertian sederhana, memberi makan orang miskin adalah juga memberikan pekerjaan kepadanya. Artinya, orang yatim dan miskin berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, sebagaimana juga yang telah dituangkan dalam batang tubuh UUD 1945 Pasal 28.
Di antara 230 juta penduduk Indonesia ada warga Muhammadiyah. Ia hidup menderita di bawah payung Muhammadiyah. Perjuangan KH. Ahmad Dahlan guna mengentaskan kemiskinan dengan jalan pendidikan, kesehatan, dan sosial yang telah lama dirintis apakah harus berhenti pada abad ini?
Hal yang ingin diutarakan dalam tulisan ini adalah bagaimana kader Muhammadiyah menyikapi perubahan zaman dan tantangannya yang semakin kompleks. Muhammadiyah ke depan tidak lagi menghadapi persoalan klasik Takhayul, Bid'ah dan Khurofat (TBC). Akan tetapi, bagaimana TBC dimaknai sebagai hal baru dalam perkembangan dinamika masyarakat.
Sistem yang Membelenggu
Mengapa TBC harus diperangi? Sebagaimana amanat yang telah dirumuskan dalam matan keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah (MKCH) kelompok kedua yang berbunyi "Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyirikan, bid'ah dan khurofat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam".
TBC pada zaman sekarang tentu berbeda dengan zaman KH Ahmad Dahlan. TBC dapat berbentuk sistem yang membelenggu kebebasan semua golongan dalam bergerak dan menyuarakan aspirasinya. Persoalan kebangsaan yang semakin komplek ini dapat dipandang sebagai TBC yang harus diperangi disebabkan kebebasan manusia terpasung dan masyarakat menderita karenanya.
Keberpihakan dan bahkan kewajiban setiap kader Muhammadiyah saat ini adalah memerangi TBC dalam artian luas. Sekali lagi, TBC bukan lagi persoalan teologi yang selalu dipermasalahan karena mengandung dosa dalam pandangan syariat Islam secara umum, melainkan TBC adalah penyakit sosial-kemasyarakat yang menganggu ketenteraman dan keberlangsungan hajat hidup orang banyak.
Lebih dari itu, dalam Kepribadian Muhammadiyah, kader dituntut untuk amar ma'ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh teladan yang baik. Membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun negara untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur yang diridhoi Allah.
Dua pernyataan yang tertuang di dalam Kepribadian Muhammadiyah tersebut mempunyai signifikansi dalam menjawab persoalan Muhammadiyah dan umat ke depan. Artinya, ketika dahulu Muhammadiyah bekerjasama dengan NU untuk memberantas korupsi, alangkah baiknya, jika Muhammadiyah juga kembali bersuara dalam masalah krisis global, illegal logging, illegal fishing, global warming, pengangguran, kemiskinan, dan seterusnya.
Sudah saatnya Muhammadiyah bangun dari tidur panjangnya dan kembali memperteguh gerakan kerakyatan yang telah dipelopori dan diwarikan oleh KH Ahmad Dahlan. Muhammadiyah yang selama ini disibukkan dengan wacana pemikiran yang ndakik-ndakik dan kurang menyentuh realitas sosial sudah saatnya kembali pada pemikiran yang mudah diterima oleh warganya.
Ambil contoh, Muhammadiyah hingga kini belum mempunyai alat produksi cangih seperti, kapal penangkap ikan, TV Nasional, Radio Nasional, yang kesemuanya digunakan sebagai sarana dakwah melawan budaya konsumerisme dan kapitalisme yang menggejala. Seandainya Muhammadiyah mempunyai kapal yang dapat menanggkap ikan di laut yang sekarang ini banyak dicuri oleh pihak yang tidak bertanggungjawab, Muhammadiyah akan bertambah "kaya" dan semakin banyak membuka peluang kerja bagi warganya. Dan tentunya mampu menyelamatkan aset bangsa Indonesia.
Guna menghadapi persoalan yang semakin kompleks ini, Muhammadiyah sudah saatnya berani untuk banting stir dan menenggok kembali ajaran yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w, dan "tafsir" ala KH Ahmad Dahlan. Beberapa pokok ajaran tentang pentingnya pendampingan/pembelaan terhadap kaum mustad'afin sebagaimana yang telah diuraikan di atas sudah selayaknya dikaji kembali oleh generasi Muhammadiyah hari ini. Muhammadiyah seyogianya kembali ke garda depan sebagai pembela wong cilik (kaum mustad'afin). Wallahu a'lam.

Kamis, 29 Oktober 2009

Menggugat Jatah Menteri Perempuan



Perempuan, Suara Merdeka, 21 Oktober 2009

Setelah melewati audisi pada 16-18 Oktober lalu, Presiden SBY hari ini akan mengumumkan para menteri yang akan membantunya di cabinet. Tapi melihat peserta audisi yang diundang ke Cikeas Bogor, ternyata Cuma ada empat calon menteri perempuan yang akan membantu duet SBY-Boediono selama lima tahun ke depan.
Keempat perempuan itu adalah Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati (bakal menempati pos yang sama), Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu (pos sama), Linda Agum Gumelar (ketua umum Kowani, calon Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak), dan Nila Djuwita Anfasa Moeloek (guru besar Fakultas Kedokteran UI, calon Menteri Kesehatan).
Pertanyaannya, mengapa jumlah menteri perempuan Kabinet Indonesia Bersatu II hanya empat orang? Tentu ini bukan sebuah kabar gembira. Sebab, sebagaimana diamanat undang-undang, setiap lapisan organisasi pemerintahan dan swasta wajib menyertakan perempuan minimal 30 persen.
Amanat UU ini setidaknya sudah ditunaikan oleh partai politik dan menyusun kepengurusan dan daftar calon anggota legislatif dalam Pemilu 2009. Meski jumlah anggota DPR belum mencapai 30 persen, tetapi semangat untuk memberikan peluang dan gelanggang lebih luas kepada perempuan sudah disemai.
Ironisnya, semangat ini tidak menular dalam penyusunan komposisi kabinet SBY Jilid II. Tidak aneh jika banyak kalangan menyangsingkan kabinet baru tidak akan banyak membawa perubahan yang baik bagi bangsa Indonesia.
Lebih dari itu, presiden terpilih masih saja belum mampu keluar dari pasungan partai politik dan tim sukses yang “telah berjasa” mengantarkannya menuju RI-I untuk kedua kalinya. Semangat kabinet kompromistis dan balas budi masih begitu kentara.
Kualitas pribadi dan track record (rekam jejak) calon menteri tidak begitu dipedulikan. Demikian pula desakan agar menambah kursi menteri perempuan pun tidak menjadi agenda.
10 Pos Kementerian
Mestinya, di tengah semangat perubahan ini jatah menteri perempuan minimal 30 persen. Jika ada 34 pos kementerian, berarti setidaknya ada minimal 10 menteri perempuan di dalamnya. Sepuluh pos kementerian ini pun akan melengkapi “jatah wajib” menteri perempuan, seperti Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Kesehatan.
Menyerahkan tugas beberapa pos kementerian kepada perempuan merupakan suatu bentuk penghargaan dan apresiasi terhadap perempuan terpelajar dan cerdik pandai, yang dimiliki negeri ini.
Selain itu, semakin banyak pos kementerian untuk perempuan sesuai dengan iklim demokrasi yang sedang dirintis di negeri ini. Bukankah demokrasi mengisyarakatkan persamaan hak dan kewajiban? Demokrasi ala Indonesia ditandai dengan one man/women on vote.
Realitas politik di Indonesia menunjukkan bahwa jumlah perempuan lebih banyak daripada jumlah laki-laki. Wajar bila jatah menteri perempuan lebih dari empat sebagaimana telah ada dalam Kabinet Indonesia Bersatu I. Toh, faktanya kinerja menteri perempuan periode 2004-2009 tidak terlalu buruk. Mereka mampu bekerja secara baik dalam bidang masing-masing.
Bahkan, kapasitas Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan dan Pelaksana Tugas Menko Perekonomian juga sudah teruji, sehingga diakui dunia dan layak dipertahankan SBY. Sri Mulyani termasuk salah seorang tokoh perempuan dunia yang memengaruhi kebijakan publik versi Majalah News Week.
Menguatkan Peran
Selain empat pos kementerian yang sudah menjalani audisi dengan pos kementerian masing-masing, terdapat beberapa pos yang mestinya dapat dipercayakan kepada perempuan. Antara lain, Menteri Negara Pembedayaan Aparatur Negara/Kepada Bappenas, Menko Perekonomian, yang juga pernah dijabat oleh Sri Mulyani, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek), Menteri Perindustrian, dan Menteri Pertanian.
Pos-pos kementerian tersebut patut dan layak dijabat oleh kader-kader terbaik perempuan Indonesia. Perempuan Indonesia tidak lagi hanya menjadi pendamping suami dalam tugas kedinasan.
Mereka kini telah mampu berkarya untuk nusa dan bangsa. Mereka sudah belajar dan menimba pengalaman dari berbagai penjuru dunia.
Memberikan mandat dan amanat lebih banyak kepada perempuan untuk menduduki posisi di eksekutif akan semakin menguatkan peran serta perempuan dalam membangun Indonesia yang lebih baik.
Sebaliknya, menempatkan posisi Menteri Perempuan dalam pos yang jamak dilakukan perempuan hanya akan semakin membonsai peran publik kaum hawa dalam proses demokratisasi (Benni Setiawan, peneliti, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta-32)

Senin, 26 Oktober 2009

Meneropong Masa Depan Demokrasi




Resensi, Seputar Indonesia, Minggu 25, Oktober 2009

SEJAK 20 Oktober lalu, bangsa Indonesia mempunyai pemimpin baru. Mereka adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden dan Boediono sebagai wakil presiden.

Kelengkapan susunan pembantu presiden (menteri) dalam Kabinet Indonesia Bersatu II pun telah diumumkan ke publik dan dilantik.Walaupun diwarnai pro dan kontra,ada baiknya kita menunggu kerja mereka. Selain susunan jajaran eksekutif yang telah rampung, kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun terbentuk.

Mulai dari pimpinan Dewan,pimpinan komisi, Badan Kehormatan (BK), Badan Legislasi, dan Badan Kerja Sama Antarparlemen (BKSAP). Mereka adalah pemimpin bangsa yang akan membawa masa depan republik ini, setidaknya dalam lima tahun ke depan.Mereka pun akan menjadi warna dalam proses demokratisasi di Indonesia.Proses demokratisasi inilah yang akan mengantarkan bangsa ini menuju kemakmuran atau keterpurukan.

Seorang pemimpin mempunyai tanggung jawab (amanat) untuk menjadikan bangsa ini adil, makmur, dan sejahtera. Ketika ketiga hal tersebut tidak mampu dijalankan, maka, keterpurukan menjadi ancaman serius bagi bangsa ini. Hal tersebut setidaknya tercermin dari buku Kepemimpinan Nasional, Demokratisasi, dan Tantangan Globalisasi yang mengetengahkan pandangan ilmuwan politik dalam proses demokratisasi Indonesia dan juga sekaligus menilik masa depan Nusantara.

Buku ini terdiri dari sebelas bab yang terbagi dalam empat bagian.Bagian pertama memuat globalisasi dan masalah kepemimpinan nasional.Dalam bagian ini tiga ilmuwan politik Indonesia (Revrisond Baswir,Riwanto Tirtosudarmo, dan Ninok Leksono,memberikan penekanan pada arti penting seorang pemimpin bagi bangsa Indonesia. Seorang pemimpin mempunyai tanggung jawab mengantarkan bangsa Indonesia pada sebuah kemakmuran.

Kemakmuran hanya dapat dicapai jika pemimpin bangsa memiliki semangat kemandirian. Artinya, mereka tidak bergantung kepada bantuan asing Namun, mampu mengoptimalkan segala potensi bangsa Indonesia untuk kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Bagian kedua mengetengahkan Pemilu 2009, keterwakilan politik dan konsolidasi demokrasi.

Tiga ilmuwan politik (Tommi A Legowo, Agust Riewanto, dan Moch. Nurhasim) berhasil memotret proses demokratisasi Indonesia yang tercermin dari hasil Pemilu 2009. Mereka juga memberi catatan kritis terhadap permasalahan keterwakilan politik baik keterwakilan perempuan di parlemen maupun partai politik di parlemen dan kabinet. Tommi A Legowo misalnya mencatat bahwa Pemilu 2009 belum mampu membuahkan perubahan besar dalam masyarakat.

Ia menilai perubahan dalam tata aturan pemilu yang tertuang dalam UU No 10/2008 hanya memberi jalan bagi pelanggengan kehadiran partai-partai besar dan menengah yang telah eksis sejak Pemilu 2004 di DPR RI. Senada dengan Tommi, Moch Nurhasim menengarai terpilihnya artis Ibu Kota menjadi anggota DPR akan berpengaruh pada mutu dan kinerja parlemen lima tahun mendatang.

Salah satu penyebabnya,mereka kurang memiliki keahlian dan pengalaman politik, apalagi, sebagian besar orang-orang yang sudah memiliki pengalaman politik di DPR justru harus hengkang dari Senayan. Hal ini merupakan dampak dari diberlakukannya sistem suara terbanyak sebagai salah satu mekanisme dalam menentukan calon terpilih.

Referensi pemilih yang terbatas, sebagian besar bahkan kebingungan dalam menentukan pilihan karena minimnya sosialisasi dan pendekatan yang dilakukan oleh calon menyebabkan pilihan-pilihan mereka belum sepenuhnya didasarkan pada syarat-syarat kemampuan politik,hanya relatif pada syarat kepopuleran.

Tentu hal ini akan memengaruhi kualitas demokrasi kita di masa mendatang (halaman 197). Bagian ketiga membahas tentang pilkada langsung dan kepemimpinan lokal. Tiga ilmuwan politik (Syarif Hidayat,Abdul Kholiq Azhari, dan Achmad Herman) menyatakan bahwa era pemilihan kepala daerah langsung setidaknya telah memengaruhi cara pandang masyarakat dalam berdemokrasi.

Pilkada sering kali dijadikan ajang pembuktian diri bagi elite lokal dalam berkompetisi meraih kekuasaan sehingga hasil pilkada sering kali berbuah kerusuhan, disharmoni, dan menghasilkan pemimpin ”cap uang”.Artinya,pilihan masyarakat terhadap calon pemimpinnya bukan didasarkan pada kualitas individu yang mumpuni Namun, hanya seberapa banyak calon bupati/wakil bupati memberikan uang kepada calon pemilih.

Pada bagian keempat diketengahkan pembanding dari dua negara di Asia, yaitu Malaysia dan India. Isbodroini Suyanto menganggap Malaysia sebagai negara yang tanggap dalam menghadapi perubahan global. Malaysia memiliki pemimpin yang visioner sehingga negaranya mampu bangkit dari krisis multidimensional. (*)

Benni Setiawan,
Mahasiswa Program Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga,Yogyakarta

Kecil Itu Indah

Bedah Buku KR, 25 Oktober 2009

Tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Apa yang diciptakan Tuhan mempunyai dimensi lain yang indah untuk dipelajari. Pengalaman hidup pun demikian. Semua hal yang pernah kita alami menjadi sesuatu yang bermakna ketika hal tersebut diceritakan kembali. Sebagaimana dalam buku ini.
Stephie Kleden-Beetz membalut cerita perjalanan hidupnya menjadi sesuatu yang bermakna bagi orang lain. Ke-51 cerita kecil atau ulasan pendek—rata-rata hanya 1-2 halaman, terdiri dari dua sampai empat alenia—menyadarkan kepada kita betapa yang kecil itu sangatlah indah.
Sebagaimana cerita tentang ember bocor. Kita mungkin tidak menyangka bahwa ember bocor yang dibawa penyiram bunga setiap hari ternyata dapat menumbuhkan tumbuhan yang ada di sepanjang jalan yang ia lewati. Barang yang bagi sebagian orang tidak berguna itu ternyata mempunyai kemuliaan.
Demikian pula cerita tentang menghormati yang sudah tua. Mendahulukan orang yang sudah sepuh ketika menaiki angkutan umum begitu menyentuh. Stephie mewartakan dalam buku ini betapa apa yang dipelajari ketika waktu kecil akan sangat memengaruhi cara pandang seseorang ketika sudah dewasa.
Cerita tentang anak kecil yang merasa tidak berguna dalam sebuah kelompok orkestra pun patut dicermati. Anak kecil tersebut merasa alat musim yang dimainkannya tidaklah berguna. Namun, berkat dorongan Sang Ibu anak kecil itu menjadi pemain yang hebat dikemudian hari.
Pendek kata tidak ada yang tidak berguna di dunia ini. Apapun yang kita lakukan akan sangat membawa manfaat bagi makhluk lain jika dilakukan dengan sepenuh hati. Mungkin itu yang ingin dinyatakan oleh kakak Ignas Kleden ini.
Buku Cerita Kecil Saja karya mantan koresponden Deutche Welle, radio nasional Jerman ini, seakan menyadarkan alam bawah sadar kita, bahwa manusia harus berbuat dan mensyukuri apa yang telah dianugerahkan Tuhan.
Buku ini dikemas dengan perwajahan yang unik. Buku ini disertai gambar-gambar yang semakin merangsang kita untuk membacanya dengan jeli dan penuh permenungan.
Halaman demi halaman dari buku ini sayang untuk dilewatkan begitu saja. Hal ini karena, pengemasan bahasa yang santun dan mudah dipahami dibalut dengan pengalaman penulis yang luas, menjadikan setiap kata begitu berharga. Lebih dari itu kutipan percakapan yang ada di beberapa cerita pun dirangkai dengan kalimat bernas penuh makna filosofis.
Penulis buku kelahiran Flores Timur, Nusa Tenggara Timur ini, tampak sangat kaya akan ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup. Hal ini tampak dari isi dan tema yang sangat beragam. Seperti, tema sosial politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan teologi.
Buku ini layak dibaca oleh siapapun di tengah semakin permisifnya tatanan masyarakat Indonesia. Buku ini menawarkan solusi guna mengatasi kepenatan hidup yang mendera seseorang. Walaupun demikian, buku ini ditulis tanpa menggurui.

*)Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Monogami Yes, Poligami No!

Surya, Jumat, 23 Oktober 2009

Benni Setiawan
Mahasiswa Pascasarjana, sedang riset ihwal poligami

Poligami merupakan kejahatan melawan kemanusiaan (crime againt humanity) dan pelanggaran hak azasi manusia (HAM). Poligami juga perbuatan haram li qairi (haram karena eksesnya).

Harian Surya edisi 20 Oktober 2009 lalu menurunkan berita utama “Ibu-ibu Deklarasikan Klub Poligami”. Ini menarik untuk ditilik lebih lanjut. Poligami konon menjadi obat mujarab untuk mencegah selingkuh dan akan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini didasarkan pada asumsi, perempuan yang dipoligami akan menderita.

Penderitaan itu akan memudahkan dirinya mendekat kepada Allah. Bahkan, yang cukup mencengangkan, masyarakat poligami Indonesia (Mapolin), tidak mensyaratkan pembatasan istri sebagaimana dalam Qur’an. Sungguh pemikiran yang perlu dibuktikan lebih lanjut.

Artikel ini akan mencoba mengulas perihal poligami dalam perspektif Islam. Asghar Ali Engineer (2003) merujuk surat an-Nisa 4:3, menjelaskan, al-Qur’an “enggan” menerima institusi poligami. Hal ini didasarkan pada lima prinsip perkawinan.

Pertama, kebebasan dalam memilih jodoh bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak melanggar kententuan syari’ah. Kedua, prinsip mawaddah warahmah (cinta kasih). Ketiga, prinsip saling melengkapi dan melindungi. Keempat, prinsip mu’asyarah bil ma’ruf (pergaulan yang sopan dan santun). Kelima, prinsip monogami.

Debat poligami dalam Islam memang tidak lepas dari penafsiran surat an-Nisa’ 4:3. Ayat ini seringkali dijadikan dasar bahwa Islam membenarkan poligami. Namun, jika kita menilik lebih lanjut, pada dasarnya Islam sangat menentang poligami. Pasalnya, syarat yang diajukan dalam ayat ini sangat berat. Yaitu harus mampu berbuat adil.

Selama ini kata adil dalam masyarakat (pendukung poligami), diartikan secara kuantitatif. Yaitu bagaimana membagi nafkah harta, membagi hari, dan seterusnya. Masih belum ada untuk menyatakan tidak ada pemahaman adil dalam perspektif kualitatif.

Syafiq Hasyim (2001) berpendapat, keadilan yang dikemukakan oleh paera ahli fiqh cenderung bersifat kuantitatif, yang sebenarnya lebih tepat untuk kata al-qists. Keadilan kuantitatif ini tampak dalam aturan-aturan fiqh mengenai poligami, misalnya tentang pembagian rizki secara merata di antara istri-istri yang dikawini, pembagian jatah harian (giliran), dan sebagainya.
Ahli fiqh tidak memerhatikan aspek kualitatif yang justru sangat menentukan. Misalnya, rasa cinta, tidak pilih kasih, memihak, dan sebagainya. Padahal keadilan kualitatif yang seharusnya menjadi prioritas. Dia juga menegaskan, orang yang bisa mencapai keadilan kuantitatif belum tentu bisa mencapai keadilan kualitatif.

Lebih lanjut, keadilan merupakan pilar utama dalam perkawinan, apapun polanya, baik monogami ataupun poligami. Tetapi, prinsip keadilan dalam perkawinan poligami harus lebih tegas diutarakan, karena menyangkut jumlah istri yang lebih dari satu.

Muhammad Abduh menggarisbawahi, maksud keadilan dalam perkawinan bersifat kualitatif atau hakiki. Seperti curahan kasih sayang, cinta, dan perhatian yang sulit diukur dengan angka. Hal ini sesuai dengan makna ‘adalah yang dikandung dalam al-Qur’an yang bersifat lebih kualitatif.

Sementara ulama fiqh lain menafsirkan keadilan cenderung bersifat kuantitatif. Misalnya dalam pembagian rizki atau nafkah, pembagian jatah atau gilir, dan sebagainya (Siti Musdah Mulia dan Anik Farida: 2007).

Dengan demikian, amatlah sulit bagi seorang laki-laki berbuat adil dalam konsepsi kualitatif. Alih-alih adil dalam arti kualitatif, seorang laki-laki seringkali tidak mampu berbuat adil dalam konsepsi kuantitatif.

Lebih dari itu poligami seringkali meninggalkan duka bagi perempuan. Perempuan tidak berdaya dengan keadaan psikologis dan sosiologisnya. Sebagaimana terjadi baru-baru ini di Jakarta.

Retmiyanti, 27, dibunuh suaminya, Marsan alias Macong, 35, di Jalan Flamboyan RT 12 RW 08 Kelurahan Cengkareng Barat, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, Senin lalu.

Sehari sebelumnya, Retmiyanti babak belur dihajar oleh Marsan. Akibat pukulan Marsan, mata kiri Retmiyanti lebam, leher memar, dan kedua betis membiru serta membengkak (Kompas, 01 Juli 2009).

Retmiyanti merupakan istri muda dengan tiga anak. Ia seringkali dipaksa bekerja oleh Marsan. Ia dipaksa melacur oleh Marsan di tempat karaoke dekat lokalisasi Dadap, Kabupaten Tangerang.

Bahkan anak Retmiyanti dari hasil perkawinan pertamanya, dijual oleh Marsan (Kompas, 30 Juni 2009). Inilah secuil realitas poligami di bumi Nusantara.

Pencegahan poligami dapat menyelamatkan harkat dan martabat perempuan. Perempuan merupakan makhluk mandiri yang wajib dihormati hak-haknya. Pembenaran teks keagamaan untuk mensubordinasi kaum perempuan tidak dibenarkan dalam Islam.

Islam tidak membenarkan adanya semua bentuk perkawinan yang di dalamnya ditemukan unsur-unsur kezaliman, kekerasan, ketidakadilan, pelecehan seksual, pemaksaan dan penindasan (Siti Musdah Mulia: 2004).

Maka dari itu, sudah saatnya kaum intelektual dan “penafsir” teks keagamaan berani menyatakan melarang poligami. Sebagaimana pendapat Siti Musdah Mulia, poligami merupakan kejahatan kemanusiaan (crime againt humanity) dan pelanggaran hak azasi manusia (HAM). Lebih lanjut ia menyatakan poligami sebagai perbuatan haram li qairi (haram karena eksesnya).

Pada akhirnya, jika tetap memaksakan poligami, ada baiknya menyimak pandangan Muhammad Shahrur (2004). Shahrur mensyaratkan dua hal utama jika tetap ingin poligami. Pertama, syarat istri kedua, ketiga, dan keempat adalah janda mempunyai anak yatim.

Kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap anak-anak yatim. Surat perintah poligami akan gugur ketika tidak terdapat syarat-syarat di atas. Wallahu a’lam.

Senin, 19 Oktober 2009

Membangun Kerja Intelektual Dosen



Kampus, Suara Merdeka, Sabtu, 17 Oktober 2009

Tiga tugas utama dosen sesuai dengan amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah mengajar, meneliti, dan melakukan pengabdian kepada masyarakat. Ketiganya harus dilakukan secara proporsional. Artinya, harus dikerjakan secara beriringan tanpa memprioritaskan satu tugas dan mengesampingkan tugas yang lain.

SELAMA ini, masih ada —kalau tidak mau disebut banyak— dosen yang hanya ’’hobi’’ mengajar daripada dua tugas pokok lainnya: meneliti dan melakukan pengabdian kepada masyarakat.

Hal ini makin dikuatkan oleh amanat Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) yang menyatakan, setiap dosen yang ingin mendapatkan sertifikat dan tunjangan profesi diwajibkan memenuhi persyaratan ekuivalen waktu mengajar penuh (EWMP), sebanyak 12 satuan kredit semester (SKS).

Banyaknya waktu untuk mengajar ini sudah saatnya dijadikan pemacu untuk terus berkarya. Artinya, waktu mengajar yang banyak bukan menjadi alasan untuk tidak melakukan tugas pokok yang lainnya.

Mengajar memang pekerjaan mulia. Namun, dosen yang baik bukan hanya mengajar dan memenuhi target mengajar. Mengajar juga butuh inovasi, antara lain update data.
Masih banyak dosen yang menggunakan sistem pembelajaran atau buku acuan tempo doeloe.

Bahkan masih ada yang mengajar berbekal satu buku yang sudah lusuh. Ironisnya, itulah satu-satunya buku pegangan yang diajarkan kepada mahasiswanya sejak ia menjadi dosen.

Dosen yang baik adalah seseorang yang mau dan terus belajar, baik dari mahasiswanya, teman sesama dosen, pimpinan perguruan tinggi, dan masyarakat.

Dengan pergaulan yang luas, seorang dosen akan mampu menggairahkan semangat belajar mahasiswa. Hal ini karena dosen mampu bercerita banyak dan selalu baru dalam menyampaikan pandangan ataupun bahasan.
Kerja Intelektual Pendek kata, seorang dosen harus mempunyai cakrawala luas agar apa yang disampaikannya selalu mengundang decak kagum dan menggairahkan semangat belajar mahasiswa. Kemudian, bagaimana agar dosen mampu memesona mahasiswa?

Pertama, dosen harus terus membaca, diskusi, dan menulis (melakukan penelitian). Ketiga hal ini merupakan kamus wajib bagi seorang intelektual.

Seorang intelektual adalah seorang yang selalu gelisah. Ia terus-menerus mempertanyakan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dari kegelisahan ini ia akan mencari jawaban yang tepat dan bijak.

Jawaban tersebut adalah hasil dari permenungan yang mendalam, didasarkan pada hasil bacaan, penelaahan, dan penelitian. Jawaban yang demikian dapat menjadi pedoman bagi masyarakat yang terus berjuang mempertahankan hidup di tengah cepatnya perubahan sosial.

Mentalitas dosen seperti inilah yang diharapkan oleh bangsa. Dosen tidak hanya sebagai konsumen ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi sekaligus menjadi produsennya.

Kerja intelektual sebagai produsen ilmu pengetahuan dan teknologi bukan hanya mengajar di depan kelas dan mampu memesona mahasiswa dalam kelas tersebut, melainkan juga harus menjadi kebanggaan para mahasiswa yang diajarnya.

Salah satu kebanggaan mahasiswa adalah jika dosennya mampu menulis dan menelurkan gagasan besar dalam jurnal-jurnal ilmiah, media massa, dan buku.

Sebagai mahasiswa, saya merasa bangga jika orang-orang yang mengajar saya mempunyai kemampuan akademis yang memadai.

Ia mampu berbicara banyak atas ilmu yang digelutinya, menjadi rujukan orang banyak, pendapatnya dikutip media massa, dan hasil penelitiaannya menjadi proyek percontohan bagi dosen atau perguruan tinggi lain.

Tentu semua itu tidak hanya dapat dilakukan dengan mengajar. Maka dari itu, seorang dosen tidak boleh (juga) terjebak dalam tiga tembok kekuasaan: kampus, kantin, dan rumah.

Jika dosennya saja terjebak dalam tiga dinding tersebut, bagaimana dengan mahasiswanya?
Reward-Punishment Kedua, diperlukan peranserta pemerintah untuk terus mendorong agar dosen berkarya.

Program pemerintah mengirimkan dosen untuk belajar S2/S3 ke luar negeri dan dalam negeri, juga program non-gelar, sudah saatnya disambut dengan suka cita oleh dosen.

Dosen harus mau bersaing guna memeroleh beasiswa tersebut, kendati kuotanya masih timpang antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS).

Pemerintah juga perlu memberi penghargaan (reward) kepada dosen berprestasi. Pemberian penghargaan akan menjadi semangat tersendiri bagi dosen.

Selain reward, pemerintah juga perlu memberi punishment (hukuman) kepada dosen yang tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.

Ancaman dosen di-TU-kan sudah saatnya dijalankan, bukan hanya sebagai hiasan hukuman.

Dosen yang tidak melakukan penelitian selama enam bulan, atau tidak menulis untuk jurnal ilmiah menimal dua buah, patut diberi sanksi.

Sebab enam bulan adalah waktu yang cukup panjang untuk menulis dua artikel ilmiah, minimal 20 halaman spasi ganda.

Dengan demikian, kerja intelektual dosen bukan hanya mengajar memenuhi EWMP. Kerja inteletual dosen adalah mampu menjawab persoalan sosial berdasarkan hasil penelitian dan penelaahan yang mendalam. Selamat berkarya! (32)

—Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Akrobat Politik Anggota Dewan



Kedaulatan Rakyat, Kamis, 15 Oktober 2009

Sungguh menyenangkan terpilih menjadi anggota dewan. Betapa tidak, anggaran pelantikan 962 anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah 2009-2014 sebesar 11 miliar. Jika dibagi kasar untuk semua calon anggota DPR/DPD, tiap calon terpilih menerima Rp 15,89 juta. Kalkulasi lain menunjukkan, dibandingkan dengan dana pelantikan untuk tiap calon anggota DPR, biaya pelantikan seorang anggota DPR/DPD 38.000 kali lebih besar dibandingkan biaya sosialisasi bagi tiap pemilih.
Selain itu, tiap anggota DPR yang akan dilantik mendapat anggaran perjalanan dinas pindah Rp 46,5 juta. Fasilitas penginapan satu kamar hotel untuk satu anggota DPR pun disediakan. Padahal, 356 (63,57 persen) calon anggota DPR berdomisili di wilayah Jabodetabek, sedangkan 204 (36,43 persen) calon terpilih ada di luar Jabodetabek (Kompas, 9-10/9/2009).
Tidak hanya anggota DPRRI saja, anggota DPRD pun demikian. Seperti anggota DPRD DI Yogyakarta.Anggota dewan yang baru dilantik pada Senin (31 Agustus), keesokan harinya (Selasa, 1 September) sudah mendapatkan gaji. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh sekretariat dewan (Setwan), rata-rata tiap anggota dewan mendapatkan gaji sebesar Rp. 15.737.000. Dengan perincian, uang representasi sebesar Rp. 2.250.000, tunjangan jabatan Rp. 3. 262.000, uang paket Rp. 225.000, tunjangan perumahan Rp. 4.000.000, dan tunjangan komunikasi intensif Rp. 6.000.000. Tunjangan tersebut masih dipotong dengan pajak penghasilan (Pph) 10 persen.
Gaji yang diterima oleh pimpinan dewan lebih besar lagi. Untuk ketua DPRD akan menerima Rp. 17.650.000, sedangkan wakil ketua DPRD menerima pendapatan senilai Rp. 16.128.000. Penghasilan tersebut nantinya masih akan bertambah setelah kelengkapan anggota dewan terbentuk. Sebab, setelah ada kelengkapan dewan, masing-masing anggota akan mendapatkan tambahan tunjangan istri dan anak.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah begitu muliakah anggota dewan sehingga mereka harus digaji sebelum bekerja untuk rakyatnya?

Ilmu terhormat
Aristoteles yang sering dijuluki sebagai perintis ilmu politik, dalam Nichomachean Ethics menyebutkan, politik merupakan ilmu yang paling tinggi kedudukannya dibanding ilmu-ilmu lain. Alasan utamanya karena tujuan dan target akhir politik ialah bagaimana menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang sehat, sehingga semua warga negara merasa dilindungi dan dibela hak-haknya untuk menjadi pribadi yang sehat sesuai dengan minat dan bakatnya.
Oleh karena sasaran akhir politik adalah menyejahterakan dan meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat, maka menurut Aristoteles semua cabang ilmu lain bersifat melayani ilmu dan aktivitas politik.
Berdasarkan logika ini, para filsuf Yunani kuno umumnya memandang pilitik sebagai sebuah ilmu dan seni yang terhormat dan para politisi harus mempunyai kualitas moral dan intelektual tinggi. Bila para politik tidak bermoral dan tidak memiliki kapasitas intelektual, mana mungkin mereka dapat mendidik dan mendesain masyarakat agar hidup dan berkembang menjadi masyarakat yang beradab? (Komaruddin Hidayat: 2006).

Transaksi illegal
Berdasar rumusan Aristoteles di atas ilmu politik memiliki peran yang sangat signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini karena, aktor politik adalah manusia terpilih (the chosen people). Mereka adalah pribadi unggul yang mempunyai hati nurani, kecerdasan, dan kedewasaan yang akan membimbing warga negaranya menjadi lebih maju dan mandiri.
Namun, apa yang terjadi sekarang. Politik dan intitusi politik menjadi sesuatu yang “kotor”. Politik tak ubahnya seperti transaksi illegal yang dihalalkan.
Contohnya, ketika seseorang mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Ia harus berjuang meraih simpati rakyat dengan menggeluarkan biaya yang tidak sedikit. Selian itu, guna memopolerkan namanya, seoarang calon anggota legistatif (caleg) memampang gambar dan fotonya bak selebritis dadakan di pinggi-pinggir jalan. Selain merusak pandangan dan tata kota, gambar-gambar caleg tersebut merusak ekosistem tumbuhan.
Tebar pesona dan tebar janji menjadi hal lumrah di tengah semakin ruwetnya mengurai masalah kehidupan. Saling serang antar caleg pun menjadi “bumbu” dalam setiap persta demokrasi lima tahunan. Kasak-kusuk politik uang menjelang hari pemilihan pun dilakukan. Aksi serangan fajar bahkan telah menjadi budaya dalam masyarakat. Siapa berani bayar lebih, maka peluang menduduki kursi empuk adalah balasan yang setimpal.
Ketika mereka terpilih (pasca-pelantikan), mereka segera mengambil gaji dengan dalih sesuai aturan atau protokoler anggota dewan. Padahal mereka belum bekerja sedikit pun. Janji-janji kesejahteraan rakyat pun hanya menjadi angin lalu.

Masyarakat beradab
Jika realitas politik seperti ini, apa yang dapat diharapkan dari aktivitas politik dan aktor politik? Kita tentunya tidak dapat berharap banyak. Misi politik yang mulia sebagaimana dirumuskan Aristoteles di atas hanya menjadi bahan kuliah yang diseminarkan. Bagaimana dapat mewujudkan tatanan masyarakat yang beradab, jika aktor politiknya tidak memiliki kecakapan intelektual dan moral?
Masyarakat beradab mungkin hanya ada di dalam riwayat Polis dalam sejarah Yunani kuno. Hal ini karena, pemimpin saat itu adalah seorang filsuf yang mempunyai kebajikan dan kebijaksanaan. Mereka tidak lagi membutuhkan uang guna menghidupi diri dan keluarganya. Semua aktivitas politik dilakukan sepenuhnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Hal ini tentunya berbeda dengan anggota dewan dan pemimpin kita sekarang. Alih-alih untuk memikirkan hajat hidup orang banyak, mereka disibukkan dengan aktivitas mengembalikan dana yang telah dikuras ketika kampanye. Aktivitas politik di negeri ini hanya diwarnai dengan uang, duit, dan rupiah. Falsafah yang mereka pedomani adalah bukan “makan apa hari ini, namun siapa yang kita makan hari ini”.
Inilah realitas politik di bumi Nusantara. Kita tidak dapat berharap banyak dari mereka. Maka dari itu, teruslah berdoa dan bekerja dengan giat. Karena hanya kita sendiri yang mampu menyelamatkan biduk rumah tangga dan masa depan bangsa ini. Lupakan janji-janji yang pernah terucap oleh anggota dewan. Karena janji-janji itu adalah buaian yang melenakan kita.

Benni Setiawan, Peneliti, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Selasa, 29 September 2009

Krisis Global Perspektif Marx

Resensi, Seputar Indonesia, 27 September 2009

KRISIS global yang melanda dunia sejak akhir 2008 meninggalkan duka mendalam. Setidaknya hingga 24 Desember 2008 sudah ada 200.000 buruh di-PHK.

Di meja Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakerstran) juga masih ada sekitar 25.557 buruh yang menunggu giliran di-PHK. Lebih dari itu, menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), pada 2009 setidaknya akan ada 1,5 juta penganggur baru. Data ini belum ditambah dengan pemulangan paksa 300.000 TKI yang di-PHK di Malaysia.

PHK massal ini tentu merugikan para buruh.Mereka harus menanggung dosa politik-ekonomi akibat ketamakan kaum kapitalis dalam sistem produksi. Kaum buruh selalu dalam posisi lemah dan tidak berdaya. Sedangkan kaum kapitalis yang menguasai ”sendisendi” perekonomian umat mendasarkan kerja dan kinerja mereka dengan gaya imperialisme atas dasar uang.

Inilah yang dikritik secara tajam dan genius oleh Karl Marx. Marx menyatakan dalam tulisannya (petikan karya 10) bahwa imperialisme memang membawa manfaat-manfaat teknologi, rel-rel kereta api, dan metode-metode produksi yang baru kapitalis ke negara-negara nonindustri. Namun, alih-alih memandang semua perkembangan itu sebagai suatu contoh kemajuan.

Dia menggambarkan semua perkembangan positif itu sebagai bagian dari suatu proses penyiksaan dan perendahan martabat yang dilakukan kekuasaan kolonial. Dia bahkan membandingkan semua itu dengan ‘dewanya para penyembah berhala yang tidak minum nektar,kecuali dari tengkorak- tengkorak korbannya’.

Gagasan brilian tersebut menjadi ruh dalam buku ini. Lebih lanjut, Marx dan Frederick Engels termasuk di antara para penulis awal yang mengakui sifat kebaruan dari kapitalisme global, dan yang menulis tentang hal tersebut secara sistematis. Merekalah yang pertama-tama memahami bahwa modus ekonomi seperti itu akan berkembang dan bahwa masyarakat kapitalis akan menyebar luas—padahal di masa mereka, kapitalisme baru muncul di sebagian Inggris dan Eropa Utara.

Dengan mempertimbangkan kenyataan bahwa keduanya hidup dalam masyarakat-masyarakat desa dan monarkis yang penduduknya hidup dari mengolah tanah di bawah kondisi-kondisi yang masih dicekam oleh feodalisme, sungguh merupakan suatu pencapaian yang luar biasa bahwa keduanya bisa memetakan dengan tepat konturkontur dunia kapitalis sebagaimana yang kita alami saat ini.

Harapan buku ini ialah untuk mengingatkan kembali para pembaca mengenai betapa kreatif dan vitalnya cara Marx mendekati persoalan- persoalan ekonomi dunia; kemajuan; imperealisme; determinisme teknologi; komoditi dan konsumsi; kapital, uang, usaha dan perdagangan; kapital, keuangan, dan laba.

Marx menghadirkan contoh-contoh yang konkret dan selalu terlibat dalam sejarah dunia yang tengah berlangsung. Selama hidupnya, Marx turut memberikan dukungannya kepada korban-korban kolonialisme dalam perjuangan mereka melawan kekuasaan Inggris dan kepada kaum buruh Inggris dalam pemberontakan mereka.

Tak pernah muncul keraguan dalam dirinya pihak mana yang harus didukungnya antara kaum tertindas dan kapital global. Mungkin sekali Marx dan Engels akan lebih cenderung bersikap skeptis terhadap teori globalisasi yang akan mengonsumsi segalanya (the theory of all-consuming globalization).

Meski banyak pernyataan bahwa kapital global sekarang ini telah bebas dari segala hambatan, masih merupakan sesuatu yang tak terbantahkan bahwa jika sesuatu itu hendak dijual, pertama-tama sesuatu itu harus diproduksi dan bahwa setiap produk mestilah ada produksinya. Kapital dan buruh dengan demikian semakin lebih terbakukan dalam kerangka teori globalisasi.

Jadi singkatnya,dalam petikan-petikan yang dihimpun dalam buku ini,apa yang digambarkan oleh Marx dan Engels sebenarnya adalah suatu dunia yang tak jauh berbeda dari dunia kita saat ini. Buku Karl Marx Membongkar Akar Krisis Global ini setidaknya memberikan penyadaran kepada kita bahwa akar krisis global bersumber dari sistem kapitalisme yang menjadi ‘tuhan’ di dunia ini.

Melalui karya ini Marx menyatakan bahwa krisis akan menjadi kamus umum masyarakat ketika masih berkiblat pada kapitalisme. Hal ini karena krisis merupakan sesuatu yang inheren dalam sistem kapitalisme itu sendiri,sebagai akibat kontradiksi- kontradiksi internalnya. Krisis akan terus menjadi hantu yang menakutkan negara-negara dunia ketiga ketika keterkaitan dan ketergantungan pada negara dunia pertama masih besar.

Negara dunia ketiga akan menjadi ‘bancakan’ kaum kapitalisme selama sistem ekonomi yang dibangun masih didasarkan pada anasir-anasir kuasa kelas atas menindas kelas bawah. Lebih dari itu, buku yang berisi kumpulan artikel Marx dan Engels, termasuk surat-surat pribadi, tulisan-tulisan hasil reportase mereka, naskah-naskah yang belum dipublikasikan dalam karya-karya mereka yang telah diterbitkan,

manifesto-manifesto dan kutipankutipan dari karya ekonomi mereka di masa awal ini, menjadi suatu pengantar bagi siapa pun yang ingin mengenal lebih dekat sosok pemikir berpengaruh hingga saat ini. Membaca karya ini seperti bertualang menelusuri relung sejarah panjang perjalanan sistem ekonomi dunia.(*)

Benni Setiawan,
mahasiswa Program Pascasarjana
Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Kamis, 10 September 2009

Meneguhkan Visi Pendidikan Humanis



Telaah Pendidikan, Suara Muhammadiyah, 1-15 September 2009

Bom kembali meledak di Hotel JW Marriott dan Rizt Carlton, Jum’at Legi 17 Juli 2009. Sembilan orang tewas dan 52 luka-luka. Peristiwa ini semakin menambah deret panjang peledakan bom di Indonesia. Dimulai Bom Bali I, 12 Oktober 2002, yang menewaskan 202 orang dan melukai 132 orang. Disusul Bom Marriott, 5 Agustus 2003, dengan 11 korban tewas dan 152 luka-luka. Kemudian bom Kedubes Australia, 9 September 2004, yang menelan 9 korban tewas dan 161 luka-luka. Selanjutnya, bom Bali II, 1 Oktober 2005, yang merenggut 25 nyawa dan 102 luka-luka.

Rangkaian peledakan bom di Indonesia selalu dikaitkan dengan keberadaan Jamaah Islamiyah (JI). Pentolan JI Noor Din M Top menjadi buronan nomor wahid di negeri ini hingga sekarang. Bahkan, berkat kepiawaian Noor Din M Top, jaringan terorisme ini semakin besar dan memburu target yang lebih besar. Rekrutmen “calon pengantin” (calon pelaku bom bunuh diri) pun tidak memandang usia. Pelaku bom bunuh diri Hotel Rizt Carlton adalah remaja berumur 17 tahun. Ia baru lulus sekolah menengah atas (SMA) tahun ini dan gagal menembus seleksi nasional mahasiswa perguruan tinggi negeri (SNMPTN).
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mengapa remaja yang baru lulus SMA itu dengan sadar melakukan tindakan yang di luar kewajaran? Bagaimana sistem pendidikan di sekolahnya? Apakah kurikulum pendidikan di sekolahnya mengajarkan remaja yang bernama Dani untuk berjihad dengan aksi bom bunuh diri?

Pendidikan Humanis
Pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1, adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dengan demikian, pendidikan merupakan proses humanis yang dilakukan dengan sadar dan terencana. Pola pendidikan humanis atau humanizing human being (memanusiakan manusia) dalam bahasa Freire, penyadaran dalam bahasa Mangunwijaya, pengangkatan manusia muda ke taraf insani dalam bahasa Driyarkara dan principle of reaction dalam bahasa Ki Hajar Dewantara.
Konsepsi pendidikan humanis ini sudah saatnya digali dan diajarkan kembali di bangku sekolah. Pendidikan yang seperti ini akan mampu membentengi peserta didik dari perilaku menyimpang. Lebih dari itu, peserta didik akan mampu mengetahui dan memahami hakikat diri dan lingkungannya.
Tanpa pemahaman yang benar mengenai pendidikan sebagai sebuah proses hidup dan proses menjadi sulit kiranya bangsa ini akan terbebas dari belenggu kekerasan. Pendidikan Indonesia sudah saatnya kembali diformulasikan guna mencegah tindakan biadab tersebut.
Dalam pendidikan yang bercorak humanis, seseorang dianggap sama. Artinya, semua manusia memiliki potensi yang telah diberikan oleh Tuhan sejak lahir. Potensi inilah yang diolah dan dikembangkan untuk bekal hidup. Tidak dengan jalan pemaksaan (kekerasan), melainkan dengan saling tegur sapa dan saling mengisi.
Pendidikan humanis mendudukan posisi yang sama antara guru dan peserta didik. Hubungan yang dibangun adalah simbiosis mutualisme. Tidak ada yang terganggu dan menganggu. Guru berperan sebagai motivator dan fasilitator. Guru berdiri di depan kelas bukan sebagai seseorang yang maha mengetahui akan ilmu yang diajarkan. Namun, guru hanyalah penyampai sekaligus pengelola gagasan-gagasan segar yang senantiasa muncul di tengah proses pembelajaran. Guru juga bukanlah sosok yang angker dan anti kritik. Guru merupakan sosok yang senantiasa mau mendengar keluh kesah peserta didik dalam segala hal.
Tidak ada hukum-menghukum di dalam proses pendidikan. Jika ada hukuman yang diberikan kepada peserta didik harus bersifat mendidik dan menimbulkan sebuah kesadaran bahwa yang telah dilakukan keliru itu dan tidak akan mengulanginya di kemudian hari.
Lebih lanjut, pembinaan (respon positif) dari komponen pendidikan juga penting. Komponen pendidikan terdiri dari, peserta didik, alumni, guru, dewan sekolah, pengawas dan seterusnya. Mereka semua adalah komponen yang wajib turut serta dalam menjaga agar pendidikan menjadi hal yang menyenangkan dan mencerdaskan. Artinya, keadaan sekolah yang nyaman dan penuh keramahan akan dengan sendirinya menjauhkan rasa bosan dan kepenatan.
Seseorang yang membawa beban berat persoalan akan merasa gembira ketika bertemu dengan komponen pendidikan. Komponen pendidikan lainnya adalah keluarga atau teman dalam menghadapi setiap persoalan. Dengan bekal pendidikan seperti ini tindak kekerasan apalagi bom bunuh diri tidak akan dilakukan oleh alumnus sekolah yang notabene mereka pernah mendapat pendidikan.

Mengubah Orientasi Pendidikan
Selain itu, pembenahan kurikulum dalam proses pendidikan perlu dilakukan. Kurikulum pendidikan sudah saatnya diorientasikan sebagaimana maksud dan tujuan diadakan pendidikan. Kurikulum yang diarahkan hanya untuk memenuhi sektor usaha dan dunia kerja hanya akan semakin mengerdilkan fungsi dan peran pendidikan dalam menciptakan tatanan bangsa yang sejahtera dan mandiri.
Banyaknya aksi kejahatan yang dipelopori oleh peserta didik sudah saatnya mengilhami pemerintah untuk mengubah orientasi pendidikan. Perlu kiranya pendidik (guru) dibekali materi pendidikan anti kekerasan. Misalnya, dalam bentuk kegiatan praktik atau dalam satuan kegiatan belajar mengajar.
Pemahaman yang benar mengenai pemahaman teks suci keagamaan kiranya juga penting. Hal ini karena, selama ini pendidikan agama yang diajarkan di bangku sekolah masih bersifat hafalan. Pendidikan agama belum mampu menyentuh kesadaran dan kemandirian peserta didik dalam memahami konsepsi agama yang rahmatan lil ‘alamin.
Sebagaimana ada dalam buku pelajaran agama kelas XI terbitan PWM Jawa Timur. Dalam pokok bahasan mengenai jihad, di sana diutarakan bahwa jihad adalah berperang. Padahal, makna jihad bukan hanya perang. Jihad dalam arti sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu juga penting. Jihad dalam konteks perang melawan kaum kafir tidak cocok dengan iklim keberagamaan di Indonesia.
Ketika pemaknaan jihad masih saja sebagaimana ada dalam fiqih klasik sekian ratus tahun lalu, maka jangan disalahkan jika ada warga Muhammadiyah yang turut serta dalam aksi terorisme. Walaupun terorisme bukan jihad dalam pemaknaan masyarakat secara umum, namun ketika ada teks yang diajarkan sebagai bagian dari proses pendidikan maka akan membentuk mainstream dalam diri peserta didik.
Pembenahan bahan ajar dan cara pengajaran (pendidikan) di sekolah setidaknya mampu mencegah tindakan yang tidak dibenarkan di hadapan hukum. Lebih dari itu, konsepsi jihad tidak disalahartikan oleh segelintir orang yang justru merusak nama baik agama.
Dengan demikian, pendidikan mempunyai peran yang cukup signifikan dalam mencegah dan mengeliminir tindak kekerasan dalam bentuk apapun. Karena dari pendidikanlah embrio kesadaran dan pemaknaan hidup tumbuh dan berkembang. Jika pendidikan tidak diarahkan dalam bingkai memanusiakan manusia dan diajarkan secara memadai maka akan banyak insan pendidikan yang melakukan hal yang sulit diterima oleh akal sehat.
Selain pembenahan dari sektor pendidikan, pemerintah juga perlu mengubah cara sporadis dalam membasmi terorisme. Cara-cara sporadis dan anti kemanusiaan akan semakin menyuburkan geliat terorisme di Nusantara.
Kebijakan jangka panjang dan holistik serta melibatkan seluruh komponen bangsa tentunya akan lebih efektif dalam menindak kejahatan terorisme. Lebih dari itu, anggaran belanja negara tidak terbuang sia-sia.
Pada akhirnya, visi pendidikan humanis sudah saatnya kembali menjadi agenda besar bangsa Indonesia dalam membangun peradaban yang lebih baik. Tanpa hal ini sulit bagi bangsa Indonesia keluar dari jerat kekerasan dan terorisme. Wallahu a’lam.•
________________________________
Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Sabtu, 05 September 2009

Awas, Dokter Aspal !!!



"Kampus", Suara Merdeka, 05 September 2009

Menghawatirkan! Sebanyak 16 fakultas kedokteran di Indonesia ternyata
belum terakreditasi. Kita layak bertanya, bagaimana kualitas dokter yang dihasilkannya? Benarkah ini sinyalemen maraknya dokter aspal (asli tapi palsu)?

MENURUT Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, Fasli Jalal, baru 53 dari 69 pendidikan tinggi kedokteran yang terakreditasi. Sekitar 63 persen pendidikan kedokteran di perguruan tinggi negeri (PTN) sudah berakreditasi A, sedangkan perguruan tinggi swasta (PTS) umumnya berakreditasi B dan C (Kompas, 14 Agustus 2009).

Belum terakreditasinya sebuah program studi sungguh mengakha­watirkan. Apalagi program studi tersebut adalah kedokteran. Sebab kedokteran berhubungan erat de-ngan nyawa manusia. Ketika se-orang dokter salah mendiagnosis, derita pasien makin bertambah, bahkan dapat berjuang kematian.

Dokter merupakan profesi mulia. Banyak orang bermimpi meraih profesi ini. Tapi jika banyak dokter yang tidak sesuai dengan standar mutu, tentu akan membahayakan banyak orang. Kematian manusia akibat kesalahan dokter (malpraktik) tentunya merisaukan.
Belum Ideal Pemerintah telah mencanangkan Program Indonesia Sehat 2010. Guna mendukung program ini, minimal dibutuhkan 94.376 dokter. Tetapi diperkirakan pada saat yang sama baru terpenuhi 72.800 dokter.

Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Fachmi Idris menyatakan, rasio dokter dan pasien di negara kita memang masih jauh dari ideal, yaitu seorang dokter untuk 2.500 penduduk. Dari kebutuhan dokter umum 80 ribu orang, saat ini baru terpenuhi 50 ribu saja.

Ironisnya, penyebaran dokter masih terkonsentrasi di Jawa. Sekitar 70,5 persen dokter spesialis praktik di Jawa, sedangkan dokter umum yang praktik di Jawa sebesar 64 persen.

Jelaslah negeri ini masih membutuhkan banyak dokter. Namun membuka pendidikan kedokteran tanpa memedulikan kaidah dan syarat yang berlaku bukanlah solusi bijak.

Kebijakan membuka banyak fakultas kedokteran tanpa standar mutu dan kualitas juga makin mengerdilkan peran dan fungsi pendidikan sebagai proses yang mulia. Apalagi biaya masuk fakultas ke­dokteran sangat mahal.

Tahun ini sebuah fakultas kedokteran di Yogyakarta mematok harga Rp 80 juta untuk gelombang pertama. Uang sebanyak itu tidak mung­kin dibayarkan oleh calon mahasiswa dari keluarga miskin.

Ironisnya, sebagaimana pernah saya tulis dalam rubrik ini, fakultas kedokteran dipenuhi oleh mahasiswa asing, terutama dari Malaysia. Kondisi ini tentunya paradoks dengan kebutuhan dokter dalam negeri yang belum memenuhi standar.

Ketika kampus masih saja berorientasi materi (uang) dan mengejar ’’pengakuan’’ dari luar negeri di tengah kekurangan dokter di dalam negeri, hal ini sama saja mengkhianati kedaulatan bangsa Indonesia.

Karena itu, diperlukan keberanian semua pihak untuk segera membatasi jumlah mahasiswa asing, seraya meningkatkan jumlah mahasiswa pribumi. Selain itu, pemerintah harus mulai memikirkan bagaimana agar pembiayaan pada fakultas kedokteran terjangkau dapat semua kalangan. Tanpa tindakan itu, sulit kiranya mencapai target Indonesia Sehat 2010.
Akreditasi Penting Selain itu, pembenahan dari da­lam pun penting dilakukan. Akre­ditasi menjadi syarat mutlak. Ia merupakan pintu masuk fakultas kedokteran untuk menyelenggarakan program sesuai dengan kebijakan pemerintah.

Akreditasi juga menjamin alum­ni­nya dapat praktik sesuai dengan standar ilmiah dan kemanusiaan. Lebih dari itu, fakultas kedokteran tanpa akreditasi hanya akan mencetak dokter aspal (asli tapi palsu). Dokter yang bekerja bukan untuk kemanusiaan. Dan dokter seperti ini hanya akan makin menyengsarakan rakyat miskin.

Rakyat miskin makin terbebani. Pasalnnya, APBN yang juga digunakan untuk menyelenggarakan fakultas kedokteran ternyata tidak dipergunakan dengan baik, bahkan mengancam keselamatan orang miskin.

Meningkatkan akreditasi dari C ke A juga penting. Artinya standar akreditasi A makin menjamin ke­cakapan seorang dokter muda dalam melayani masyarakat. Ma­syakarat pun akan tenang jika diperiksa oleh dokter yang berkualitas, meski mungkin pasien tidak akan pernah me­nanya­kan asal-usul pendidikan dokter yang bersang­kutan.

Fakultas kedokteran sebagai fakultas the have dan terhormat sudah saatnya memberi contoh baik kepada fakultas lain. Jika masih banyak fakultas kedokteran yang belum terakreditasi di tengah ketatnya persaingan antar­program studi, maka ia akan makin ditinggalkan.

Ditinggalkannya fakultas kedokteran oleh masyarakat karena makin mahal dan tidak bermutu tentu bakal akan mengancam eksistensi masyarakat itu sendiri. Sebab dokter merupakan salah satu ujung tombak terciptanya kesehatan dalam masyarakat.

Lebih dari itu, makin banyak dokter yang tidak bermutu di tengah zaman globalisasi yang ditandai dengan perdagangan bebas, bisa makin mengecilkan persaingan antara dokter dalam ne­geri dan luar negeri.

Pada akhirnya, mencegah malpraktik dokter karena belum terakreditasinya sebuah program studi penting dilakukan guna melindungi hajat hidup orang banyak.

Jangan sampai masyarakat In­donesia dijadikan kelinci percobaan oleh ’’dokter jadi-jadian’’ ini. (Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta-32)

Minggu, 23 Agustus 2009

Mewujudkan Islam Rahmatan lil Alamin




Resensi, Surabaya Post,23 Agustus 2009

Jum’at, 17 Juli 2009 lalu bom kembali menguncang bumi Nusantara. tepatnya pukul 07.55 WIB bom meledak di Hotel JW Marriott dan Hotel Rizt-Carlton. Sembilan dinyatakan tewas dan puluhan luka-luka. Pascapeledakan tersebut kelompok Noor Din M Top kembali buruan polisi. Diduga kelompok jaringan teroris internasional ini bertanggung jawab atas peladakan tersebut.
Jaringan Noor Din M Top menyatakan bahwa bom bunuh diri adalah bentuk jihad fi sabilillah. Siapa yang mampu melakukannya akan mendapatkan surga dan bidadari di Surga. Namun, pemahaman ini mendapat kecaman keras dari ulama. Bahkan, majelis ulama Indonesia (MUI) sebagai representasi ulama di Indonesia, mengharamkan bom bunuh diri. Menurut MUI jihad tidak dilakukan dengan bom dan membunuh orang-orang yang tidak berdosa. Lebih lanjut, MUI menyatakan apa yang dilakukan oleh kelompok Noor Din M Top adalah terorisme bukan jihad.
Namun demikian, inilah potret umat Islam Indonesia. Ada yang radikal, fundamental, liberal, bahkan sekuler. Sebuah keniscayaan di negeri seribu satu pulau ini.
Banyaknya paham keislaman ini tentunya perlu diolah agar menjadi rahmat. Artinya, Islam dapat mewujud dalam dimensi ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Islam mempunyai tanggung jawab lebih dalam mewartakan kedamaian dan ketenteraman di muka bumi. Hal ini karena, Islam merupakan agama rahmatan lil alamin. Ketika Islam tidak mampu mewujudkan dirinya sebagai rahmatan lil alamin, berarti ia kehilangan sebagian besar ruh yang ada di dalam dirinya.
Islam harus menjadi garda depan dalam pencerahan dan peradaban bangsa dan negara Indonesia. Islam bukanlah sekte yang terkotak-kotak atau dikotak-kotak.
Inilah salah satu buah pemikiran yang tertuang dalam buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah, karya Begawan Muslim Indonesia Ahmad Syafi’i Ma’arif.
Islam dalam pandangan mantan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah harus tampil dengan wajah yang anggun, inklusif, dan mampu turut serta dalam mengisi kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan wajah ini diharapkan persoalan-persoalan sosial seperti kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial dapat diselesaikan dengan baik dan bijak.
Namun mengapa hingga kini Islam belum mampu berwujud seperti hal tersebut? Menurut Pendekar Chicago—meminjam istilah Gus Dur—ini, klaim besar Islam dalam sejarah yang belum terwujud mendekati maksimal dalam peradaban manusia sekarang. Masyarakat Islam masih saja disibukkan dengan urusan internnya (organisasi) sendiri-sendiri. Mereka masih garang bahkan saling serang antarsatu dengan yang lainnya.
Umat Islam masih berjibaku dengan urasan akherat dan melupakan urusan dunia. Padahal menurut Jalaluddin Rumi sebagaimana dikutip dalam buku ini, siapapun yang mengaku dapat berjalanan di langit, mengapa harus sulit baginya melangkah di bumi. Ini berarti, umat Islam tidak boleh hanya berkutat pada urusan surga dan neraka. Sudah saatnya umat Islam juga berdebat bagaimana memakmurkan bangsa dan negaranya.
Buku ini merupakan refleksi mendalam Buya Syafi’i dalam melihat realitas keislaman di Indonesia. Buku ini bukan buku tuntutan agama, melainkan sebuah buku yang akan menuntun umat Islam menemukan keislamannya di bumi Nusantara dalam bingkai kemanusiaan yang holistik.
Guru Besar Sejarah pada Universitas Negeri Yogyakarta ini sepertinya ingin menggugat konsepsi keislaman yang selama ini dianut oleh umat Islam Indonesia. Ia juga ingin memperlihatkan kepada dunia bahwasannya Islam merupakan agama rahmatan lil alamin tanpa harus mereduksi konsepsi yang ada di dalam al-Qur’an maupun Sunnah.
Sebagai seorang tokoh yang mengerti betul akan sejarah, Buya Syafi’i bercerita panjang lebar mengenai sejarah bangsa Indonesia yang tidak pernah lepas dari bingkai keislaman yang humanis. Dengan ketajaman analisis dan pengalaman bertemu dengan banyak orang dan kalangan, Islam ditangan pendiri Ma’arif Institute ini menjadi kekuatan nyata dalam membangun sebuah peradaban. Maka tidak heran jika, Azumardi Azra dalam pengantarnya menyatakan bahwa buku ini merupakan masterpiecenya Prof. Ahmad Syafi’i Ma’arif.
Pada akhirnya, dengan membaca dan memahami buku ini semoga aksi kekerasan atas nama Islam yang senantiasa mengancam kedaulatan bangsa ini sirna dari bumi pertiwi. Selamat membaca.

*)Benni Setiawan, Pembaca buku, peneliti Lembaga Ma’rifat Indonesia.