Search

Kamis, 25 April 2013

Apa kabar Reformasi Politik?

Oleh Benni Setiawan



Opini, Sinar Harapan, Rabu, 24 April 2013

Dengan sistem demokrasi negara yang lebih banyak dikuasi oleh borjuasi domestik melahirkan otoriterisme yang menyengsarakan dan menindas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, politik merupakan pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan seperti sistem pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan. Segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat), mengenai pemerintahan negara terhadap negara lain. Kebijakan cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah.

Dengan demikian, politik dapat diartikan sebagai cara mengatur kehidupan kenegaraan.
Kehidupan yang diharapkan adalah kehidupan kenegaraan yang penuh dengan kedamaian, ketentraman dan keteraturan. Negara tidak boleh semena-mena memaksakan kehendaknya kepada masyarakat, sehingga masyarakat menjadi tentram dan nyaman hidup dalam kekuasaan negara dan juga sebaliknya. Akan tetapi, yang terjadi, sistem politik di Indonesia belum dapat menjadikan rakyat nyaman dan tentram serta dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara.

Betapa tidak, hari kita menyaksikan secara gamblang betapa manusia Indonesia semakin buas. Manusia Indonesia sudah kehilangan akal sehatnya. Mereka dengan sengaja merampok uang negara, membakar fasilitas publik ketika calon yang diusung kalah, saling serang dan membunuh karakter lawan politik, hingga pembunuhan atas nama korp.

Kepemimpinan
Ironisnya, seakan negara (baca: sistem politik) tidak mampu mencegah perbuatan tercela tersebut. Negara hanya termangu dan tidak mampu melakukan apapun kecuali pidato di atas mimbar kenegaraan.

Padahal kita ketahui bersama bahwa reformasi politik yang kita inginkan adalah memberikan kehidupan demokrasi bagi seluruh rakyat Indonesia yang ditandai dengan pemimpin yang bersih, jujur, berintegritas, tegas, dan mampu secara cepat dan tepat mengambil keputusan strategis.

Tanpa hal tersebut, cita-cita reformasi, bidang politik seperti, kebebasan pers, berpendapat dan berbicara, mengekspresikan pendapat kebebasan dari rasa takut tidak akan pernah terwujud.

Kekhawatiran tidak terwujudnya cita mulia reformasi pun semakin diperparah oleh pemerintahan tidak sigap dan bijaksana dalam setiap pengambilan keputusan. Keputusan pemerintah cenderung serampangan dan menuruti nafsunya. Seperti rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Sebelum rencana kenaikan pun masyarakat sudah dipusingkan dengan kelangkaan solar.

Apa yang terjadi hari ini mengisyaratkan bahwa keputusan yang diambil pemerintah belum mencerminkan aspirasi rakyat. Pemerintah masih saja menuruti aspirasi pribadi dan golongan. Bagaimana menjadi pemimpin bangsa, jika mereka belum jujur terhadap dirinya sendiri?

Maka dari itu, kontrol rakyat untuk mengawasi jalannya suatu pemerintahan mutlak diperlukan. Rakyat menentukan peran yang signifikan dalam suatu negara apalagi dalam sistem pemilihan presiden langsung ini. Rakyat adalah icon terpenting dalam pengambilan kebijakan dan keputusan. Selama rakyat masih mudah dibohongi, nasibnya tidak akan pernah berubah menjadi korban penghisapan dan penindasan oleh rezim demi rezim penguasa. Rakyat harus banyak belajar berdemokrasi, karena dengannya rakyat akan menjadi tambah dewasa dengan perbedaan pendapat.

Transformasi
Menurut Robert A. Dhal sebagaimana dikutip oleh Aribowo (1996), menyatakan bahwa gagasan, nilai dan ide tentang hak masyarakat dalam proses pembuatan keputusan negera dalam negera kota Yunani kuno telah ditransformasikan ke dalam tatanan sosial-politik dalam nation-state yang modern. Transformasi tersebut telah menyebabkan timbulnya seperangkat lembaga politik baru. Artinya, dalam proses politik transformasi ide ke dalam suatu bentuk tatanan politik mengikuti apa yang dikatakan Mark N Hagopian memerlukan proses institusionalisasi perilaku politik. Dalam konteks hubungan antara pemilu dan demokrasi biasanya para teoritis pluralisasi-klasik tentang demokrasi menganggap partai politik memegang peranan penting.

Hal itu berarti secara teoritis-klasik parpol merupakan instrumen penting bagi berlansungnya sistem politik demokrasi. Sebab hak-hak politik politik masyarakat untuk ikut mempengarhui policy (kebijakan) negara, khususnya dalam penyusunan dan perubahan pejabat negara, secara historis dan politis dimanifestasikan dalam pemilu. Dan instrumen parpol itu sendiri, untuk mentrasformasikan hak politik rakyat ke dalam jaringan mekanisme politik negara dalah parpol (partai politik).

Persoalan yang muncul kemudian adalah parpol seringkali mengingkari janji-janji politiknya. Mereka seringkali lepas tangan dalam tanggung jawab turut serta dalam mencerdaskan anak bangsa. Artinya, mereka dengan sadar melepaskan sekian kepentingan umum (masyarakat) guna mendapatkan sekian kepentingan untuk pribadi dan golongan.
Lihat saja, betapa hiruk pikuk urusan ”rumah tangga” parpol hari ini telah menyita dan menggerus agenda rakyat. Pasalnya, pemimpin bangsa lebih disibukkan dengan urusan parpol daripada mengurusi rakyat.

Lebih lanjut, parpol pun hari ini tidak menjadi tempat persemaian kader-kader calon pemimpin bangsa. Namun, hanya menjadi ”tempat mangkal” seseorang. Mereka pun menganggap parpol tidak lebih seperti pakaian. Jika sudah lusuh dan tidak memberikan kenyamanan, mereka tinggalkan dan berganti dengan parpol lain.

Parpol yang termanifestasi dalam sebuah lembaga negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seringkali meninggalkan sekian kepentingan masyarakat. Pejabat parpol yang telah mendaptakan kursi empuk di kabinet, anggota dewan atau bahkan bupati dan wakil bupati, seringkali berdiri di atas penderitaan orang lain.

Benarlah kata Vedi R. Hadiz (Indonesianis, Profesor Asia Research Center Murdoch University, Western Australia), dengan sistem demokrasi negara yang lebih banyak dikuasi oleh borjuasi domestik melahirkan otoriterisme yang menyengsarakan dan menindas. Kekuasaan negara yang lahir dari sistem partai politik lebih banyak menguntungkan kaum borjuasi domestik dan mengekang sekian kepetingan kaum proletar dalam sistem kenegaraan.
Pada akhirnya, reformasi politik yang diancang sejak 15 tahun lalu ternyata menyisakan persoalan pelik. Reformasi politik belum menjadi ruh kebangsaan malah melahirkan kekuasaan korup yang menyengsarakan rakyat.

*)Benni Setiawan, Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity.

Sabtu, 13 April 2013

Darurat Preman(isme)



Oleh Benni Setiawan

"Opini", Sinar Harapan, Sabtu, 13 April 2013

Perilaku preman(isme) muncul akibat adanya rasa kesepian dalam seseorang.

Belum lekang dari ingatan, penyerbuan LP Cebongan Sleman Yogyakarta dan pengeroyokan polisi di Medan, Sumatera Utara, kerusuhan dan pembakaran terjadi di Kota Palopo Sulawesi Selatan, kini polisi menangkap beberapa preman di Jakarta.

Bersamaan dengan hal tersebut, beberapa demonstrasi terjadi di Yogyakarta. Mereka menyerukan agar tindak premanisme dapat diberantas. Pasalnya, aksi preman(isme) tersebut seakan kembali mengoyak ketenteraman dan kedamaian.

Masifnya aksi ini pun mengukuhkan banalitas kejahatan. Kejahatan tidak hanya memenuhi ruang masyarakat sipil. Riuhnya ruang preman(isme) seakan menimbulkan tanya, mengapa aksi kekerasan yang berujung pada penghilangan nyawa manusia dan perusakan fasilitas umum terjadi di bumi Nusantara?

Kesepian

Perilaku preman(isme) muncul akibat adanya rasa kesepian dalam seseorang. Kesepian (loneliness) tidak identik dengan kesunyian (solitude). Dalam kesunyian, manusia sesungguhnya menjadi dua, Aku dan Diriku. Hannah Arendt menyebut keadaan ini sebagai “dua dalam satu” (two in one).

Karena itu, dalam kesunyian, manusia (Aku) masih mempunyai teman untuk berdialog, yaitu Diriku. Dialog pada “dua dalam satu” tidak kehilangan hubungan dengan dunia sesama, karena Diriku merupakan perwakilan dari dunia. Kesunyian dapat menjadi kesepian, jika Aku ditinggalkan oleh Diriku.

Dalam kesepian, manusia adalah satu, “Aku ditinggalkan oleh orang-orang lain”. Hal paling tak tertahankan dalam kesepian adalah hilangnya jati diri (dalam kesunyian jati diri masih dapat diwujudkan), serta makin lemahnya identitas dalam kebersamaan.

Hal ini muncul karena tiadanya suasana memercayai dan dipercayai oleh sesama. Dalam kesepian, Aku kehilangan teman untuk berdialog, yaitu Diriku; sehingga manusia dalam kondisi ini akan kehilangan rasa percaya terhadap pikiran-pikirannya sendiri. Akibat paling menakutkan dari kesepian adalah, baik diri sendiri, dunia, maupun kemampuan untuk berpikir dan mengalami, hilang secara bersamaan.

Sebuah kondisi yang jauh dari realitas kemanusiaan. Manusia sebagai makhluk berpikir. Dengan berpikir manusia dapat disebut manusia. Begitu Descartes, filsuf kesohor mendaku dalam filsafat manusia.

Sebagai makhluk berpikir, manusia memiliki kebutuhan untuk berpikir (kebutuhan nalar, meminjam istilah Immanuel Kant). Kebutuhan untuk berpikir hanya mampu dipenuhi lewat berpikir, bukan lewat pengetahuan.

Dengan demikian, berpikir berkaitan dengan menarik diri dari dunia ke dalam kesunyian sehingga tercipta dialog internal antara Aku dan Diriku. Melalui berpikir, Aku menciptakan ruang bagi Diriku.

Lebih lanjut, pada saat manusia kesepian, satu-satunya hal yang masih dipercaya adalah kemampuan bernalar secara logis. Padahal, pernyataan yang logis belum tentu sesuai dengan realitas. Satu-satunya kebenaran yang masih dapat dipercaya manusia dalam kesepian adalah kaidah-kaidah logika, yang dianggap tidak dapat sesat, meski dalam kesepian mutlak.

Manusia dalam kondisi ini mencampuradukkan kebenaran pada tingkat koherensi dengan kebenaran korespondensi. Kesepian menyebabkan hilangnya akal sehat maka kebenaran yang sesuai dengan kaidah logika menjadi sandaran hidupnya, menyebabkan manusia tercabut dari realitas.

Kebenaran seperti itu sebenarnya bersifat hampa karena tidak dapat mengungkapkan apa-apa. Proses pemikiran yang ditandai dengan kepercayaan penuh terhadap kaidah logika, menyebabkan manusia merasa tidak memiliki tempat untuk berlari.

Efek yang ditimbulkan dari kesepian, dengan mengacu pada perkataan Luther, adalah menganggap segala sesuatu bersifat buruk. Jadi, dapat kita simpulkan, orang yang mengalami kesepian sulit melihat sisi positif dari apa pun (Rieke Diah Pitaloka, 2004).

Keterasingan

Cara pandang negatif terhadap sesuatu mengakibatkan hilangnya akal waras manusia. Akal waras tertimbun oleh nafsu untuk mengenyahkan orang lain jika mengganggu aktivitas atau mengusik kelompok tertentu. Manusia seperti itu menegasikan diri (mengakukan diri) sebagai yang terkuat dan terhebat. Padahal, apa yang mereka lakukan merupakan pengasingan terhadap diri sendiri.

Keterasingan menyebabkan manusia lupa akan entitas diri dan lingkungan. Peng-aku-an yang menghilangkan ke-kita-an ini menyembul ke ruang publik dan menimbulkan kerusakan.

Kerusakan yang menghancurkan tatanan sosial masyarakat. Kerusakan yang berujung pada penghilangan nyawa orang lain pun merupakan fakta. Padahal, menghilangkan nyawa manusia merdeka merupakan perbuatan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Dalam konsepsi HAM, misalnya, Nurcholish Madjid mendedah kisah dramatis tentang perseteruan Habil dan Qabil. Kisah ini oleh Cak Nur dalam berbagai kesempatan sering diintroduksi ketika menjelaskan wacana, perspektif, dan bentuk pelanggaran berat HAM.

Menurutnya, itulah sunnah sayyiah (model buruk) yang dilakukan Qabil, sekaligus menjadi model pelanggaran berat HAM pertama di muka Bumi. Cak Nur meyakini bahwa pembunuhan atau penghilangan nyawa merupakan pelanggaran hak hidup yang dimiliki secara mutlak oleh setiap manusia, satu hak primordial yang tidak dikaitkan dalam kewajiban apa pun dari Tuhan.

Karena itu, prinsip pertama HAM utama adalah hak hidup. Inilah hak yang melekat pada diri setiap manusia yang mesti dihormati dan dilindungi oleh siapa pun. Selain itu, membunuh satu manusia berarti membunuh seluruh umat manusia.

Pada akhirnya, maraknya tindak preman(isme) yang berujung pada kekerasan dan penghilangan nyawa merupakan potret betapa bangsa Indonesia dalam keadaan darurat. Darurat premanisme.

*Penulis adalah dosen di Universitas Negeri Yogyakarta dan Universitas Islam Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity.

Jumat, 05 April 2013

Intoleransi Mengusik Keadaban Publik

Oleh Benni Setiawan



"Gagasan", Koran Jakarta, Jum'at, 05 April 2013

Ketika agama tidak mampu menjadi perekat dan pemersatu masyarakat, maka keadaban publik tidak akan pernah terwujud. Agama sebagai ajaran luhur pun akan menjadi tameng bagi tindak tidak beradab, sebuah kondisi yang tentu tidak kita inginkan.

Menyedihkan. Kata itu mungkin tepat menggambarkan betapa garang Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi terhadap Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Pembongkaran gedung setinggi sekitar lima meter itu dilakukan oleh Satpol PP Kabupaten Bekasi dan melibatkan unsur keamanan dari Polresta Bekasi serta Kodim setempat. Eksekusi bangunan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Bupati Bekasi Nomor:300/1171/Tib.

Sebelumnya, aksi intoleransi juga terjadi di Bogor. Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin, menjadi korban keberingasan pemerintah daerah. Jemaat pun harus melakukan ibadat di jalan dan di pelataran gereja karena rumah ibadah masih disegel pemerintah. Tindakan Pemda Kabupaten Bekasi dan Pemda Bogor tersebut semakin mengukuhkan hasil penelitian Human Right Watch (HRW), lembaga internasional pemerhati hak asasi manusia (HAM).

HRW menyebut pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono lembek menghadapi gerombolan militan antipluralitas. Kelompok-kelompok itu mengintimidasi dan menyerang rumah-rumah ibadah serta anggota minoritas agama. Temuan HRW menyebut gerombolan militan ini makin lama tambah agresif. Sasaran mereka termasuk Ahmadiyah, Kristen, maupun muslim Syiah.

Gerombolan militan pun kini telah merangsek masuk dalam jalur birokrasi. Kewenangan pemerintah daerah dijadikan tameng untuk bertindak intoleran. Ironisnya, banyak kepala daerah tidak sadar mengenai ini. Mereka terperangkap dalam "permainan" kelompok militan. Mereka kehilangan kesadaran dan kearifan dalam memimpin serta melindungi seluruh lapisan masyarakat, tanpa diskriminasi. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa aksi intoleransi berupa bongkar paksa rumah ibadah dan pembiaran jemaat tanpa rumah ibadah masih terjadi di tengah keragaman bangsa Indonesia?

Hapus
Pasal 3 Resolusi Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) tentang Penghapusan Intoleransi Berdasarkan Agama, menyatakan, "Diskriminasi antarmanusia berdasarkan agama atau keyakinan merupakan penghinaan terhadap martabat manusia dan pengingkaran terhadap prinsip-prinsip Piagam PBB dan akan dijatuhi hukuman sebagai pelanggaran HAM serta dinyatakan secara rinci dalam Kovenan Internasional tentang HAM. Ini merintangi hubungan persahabatan dan perdamaian antarbangsa."

Resolusi PBB tadi dengan tegas menyatakan bahwa diskriminasi hanya akan mengerdilkan kemanusiaan dan menimbulkan kecemburuan sosial yang berujung pada jauhnya sikap menghargai serta menghormati sesama manusia. Padahal, dalam rangka mewujudkan kerukunan umat beragama, dibutuhkan sikap hidup rukun, jauh dari rasa saling curiga, hormat-menghormati secara ikhlas dan tulus.

Guna semakin mengukuhkan kerukunan umat beragama, kebebasan beragama dan berkeyakinan mengharuskan negara bersikap dan bertindak adil pada semua penganut agama atau keyakinan yang hidup di Indonesia. Negara tidak boleh memihak terhadap kelompok keagamaan tertentu dan berbuat diskriminatif terhadap kelompok lainnya.

Dalam konteks ini, sebaiknya tidak ada istilah mayoritas dan minoritas, agama induk dan agama sempalan, agama resmi dan tidak resmi, agama yang telah diakui dan yang belum diakui (Tore Lindholm, W Cole Durham, Jr, Bahia G Tahzib Lie, ed, 2010). Lebih dari itu, tindak intoleransi keagamaan yang terjadi di Indonesia menjadi senjakala dan sekaligus ujian umat beragama.

Kejadian akhir-akhir ini merupakan potret betapa kelompok minoritas masih dianggap liyan. Mereka belum diterima dengan baik oleh masyarakat dan pemerintah. Masyarakat masih menganggap kelompok minoritas sebagai "ancaman" bagi kehidupan umat beragama. Padahal, kelompok minoritas wajib dilindungi sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Maka dari itu, konsepsi mayoritas dan minoritas perlu direka ulang. Dua konsep ini menimbulkan syak wasangka yang kemudian memunculkan superioritas kelompok atas yang lain. Mayoritas-minoritas hanya akan mengerdilkan fungsi keberagamaan karena hanya dilihat dari segi jumlah (kuantitatif).

Padahal, keberagamaan mensyaratkan kesalehan sosial yang tidak membutuhkan dari mana seseorang berasal. Namun, cara umat mampu berkontribusi dalam harmoni kehidupan menuju peradaban utama. Ketika umat tidak mampu berbuat seperti itu, keagamaan dan keberagamaannya dipertanyaan. Sebab, beragama merupakan jalan menuju kebajikan bersama, sebuah tatanan masyarakat adil dan makmur tanpa membedakan asal-usul.

Selain itu, mengutip Ahmad Syafi'i Maarif, kerukunan sejati hanya mungkin dibangun di atas fondasi iman kukuh yang membuahkan ketulusan dan kejujuran. Dalam kaitan dengan masalah antarpemeluk agama, mungkin formula berikut dapat disepakati: Berbeda dalam persaudaraan dan bersaudara dalam perbedaan.

Di luar formula ini, Syafi'i yang juga mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, khawatir, agama tidak lagi berfungsi sebagai sumber kedamaian dan keutamaan, tetapi menjadi sumber sengketa dan kekacauan, bahkan sumber peperangan. Sudah bukan zamannya kita saling sikut karena urusan mayoritas-minoritas. Stigma mayoritas-minoritas pun hanya akan mengangkangi kemanusiaan, ketika yang mayoritas merasa sebagai "pemilik otoritas" dan yang minoritas dianggap "penumpang gelap" yang harus dienyahkan.

Oleh karena itu, toleransi selayaknya menjadi mantra kemanusiaan. Toleransi itu selayaknya bersendikan pada dua hal utama, yaitu menghormati kebebasan berpendapat dan berkeyakinan dan komitmen untuk hidup berdampingan secara damai (Irwan Masduqi, 2011) Kebebasan berpendapat dan berkeyakinan menjadi dasar utama hidup rukun. Kebebasan pun sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk berakal.

Berpendapat dan berkeyakinan merupakan manifestasi dari kondisi kemanusiaan yang mulia. Ketika dua hal tersebut mampu diwujudkan (baca: dihormati) maka dengan sendirinya hidup berdampingan dalam bina damai mewujud. Ketika agama tidak mampu menjadi perekat dan pemersatu masyarakat, maka keadaban publik tidak akan pernah terwujud. Agama sebagai ajaran luhur pun akan menjadi tameng bagi tindak tidak beradab, sebuah kondisi yang tentu tidak kita inginkan.

Pada akhirnya, perobohan gereja HKBP di Kabupaten Bekasi dan terkatung-katungnya masalah perizinan GKI Yasmin Bogor, mengusik alam bawah sadar kita, betapa bangsa ini jauh dari keadaban publik. Bangsa ini masih risau dengan kelompok lain. Kelompok lain adalah liyan (laisa minni, bukan golonganku).

Surga pun menjadi milik mutlak kelompok tertentu sehingga permusuhan menjadi mantra abadi. Ironisnya, pemerintah hanya termangu dan sepertinya mengamini perilaku menyimpang kelompok antipluralitas tersebut. Inilah bukti empiris betapa pemerintahan telah gagal melindungi warganya.

Oleh: Benni Setiawan
Penulis adalah dosen UNY, peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity.

Kamis, 04 April 2013

Pilkada Berbuah Konflik Horizontal

Oleh Benni Setiawan



"Artikel", Bali Post, 04 April 2013

Konflik horizontal kembali pecah. Kali ini disebabkan oleh rasa tidak puas saat pemilihan Wali Kota Palopo, Sulawesi Selatan. Ratusan orang yang berasal dari kubu calon wali kota yang kalah mengamuk dan membakar sejumlah gedung pemerintah dan fasilitas publik, Minggu (31/3).

Kerusuhan serupa pernah terjadi di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Rumah dinas Bupati dibakar massa. Konflik ini bermula dari sengketa Pilkada Bupati. Dalam pilkada 5 Juni 2010 yang diikuti dua pasangan calon, Ujang Iskandar-Bambang Purwanto memperoleh 55.281 suara. Adapun Sugianto-Eko Soemarno menang dengan 67.199 suara.

Ujang-Bambang menggugat KPU Kotawaringin Barat ke Mahkamah Konstitusi. Setelah mendengarkan 68 saksi dan memeriksa berbagai bukti yang dihadirkan kubu Ujang-Bambang, MK mengeluarkan putusan mengagetkan pada 7 Juli 2010.

Persoalan semakin panas, karena Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mendiskualifikasi pemenang pilkada Sugianto-Eko Soemarno. Putusan ini dibuat MK karena MK menilai telah terjadi praktik politik uang secara masif dan terstruktur.



Konflik juga pernah terjadi di Kabupaten Puncak, Papua. Dilaporkan setidaknya 17 orang meninggal dunia, puluhan luka berat dan ringan. Kerusuhan ini bermula dari munculnya dua pasangan calon yang sama-sama mengantongi tiket dari Partai Gerindra. Calon bupati Elvis Tabuni mendaftarkan terlebih dulu pada 27 Juli 2011. Selang tiga hari kemudian, calon bupati Simon Alom mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat. Namun, sial bagi calon bupati Simon Alom, ia ditolak oleh KPU karena salah satu partai pendukungnya adalah Gerindra yang telah menjadi pendukung calon bupati Elvis Tabuni.



Proses Seleksi

Apa yang terjadi di Pilkada Kota Palopo, Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten Puncak Papua sudah selayaknya menjadi pelajaran berharga bagi kita. Pilkada bukanlah ajang adu jotos dan unjuk kekuatan fisik. Pilkada merupakan proses pencarian pemimpin daerah yang akan membawa perubahan dan kemajuan bagi masyarakat.

Maka dari itu, harus ada proses seleksi yang baik. Jika proses seleksinya saja amburadul dan mengakibatkan konflik, apa yang dapat kita harapkan dari ajang pilkada ini?

Proses yang baik tersebut meliputi, komitmen calon untuk bekerja bagi rakyat dengan sepenuh hati. Artinya, keinginan ini terwujud melalui proses seleksi yang bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN), mau menerima kekalahan dan mengakui kemenangan calon lain, serta bersedia dan mampu mendidik penduduk agar tidak berulah anarkis.

Banyak calon mengklaim diri siap menang dan kalah, namun ia lupa bahwa ada sekian banyak kepentingan di belakang mereka. Mendamaikan kepentingan guna kebaikan bersama lebih utama daripada sekadar pernyataan sikap tanpa realisasi.

Membangun kepentingan bersama tanpa dendam dapat dimulai dari bersihnya proses seleksi sejak awal. Sudah menjadi rahasia umum jika ingin mengantongi tiket dari partai politik (parpol) tertentu harus menyiapkan segepok uang sebagai pelicin. Budaya korupsi yang dibangun oleh calon seperti ini hanya akan mengakibatkan timbulnya korupsi baru yang lebih besar. Jika seorang kalah sebelum bertanding, maka ia tidak segan untuk menghalalkan segala cara agar dapat maju dan menang, walaupun harus dengan pertumpahan darah bahkan bunuh diri sebagaimana terjadi pada Pilkada Kota Semarang, Jawa Tengah.

Mentalitas seperti ini tidak hanya menjadi ''dosa'' bagi calon, namun juga bagi parpol. Hal ini karena parpol telah dengan sengaja merancang proses seleksi dengan jalan uang. Keadaan ini semakin mengukuhkan bahwa lingkaran setan korupsi tidak dapat dilepaskan dari pusat kekuatan (parpol).

Maka dari itu, guna mencegah konflik, proses seleksi dan pemilihan bupati harus bersih dari unsur uang. Ketika pilkada masih bertabur uang, sulit kiranya hajatan lima tahunan ini bebas dari masalah dan konflik.



Delegasi Kewenangan

Kemudian bagaimana mewujudkannya? Pertama, parpol harus mau mendelegasikan kewenangan penentuan calon pada tingkat kabupaten/kota. Penentuan calon yang harus mendapat restu dari DPP hanya memperlambat proses seleksi dan membuka peluang untuk melakukan KKN.

Sudah selayaknya DPP mampu memberi peran dan kepercayaan kepada pengurus di tingkat bawah. Proses ini selain meringankan tugas DPP juga sebagai uji kapasitas dan kualitas kader dalam mengelola sebuah hajatan demokrasi di tingkat lokal.

Pelibatan kader di tingkat lokal ini juga guna mengurangi jurang keterputusan generasi. Artinya, jika kader-kader daerah sudah mampu mengelola hajatan pilkada maka ketika ia naik ke tingkat pusat akan menjadi calon pemimpin bangsa yang tangguh dan teruji.

Kedua, kesiapan KPU dalam menyelenggarakan pilkada. KPU merupakan panitia utama dalam proses ini. Keberhasilan dan kegagalan pilkada terletak pada kinerja KPU. Ketika KPU tidak mampu mengelola konflik atau bahkan cenderung kepada salah satu calon maka dapat dipastikan pilkada akan rawan konflik.

Maka dari itu, komisioner KPU haruslah orang-orang yang mumpuni, tidak saja paham aturan UU, namun juga mengerti sosiologi politik dan sosio-historis masyarakat setempat. Pemahaman ini diperlukan di tengah semakin menyempitnya (baca: mandegnya) pendidikan politik.

Ruang bagi pendidikan politik masyarakat semakin menyempit karena parpol semakin sibuk dengan rutinitas, sehingga masyarakat semakin buta akan realitas politik yang menjadikannya ''loyalis buta''. Ketika komisioner tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, maka pelaksanaan pilkada hanya akan menjadi ajang adu jotos dengan jatuhnya korban jiwa.

Ketiga, kebesaran hati (sikap negarawan) calon untuk turun langsung ke lokasi, melerai dan meredam emosi pendukung. “Sabda” calon kepala daerah lebih ampuh daripada senjata yang digenggam oleh polisi. Selain calon kepala daerah mengetahui keinginan pendukung, ia merupakan panutan bagi massa yang telah terbakar amarah.

Maka dari itu, calon bupati dan atau wali kota tidak boleh cuci tangan dan menyalahkan orang lain. Ia harus mampu instrospeksi diri dan berdiri di garda depan guna menciptakan stabilitas sebuah daerah.

Pada akhirnya, konflik horizontal antarpendukung calon bupati sebagaimana terjadi di Kabupaten Puncak, Papua tidak boleh terjadi di daerah lain. Pasalnya pilkada bukan sarana pembenar atas tindak kekerasan dan pembunuhan. Pilkada adalah pilihan demokrasi Indonesia guna memilih pemimpin daerah yang berkualitas dan berpihak kepada rakyat.


Penulis, dosen Universitas Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity