Search

Senin, 30 Maret 2009

Wapres bukan “Ban Serep”



Resensi, Surabaya Post, Minggu, 29 Maret 2009 | 23:07 WIB

Judul : Wapres: Pendamping atau Pesaing? Peranan Wakil Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.

Penulis : Roy B.B. Janis

Penerbit : Bhuana Ilmu Populer (BIP), Jakarta

Terbit : 2008

Tebal : 376 halaman

Peresensi : Benni Setiawan*)



Persaingan menuju RI pada pemilu 2009 semakin memanas. Banyak bermunculkan bakal calon Presiden yang diusulkan oleh partai politik, maupun koalisi (blok). Setidaknya hingga saat ini sudah ada nama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang siap kembali berlaga di 2009. Sebagai incumbent SBY begitu orang menyapanya, ditantang kembali oleh rivalnya di 2004 yang juga ketua umum partai demokrasi Indonesia perjuangan (PDI P), Megawati Soekarno Putri. Nama Wiranto yang di 2004 capres dari Partai Golkar juga ingin menguji keberuntungan dengan partai hati nurani rakyat (Hanura) yang dibidaninya. Selain wajah lama, ada nama Prabowo Subiyanto yang diusulkan oleh Partai Gerindra, Sri Sultan Hamengku Buwono X yang diusung oleh Partai RepublikaN, Muhaimin Iskandar yang mulai santer disebut di intern PKB, Dedy Mizwar, dan M. Jusuf Kalla.

Dari sekian nama tersebut di atas yang menarik perhatian adalah kesiapan Wapres Jusuf Kalla, yang juga ketua umum partai Golkar untuk maju menjadi Capres di 2009. JK, begitu dia sering disapa, maju selain untuk menyelamatkan citra partai Golkar, juga karena alasan ”pelecehan” yang dilakukan oleh Achmad Mubarok (fungsionaris DPP Partai Demokrat). Pencalonan JK ini sempat mampu memecah kebuntuan iklim demokrasi di Indonesia. Kesiapan JK untuk maju selain akan menambah warna pada pemilu 2009 juga semakin menguatkan adanya perbedaan pandangan dengan SBY.

Pembawaan JK yang santun dan humoris konon akan mampu menandingi kharisma SBY. Walaupun dalam poling, JK, masih berada di posisi bawah. Namun, yang menarik dari pencalonan JK, adalah keberanian seorang wakil presiden (wapres) menantang presiden. Hal ini kurang wajar, jika menggunakan analogi demokrasi ala Amerika Serikat. Konon, di Amerika Serikat tidak ada sejarahnya Wapres menantang Presiden dalam hajatan pemilu. Bahkan, Wapres harus berada di belakang presiden minimal satu langkah, sebagai penggambaran posisi Wapres yang hanya ”wakil”. Bahkan, orang Amerika dan penganut mazhab demokrasi ala negeri Abang Sam, beranggapan bahwa pencalonan diri seorang Wapres menantang Presiden merupakan hal yang tabu.

Keadaan ini tentunya tidak berlaku di Indonesia. Karena kiblat demokrasi Indonesia tidak melulu ke negeri yang kini dipimpin oleh Barack Husein Obama Jr. Seorang Wapres bisa saja menjadi pesaing yang boleh jadi dapat mengalahkan Presidennya.

Keberanian JK, untuk mencalonkan diri sebagai Presiden juga semakin menguatkan anggapan bahwa posisi pengusaha asal Sulawesi ini tidak hanya sebagai Wapres ban serep. Bahkan, ia menyatakan sejak awal, bahwa kehadirannya bersama SBY, bukan karena kemauan diri sendiri, namun karena permintaan ketua dewan penasehat partai Demokrat itu. Maka tidak aneh jika, JK mempunyai terobosan dan agenda penyelamatan bagi bangsa lewat kewenangannya menjalankan tugasnya sebagai Wapres.

Keberadaan JK, sebagai wapres yang dipilih langsung oleh rakyat pada pemilu 2004, tentunya berbeda dengan wapres di masa Orde Lama maupun Orde Baru. Saat Orde Baru berkuasa, posisi Wapres memang betul-betul hanya ban serep. Ia tidak mempunyai kewenangan apapun selain mengawasi jalannya pembangunan. Seluruh aspek kehidupan bangsa menjadi kendali Soeharto. Wapres Soeharto mulai Sri Sultan Hamengku Buwono IX hingga Tri Sutrisno hanyalah hiasan, atau patut-patut dalam bahasa Jawa. Maka tidak aneh jika, pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Prof Harun al Rasyid, membuat pernyataan kontroversial. Bahwa wapres periode 1998-2003, tidak perlu ada lagi. Karena sejarah membuktikan bahwa tanpa Wapres pun roda pemerintahan tetap berjalan (hlm. 10).

Di masa orde lama ala Soekarno, juga demikian adanya. Bung Hatta tidak banyak diberi kewenangan oleh Bung Karno dalam menjalankan pemerintahan. Padahal Bung Karno dan Bung Hatta sering disebut Dwitunggal. Des Alwi Abu Bakar menyatakan ”Om cuma disuruh ngurus koperasi. Segala keputusan politik tidak dikonsultasikan dengan saya. Jadi, Om berhenti saja jadi wakil presiden” (hlm. 52). Setelah pengunduran diri Bung Hatta, banyak pengamat mengatakan bahwa kepemimpinan Soerkarno sudah tidak terkontrol. Soekarno kehilangan sebagai jiwa kepemimpinannya setelah Hatta meninggalkannya.

Melalui buku ini, Roy B.B. Janis, ingin mengatakan bahwa posisi Wapres adalah pekerjaan mulia. Wapres bukanlah ban serep dalam pemerintahan. Wapres berhak menangani dan bertanggung jawab atas bidang-bidang tertentu. Hal ini tentunya dengan koordinasi bersama dengan Presiden. Wapres tidak hanya sebagai hiasan politik saja. Wapres mempunyai kewenangan dan kewajiban yang sama dengan Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dan memajukan peradaban bangsa.

Buku ini menjadi menarik untuk dibaca karena disertai foto-foto eksklusif dan penggambaran sosok wapres dari Hatta hingga JK. Nilai lebih dari buku ini adalah diedit dengan sempurna oleh seorang wartawan yang berpengalaman dalam bidang politik ketatanegaraan. Sehingga, dalam menyajikan sebuah data menjadi fakta, menjadi bacaan yang renyah dan mudah dipahami.



*)Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=41371be284c70c592049717c38e42081&jenis=d41d8cd98f00b204e9800998ecf8427e

Minggu, 29 Maret 2009

Mengasah Pandangan Kritis



Resensi, Seputar Indonesia, Minggu, 29 Mareh 2009

Sejak krisis multidimensional 12 tahun lalu, bangsa ini selalu dirundung masalah. Masalah paling berat yang dihadapi bangsa ini adalah krisis identitas dan kemanusiaan.

Bangsa ini kehilangan identitas budaya nasional sebagai jati diri bangsa. Masyarakat Indonesia begitu terpesona dengan budaya Barat.Ia tidak merasa enjoydengan budayanya sendiri. Anak-anak muda lebih ”mendewakan” artis Hollywood dan Bollywood daripada seniman lokal, pemeran ketoprak, seni pertunjukan wayang kulit, atau sendra tari Ramayana.

Mereka sudah tidak tahu lagi Pandawa Lima atau kisah Ramayana. Mereka lebih fasih melafalkan cerita tentang Spiderman atau kisah ”patriotisme”ala Barat. Maka tidak aneh jika bangsa ini juga dilanda krisis kemanusiaan. Sikap individualisme menjadi ”tuhan” baru masyarakat modern.

Sikap patriotisme dan nasionalisme ala Soekarno, Hatta, Shahrir, Tan Malaka,sudah tidak ada lagi.Malah mereka mungkin sudah menghapus nama-nama founding fathers dari ingatannya. Lebih dari itu, krisis identitas dan kemanusiaan telah membutakan mata hati kita untuk melihat kebenaran dan keadilan.

Kebenaran dilihat secara abu-abu sehingga tidak lagi jelas kebenarannya.Kebenaran menjadi sesuatu yang abstrak, padahal ia dapat dikonkretkan. Demikian pula dengan keadilan. Keadilan dimaknai tunggal sebagai keadilan individu. Keadilan untuk masyarakat banyak hanyalah mimpi di siang bolong.

Keadilan hanya berlaku bagi pendukung, kolega, kelompok partai politik,ataupun konstituen. Sebagaimana kita saksikan hari-hari ini,semua berebut simpati dan berdebat mengenai kebenaran dan keadilan. Juru kampanye (jurkam), meneriakkan keberhasilan dan keadilan semu yang mereka kerjakan. Apa yang dilakukan selama ini menjadi keberhasilan dan prestasi terbaik dalam sejarah.

”Pertama kali dalam sejarah,” teriak mereka.Di sisi lain,banyak parpol mencibir gagasan dan kerjakerja yang selama ini telah dilakukan. Siapa yang benar dan berbuat adil, menjadi tanda tanya yang tak terjawab. Melalui buku Perspektif Etika Baru,K Bertens menyuguhkan sekian data dan fakta mengenai berbagai masalah yang selama ini menjadi perbincangan masyarakat.

Masalah-masalah tersebut menjadi semakin lengkap dan menarik karena dibedah dengan perspektif etika dan moral.Dengan perspektif ini,persoalan masyarakat tidak lagi menjadi perbincangan yang kaku dan monoton. Keluasan penekun etika dan filsafat dari Universitas Atma Jaya,Jakarta ini semakin memuaskan dahaga kita untuk memandang setiap persoalan dengan jernih dan menyeluruh.

Buku ini terdiri atas lima bab yang dibagi berdasarkan catatan persoalan.Bab pertama membedah persoalan etika sosial-politik. Alumnus Universitas Leuven, Belgia ini memaparkan persoalanpersoalan etika sosial-politik yang pernah mewarnai sejarah demokrasi Indonesia.

Persoalan sosialpolitik bangsa Indonesia menjelang dan saat Pemilu 2004 dibahas dengan santun dan mendalam tanpa mencederai pihakpihak yang bertarung saat pemilu kedua di era reformasi tersebut. K Bertens, dengan ketajaman analisisnya mampu mengetengahkan persoalan demokrasi bangsa dengan bahasa lugas dan tegas.

Direktur Pusat Pengembangan Etika (1984-1995) Universitas Atma Jaya, Jakarta ini mengemas persoalan sosial-politik yang njlimet menjadi bacaan yang renyah dan mencerahkan. Bab kedua, Bertens membedah cakrawala etika global. Dalam bab ini, Bertens menulis 13 artikel mengenai persoalan dunia yang juga berimbas pada kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Melalui bab ini kita akan menemukan persoalan dunia yang perlu disikapi secara arif dan bijaksana oleh bangsa Indonesia. Bab ketiga, K Bertens sebagai akademisi yang banyak bersentuhan langsung dengan dunia kampus mengkritik dengan santun sistem kehidupan di perguruan tinggi.

Kritik atas pendidikan di perguruan tinggi akan mampu membuka mata kita melihat kehidupan kampus sebagai basis pendidikan tinggi di Indonesia secara nyata. Kebobrokan sistem pendidikan di kampus diuraikan secara cerdas tanpa menggurui siapapun. Bab keempat,Ketua Himpunan Dosen Etika Seluruh Indonesia (HIDESI) tahun 1990-1997 ini mengupas masalah bioetika.

Pada bab ini, Bertens tidak hanya menggunakan analisis etika dan moral dalam mengurai persoalan bioetika. Namun, ia juga mampu mengetengahkan pandangan agama tanpa harus terjebak dalam dogma. Bab kelima,Bertens menampilkan beberapa filsuf, seperti Imanuel Kant, Paul Ricoeur,Newman, Pascal,Plato,dan Nelson Mandela.

Nelson Mandela misalnya dilukiskan oleh Bertens sebagai seorang yang teguh pendirian dan pembuka jalan baru bagi terciptanya keadilan di Afrika Selatan khususnya dan dunia umumnya. Nelson Mandela, tulis Bertens, adalah tokoh yang berjasa mempopulerkan kata ”rekonsiliasi”, berkat pidatonya saat dilantik menjadi presiden baru Afrika Selatan pada 10 Mei 1994.

Nelson Mandela menyerukan penyembuhan luka masa lampau, penghormatan hak fundamental setiap individu, dan pembentukan tatanan baru yang didasarkan atas keadilan untuk semua. Rekonsiliasi ala Mandela ini perlu ditiru oleh calon pemimpin bangsa Indonesia yang akan berlaga pada Pemilu 2009 ini. Rekonsiliasi akan mampu menciptakan tatanan masyarakat adil dan makmur, sebagaimana cita-cita bangsa Indonesia.

Akhirnya, buku ini merupakan buah karya filsuf Indonesia dalam memetakan persoalan etis dari berbagai masalah aktual. Melalui buku ini,kita akan mampu melihat hal-hal yang etis dan tidak etis di balik setiap masalah. Buku ini juga akan menggugah dan mengasah pandangan kritis kita terhadap berbagai persoalan yang berserakan di sekitar kita.(*)

Benni Setiawan,
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Jumat, 27 Maret 2009

Ketika PT Jadi Sumber Disclaimer



KAMPUS, Suara Merdeka,Sabtu, 28 Maret 2009

Berita buruk datang dari perguruan tinggi di Indonesia. Hasil audit Badan Periksa Keuangan (BPK) baru-baru ini menyebutkan, sebagian besar laporan keuangan perguruan tinggi di Indonesia masih disclaimer. Hanya dua laporan dari 82 perguruan tinggi negeri (PTN) di negeri ini yang menunjukkan wajar tanpa perkecualian, yaitu Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.

PERTANYAAN yang kemudian muncul adalah, mengapa perguruan tinggi (PT) sebagai pendidik akuntan dan auditor malah terjerembab dalam ketidakmampuan membuat laporan keuangan yang baik dan memenuhi standar ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan kepada publik?

Makin terbukti PT di negeri ini masih dikelola dengan sistem tradisional. Artinya, perguruan tinggi yang notabene menjadi salah satu wajah bangsa di tingkat nasional maupun internasional belum dikelola dengan sistem modern.

Sistem modern berbasis kompetensi mestinya dikelola dan dipimpin oleh orang-orang yang kompeten, serta mempunyai visi dan misi untuk memajukan dunia pendidikan. Faktanya, hal itu belum menjadi ruh dalam perguruan tinggi di Indonesia.

Masih banyak PT yang dikelola seperti milik keluarga. Prinsip ewuh-pakewuh dalam artian negatif menjadi budaya yang tidak mendidik. Hal tersebut sangat kontras dengan jargon yang selama ini diusung atau ditampilkan dalam advertising.
Kita kerap mendengar klaim bombastis dari sejumlah lembaga pendidikan tinggi.

Misalnya perguruan tinggi terbaik se-Indonesia, satu-satunya perguruan tinggi yang masuk 300 besar perguruan tinggi internasional, perguruan tinggi ber-basis ICT, perguruan tinggi yang memiliki 75 persen dosen bergelar master dan doktor dari luar negeri, serta alumnusnya bisa langsung bekerja dan diminati banyak perusahaan.

PTN, khususnya, sekarang berlomba-lomba menjaring calon mahasiswa baru. Kampus negeri tidak ubahnya perguruan tinggi swasta (PTS), bahkan menarik dana lebih mahal.

PTN berlomba menjadi badan hukum milik negara (BHMN) dan badan layanan umum (BLU) untuk dapat mengeruk dana sebanyak-banyaknya dari calon mahasiswa baru. Dengan status ini pula, PTN dapat melakukan seleksi penerimaan calon mahasiswa baru sendiri (mandiri).

Mereka dapat menentukan berapa dana yang harus dikeluarkan calon mahasiswa untuk bisa ’’membeli’’ kursi PTN yang konon favorit. Ironisnya, seleksi mandiri ini mengalokasikan (menerima) 75 persen dari kuota kursi yang ada. Sisanya, 25 persen, menjadi rebutan dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Bisa dipastikan, makin kecil peluang calon mahasiswa baru dari keluarga miskin untuk dapat menikmati pendidikan di PTN. Buktinya, beberapa PTN hanya menyisakan tidak lebih dari lima persen kursinya untuk mahasiswa miskin.

Bahkan beberapa PTN hanya bisa menampung dua persen! Selebihnya diperuntukkan bagi mereka yang secara ekonomi cukup kuat (Tajuk Rencana Bisnis Indonesia, 3/3/2009). Pendek kata, PTN ora jumbuh dengan statusnya yang negeri.
Menjual Status
PTN lebih menjual status negerinya daripada kemampuan intelektual, skill dan keahlian lain (kognitif, afektif, dan psikomotorik). Padahal selama ini mereka belum dapat menunjukkan diri sebagai perguruan tinggi yang pantas untuk disebut negeri, karena dibiayai oleh negara.

Menurut saya, PTN lebih manja dan kurang mandiri dibandingkan dengan PTS. Ini dapat dilihat dari kualitas dosen dalam penulisan jurnal ilmiah maupun di berbagai media cetak. Sangat sedikit —untuk tidak menyatakan tak ada— dosen yang mampu menulis dengan baik di berbagai media cetak (koran). Dosen yang menulis di koran hanya itu-itu saja sejak dulu.

Banyak dosen PTN memilih menulis di jurnal ilmiah di lingkungan kampusnya, karena nilai kumnya lebih tinggi. Ironisnya, jurnal-jurnal tersebut dikelola sendiri oleh dosen di lingkungan PTN. Dengan demikian, tidak ada sistem seleksi dalam pemuatannya.

Bahkan, cara menulisnya pun hanya sistem kebut semalam (SKS). Sebagai contoh, saya pernah menemukan artikel seorang dosen PTN di sebuah jurnal ilmiah akreditasi B, hanya menggunakan empat footnote (catatan kaki) dan tiga daftar pustaka.

Jika demikian adanya, bagaimana mau mendidik mahasiswa agar menjadi kritis dan mampu membuat karya ilmiah (baik skripsi, tesis, atau disertasi) dengan baik dan mampu menelurkan gagasan-gagasan segar yang berguna bagi peradaban?

Maka, banyak pihak menyangsikan keseriusan perguruan tinggi dalam memajukan sistem pendidikan nasional. Perguruan tinggi kian terjebak dalam rutinitas perkuliahan yang membelenggu. Mahasiswa dipaksa masuk kelas minimal 75 persen, sementara dosen sibuk dengan urusan kenaikan kum dan pangkat.

Pihak rektorat pun sibuk membangun jaringan yang konon untuk pendanaan (menutupi kekurangan biaya penyelenggaraan pendidikan), kemajuan kampus, dan seterusnya. Sudah tak ada waktu lagi bagi mereka untuk sejenak membaca buku, diskusi, menulis, dan melakukan penelitian.

Konsekuensi logis dari semua ini adalah ketidakmampuan perguruan tinggi dalam membuat laporan keuangan yang baik. Mereka tak mempunyai banyak waktu untuk meningkatkan dan memperbarui bacaan.

Penulisan laporan pun tak lebih sebagai formalitas belaka. Toh pada akhirnya, nanti direvisi dan setelah itu usai sudah tugasnya. Hal ini karena Departemen Pendidikan Nasional dan BPK tidak akan berlama-lama dengan masalah ini. Atau dengan kata lain ’’tahu sama tahu’’, sebagaimana kebiasaan yang berkembang selama ini.

Akhirnya pernyataan disclaimer terhadap 80 PTN di Indonesia bukanlah hal baru dalam sistem pendidikan nasional. Pasalnya, insan perguruan tinggi sudah berada di track yang keliru dalam menerapkan sistem pendidikan yang mendidik, meneguhkan, dan mencerahkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Wallahu a’lam. (32)

—Benni Setiawan, penulis buku Manifesto Pendidikan Indonesia (2006) dan Agenda Pendidikan Nasional (2008); mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Jumat, 13 Maret 2009

Ketika Kampus Jadi Pasar Dadakan




KAMPUS, Suara Merdeka,Sabtu, 14 Maret 2009

Tahun ajaran baru 2009/2010 sudah makin dekat, beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) bahkan sudah mulai menjaring calon-calon mahasiswa baru melalui berbagai jalur. Tetapi hingga detik ini, UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang menjadi salah satu landasan dalam penjaringan mahasiswa baru masih menimbulkan pro dan kontra. Kampus dikhawatirkan menjadi ’’pasar dadakan’’.

PIHAK kontra beranggapan, UU BHP hanya makin menyuburkan praktik kapitalisme dalam bentuk komersialisasi pendidikan. Sedangkan pihak pendukung menyatakan, peraturan ini justru diyakini bisa memberi perlindungan kepada masyarakat untuk tidak lagi dipungut biaya pendidikan yang tinggi.

Dengan UU ini, kata pihak pendukung, warga miskin jutru makin terlindungi. Sebab ada kewajiban dari badan hukum pendidikan serta pemerintah untuk menyediakan beasiswa, bantuan biaya pendidikan, kredit pendidikan mahasiswa, dan pemberian pekerjaan kepada mahasiswa.

Selain itu, BHP wajib menjaring dan menerima siswa berpotensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi, sekurangnya 20 persen dari jumlah peserta didik baru. Pertanyaan yang muncul kemudian, benarkah UU BHP yang diancang ’’mulia’’ ini dapat semakin meningkatkan mutu pendidikan tinggi di tengah kian menguatnya kuatnya pendulum perguruan tinggi mengeruk pundi-pundi mahasiswa ala kaum kapitalis?
Bertolak Belakang
Cita-cita ’’mulia’’ UU BHP untuk menolong orang miskin agar bisa melanjutkan pendidikannya jelas sangat bertolak belakang dengan realitas yang terjadi saat ini. Betapa tidak, di tengah makin tingginya tuntutan dunia industri yang mensyaratkan lulus pendidikan strata satu (S1), IP tinggi, dan berasal dari perguraan tinggi ternama, kampus-kampus telah menjadi bareng angker bagi orang miskin.

Orang miskin dengan kantong cekak tidak akan mungkin dapat masuk perguruan tinggi ternama. Ia harus bersaing dengan orang kaya berkantong tebal. Ironisnya, standar masuk perguruan tinggi ternama kini dapat diselesaikan dengan uang. Kualitas dan kapasitas seseorang dalam ilmu pengetahuan tidaklah penting. Ini terlihat jelas dari sistem seleksi perguruan tinggi yang telah menjadi badan hukum milik negara (BHMN).

Orang miskin yang bercita-cita dapat belajar di perguruan tinggi ternama, agar masa depannya gemilang, hanya bisa gigit jari. Ketika ditanya berani membayar berapa uang bantuan operasional pendidikan (dengan standar minimal Rp 5 juta), calon mahasiswa baru (dan orangtuanya) akan berfikir seribu kali!

Dari mana dia atau orang tua memperoleh uang sebanyak itu, di tengah makin sempitnya lapangan pekerjaan akibat krisis keuangan global. Hanya orang kaya saja yang siap dan sanggup menyediakan uang berapa pun, demi sebuah prestise atau gengsi. Benarlah kata Eko Prasetyo, dalam sebuah bukunya yang berjudul sangat provokatif: Orang Miskin Dilarang Sekolah!

Hal ini kian diperparah oleh penerbitan UU BHP, yang mensyaratkan swastanisasi sistem pendidikan. Perguruan tinggi bisa berubah dan membuat simpul-simpul usaha apapun, demi ’’keberlangsungan’’ sistem pendidikan. Mereka akan berlomba membuat ’’pabrik’’ di tengah-tengah peradaban dan pergulatan ilmu dan pemikiran (kampus).

Kampus nantinya akan menjadi pasar dadakan, yang menyediakan barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan manusia modern. Hal ini tentunya akan menggusur iklim ilmiah di kampus. Rektor dan pejabat kampus hanya disibukkan dengan bisnis barunya itu. Dosen-dosen akan mencari proyek penelitian yang dibiayai
oknum-oknum tertentu, demi kepentingan tersembunyi pemasok dana.

Mahasiswa akan disibukkan dengan bagaimana mencari sumber dana untuk menutupi biaya SPP setiap semester. Materi kuliah dan sistem pendidikan hanya dijadikan formalitas belaka. Perpustakaan sebagai jantung peradaban pun bakal sepi, karena mahasiswa, dosen, dan pejabat kampus lebih disibukkan dengan dunia bisnis yang lebih menjanjikan.
Sampah Masyarakat
Keadaan tersebut hanya akan menjadikan kampus sebagai mal dengan label perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan tidak ada kegiatan akademis yang dapat mengubah cara berfikir dari irasional menjadi rasional, dari magis menjadi kritis, dan seterusnya. Yang ada di dalam otak penghuni kampus hanyalah bagaimana bisnis ini menjadi lancar, dan kegiatan perguruan tinggi bisa berjalan dengan baik. Jika bisnisnya gagal, dibuat pailit saja. Selesai!

Maka, dari kehidupan kampus seperti itu, jangan banyak berharap perubahan datang dari orang-orang cerdik pandai. Kampus di era UU BHP hanya akan menjadi menara gading yang mereproduksi robot-robot tanpa nalar. Mereka akan selalu berfikir praktis dalam kerangka pikir ala kaum kapitalis. Segala sesuatu diukur dengan uang atau materi. Tanpa uang, gagasan besar akan mandek!.

Lebih dari itu, kampus hanya akan menjadi sampah masyarakat. Orang yang dapat masuk kampus adalah orang-orang mapan yang tidak membutuhkan perubahan radikal dalam hidup. Mereka akan menikmati indahnya bangunan kampus yang megah, fasilitas yang komplet, namun buta realitas.

Tidak ada lagi kebebasan berfikir di kampus. Yang ada hanyalah penyeragaman cara berfikir, sehingga para mahasiswa tidak mampu menjadi insan mandiri (kritis). Sangat sulit kita berharap kampus akan menjadi pusat peradaban yang menelurkan gagasan-gagasan besar yang dapat menyelesaikan persoalan sosial secara geneuin.

Semua ini tentu akan berimbas pada penurunan kualitas pendidikan perguruan tinggi di Indonesia. Karena, tidak ada sistem akademik yang mendorong mahasiwa untuk berfikir ilmiah. Juga karena lemahnya kontrol yang baik dari pemerintah maupun masyarakat.

UU BHP harus digugat melalui cara-cara formal maupun nonformal, dengan mengedepankan rasionalitas yang didasari sikap mawas diri. Cara formal dapat ditempuh dengan mengajukan gugatan uji materi UU ke Mahkamah Konstitusi (MK). Cara nonformal dilakukan dengan terus mendorong dan menumbuhkan budaya tandingan di kampus-kampus, agar pihak rektorat menolak UU BHP.

Dengan sinergi gerakan semacam itu, kita dapat menyelamatkan masa depan pendidikan serta bangsa dan negara Indonesia dari kehancuran akibat sistem yang tidak memihak dan membelenggu.

Akhirnya, UU BHP berpotensi makin mengerdilkan peran dan fungsi pendidikan yang mulia. UU ini makin menjauhkan perguruan tinggi dari realitas masyarakat. Perguruan tinggi makin menjadi menara gading dari ilmu pengetahuan. Wallahu a’lam. (Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjanan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta-32).

Rabu, 11 Maret 2009

Meneguhkan Khitah Perjuangan Muhammadiyah



Koran Tempo, Rabu, 11 Maret 2009.

Benni Setiawan
MAHASISWA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA, YOGYAKARTA

Artikel Asep Purnama Bahtiar berjudul “Bandul Politik Muhammadiyah” (Koran Tempo, 6 Maret 2009) di awal tulisan begitu ideal. Namun, solusi yang diberikan di paragraf akhir terkesan malu-malu. Asep Purnama tidak berani menyatakan bahwa sudah saatnya Muhammadiyah menjauhi arena politik. Artikel ini akan berusaha mendudukkan peran kebangsaan Muhammadiyah dengan tidak ikut serta dalam hiruk-pikuk politik. Namun, artikel ini tidak berpretensi dapat menyelesaikan persoalan "gairah" politik Muhammadiyah yang ditahan sejak dulu.

Sejak awal doktrin persyarikatan Muhammadiyah, organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, adalah gerakan sosial kemasyarakatan amar ma'ruf nahi munkar dan tadjid. Namun, akhir-akhir ini beberapa warga persyarikatan mulai mengusik khitah perjuangan tersebut. Mereka mendirikan partai politik yang diklaim sebagai anak kandung Muhammadiyah karena lahir berdasarkan amanat Tanwir Muhammadiyah di Ponorogo pada 1969. Ada pula beberapa pimpinan wilayah Muhammadiyah (PWM) yang mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah melalui institusi besar Muhammadiyah, karena ada amanat atau surat keputusan dari musyawarah pimpinan wilayah luar biasa.

Padahal keputusan Tanwir Muhammadiyah di Ponorogo atau sering disebut Khitah Ponorogo, yang berisi tentang diperbolehkannya kader Muhammadiyah mendirikan parpol sebagai salah satu alat menyampaikan aspirasi, meminjam istilah Haedar Nashir (2000) sudah di-nasakh (dihapus) dengan Khitah Perjuangan Muhammadiyah tahun 1971 Ujung Pandang (Khitah Ujung Pandang). Khitah Ujung Pandang berbunyi "Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari suatu partai politik atau organisasi apa pun".

Dengan demikian, Muhammadiyah tidak perlu terlibat langsung sebagaimana saudara tua NU. Muhammadiyah tidak perlu melahirkan atau membidani sebuah parpol. Lebih dari itu, Muhammadiyah tidak perlu juga mengusulkan dan mencalonkan "kader terbaiknya" menjadi anggota legislatif ataupun Dewan Perwakilan Daerah, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa pimpinan wilayah Muhammadiyah di berbagai daerah. Dengan alasan "menyelamatkan" suara warga Muhammadiyah, PWM menginstruksikan warganya dengan surat keputusan melalui Musyawarah Pimpinan Wilayah Luar Biasa. SK tersebut sering kali digunakan sebagai "senjata andalan" untuk mendulang kemenangan (suara) seorang calon anggota DPD. Bahkan SK tersebut sering kali ada di sekolah-sekolah Muhammadiyah yang dititipkan peserta didik untuk orang tua/wali murid.

Ideologi politik
Merangseknya "ideologi politik" ke dalam tubuh Muhammadiyah tentunya perlu diwaspadai. Artinya, ideologi politik hanya akan mencerai-beraikan Muhammadiyah. Muhammadiyah akan kehilangan élan vitalnya dalam pembangunan bangsa dan negara. Muhammadiyah hanya akan disibukkan oleh ritual politik yang penuh intrik dan menghabiskan banyak biaya.

Keterlibatan Muhammadiyah dalam partai politik menjadi ancaman nyata persyarikatan yang hampir seabad ini. Muhammadiyah akan menjadi organisasi yang lemah dan tidak berdaya. Muhammadiyah akan banyak kehilangan aset. Hal ini karena aset Muhammadiyah dijual dengan harga murah oleh segelintir orang yang mengatasnamakan kader persyarikatan.

Sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah hanya akan dijadikan bancakan untuk memuaskan dahaga politikus yang ingin mencari hidup dari Muhammadiyah. Sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah tidak akan lagi melayani dan menjadi basis pencerahan dan pendidikan umat. Ia hanya akan menjadi lumbung penumpuk uang untuk menyokong agenda kampanye politik.

PKU Muhammadiyah pun tidak akan lepas dari sasaran tempat kelompok ideologi politik. PKU sebagai basis kesehatan umat hanya akan dipenuhi gambar-gambar calon legislator dari parpol tertentu. Ruang-ruang PKU tidak lagi mencerminkan layanan sosial umat, namun menjadi layanan sosial parpol. Maka, sudah saatnya warga persyarikatan Muhammadiyah kembali kepada khitah perjuangannya, yaitu gerakan sosial kemasyarakatan amar ma'ruf nahi munkar dan tadjid (pembaruan). Muhammadiyah tidak akan ditinggal oleh sejarah jika ia tetap pada khitah tersebut. Bahkan ia akan semakin kukuh dan mewarnai setiap gerak langkah sejarah bangsa.

Muhammadiyah seyogianya kembali membina dan membangun masyarakat. Hal ini karena, menurut M. Amien Rais (Suara Muhammadiyah, Nomor 04. 16-28 Februari 2009), membangun masyarakat lebih sulit daripada membangun negara. Membangun sebuah negara memang lewat pemegangan kekuasaan sebuah bangsa. Kekuasaan itu bisa diambil lewat proses demokrasi melalui pemilu, bisa juga lewat kudeta, bahkan bisa lewat pemberontakan. Nah, Muhammadiyah tidak percaya bahwa misi keislaman Muhammadiyah bisa dilaksanakan semata-mata lewat kekuasaan. Kekuasaan itu sesuatu yang sifatnya sangat rapuh. Kekuasaan itu datang dan pergi, jatuh dan bangun, bahkan kadang-kadang bisa lenyap secara tiba-tiba. Tetapi, kalau masyarakat itu jauh lebih lestari, itu karena masyarakat adalah kumpulan dari tiap individu yang membentuk sebuah bangsa dengan segala macam aspirasi, impian, dan cita-cita.

Lebih lanjut, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini menambahkan, Muhammadiyah tidak membidik negara Islam sama sekali, tetapi mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Artinya, melakukan transformasi mental, transformasi gagasan, transformasi cara kehidupan dan bersikap, serta transformasi etiket dan etika dalam kehidupan sebuah bangsa. Nah, kalau masyarakat itu lebih-kurang sudah landing kepada nilai-nilai Islam, sesungguhnya tujuan Muhammadiyah itu sudah terpenuhi, sekalipun kita juga paham bahwa melakukan transformasi kehidupan Islami di tengah masyarakat adalah sebuah perjuangan abadi. Intinya adalah, Muhammadiyah tidak akan berebut kekuasaan, tetapi Muhammadiyah berkhidmat di bidang pendidikan, kesehatan, pembangunan sumber daya manusia, mengarahkan kepemudaan, keputrian, kepanduan, dan lain-lain, tanpa melupakan kehidupan politik.

Pada akhirnya, sudah saatnya pimpinan Muhammadiyah sadar bahwa garis perjuangan Muhammadiyah bukanlah politik praktis. Bagi pimpinan persyarikatan yang ingin mencalonkan diri menjadi presiden, wakil presiden, anggota DPR, anggota DPD, sudah saatnya mereka pamit dari Muhammadiyah, sebagaimana amanat SK PP Nomor 160.

Rabu, 04 Maret 2009

Iklan Politik yang Monoton


Surya, Rabu, 4 Maret 2009


Dengan demikian, iklan politik pada dasarnya merupakan bentuk uji kredibilitas seseorang. Iklan politik akan sangat menentukan cara pandang seseorang. Iklan politik yang baik adalah yang mampu memengaruhi banyak orang. Yang terjadi sekarang sebaliknya. Banyak iklan politik yang memuakkan.

PESTA demokrasi lima tahunan Pemilu sudah dimulai. Pesta ini selalu ditandai dengan banyaknya atribut partai politik (parpol) yang semakin mengurangi sudut pandang keindahan kota di jalan raya. Mungkin, jika dibentangkan, iklan politik, baik yang berupa baliho, poster, spanduk, yang dipasang oleh caleg, lebih panjang dari Sabang hingga Merauke.

Kalau setiap caleg yang berjumlah 460.000 orang di seluruh Indonesia mencetak 1.000 poster, totalnya ada 460 juta poster. Jika satu poster pajangnya 50 cm saja, ketika berjejer urutan panjangnya bisa mencapai 230.000 kilometer. Seberapa panjang itu? Bentangan jarak dari Sabang di Aceh sampai Merauke di Papua hanya 5.000 kilometer. Artinya, bentangan poster itu mencapai 46 kali jarak dari ujung ke ujung negeri ini.

Tanpa Makna
Iklan politik hanyalah pengumuman biasa tanpa makna. Banyak yang asal ditempel di pohon tepi jalan, semakin membuat gersang tumbuhan, yang akhirnya mati. Aktivis pecinta lingkungan unjuk rasa menolak pemasangan pamlet, poster dan spanduk yang merusak pohon. Mereka menyerukan agar tidak memilih caleg yang sengaja memasang gambarnya di pohon, dengan tidak mengindahkan etika lingkungan.

Aktivis pecinta lingkungan juga mengancam caleg dengan Undang-undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam. Dalam UU ini dinyatakatan, merusak alam atau ekosistem pohon dengan sengaja dapat dijerat dengan denda dan hukum pidana, tergantung tingkat kerusakan yang ditimbulkan.

Ironisnya, selain calon pemimpin kita merusak ekosistem alam mereka enggan membayar pajak pemasangan iklan di pinggir jalan. Walau sudah banyak atribut yang dicopot polisi pamong praja (Satpol PP) karena melanggar perda dan peraturan lain, tetap saja caleg nekat memasangnya, tanpa memedulikan hak-hak orang lain.

Lebih dari itu, caleg dan parpol menggunakan media televisi untuk mewartakan dirinya. Iklan politik di televisi telah banyak menyedot perhatian pemirsa. Menurut data Nielsen Media Reseach Indonesia, pendapatan iklan pemerintah dan organisasi politik naik 79 persen. Belanja iklan di media massa naik pada semester pertama tahun 2008 sebesar 24 persen, jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2007 dengan total anggaran 19,56 triliun.

Simbol Agama
Iklan-iklan politik parpol maupun cale sangat monoton. Hampir seluruh iklan, baik di jalan raya maupun di televisi dipenuhi dengan simbol agama, pembelaan terhadap rakyat kecil (wong cilik), kompetensi caleg, gelar yang dipampang panjang, dan seterusnya. Tidak banyak variasi.

Menurut Lynda Lee Kaid (2000) sebagaimana dikutip Agus Putranto, iklan politik harus memiliki aspek kredibilitas yang tinggi berdasarkan pada sejauh mana iklan tersebut terlalu menyederhanakan masalah (oversimplified) tanpa menyembunyikan informasi penting dan relevan serta penggunaan trik dan manipulasi teknologis.

Dengan demikian, iklan politik pada dasarnya merupakan bentuk uji kredibilitas seseorang. Iklan politik akan sangat menentukan cara pandang seseorang. Iklan politik yang baik adalah yang mampu memengaruhi banyak orang.

Yang terjadi sekarang sebaliknya. Banyak iklan politik yang memuakkan. Bahkan, dalam sebuah surat pembaca di sebuah koran terbitan Jakarta, ditulis, seorang warga merasa terganggu dengan banyaknya atribut parpol maupun caleg yang memenuhi gang-gang sempit kampugnya. Ia bersama warga lain, sempat melakukan sweeping atau pembersihan kampung dari segala atribut parpol, namun, keesokan harinya sudah ada atribut lagi.

Keadaan seperti ini sudah saatnya dipikirkan oleh caleg dan parpol. Jika masyarakat sudah muak melihat iklan politik, ia akan acuh tak acuh terhadap tahapan pemilu, yang pada gilirannya, mereka akan memilih golput atau tidak memilih/menggunakan hak suaranya. Pilihan masyarakat untuk golput tentunya merugikan negara secara umum dan caleg secara khusus.

Formula Iklan
Kiranya perlu dibuat formula yang tepat agar iklan politik dapat diterima oleh masyarakat. Salah satunya, dengan mengurangi gambar-gambar di pinggir jalan. Iklan politik di pinggir jalan tidak terlalu efektif. Caleg seyogianya lebih memfokuskan diri mendekati konstituen dari rumah ke rumah. Kampanye model ini terbukti efektif sebagaimana pernah dilakukan oleh Presiden terpilih Amerika Serikat Barack Husein Obama Jr.

Selanjutnya, caleg dapat memanfaatkan media massa cetak (koran) untuk kampanye gratis. Bagaimana caranya? Caleg dapat menulis di kolom opini yang disediakan media cetak. Sekiranya caleg tidak mampu bersaing dengan penulis-penulis yang sudah malang-melintang di dunia kepenulisan, ia dapat memanfaatkan kolom surat pembaca atau citizen journalism, sebagaimana yang ada di Harian Surya.

Dengan menulis, caleg dapat mempromosikan diri serta visi dan misinya dalam membangun tatanan bangsa selama lima tahun ke depan. Lebih dari itu, caleg tidak perlu mengeluarkan ongkos politik yang besar, yang pada gilirannya nanti mereka mencari ganti dengan memangkas anggaran untuk rakyat (korupsi).

Model kampanye seperti ini tidak menganggu pemandangan serta tidak merusak pohon (ramah lingkungan). Model kampanye seperti ini akan lebih mendekatkan caleg dengan pemilih. Caleg dapat mendengar langsung keluh-kesah masyarakat, sehingga dalam menjalankan program kerja nanti lebih terarah dan tepat sasaran.

Benni Setiawan
Peneliti Lentera Institute

Senin, 02 Maret 2009

Wacana Ulang Multikulturalisme

Resensi, Seputar Indonesia, Minggu, 28 February 2009

PERBINCANGAN mengenai multikulturalisme sejatinya bukanlah hal baru. Ia telah ada dan menjadi perbincangan hangat di Barat sejak lebih dari 50 tahun lalu.

Namun, wacana ini baru dikonsumsi masyarakat Indonesia 25 tahun terakhir. Mengapa Indonesia begitu terlambat mengembangkan wacana multikulturalisme ini? Padahal realitas masyarakat Indonesia sangat multikultural. Indonesia memiliki lebih dari 13.000 pulau yang membentang dari Sabang hingga Merauke.

Keadaan ini ditambah dengan adanya lebih dari 7.000 suku dan budaya, serta lebih dari 3.000 bahasa daerah yang berkembang hingga saat ini. Beragamnya suku bangsa ini tentunya dapat menimbulkan konflik jika masyarakat Indonesia tidak memahami realitas diri dan lingkungannya.

Konflik tersebut bahkan akan dapat mengancam eksistensi bangsa dan negara Indonesia yang multikultural. Dengan demikian, mengelola perbedaan dan kemajemukan budaya yang ada di dalam masyarakat merupakan kewajiban individu dan masyarakat guna memperkuat dan memperkaya khasanah budaya Nusantara.

Jika tidak, ragam budaya multikultural Indonesia akan menjadi ancaman nyata bagi integritas,persatuan, dan kesatuan bangsa. Buku Rethinking Multiculturalsm, Keberagaman Budaya dan Teori Politik yang ditulis oleh Bhikhu Parekh ini pengembangan dan penambahan gagasan dari buku pertamanya yang mendapatkan tanggapan dan kritik dari berbagai kalangan.

Buku edisi kedua Bhikhu Parekh ini menjadi semakin menarik dengan penambahan satu bab khusus, sebagai jawaban atas kritik terhadap buku edisi pertamanya. Guru besar pada The Center for the Study of Democracy di Universitas Westminster, Inggris ini menanggapi berbagai kritik dengan santun dan penuh penghormatan tanpa mencederai iklim intelektual yang telah dibangun lama (Bab 12).

Multikulturalisme dalam buku ini mempunyai pemaknaan baru yang cukup centil dan jenius. Multikulturalisme sebagaimana diartikulasikan dalam bab-bab awal paling baik dilihat bukan sebagai sebuah doktrin politik dengan sebuah isi programatik,bukan juga sebagai teori filosofis tentang manusia dan dunia, tetapi sebagai sebuah perspektif tentang kehidupan manusia.

Gagasan sentralnya ada tiga,yang kadangkala disalahtafsirkan oleh para pendukungnya. Pertama, manusia secara kultural dilekatkan dalam posisi bahwa mereka tumbuh dan hidup dalam dunia yang terstruktur secara kultural, mengorganisasikan kehidupan dan hubungan-hubungan sosial menurut sistem makna, memosisikan nilai yang besar tentang identitas kultural mereka.

Hal ini tidak berarti bahwa manusia ditentukan oleh kebudayaan mereka dalam pengertian bahwa manusia tidak mampu mengevaluasi keyakinan dan praktikpraktik kebudayaan secara kritis serta memahami sesamanya, namun lebih pada bahwa mereka dibentuk begitu kuat oleh kebudayaan, mampu mengatasi pengaruh kebudayaan, dan perlu memandang dunia dari dalam kebudayaan tersebut.

Kedua, kebudayaankebudayaan yang berbeda mencerminkan sistem makna dan pandangan tentang jalan hidup yang baik. Karena masing-masing merealisasikan satu jangkauan terbatas menyangkut kapasitas dan emosi manusia dan menggenggam hanya sebagian dari totalitas eksistensi manusia.

Masing-masing kebudayaan memerlukan kebudayaan lain untuk memahami dirinya secara lebih baik, memperluas cakrawala intelektual dan moral, mengembangkan imajinasi, dan melindunginya terhadap gangguan-gangguan nyata untuk memutlakkan dirinya.

Ketiga, semua kebudayaan -kecuali yang paling primitifsecara internal bersifat majemuk dan mencerminkan sebuah percakapan berkelanjutan antara tradisi dan rangkaian gagasan mereka yang berbeda-beda. Hal ini tidak berarti bahwa mereka kekurangan koherensi internal dan identitas, tetapi bahwa identitas mereka majemuk dan cair (hlm 440-442).

Buku yang ditulis oleh guru besar tamu pada London School of Economics ini menjelaskan secara rinci mengenai pertanyaan-pertanyaan teoritis yang ditimbulkan oleh masyarakat multikultural kontemporer, khususnya sifat dan batasan-batasan kesetaraan dan keadilan antarbudaya, identitas nasional, kewarganegaraan, serta wacana politik budaya.

Parekh menyadari sepenuhnya bahwa filsafat politik Barat belum mampu (baca: mempunyai sumber daya yang terbatas) menyelesaikan persoalan multikultural yang ruwet. Hal ini mungkin karena realitas masyarakat Barat tidak terlalu kompleks jika dibandingkan realitas masyarakat yang ada di Timur. Guru besar untuk perkuliahan Teori Politik di Universitas of Hull ini menjelaskan multikulturalisme dengan cara pandang Filsafat Politik Timur.

Dengan filsafat politik ala Timur ini, perbincangan multikultural menjadi lebih bermakna karena didasarkan atas realitas masyarakat yang majemuk. Karya Parekh yang dalam waktu singkat menjadi bacaan klasik saat pertama dipublikasikan ini, menurut Azyumardi Azra, merupakan panduan akademis dan teoritis yang sangat penting untuk penguatan multikulturalisme.

Dengan begitu, kita lebih optimis menghayati multikulturalisme Indonesia. Buku ini menjadi semacam panduan bagi masyarakat Indonesia dalam menyuburkan modal sosial (social capital) bangsa Indonesia yang dianugerahi oleh Tuhan sebagai bangsa yang multikultural.(*) *)

Benni Setiawan,
Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga,Yogyakarta