Search

Sabtu, 30 Agustus 2008

Pendidikan Roboh, Bangsa Roboh



WACANA Suara Merdeka,30 Agustus 2008

Oleh Benni Setiawan

MENURUT UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (pasal 1).

Tetapi, apa yang terjadi sekarang di negara kita? Pendidikan dilakukan tidak secara mestinya. Ia seringkali berubah bentuk menjadi monster yang menakutkan. Ia bahkan antikritik dan tidak memedulikan masyarakat ekonomi bawah. Buktinya, pendidikan dalam wujud sekolah telah banyak merenggut ratusan korban jiwa.

Banyak peserta didik menjadi korban di ”lembaga mulia” bernama sekolah (pendidikan). Contohnya, antara lain, terjadi di Gunungkidul (DIY). Hanya karena orang tuanya tidak mampu menyediakan uang ekstrakulikuler sebesar Rp 2.500, seorang peserta didik nekat bunuh diri.

Sistem pendidikan Indonesia juga tidak beranjak dari sistem feodal yang membelenggu. Para pembuat kebijakan seakan telah menjadi dewa yang mampu mengubah, mencipta, dan memaksakan sebuah sistem kepada masyarakat.

Apa yang ada di otak pembuat kebijakan, maka itulah yang menjadi bahan acuan membuat kebijakan. Mereka seringkali melupakan eksistensi orang lain yang mempunyai pandangan (cara pandang) yang berbeda.

Suara-suara dari daerah hanya dianggap angin lalu. Semua kebijakan yang dihasilkan adalah cerminan keadaan Jakarta atau kota-kota besar lainnya. Maka tidak terlalu mengherankan kalau hasil kebijakan pendidikan nasional seringkali tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan daerah.

Pelaksana pendidikan di daerah (guru, kepala sekolah, dinas pendidikan) sering menjadi ”kelinci percobaan” pengambil kebijakan di Jakarta (pusat). Padahal pekerjaan guru di daerah sudah sangat banyak. Hal ini ditambah lagi oleh ruwetnya Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

BOS seringkali menjadi senjata pamungkas orangtua / wali murid dalam menuntut pihak sekolah. Sekolah harus gratis dan tidak diperkenankan meminta sumbangan dari orang tua wali murid. Itu pandangan masyarakat awam.

Maka tak aneh jika di beberapa daerah, banyak kepala sekolah didemo dan diturunkan secara paksa oleh masyarakat karena dana BOS. Dan masih banyak lagi kasus ketimpangan sistem pendidikan nasional.

Kepentingan Uang

Lebih dari itu, pendidikan di negara kita telah dijual atau digadaikan demi kepentingan uang. Pendidikan di Indonesia, tidak beranjak dari ideologi konservatif (liberal) menuju ideologi pendidikan yang humanis.

Pendidikan masih saja disibukkan oleh berapa biaya yang disumbangkan kepada negara, daripada berapa peserta didik yang mandiri dan mampu berkarya sesuai dengan potensi yang dimiliki sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.

Tidak aneh pula jika banyak anak usia produktif sekolah tidak mampu melanjutkan pendidikannya, akibat terbatasnya ketersediaan dana dan makin mahalnya biaya masuk sekolah.

Hal ini diperparah lagi oleh anggapan sebagian masyarakat, bahwa sekolah mahal dapat menjamin kualitas pendidikan. Sebuah pandangan yang menyakitkan bagi masyarakat miskin.

Lebih dari itu, imbas dari ideologi konservatif tersebut, pendidikan kita —terutama perguruan tinggi— menjadi penyumbang terbesar jumlah pengangguran. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), terjadi peningkatan jumlah pengangguran dari lulusan perguruan tinggi (sarjana).
Jika pengangguran sarjana pada Agustus 2006 berjumlah 183.628 orang, pada Februari 2007 mencapai 409.890 orang, atau meningkat 123,27 persen !

Demikian pula pengangguran lulusan diploma (D1,D2, D3). Pada Agustus 2006 ada sekitar 224.964 penganggur, kemudian meningkat menjadi 330.316 orang pada Februari 2007 (Benni Setiawan: 2008)
Pendidikan yang hanya diorientasikan menjadi kegiatan individual, mahal, dan jauh dari makna humanis sebagaimana telah diwacanakan para pendiri bangsa ini, hanya makin menambah beban persoalan bangsa. Lebih dari itu, hanya akan mempercepat robohnya bangsa ini.

Petuah Ki Hajar

Maka dari itu, sudah saatnya pendidikan di Indonesia mengubah orientasinya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ki Hajar Dewantara setidaknya meninggalkan dua petuah bijak bagi kita dalam membangun sistem pendidikan yang humanis. Pertama, ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Kedua, jadikanlah setiap orang guru dan setiap tempat sekolahan.
Dua hal tersebut sudah saatnya digali dan dikaji lebih lanjut sebagai bekal pengajaran bagi kita semua. Petuah bijak di atas juga mengajarkan kepada kita bahwa belajar (pendidikan) tidak hanya diajarkan dalam bentuk formal (sekolah).

Pendidikan dapat diajarkan oleh siapa saja dan kapan saja. Lebih dari itu, kita semua (masyarakat) merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional.

Seseorang tanpa harus berdiri di ruang kelas adalah seorang guru bagi orang lain. Demikian pula dengan sawah, ladang, laut, dan perkebunan. Ia adalah tempat yang baik untuk belajar.

Jika petuah bijak pendiri Tamansiswa ini dipraktikan oleh kompenen pendidikan, maka tidak akan ada lagi peserta didik yang mati akibat sistem pendidikan yang tidak memihak.

Lebih lanjut, setiap orang akan merasa bertanggung jawab terhadap masa depan anak bangsa dan bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan, setiap tingkah lakunya merupakan cerminan ”guru” yang patut digugu (dipatuhi) dan ditiru (diteladani).

Maka dibutuhkan keberanian semua pihak untuk sadar dan berubah. Menyadari bahwa kita adalah bagian dari pendidikan dan berubah menjadi teladan bagi generasi penerus bangsa.

Dengan demikian, cita-cita pendidikan dalam membentuk moral yang baik, memiliki kekuatan spiritual, dan sebagainya —sebagaimana disebutkan dalam UU Sisdiknas— bisa segera terwujud. Jika tidak, pendidikan hanya akan menjadi perbincangan setiap hari: tanpa makna! (32)

—Benni Setiawan, pemerhati pendidikan, penulis buku ”Manifesto Pendidikan Indonesia” (2008) dan ”Agenda Pendidikan Nasional” (2008).

Rabu, 20 Agustus 2008

“Melik Nggendong Lali”



Bernas Jogja, Rabu, 20 Agustus 2008

Tampaknya masyarakat Indonesia akan terus disuguhi fakta bahwa pemimpin bangsanya saat ini telah melakukan tindak pidana korupsi. Kasus korupsi berskala agak besar satu per satu mulai terkuak dan terungkap. Hampir tidak ada lembaga pemerintahan yang luput dari korupsi.

Mulai dari lembaga Yudikatif. Jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) tertangkap oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK) saat menerima suap Rp. 6 miliar dari Artalyta Suryani atau Ayin. Jaksa UTG tidak sendirian, setidaknya tiga nama juga terseret dalam kasus ini. Mereka adalah, Untung Udji Santoso, Kemas Yahya Rahman dan Wisnu Subroto.
Kasus yang sempat menyedot perhatian masyarakat ini seakan membuktikan dugaan bahwa mafia peradilan benar ada di Indonesia. Mafia peradilan telah mencoreng kewibawaan hukum di tengah masyarakat. hukum dalam pandangan masyarakat sudah tidak berharga, karena “harganya” sudah dibeli dan dibayar oleh uang.

Di lembaga Legislatif, Al Amin Nur Nasution, Sarjan Taher, Bulyan Royan, Yusuf Emir Faisal, juga diduga melakukan tindak pidana korupsi. Mereka menjadi “calo” dalam alih fungsi hutan lindung di Bintan Kepulauan Riau. Bahkan pengakuan mengejutkan datang dari Hamka Yandhu. Menurutnya, aliran dana bantuan likuiditas bank Indonesia (BLBI) dinikmati oleh seluruh anggota Komisi IX DPR RI periode 1999-2004.

Dana sebesar Rp. 31,5 miliar, dijadikan “bancaan” anggota dewan yang terhormat. Menurut Hamka Yandhu, Fraksi Partai Golkar (12 orang) mendapat jatah Rp. 3 miliar; Fraksi PDI Perjuangan (14 orang) mendapat jatah Rp. 3,55 miliar; Fraksi PPP (5 orang) mendapat jatah Rp. 1,5 miliar; Fraksi PKB (5 orang) mendapat Rp. 1,4 miliar; Fraksi Reformasi (5 orang) mendapat jatah Rp. 1,25 miliar; Fraksi TNI/Polri (4 orang) mendapat jatah Rp. 1 miliar; Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (1 orang) mendapat jatah Rp. 250 juta; Fraksi Bulan Bintang (1 orang) mendapat jatah Rp. 300 juta; dan Fraksi Daulat Umat (1 orang) mendapat jatah Rp. 250 juta.

Kasus aliran dana BLBI ini juga menyeret nama Paskah Suzetta Menteri Perencanaan Pembangunan dan Malem Sambat Ka’ban Menteri Kehutanan yang sebelumnya adalah anggota komisi IX DPR RI 1999-2004. Korupsi juga dilakukan oleh Direktur Utama PT Pos Indonesia, Hana Suryana, yang mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp. 40 miliar. Lengkap sudah korupsi di Indonesia, karena ketiga lembaga tinggi negara terjerat kasus tindak pidana ini.

Keadaan ini semakin membuktikan bahwa tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja. Tindak pidana korupsi juga erat hubungannya dengan kekuasaan. Kekuasaan amat dengan dengan korupsi.

Ketiga lembaga negara yang diharapkan dapat memimpin bangsa Indonesia dan membawa Indonesia keluar dari krisis multidimensional ini ternyata malah semakin memperkeruh kondisi bangsa. Lembaga peradilan yang seharusnya menegakkan hukum bermain mata dengan Ayin sahabat Syamsul Nursalim pengemplang dana BLBI sebesar Rp. 41 triliun.
Lembaga Legislatif yang seharusnya mendengar, membawa dan menyuarakan aspirasi rakyat yang sedang dibelit kemiskinan malah mengkorupsi dana kesejahteraan rakyat. Demikian pula dengan lembaga Eksekutif sebagai pemimpin dan pamong masyarakat. Seharusnya mereka sadar bahwa kedudukannya saat ini merupakan amanah kemanusiaan yang wajib ditunaikan. Mereka adalah panutan masyarakat. Segala tingkah lakunya selalu menjadi rujukan masyarakat.

Dalam kosmologi Jawa ada istilah melik nggendong lali yang artinya kurang lebih kekuasaan lebih dekat dengan korupsi. Berada dalam puncak kekuasaan, seseorang seringkali lupa asal muasalnya. Mereka lupa sedang menjalankan amanah mulia mengembang aspirasi masyarakat. Kekuasaan telah membutakan mata hati mereka untuk menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya.

Amanah Kemanusiaan
Hukum sebagai panglima menuju kesejahteraan dan keadilan masyarakat dilanggar oleh lembaga yang seharusnya menegakkannya. Amanah rakyat yang juga merupakan amanah Tuhan (vox populie vox die) ditukar dengan harta kekayaan yang menyilaukan.

Seringkali kekuasaan dimaknai secara sempit oleh pemimpin kita. Kekuasaan hanya dimaknai sebagai alat atau tempat untuk menumpuk kekayaan. Kekuasaan belum mampu dimaknai sebagai amanah kemanusiaan. Amanah kemanusiaan yang dapat menyelamatkan diri sendiri dan orang lain.

Mengemban amanah kemanusiaan akan dapat menyelamatkan seseorang dari godaan kekayaan atau dunia yang berat. Lebih dari itu, amanah kemanusiaan akan menuntun seseorang menjadi seorang pemimpin bukan seorang penguasa.

Pemimpin dan penguasa
Pemimpin adalah seseorang yang dengan sadar menjalankan amanah yang diemban untuk kepentingan bersama, bukan pribadi dan golongan. Sedangkan penguasa adalah seseorang yang menjalankan amanah untuk memuaskan nafsu pribadi dan golongannya.

Menjadi pemimpin berarti mampu memimpin diri sendiri dan menjadi panutan yang dipimpin. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menjalankan amanahnya dengan baik dan benar. Berbeda dengan penguasa. Penguasa cenderung korup, karena ia tidak tahu siapa yang memimpin dan dipimpin. Penguasa akan mempertahankan kedudukannya dan menguras pundit-pundi negara hingga habis. Mereka akan menghalalkan segala cara dalam mempertahankan dan memperoleh apa yang diinginkannya.

Kasus tertangkapnya tokoh-tokoh pemegang kekuasaan oleh KPK sudah saatnya dijadikan pelajaran berharga bagi pejabat lain. Artinya, ia harus mampu mawas diri bahwa kekuasaan bukanlah segala-galanya. Kekuasaan adalah amanah kemanusiaan yang harus diemban dengan baik dan benar. Kekuasaan bukanlah untuk untuk menjadi penguasa. Kekuasaan adalah tempat untuk memimpin dan menjadi pemimpin.

Benni Setiawan, Peneliti Lentera Institute.

Ke Mana Arah Pendidikan Indonesia?



Media Indonesia, Rabu, 20 Agustus 2008 08:51 WIB

Pendidikan Indonesia sudah kehilangan arah. Pendidikan di Indonesia dalam bentuk sekolah telah tercerabut dari akar kesejarahan sistem pendidikan nasional. Pendidikan di Indonesia sudah tidak lagi bertumpu pada nilai-nilai dasar pendidikan yang memerdekakan, pendidikan yang menyadarkan dan pendidikan yang memanusiakan manusia muda dan pengangkatan manusia muda ke taraf insani. Pendidikan di Indonesia hanya berorientasi pasar.

Buktinya, pemerintah sekarang sedang menggalakkan pendidikan tingkat satuan pendidikan menengah atas berbasis kerja, yaitu sekolah menengah kejuruan (SMK). Pemerintah berencana akan mengubah pola pendidikan Indonesia dengan perbandingan 70% untuk SMK dan 30% untuk sekolah menengah atas (SMA). Lulusan SMA dalam pandangan pemerintah hanya menghasilkan lulusan tidak siap kerja kalau tidak mau disebut pengangguran. Maka, guna mengurangi angka pengangguran, pemerintah melakukan 'terobosan' dengan menciptakan SMK. Lulusan SMK dalam pandangan pemerintah lebih siap untuk bekerja dan mengurangi pengangguran.

Bukan fase bekerja

Pendidikan di Indonesia hanya dimaknai sebagai salah satu untuk mendapatkan pekerjaan agar tidak menjadi pengangguran (link and match). Padahal, link and match pernah dikritik Soetandyo Wignyosoebroto, Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Menurut Pak Tandyo--begitu orang menyapanya--sekolah itu bekal untuk menata hidup yang lebih baik. Bukan fase yang harus dilalui sebelum bekerja. Kalau konsepnya seperti itu, betapa sempitnya dunia pendidikan (Agus Wahyudi: 2006).

Kritikan Pak Tandyo itu cukup beralasan. Pendidikan bukan salah satu fase untuk bekerja. Pendidikan adalah proses hidup. Jadi pendidikan dalam bentuk sekolah bukan untuk bekerja. Maka dari itu, konsep pemerintah membangun SMK secara besar-besaran itu pada dasarnya menunjukkan pemerintah saat ini sudah keblinger. Salah jalur. Tidak tahu filosofi pendidikan.

Lebih dari itu, penyiapan tenaga kerja siap pakai ala SMK juga tidak sesuai dengan iklim Indonesia. Indonesia bukan negara industri yang membutuhkan banyak tenaga kerja siap pakai seperti Jepang. Indonesia masih menjadi negara agraris. Kalau toh kita akan menjadi negara industri, Indonesia sudah tidak lagi mempunyai sumber daya alam sebagai modal. Sumber daya alam Indonesia sudah dikeruk dan dikuras habis oleh korporasi internasional. Masyarakat Indonesia sekarang tinggal menunggu kehancuran bumi Indonesia. Hal itu karena daya isap korporasi tidak akan menyisakan sedikit pun sumber daya alam untuk masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia akan menjadi asing dan miskin di negerinya sendiri.

Tenaga kerja instan

Pembangunan sumber daya manusia melalui SMK dengan mengabaikan filosofi pendidikan hanya akan menghasilkan buruh-buruh yang keringat mereka diperas untuk memuaskan nafsu serakah korporasi internasional. Mereka hanya akan dibayar dengan upah murah. Sewaktu-waktu mereka dapat diberhentikan dengan paksa.

Apakah pemerintah sekarang sempat berpikir seperti itu? Tampaknya, pemerintah tidak memedulikan hal tersebut. Yang ada dalam otak pembuat kebijakan yang keliru itu adalah bagaimana mempersiapkan tenaga kerja instan (siap) kerja dalam waktu cepat sehingga kinerja pemerintahan dapat dinilai dengan nilai A. Pemerintah pun dapat mengklaim telah berhasil mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan karena anak-anak orang miskin sekarang sudah sekolah di SMK dan siap bekerja dengan kemampuan dan keterampilan mereka.

Pemerintah lebih bangga melihat banyak masyarakat bekerja dengan ketidakberdayaan daripada melihat masyarakatnya mandiri karena mereka memiliki ilmu dan pengalaman yang memerdekakan.

Program pendidikan siap kerja melalui SMK merupakan program prestisius miskin strategi dan makna. Ia tidak ubahnya seperti program penggemukan sapi yang marak akhir-akhir ini di beberapa daerah. Sapi yang semula kecil diberi makan sebanyak mungkin, setelah itu sapi siap jual dengan harga tinggi.

Pemerintah dengan program itu hanya ingin menyombongkan diri dengan data statistik bawah periode pemerintahan kali ini telah berhasil membuat kebijakan yang dibutuhkan masyarakat, yaitu lulus langsung kerja. Padahal sebagaimana kita ketahui, data statistik selalu saja bisa 'diperjualbelikan' sesuai dengan keinginan penguasa.

Ketidakberdayaan pemerintah

Selanjutnya, proyek prestisius SMK juga tidak dibarengi kesiapan dana yang memadai oleh pemerintah. Pemerintah hingga kini belum dapat memenuhi amanat UUD 1945 tentang penyediaan anggaran pendidikan minimal 20%. Anggaran itu baru bisa dipenuhi pada APBN 2009.

Ketidakberdayaan pemerintah menyediakan dana anggaran minimal 20% dalam APBN jelas merugikan masyarakat Indonesia. Orang tua calon peserta didik gusar, karena biaya masuk SMK lebih mahal jika dibandingkan dengan SMA. Seorang orang tua peserta didik harus membayar biaya pangkal Rp2.500.000 untuk masuk SMK di wilayah Jawa Tengah. Biaya tersebut belum termasuk SPP Juli yang sudah harus dibayar sebesar Rp200 ribu. Tentunya hanya orang-orang kaya yang dapat masuk SMK.

Program prestisius itu hanya meninggalkan kedukaan bagi wong cilik (orang miskin). Lebih dari itu, program itu telah meninggalkan filosofi pendidikan yang telah diajarkan para foundhing fathers and mothers.

Bapak dan ibu bangsa telah mengajarkan bahwa pendidikan adalah usaha menyadarkan manusia (YB Mangunwijaya), memerdekakan dengan sistem among (Ki Hajar Dewantara) dan memanusiakan manusia muda dan mengangkat manusia muda ke taraf insani (Driyarkara). Bapak dan ibu bangsa tidak pernah mengajarkan bahwa sekolah adalah fase untuk bekerja. Sekolah atau berpendidikan bukan untuk bekerja. Pendidikan adalah bekal untuk hidup mandiri.

Pada akhirnya, program prestisius SMK sudah saatnya dikoreksi agar tidak kehilangan arah. Ketika tidak ada kemauan dari pemerintah untuk membenahi program itu, patutlah kita pertanyakan, mau ke mana pendidikan Indonesia? Wallahualam.

Oleh Benni Setiawan, Penulis Buku Agenda Pendidikan Nasional

Selasa, 19 Agustus 2008

Membangun Pendidikan Berbasis Moral



Matan PWM Jatim, Edisi Agustus 2008

Berita tidak baik datang dari berbagai daerah di tanah air. Berita tersebut adalah terkuaknya beberapa kasus tindakan asusila yang dilakukan oleh oknum peserta didik. Di Klaten Jawa Tengah beredar video mesum peserta didik berseragam SMP. Sebelumnya beredar rekaman video mesum antara peserta didik dengan oknum kepala desa. Di Yogyakarta beredar video mesum seorang peserta didik SMA dengan oknum pengawai negeri sipil.
Dan baru-baru ini, masyarakat Surabaya dihentakkan dengan berita tentang pelajar SMA yang menjual dirinya untuk dapat membeli rumah dan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dengan sebutan grey chichen, pelajar SMA, banyak yang menjual dirinya kepada laki-laki hidung belang. Sungguh realitas yang memilukan. Pelajar, sebagai generasi penerus, tidak mencerminkan diri sebagai seorang terdidik.
Pendidikan dewasa ini, disadari atau tidak, mengalami distorsi yang sangat mengkhawatirkan. Di satu sisi pemerintah telah membuat kurikulum yang ndakik-ndakik sehingga diharapkan lulusan institusi pendidikan (sekolah) mampu mandiri, handal dan mempunyai daya intelektual yang mantap. Namun di sisi lain perilaku peserta didik pada umumnya mengalami hal yang tidak menggembirakan.
Maka dari itu, membangun moralitas bangsa dengan pendidikan tampaknya harus menjadi agenda utama kedepan. Pendidikan harus mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai kekuatan penyangga moralitas bangsa Indonesia.
Pendidikan, menurut Ahmad D Marimba (1962) adalah bimbingan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Dengan demikian, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana membimbing peserta didik menjadi insan yang berkepribadian secara jasmani maupun rohani (mental dan spiritual). Dengan kata lain pendidikan mengajarkan kepada peserta didik agar menjadi insan yang bermoral.
Elizabeth B Hurlock, dalam Child Devolopment mengutarakan bahwa moral mengandung tiga hal pokok. Pertama, kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran masyarakat, yang timbul dari hati sendiri (bukan paksaan dari luar). Kedua, rasa tanggung jawab atas tindakan itu. Ketiga, mendahulukan kepentingan umum dari pada keinginan dan atau kepentingan pribadi.
Sedang Teuku Ramli Zakaria, sebagaimana dikutip Zubaedi (2005), pendidikan budi pekerti (moral) merupakan pendidikan nilai-nilai luhur yang berakar dari agama, adat istiadat dan budaya bangsa Indonesia dalam rangka mengembangkan kepribadian peserta didik supaya menjadi manusia yang baik.
Secara umum, ruang lingkup pendidikan moral adalah penanaman dan pengembangan nilai, sikap dan perilaku peserta didik sesuai nilai-nilai budi pekerti. Diantara nilai-nilai yang perlu ditanamkan adalah sopan santun, berdisiplin, berhati lapang, berhati lembut, beriman dan bertakwa, berkemauan keras, bersahaja, bertanggung jawab, bertenggang rasa, jujur, mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai ilmu, menghargai karya orang lain, rasa kasih sayang, rasa malu, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah diri, sabar, semangat kebersamaan, setia, sportif, taat asas, takut bersalah, tawakal, tegas, tekun, tepat janji, terbuka dan ulet. Jika peserta didik telah memiliki karakter dengan seperangkat nilai-nilai budi pekerti di atas, diyakini ia telah menjadi manusia "baik".
Pendidikan moral juga berorientasi pada pengikatan diri dengan nilai-nilai secara sukarela. Harus tumbuh dari dalam dan bukan karena ancaman atau ketakutan akan sesuatu.
Persoalan manusia "baik" merupakan persoalan nilai karena menyangkut penghayatan dan pemaknaan yang bersifat afektif ketimbang kognitif. Maka pendekatan yang digunakan adalah bagaimana menciptakan ruang kasih sayang dalam lingkungan keluarga dan sekolah.

Kasih Sayang
Kepedulian orang tua untuk saling tegur sapa dengan anak-anaknya menjadi hal yang sangat berguna. Artinya, anak merasa ada yang mengasihi, peduli dan mengawasi dirinya. Sikap acuh orang tua terhadap anak-anaknya hanya akan membuat peserta didik kehilangan arah. Yang pada gilirannya bisa cenderung bebas tidak sesuai dengan kepatutan masyarakat.
Guru di sekolah pun perlu melakukan hal yang demikian. Guru bukan lah sosok yang serba tahu. Guru haruslah menjadi sahabat peserta didik. Jadi relasi antara guru dan murid bukanlah relasi tuan dan pesuruh, melainkan relasi antara anak dan orang tua.
Pada akhirnya, menciptakan ruang kasih sayang dalam setiap kesempatan akan mampu menggerakan nurani dan kesadaran peserta didik untuk menjadi insan yang berkepribadian dan bertanggung jawab.
Benni Setiawan, Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia (2006), Agenda Pendidikan Nasional (2008)

Jangan Pasung Kemerdekaan Guru Kami



Seputar Indonesia, Selasa, 19 Augustus 2008

Surat Keputusan Wali Kota Bandung No 862/Kep.611- Peg/2007 terhadap Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Iwan Hermawan menuai protes.

Sanksi berupa penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun ini dijatuhkan kepada seorang guru yang melaporkan adanya dugaan kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional (UN) beberapa waktu lalu.

Sanksi disiplin yang dijatuhkan kepada Iwan Hermawan ini semakin memperpanjang kasus ”pembungkaman” guru kritis oleh pemerintah.Sebelumnya pemerintah juga menghukum guru di Garut,Jawa Barat, dan komunitas guru di Medan, Sumatera Utara. Penjatuhan sanksi disiplin oleh pemerintah ini kontras dengan kondisi riil pendidikan di Tanah Air.

Sebagaimana kita ketahui, hingga saat ini pemerintah pusat masih belum mampu membayar gaji guru yang lulus dalam program sertifikasi. Pemerintah konon masih memikirkan dan mencari sumber dana guna membayar keringat guru atas jerih payahnya mengikuti sertifikasi.

Pemerintah juga selalu berkelit ketika ditanyakan mengenai sumber dana untuk menggaji pahlawan bangsa yang digambarkan dalam kiasan yang ciamik oleh Iwan Fals dalam tokoh Oemar Bakri pada lagu dengan judul yang sama.

Disorientasi Program

Lebih dari itu, pemerintah seakan sedang meninabobokan anak-anak orang miskin untuk tidak perlu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dengan program sekolah menengah kejuruan (SMK). Bahkan pemerintah menargetkan dalam waktu dekat rasio SMK dan sekolah menengah atas (SMA) 70 berbanding 30.

Program prestisius berkedok sekolah langsung kerja (link and match) ini semakin memperjelas bahwa pemerintah sekarang tidak menginginkan rakyatnya cerdas dan mandiri.Pemerintah lebih berorientasi pada peningkatan kemampuan yang ujung pangkalnya peserta didik siap dipekerjakan di sektor industri maju. Anak-anak orang miskin dirayu untuk masuk SMK.

Di sisi lain, pemerintah tidak kuasa merealisasikan anggaran pendidikan minimal 20% dalamAPBN danAPBD.Mungkin saat ini pemerintah telah menaikkan anggaran pendidikan di APBN hingga melebihi angka 20%, namun kita masih harus harap-harap cemas dengan implementasinya. Tidak aneh jika biaya masuk SMK lebih besar daripada masuk SMA. Anak-anak orang miskin lagi-lagi menjadi korban kebijakan yang tidak pernah berpihak kepada mereka.

Pemojokan Guru

Kegagalan pemerintah pusat dalam menangani pendidikan semakin diperparah oleh ”kewenangan” menghukum guru kritis. Guru kritis yang mencoba menguak kebobrokan birokrasi dibungkam dengan sanksi disiplin. Guru-guru tersebut dinilai mengganggu jalannya sistem pendidikan dengan melaporkan kecurangan dalam UN.

Padahal,pemerintah sendiri tidak merasa bersalah dengan menurunkan pasukan detasemen khusus (Densus) Antiteror 88 untuk menjaga pelaksanaan UN. Peserta didik dianggap teroris yang akan melakukan kejahatan terhadap negara.Peserta didik dalam pandangan pemerintah perlu diamankan dari ”kecurangan” UN dengan pasukan khusus tersebut. Inilah potret pendidikan di Indonesia.

Pendidikan yang hanya berorientasi pada berapa nilai yang didapat dan mengabaikan faktor-faktor (kecerdasan) lain. Guru-guru dipaksa untuk segera mengikuti sertifikasi dengan ancaman jika tidak lulus akan di-TU-kan (dimasukkan dalam jajaran tata usaha).Namun setelah mereka lulus, janji kenaikan gaji tunjangan tak kunjung dibayarkan.

Guru-guru yang mencoba untuk mengkritik kebijakan UN yang sarat manipulasi ditangkap dan dijatuhi sanksi.Guru-guru dipaksa menyelesaikan materi pelajaran sebelum waktu semesteran dan ujian akhir dilaksanakan. Padahal,mereka tidak pernah digaji layak. Mereka sering- kali harus menerima cemoohan dari kepala sekolah dan kepala dinas karena banyak peserta didiknya yang tidak lulus UN.

Mereka juga dilupakan kalau tidak mau disebut tidak pernah diakui sebagai seorang pendidik,ketika peserta didiknya diterima di perguruan tinggi negeri (PTN). Yang berhasil mengantarkan peserta didik ke jenjang PTN adalah LBB,bukan guru. Ironisnya, banyak orangtua yang mampu enggan membayar biaya pendidikan di sekolah.

Banyak orangtua yang mampu dengan senang hati (rela) mendukung dan mendorong anak-anaknya mengikuti les privat atau melalui lembaga bimbingan belajar (LBB) dengan biaya yang mahal. Habislah riwayat guru Indonesia. Mereka menjadi korban praktik pendidikan yang keliru (wrong track). Sikap kritis yang selama ini menjadi ciri insan pendidik diancam dengan sanksi disiplin.

Kesederhanaan dan ketidakmampuan membuat dapur istri mengepul tidak pernah menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah hanya memerhatikan hal-hal yang sekiranya mengancam eksistensinya. Guru yang digaji dari APBN berhak dipermasalahkan dan dihukum jika melontarkan pendapat yang dianggap tidak setia kepada pemerintah.

Meminjam istilah Orde Baru Soeharto,guru yang melaporkan fakta adanya SMS (pesan singkat) berisi jawaban UN palsu, telah merongrong kewibawaan pemerintah dan negara. Pada akhirnya, terus berjuang pahlawanku. Banyak jalan menuju kebenaran.(*)

Benni Setiawan
Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Jember, Penulis Buku ”Agenda Pendidikan Nasional”

Muhammadiyah dan tarikan partai politik



Solo Pos, Jum'at, 15 Agustus 2008

Sebagai organisasi massa terbesar kedua setelah NU, Muhammadiyah tentunya merupakan lahan garap yang menjanjikan bagi partai politik. Partai politik berusaha mendekati bahkan merekrut kader-kader terbaik Muhammadiyah untuk duduk di pimpinan pusat, wilayah dan daerah.
Keterlibatan Muhammadiyah dalam politik pun dapat dilacak ketika Muhammadiyah bergabung dengan Partai Masyumi di Era Orde Lama Soekarno. Bahkan masa itu ada adagium yang cukup terkenal yaitu “Dakwah dengan Muhammadiyah, berpolitik dengan Masyumi”. Akan tetapi, bergabungnya Muhammadiyah dengan Masyumi kala itu tidak bertahan lama. Muhammadiyah berdasarkan sidang Muktamar 1959 menyatakan diri keluar dari Masyumi dan tidak berpolitik praktis. Muhammadiyah mendarmabhaktikan kiprah gerakannya untuk masalah sosial keagamaan.
Memasuki Era Reformasi, Amien Rais yang kala itu menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN). Karena PAN didirikan oleh kader terbaik Muhammadiyah maka tidak aneh jika partai dengan gambar matahari bersinar dengan dasar warna biru ini seringkali dikaitkan sebagai gerakan politik Muhammadiyah. Bahkan ada yang menyebut bahwa PAN adalah partainya Muhammadiyah. Walaupun demikian, Muhammadiyah tetap berpendirian bahwa sebagai gerakan sosial keagamaan bukan gerakan partai politik.
Seiring perkembangan waktu tidak hanya PAN yang ingin “menguasai” suara warga Muhammadiyah. Banyak parpol yang ingin juga menjadi bagian dari warga Muhammadiyah dan merasa terlahir dari rahim Muhammadiyah. Salah satunya adalah Partai Matahari Bangsa (PMB).

Melempar bola
PMB yang dipimpin oleh Imam Addaruqudni dan Ahmad Rofiq ini mencoba “melempar bola” kepada Muhammadiyah. Dengan telah mendapat dukungan dan simpati dari sesepuh Muhammadiyah, PMB pada tanggal 14-16 Desmeber 2007 mengadakan rapat koordinasi nasional (Rakornas) ke II sekaligus Deklarasi di Gedung JEC yang dihadiri oleh Muhammad Muqaddas (Pimpinan Pusat Muhammadiyah) dan Ahmad Syafi’i Maarif (Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah). Bahkan, pada Rakornas beberapa waktu lalu di Jakarta, Din Syamsuddin (Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah) dalam sambutannya menyatakan diri siap menyemarakkan pemilu 2009.
Kelahiran PMB yang dibidani oleh anak-anak muda atau angkatan muda Muhammadiyah (AMM) ini semakin menyemarakkan perebutan suara warga Muhammadiyah. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan syarat wajib menjadi pengurus harian (Imarah) dan Majelis A’la (dewan syuro) adalah mereka yang pernah aktif di persyarikatan Muhammadiyah.
Beberapa hal yang perlu diwaspadai oleh pengurus PMB adalah adanya “gesekan” diantara AMM sendiri. Hal ini dikarenakan, ada sebagian kalau tidak mau disebut seluruh anggota dan pimpinan AMM di tingkat pusat hingga ranting sudah masuk ke berbagai parpol, sebut saja PAN dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Gesekan ini tentunya bukan perkara yang mudah diurai. Artinya, dibutuhkan kesiapan dan kedewasaan antara pimpinan PMB dan pimpinan AMM.
Pimpinan PMB yang juga merangkap sebagai pengurus AMM harusnya mampu memilah dan mengatur waktu dalam aktivitasnya. Hal ini untuk menghindari ketimpangan gerakan politik dan sosial keagamaan.
Gejala lain yang mungkin perlu diklarifikasikan kepada warga Muhammadiyah dan masyarakat pemilih lainnya adalah kelahiran PMB bukan untuk mengorganisir barisan sakit hati. Artinya, PMB bukanlah tempat bagi mereka yang pernah direcall oleh PAN, atau karena mekanisme intern partai mereka sudah tidak lagi mendapat tempat di partai yang didirikan oleh Amien Rais tersebut.
Walaupun pada kenyataannya ada beberapa anggota bahkan pengurus hariannya adalah orang-orang yang dahulu pernah bergabung dan membesarkan PAN, PMB harus mampu memosisikan dirinya sebagai partai independen. Artinya, PMB terlahir bukan karena para pengurusnya sudah tidak dipakai lagi di partai lama (PAN) melainkan hadirnya PMB adalah sebagai wujud sumbangsih nyata AMM dalam memajukan dan memberi warna tersendiri bagi perpolitikan dan sistem demokrasi di Indonesia.
PMB juga perlu menghitung kekuatan seberapa besar peluangnya untuk mampu bersaing dengan partai lain. Target 30 kursi di DPR RI harus terus dievaluasi agar tidak kecewa dikemudian hari. Hal ini dikarenakan, menurut Survei Indo Barometer (5-16 Juni 2008) di 33 Propinsi yang melibatkan 1.200 responden menyatakan bahwa, tujuh besar pemenang pemilu 2009 adalah PDI Perjuangan (23,8 persen), Partai Golkar (12,0 persen), Partai Demokrat (9,6 persen), PKS (7,4 persen), PKB (7,4 persen), PAN (3,5 persen), Partai Hanura (2,3 persen), dan PPP (1,6 persen). Sisanya, partai lain 3,0 persen dan 29,4 persen belum tahu/tidak menjawab pilihannya. Dari hasil survey tersebut hanya Partai Hanura saja yang sudah dikenal cukup baik oleh masyarakat. PMB tentunya masih punya peluang untuk memperebutkan 29,4 persen suara mengambang (flying voters).

Belajar dari pemilihan DPD
Pekerjaan PMB tidaklah ringan. Hal ini dikarenakan sekarang PMB melempar bola ke Muhammadiyah, maka suara Muhammadiyah juga patut dihitung. Lebih lanjut, Muhammadiyah sekarang bukanlah lahan garap yang kosong. Muhammadiyah sudah “ditongkrongi” oleh berbagai partai politik, selain PAN, PKS, juga ada Partai Golkar, dan PBB.
PMB juga perlu belajar dari kegagalan calon anggota dewan perwakilan daerah (DPD) dari Muhammadiyah. Kenyataannya, dari hasil pemilu 2004 hanya tujuh orang dari 33 provinsi yang berhasil menduduki posisi anggota DPD. Dengan demikian, PMB harus bekerja ekstra keras untuk mendapat simpati dari warga Muhammadiyah.
Memaksimalkan wilayah garapan di Muhammadiyah menjadi penting. Hal ini dikarenakan, ladang garap lain sudah menjadi miliki partai lain. Sebut saja, kaum petani dan wong cilik (PDI Perjuangan), birokrat dan kaum menengah atas (Partai Golkar), NU (PKB), Ikhwanul Muslimin dan “Muhammadiyah kanan” (PKS) dan seterusnya.

*)Benni Setiawan, kader muda Muhammadiyah

Sabtu, 09 Agustus 2008

Selamatkan Pekerja Anak



Surya, Saturday, 09 August 2008

Orangtua di Indonesia masih terjerat oleh kemiskinan. Setidaknya ada 34 juta orang miskin di Indonesia (menurut data badan pusat statistis, BPS, yang dilansir pada bulan Mei lalu). Karena kemiskinan, orangtua sengaja mempekerjakan anak-anaknya guna menopang kehidupan keluarga. Anak-anak harus putus sekolah dan menjadi pengamen, penjual koran, pekerja kasar, buruh pabrik dan bangunan untuk mendapatkan sesuap nasi.

Pernahkan Anda melihat anak-anak kecil berlarian menggejar mobil di depan lampu merah (lampu lalu lintas)? Mereka menengadahkan tangan memohon belas kasihan. Atau melihat anak-anak kecil membantu mendorong kapal, menggangkut ikan hasil tangkapan di pingir laut? Menjadi buruh pabrik? Tukang sol sepatu, pengamen di bus kota?

Di usia produktif mereka sudah harus bekerja membanting tulang guna mencukupi kebutuhan hidup. Mereka tidak sekolah. Bahkan mereka seringkali mendapat perlakukan kasar dari majikan, seperti pukulan, tendangan ataupun makian. Lebih dari itu, mereka juga seringkali mendapat perlakuan kurang mengenakan dari petugas satuan polisi pamong praja (Satpol PP) yang selalu melakukan razia dengan dalih menganggu ketertiban umum.

Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan, bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun. Menurut data dari organisasi buruh internasional (ILO), jumlah pekerja anak di Indonesia usia 10-14 tahun mencapai 10,4 juta orang. Jumlah ini meningkat pada tahun 2007, menjadi 2,6 juta anak. Berdasarkan studi antara ILO dan Universitas Indonesia pada tahun 2003, jumlah pekerja anak domestik mencapai 700 ribu, sebanyak 90 persen adalah anak perempuan.

Sedangkan angka dari sensus kesejahteraan nasional (Susenas: 2003), di Indonesia terdapat 1.502.600 anak berusia 10 hingga 14 tahun yang bekerja dan tidak bersekolah. Sekitar 1.621.400 anak tidak bersekolah serta membantu di rumah atau melakukan hal lainnya. Sebanyak 4.180.000 anak usia sekolah lanjutan pertama (13-15) atau 19 persen dari anak usia itu, tidak bersekolah(Antara, 26 Juni 2008). Menurut data yang sama para pekerja anak di desa lebih banyak daripada di kota, yakni sebesar 79 persen untuk di desa dan 21 persen di kota. 62 persen bekerja di sektor pertanian, 19 persen di industeri dan, dan 19 persen di sektor jasa.

Sejumlah lembaga termasuk ILO telah memelopori menyelamatkan pekerja anak. Di tahap pertama program ILO telah menghapuskan bentuk pekerjaan terburuk anak tahun 2004-2007, sekitar 2.514 anak telah ditarik dari pekerjaan mereka, dan 27.078 anak lainnya dicegah memasuki pekerjaan serupa.

Pada tahap kedua ini, ILO menargetkan bisa mengintervensi secara langsung 22.000 orang anak, 6.000 anak ditarik dari pekerjaan berbahaya dan 16.000 lainnya dicegah agar tidak masuk ke dalam pekerjaan tersebut. Jumlah ini menyumbang secara signifikan terhadap jumlah anak yang ditarik dan dicegah secara nasional, yakni 13.922 anak ditarik dari pekerjaannya dan 29.863 anak dicegah (Antara, 9 Juli 2008).

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana menyelamatkan anak Indonesia dari beban pekerjaan yang menjadikan mereka “terasing” dari dunianya?

Orangtua harus bertanggung jawab terhadap tumbuh kembangnya anak-anak mereka. Hal ini dikarenakan menurut Undang-undang Perlindungan Anak (UU PA), seseorang masih disebut anak hingga usia 18 tahun. Jadi, kewajiban untuk memberikan pendidikan dan penghidupan yang layak bagi seseorang yang belum genap berusia 18 terletak di orangtuanya.

Orangtua berkewajiban memberikan pendidikan, kelayakan sandang dan gizi yang cukup bagi mereka. Namun, banyak orangtua di Indonesia belum mampu memberikan hal tersebut. Orangtua di Indonesia masih terjerat oleh kemiskinan.

Setidaknya ada 34 juta orang miskin di Indonesia (menurut data badan pusat statistis, BPS, yang dilansir pada bulan Mei lalu). Karena kemiskinan, orangtua sengaja mempekerjakan anak-anaknya guna menopang kehidupan keluarga. Anak-anak harus putus sekolah dan menjadi pengamen, penjual koran, pekerja kasar, buruh pabrik dan bangunan untuk mendapatkan sesuap nasi.

Tanggung jawab pemerintah
Jika keadaannya demikian, tanggung jawab menyelamatkan pekerja anak ditanggung oleh pemerintah. Pemerintah sesuai dengan UUD 1945 Pasal 34, berkewajiban memberi santunan, pendidikan dan penghidupan yang layak bagi rakyat miskin.

Pemerintah harus membuka lapangan pekerjaan sebanyak mungkin agar orangtua pekerja anak dapat bekerja. Dengan bekerjanya orangtua, anak dapat sekolah dan bermain (bersosialisasi) dengan teman sebayanya.

Anak-anak Indonesia saat ini harus cerdas, pandai dan mampu mengembangkan potensi yang dimiliki.

Hal ini dikarenakan, kehidupan hari ini adalah bekal bagi mereka meraih cita-cita dan menghadapi kehidupan di masa yang akan datang. Jika sekarang saja anak Indonesia sudah tidak sekolah (pendidikan yang layak), dan menjadi pekerja anak dengan gaji rendah, maka di massa yang akan datang mereka tidak akan mampu bersaing dengan orang-orang asing di era pasar bebas.

Era pasar bebas yang memungkinkan orang asing masuk ke Indonesia dan menguasai aset bangsa dan negara, sudah saatnya ditanggapi oleh pemerintah dengan program pendidikan yang mendidik bagi anak-anak Indonesia. Pemerintah sebagai penyelenggara dan pemegang kekuasaan negara sudah saatnya menjadikan pendidikan sebagai tupuan dan harapan masa depan bangsa Indonesia.

Dalam waktu dekat misalnya, pemerintah pusat maupun daerah harus konsisten dengan aturan UUD 1945 yang mengamahkan anggaran pendidikan minimal 20 persen dalam APBN dan APBD. Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mematuhi amanah UUD 1945 hasil amandemen ini.
Kesejahteraan rakyat Indonesia akan dapat tercapai jika mereka terdidik. Hal ini dikarenakan, dengan pendidikan masyarakat akan dapat mandiri.

Mereka akan bekerja sesuai bidang yang sesuai dengan potensi yang dimiliki. Pendidikan juga akan dapat menyelamatkan anak-anak yang kini dalam kubangan penderitaan akibat dipekerjakan secara paksa oleh orantuanya.

Anak-anak Indonesia adalah penerus estafet perjuangan bangsa. Jika hari ini anak-anak Indonesia banyak menjadi pekerja anak dan tidak berpendidikan, kehancuran bangsa ini tinggal menunggu waktunya! Wallahu a'lam.


Benni Setiawan
Penulis Buku Agenda Pendidikan Nasional

Jumat, 08 Agustus 2008

Awas, Serangan Fajar!



Oleh Benni Setiawan
Pikiran Rakyat, Jum'at, 8 Agustus 2008

Kota Bandung hari-hari ini agak lengang dari biasanya. Atribut dan alat peraga kampanye, sudah mulai bersih dan tidak lagi memenuhi pemandangan kota. Ingar-bingar kampanye dengan "goyangan" dangdut pun sudah usai. Suara bising kendaraan bermotor pendukung pasangan calon yang memenuhi badan jalan pun, sudah tidak kita temui lagi.

Namun, yang perlu kita waspadai dari kelengangan atau hari tenang ini adalah upaya politik uang atau serangan fajar. Serangan fajar biasanya dilakukan tim sukses dan simpatisan pasangan calon mendekati hari H. Bentuknya pun beragam, mulai dari membagikan bingkisan barang atau pun uang.

Serangan fajar ini, biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Aktivitasnya juga agak eksklusif. Kalaupun dilakukan secara terbuka, hal tersebut berada dalam satu komunitas yang homogen. Artinya, komunitas yang dapat dipastikan (99%) mendukung salah satu pasangan calon.

Serangan fajar secara terbuka ini, biasanya membicarakan berapa jumlah suara dalam satu rukun tetangga (RT) atau rukun warga (RW). Pengalaman di lapangan yang pernah penulis temui adalah pembahasan mengenai "harga" setiap RT dan person ditentukan dalam rapat bersama tersebut.

Biasanya, dalam satu RT yang dihuni kira-kira 50 kepala keluarga (KK) atau sekitar 100 pemilih akan dihargai dengan Rp. 2.000.000,00 Rp. 2.500.000,00. Jadi, setiap kepala dihargai dengan uang Rp. 20.000,00 sampai Rp. 25.000,00. Uang ini diberikan sebagai "tanda terima kasih". Para tim sukses pun berkata "Ini bukan bagian dari membeli suara, namun, sebagai tanda terima kasih". Di akhir pembicaraan, biasanya warga masyarakat diharap tetap waspada dan merapatkan barisan, agar tidak kemasukan tim sukses lain.

Dilakukan pamong

Ironisnya, biasanya yang melakukan "transaksi" ini adalah pamong desa atau orang-orang yang dianggap sepuh (sesepuh) atau yang dihormati masyarakat. Dengan demikian, masyarakat akan canggung bila menolak pemberian ini. "Pamong masyarakat" ini juga datang door to door (dari rumah ke rumah), sambil membawa bekal (uang).

Modus lain dari serangan fajar adalah janji akan diberikan bantuan pembangunan. Artinya, jika calon yang dibawa tim sukses menang, maka RT atau desanya akan disumbang semen atau bahan material pembangunan lainnya. Untuk tahab awal, diberi bantuan sekitar 30 sampai 40 persennya. Sisanya jika calon menang.

Beberapa modus tersebut sering terjadi dalam setiap pilkada. Bahkan, serangan fajar telah menjadi budaya. Banyak warga masyarakat mengajukan diri sebagai "broker politik". Hajatan lima tahunan ini dijadikan "pekerjaan sampingan" yang menghasilkan uang tidak sedikit.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana mencegah aksi serangan fajar ini?

Kesadaran

Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah pertama, kesadaran bahwa memilih adalah hak dan kewajiban sebagai warga negara. Memilih merupakan pilihan atau kehendak bebas. Ia hadir bukan karena paksaan atau dorongan kehadiran orang lain yang membawa uang atau barang. Lebih lanjut, memilih berdasarkan bujuk rayu seseorang akan menghilangkan "eksistensi diri". Artinya, keyakinan bahwa calon yang dipilih dapat mewakili aspirasinya dikotori pemberian uang yang tidak seberapa.

Lebih dari itu, memilih berdasarkan uang akan semakin menyengsarakan rakyat banyak. Artinya, ketika sekarang calon berani membeli suara rakyat, maka nanti ketika mereka berkuasa, mereka akan tidak segan untuk menghalalkan segala cara dalam memerintah. Pejabat pemerintah ini akan melakukan korupsi dengan membuat program kerja fiktif, guna menutupi kerugian atau uang yang telah diberikan kepada masyarakat saat mencalonkan diri.

Kedua, kesadaran dari calon pemimpin daerah (wali kota dan wakil wali kota). Kemenangan hasil money politic bukanlah kebanggaan. Kemenangan hasil money politic lebih sebagai kemenangan semu. Masyarakat akan memandang calon pemimpinnya sebelah mata. Ketika hal ini terjadi, tidak akan ada yang dinamakan pembangunan dalam segala bidang, karena salah satu elemen (masyarakat) tidak ikut serta di dalamnya. Proses demokratisasi di daerah akan kehilangan elan vitalnya, karena pemimpin masyarakatnya korup. Hal ini, mengakibatkan rusaknya tatanan demokrasi yang telah dibangun lama.

Lebih dari itu, berani membeli suara rakyat berarti berani membeli suara Tuhan. Jika calon pemimpin masyarakat sudah berani "membeli" suara Tuhan, siapa lagi yang akan ditakuti? Pemimpin kita akan "semau gue" dalam menjalankan pemerintahannya. Pada akhirnya masyarakatlah yang harus menerima risikonya.

Selamat memilih.***

Penulis, peneliti dan pemerhati pendidikan.

Senin, 04 Agustus 2008

Matinya Peran Pendidik




WACANA, Suara Merdeka, 04 Agustus 2008
Oleh Benni Setiawan

Guru tidak mampu berbuat banyak. Ia harus banting tulang dan mencari pekerjaan sampingan agar dapur tetap mengepul.
BELUM lekang dari ingatan kita perkelahian antargeng di Bandung dan aksi geng Nero di Pati, masyarakat kembali disuguhi pemandangan memilukan. Seorang peserta didik putri berkelahi di Yogyakarta.

Tidak sampai di situ, kenekatan pelajar Indonesia juga ditunjukkan dengan pemukulan siswa kepada guru (bahkan kepala sekolah) di Bantul, karena tidak naik kelas.

Aksi nekat yang digawangi anak-anak muda (peserta didik) ini tentunya meresahkan. Anak-anak muda yang seharusnya giat belajar, membaca buku, diskusi, ke perpustakaan, malah terjerumus dalam pergaulan yang tak mendidik.

Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa aksi kekerasaan yang dilakukan oleh para peserta didik yang notabene generasi penerus bangsa yang terdidik ini masih saja terjadi?

Aksi kekerasan yang dilakukan peserta didik merupakan bukti nyata matinya peran guru (pendidik) di sekolah. Guru tidak lagi menjadi seorang yang digugu (dipatuhi) dan ditiru (diteladani).

Mereka tidak lebih hanya sebagai orang yang hadir di dalam kelas, menyampaikan materi sebagaimana kurikulum yang telah dibuat pemerintah pusat, memberi tugas atau pekerjaan rumah (PR), memberi nilai di akhir semester, menghukum perserta didik yang melanggar peraturan sekolah, dan seterusnya.

Guru belum menjelma menjadi insan pendidik. Mereka belum mampu menjadi sebagaimana seorang juru tani terhadap tanamannya, yang selalu mengabdikan dirinya untuk kepentingan kesuburan tanaman dan tumbuh-kembangnya.

Maka seorang juru tani harus mengetahui sifat, watak, dan jenis tanamannya, sebagaimana konsepsi atau sistem among yang diwariskan oleh Ki Hajar Dewantara.

Guru tidak mampu berbuat banyak. Ia harus banting tulang dan mencari pekerjaan sampingan agar dapur tetap mengepul. Ia pun harus tunduk takluk terhadap aturan kurikulum yang dibuat pejabat pemerintah. Guru juga harus mampu menyelesaikan materi pelajaran sebelum batas waktu semesteran habis.

Ironisnya, guru adalah orang pertama yang mendapat cap buruk akibat banyaknya peserta didik yang tidak lulus ujian nasional (UN). Mereka juga menjadi pihak tertuduh dalam kasus munculnya geng-geng yang melakukan tindak kekerasan di sekolah.

Padahal guru hanyalah manusia biasa yang tentu saja mempunyai kelemahan dan keterbatasan. Guru hanya mampu memantau kegiatan peserta didik di sekolah. Selebihnya, hak pengasuhan anak mestinya tetap berada pada orangtua masing-masing di rumah.

Tayangan Televisi

Parahnya, di rumah, peserta didik tidak banyak mendapat didikan atau asuhan dari orangtua. Peserta didik lebih banyak mendapat ”didikan” dan ”asuhan” dari tayangan-tayangan televisi. Televisi telah menjadi ”guru” bagi para peserta didik di rumah.

Maka tidak aneh jika muncul berbagai aksi kekerasan di sekolah. Menurut hemat penulis, semua ini adalah berkat didikan televisi. Hal ini tampak jelas dalam kasus tindak kekerasan, baik perkelahian, pemukulan, maupun dalam bentuk geng yang muncul di berbagai daerah akhir-akhir ini.

Istilah geng adalah kosa kata dalam televisi. Sebagaimana tampak jelas dalam film-film di televisi. Pola rekrutmen anggota pun tidak jauh berbeda dengan film-film mafia Hongkong. Seperti harus tunduk kepada atasan, atasan selalu benar, dan kesalahan selalu ditimpakan kepada anak buah, dan seterusnya.

Acara kekerasan di televisi yang ditayangkan secara terus-menerus (impulsif) akan membentuk pola pikir peserta didik, sebagaimana disinyalir oleh Jalaluddin Rahmad. Ajaran dan didikan guru di sekolah tidak lebih sebagai angin lalu: masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Pendek kata, peserta didik sudah teracuni oleh pola pendidikan televisi.

Kondisi demikian tidak boleh dibiarkan terus-menerus. Bagaimana mencegah agar aksi kekerasan yang digawangi peserta didik tersebut dapat ditekan sedemikian rupa.

Ada beberapa upaya yang bisa dicoba untuk dilaksanakan.
Pertama, matikan televisi mulai dari sekarang. Jika terpaksa harus menonton televisi (mungkin ada tayangan yang bermutu), peserta didik tetap harus didampingi oleh orangtua. Memilih acara seperti siaran berita, atau acara-acara yang mengandung nilai edukasi seperti Laptop Si Unyil, Si Bolang, atau acara pengenalan kebudayaan Tanah Air, adalah pilihan yang bijak.

Kedua, orangtua perlu disadarkan bahwa kewajiban mendidik bukan terletak atau menjadi kewajiban mutlak seorang guru. Orangtua pun harus menjadi seorang pendidik yang baik. Artinya, ia menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan seorang peserta didik. Seorang peserta didik akan banyak belajar dari tingkah laku orangtuanya.

Orangtua juga perlu menciptakan ruang kasih sayang di antara anggota keluarga. Ruang kasih sayang dengan saling sapa dan sendau gurau akan mampu menjadi obat kejenuhan dan beban pikiran peserta didik. Guru-guru di sekolah pun demikian. Tugas guru bukan sekadar mengajarkan (transfer of knowledge), melainkan juga memberikan perhatian dengan penuh kasih sayang dan tulus ikhlas.

Ketiga, segera mengubah sistem atau orientasi pendidikan. Sistem pendidikan berbasis industri yang mengajarkan kompetisi, dan pendidikan berbasis bisnis yang mengakibatkan hilangnya nilai-nilai luhur bangsa dan kearifan lokal, sudah saatnya diganti dengan sistem pendidikan yang mendidik.

Sistem pendidikan yang mendidik tersebut dapat digali dari warisan founding fathers dan founding mothers. Seperti sistem among yang memerdekaan peserta didik, sebagaimana diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara. (32)

—Benni Setiawan, pemerhati pendidikan, penulis buku Agenda Pendidikan Nasional.