Search

Kamis, 29 Oktober 2009

Menggugat Jatah Menteri Perempuan



Perempuan, Suara Merdeka, 21 Oktober 2009

Setelah melewati audisi pada 16-18 Oktober lalu, Presiden SBY hari ini akan mengumumkan para menteri yang akan membantunya di cabinet. Tapi melihat peserta audisi yang diundang ke Cikeas Bogor, ternyata Cuma ada empat calon menteri perempuan yang akan membantu duet SBY-Boediono selama lima tahun ke depan.
Keempat perempuan itu adalah Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati (bakal menempati pos yang sama), Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu (pos sama), Linda Agum Gumelar (ketua umum Kowani, calon Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak), dan Nila Djuwita Anfasa Moeloek (guru besar Fakultas Kedokteran UI, calon Menteri Kesehatan).
Pertanyaannya, mengapa jumlah menteri perempuan Kabinet Indonesia Bersatu II hanya empat orang? Tentu ini bukan sebuah kabar gembira. Sebab, sebagaimana diamanat undang-undang, setiap lapisan organisasi pemerintahan dan swasta wajib menyertakan perempuan minimal 30 persen.
Amanat UU ini setidaknya sudah ditunaikan oleh partai politik dan menyusun kepengurusan dan daftar calon anggota legislatif dalam Pemilu 2009. Meski jumlah anggota DPR belum mencapai 30 persen, tetapi semangat untuk memberikan peluang dan gelanggang lebih luas kepada perempuan sudah disemai.
Ironisnya, semangat ini tidak menular dalam penyusunan komposisi kabinet SBY Jilid II. Tidak aneh jika banyak kalangan menyangsingkan kabinet baru tidak akan banyak membawa perubahan yang baik bagi bangsa Indonesia.
Lebih dari itu, presiden terpilih masih saja belum mampu keluar dari pasungan partai politik dan tim sukses yang “telah berjasa” mengantarkannya menuju RI-I untuk kedua kalinya. Semangat kabinet kompromistis dan balas budi masih begitu kentara.
Kualitas pribadi dan track record (rekam jejak) calon menteri tidak begitu dipedulikan. Demikian pula desakan agar menambah kursi menteri perempuan pun tidak menjadi agenda.
10 Pos Kementerian
Mestinya, di tengah semangat perubahan ini jatah menteri perempuan minimal 30 persen. Jika ada 34 pos kementerian, berarti setidaknya ada minimal 10 menteri perempuan di dalamnya. Sepuluh pos kementerian ini pun akan melengkapi “jatah wajib” menteri perempuan, seperti Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Kesehatan.
Menyerahkan tugas beberapa pos kementerian kepada perempuan merupakan suatu bentuk penghargaan dan apresiasi terhadap perempuan terpelajar dan cerdik pandai, yang dimiliki negeri ini.
Selain itu, semakin banyak pos kementerian untuk perempuan sesuai dengan iklim demokrasi yang sedang dirintis di negeri ini. Bukankah demokrasi mengisyarakatkan persamaan hak dan kewajiban? Demokrasi ala Indonesia ditandai dengan one man/women on vote.
Realitas politik di Indonesia menunjukkan bahwa jumlah perempuan lebih banyak daripada jumlah laki-laki. Wajar bila jatah menteri perempuan lebih dari empat sebagaimana telah ada dalam Kabinet Indonesia Bersatu I. Toh, faktanya kinerja menteri perempuan periode 2004-2009 tidak terlalu buruk. Mereka mampu bekerja secara baik dalam bidang masing-masing.
Bahkan, kapasitas Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan dan Pelaksana Tugas Menko Perekonomian juga sudah teruji, sehingga diakui dunia dan layak dipertahankan SBY. Sri Mulyani termasuk salah seorang tokoh perempuan dunia yang memengaruhi kebijakan publik versi Majalah News Week.
Menguatkan Peran
Selain empat pos kementerian yang sudah menjalani audisi dengan pos kementerian masing-masing, terdapat beberapa pos yang mestinya dapat dipercayakan kepada perempuan. Antara lain, Menteri Negara Pembedayaan Aparatur Negara/Kepada Bappenas, Menko Perekonomian, yang juga pernah dijabat oleh Sri Mulyani, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek), Menteri Perindustrian, dan Menteri Pertanian.
Pos-pos kementerian tersebut patut dan layak dijabat oleh kader-kader terbaik perempuan Indonesia. Perempuan Indonesia tidak lagi hanya menjadi pendamping suami dalam tugas kedinasan.
Mereka kini telah mampu berkarya untuk nusa dan bangsa. Mereka sudah belajar dan menimba pengalaman dari berbagai penjuru dunia.
Memberikan mandat dan amanat lebih banyak kepada perempuan untuk menduduki posisi di eksekutif akan semakin menguatkan peran serta perempuan dalam membangun Indonesia yang lebih baik.
Sebaliknya, menempatkan posisi Menteri Perempuan dalam pos yang jamak dilakukan perempuan hanya akan semakin membonsai peran publik kaum hawa dalam proses demokratisasi (Benni Setiawan, peneliti, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta-32)

Senin, 26 Oktober 2009

Meneropong Masa Depan Demokrasi




Resensi, Seputar Indonesia, Minggu 25, Oktober 2009

SEJAK 20 Oktober lalu, bangsa Indonesia mempunyai pemimpin baru. Mereka adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden dan Boediono sebagai wakil presiden.

Kelengkapan susunan pembantu presiden (menteri) dalam Kabinet Indonesia Bersatu II pun telah diumumkan ke publik dan dilantik.Walaupun diwarnai pro dan kontra,ada baiknya kita menunggu kerja mereka. Selain susunan jajaran eksekutif yang telah rampung, kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun terbentuk.

Mulai dari pimpinan Dewan,pimpinan komisi, Badan Kehormatan (BK), Badan Legislasi, dan Badan Kerja Sama Antarparlemen (BKSAP). Mereka adalah pemimpin bangsa yang akan membawa masa depan republik ini, setidaknya dalam lima tahun ke depan.Mereka pun akan menjadi warna dalam proses demokratisasi di Indonesia.Proses demokratisasi inilah yang akan mengantarkan bangsa ini menuju kemakmuran atau keterpurukan.

Seorang pemimpin mempunyai tanggung jawab (amanat) untuk menjadikan bangsa ini adil, makmur, dan sejahtera. Ketika ketiga hal tersebut tidak mampu dijalankan, maka, keterpurukan menjadi ancaman serius bagi bangsa ini. Hal tersebut setidaknya tercermin dari buku Kepemimpinan Nasional, Demokratisasi, dan Tantangan Globalisasi yang mengetengahkan pandangan ilmuwan politik dalam proses demokratisasi Indonesia dan juga sekaligus menilik masa depan Nusantara.

Buku ini terdiri dari sebelas bab yang terbagi dalam empat bagian.Bagian pertama memuat globalisasi dan masalah kepemimpinan nasional.Dalam bagian ini tiga ilmuwan politik Indonesia (Revrisond Baswir,Riwanto Tirtosudarmo, dan Ninok Leksono,memberikan penekanan pada arti penting seorang pemimpin bagi bangsa Indonesia. Seorang pemimpin mempunyai tanggung jawab mengantarkan bangsa Indonesia pada sebuah kemakmuran.

Kemakmuran hanya dapat dicapai jika pemimpin bangsa memiliki semangat kemandirian. Artinya, mereka tidak bergantung kepada bantuan asing Namun, mampu mengoptimalkan segala potensi bangsa Indonesia untuk kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Bagian kedua mengetengahkan Pemilu 2009, keterwakilan politik dan konsolidasi demokrasi.

Tiga ilmuwan politik (Tommi A Legowo, Agust Riewanto, dan Moch. Nurhasim) berhasil memotret proses demokratisasi Indonesia yang tercermin dari hasil Pemilu 2009. Mereka juga memberi catatan kritis terhadap permasalahan keterwakilan politik baik keterwakilan perempuan di parlemen maupun partai politik di parlemen dan kabinet. Tommi A Legowo misalnya mencatat bahwa Pemilu 2009 belum mampu membuahkan perubahan besar dalam masyarakat.

Ia menilai perubahan dalam tata aturan pemilu yang tertuang dalam UU No 10/2008 hanya memberi jalan bagi pelanggengan kehadiran partai-partai besar dan menengah yang telah eksis sejak Pemilu 2004 di DPR RI. Senada dengan Tommi, Moch Nurhasim menengarai terpilihnya artis Ibu Kota menjadi anggota DPR akan berpengaruh pada mutu dan kinerja parlemen lima tahun mendatang.

Salah satu penyebabnya,mereka kurang memiliki keahlian dan pengalaman politik, apalagi, sebagian besar orang-orang yang sudah memiliki pengalaman politik di DPR justru harus hengkang dari Senayan. Hal ini merupakan dampak dari diberlakukannya sistem suara terbanyak sebagai salah satu mekanisme dalam menentukan calon terpilih.

Referensi pemilih yang terbatas, sebagian besar bahkan kebingungan dalam menentukan pilihan karena minimnya sosialisasi dan pendekatan yang dilakukan oleh calon menyebabkan pilihan-pilihan mereka belum sepenuhnya didasarkan pada syarat-syarat kemampuan politik,hanya relatif pada syarat kepopuleran.

Tentu hal ini akan memengaruhi kualitas demokrasi kita di masa mendatang (halaman 197). Bagian ketiga membahas tentang pilkada langsung dan kepemimpinan lokal. Tiga ilmuwan politik (Syarif Hidayat,Abdul Kholiq Azhari, dan Achmad Herman) menyatakan bahwa era pemilihan kepala daerah langsung setidaknya telah memengaruhi cara pandang masyarakat dalam berdemokrasi.

Pilkada sering kali dijadikan ajang pembuktian diri bagi elite lokal dalam berkompetisi meraih kekuasaan sehingga hasil pilkada sering kali berbuah kerusuhan, disharmoni, dan menghasilkan pemimpin ”cap uang”.Artinya,pilihan masyarakat terhadap calon pemimpinnya bukan didasarkan pada kualitas individu yang mumpuni Namun, hanya seberapa banyak calon bupati/wakil bupati memberikan uang kepada calon pemilih.

Pada bagian keempat diketengahkan pembanding dari dua negara di Asia, yaitu Malaysia dan India. Isbodroini Suyanto menganggap Malaysia sebagai negara yang tanggap dalam menghadapi perubahan global. Malaysia memiliki pemimpin yang visioner sehingga negaranya mampu bangkit dari krisis multidimensional. (*)

Benni Setiawan,
Mahasiswa Program Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga,Yogyakarta

Kecil Itu Indah

Bedah Buku KR, 25 Oktober 2009

Tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Apa yang diciptakan Tuhan mempunyai dimensi lain yang indah untuk dipelajari. Pengalaman hidup pun demikian. Semua hal yang pernah kita alami menjadi sesuatu yang bermakna ketika hal tersebut diceritakan kembali. Sebagaimana dalam buku ini.
Stephie Kleden-Beetz membalut cerita perjalanan hidupnya menjadi sesuatu yang bermakna bagi orang lain. Ke-51 cerita kecil atau ulasan pendek—rata-rata hanya 1-2 halaman, terdiri dari dua sampai empat alenia—menyadarkan kepada kita betapa yang kecil itu sangatlah indah.
Sebagaimana cerita tentang ember bocor. Kita mungkin tidak menyangka bahwa ember bocor yang dibawa penyiram bunga setiap hari ternyata dapat menumbuhkan tumbuhan yang ada di sepanjang jalan yang ia lewati. Barang yang bagi sebagian orang tidak berguna itu ternyata mempunyai kemuliaan.
Demikian pula cerita tentang menghormati yang sudah tua. Mendahulukan orang yang sudah sepuh ketika menaiki angkutan umum begitu menyentuh. Stephie mewartakan dalam buku ini betapa apa yang dipelajari ketika waktu kecil akan sangat memengaruhi cara pandang seseorang ketika sudah dewasa.
Cerita tentang anak kecil yang merasa tidak berguna dalam sebuah kelompok orkestra pun patut dicermati. Anak kecil tersebut merasa alat musim yang dimainkannya tidaklah berguna. Namun, berkat dorongan Sang Ibu anak kecil itu menjadi pemain yang hebat dikemudian hari.
Pendek kata tidak ada yang tidak berguna di dunia ini. Apapun yang kita lakukan akan sangat membawa manfaat bagi makhluk lain jika dilakukan dengan sepenuh hati. Mungkin itu yang ingin dinyatakan oleh kakak Ignas Kleden ini.
Buku Cerita Kecil Saja karya mantan koresponden Deutche Welle, radio nasional Jerman ini, seakan menyadarkan alam bawah sadar kita, bahwa manusia harus berbuat dan mensyukuri apa yang telah dianugerahkan Tuhan.
Buku ini dikemas dengan perwajahan yang unik. Buku ini disertai gambar-gambar yang semakin merangsang kita untuk membacanya dengan jeli dan penuh permenungan.
Halaman demi halaman dari buku ini sayang untuk dilewatkan begitu saja. Hal ini karena, pengemasan bahasa yang santun dan mudah dipahami dibalut dengan pengalaman penulis yang luas, menjadikan setiap kata begitu berharga. Lebih dari itu kutipan percakapan yang ada di beberapa cerita pun dirangkai dengan kalimat bernas penuh makna filosofis.
Penulis buku kelahiran Flores Timur, Nusa Tenggara Timur ini, tampak sangat kaya akan ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup. Hal ini tampak dari isi dan tema yang sangat beragam. Seperti, tema sosial politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan teologi.
Buku ini layak dibaca oleh siapapun di tengah semakin permisifnya tatanan masyarakat Indonesia. Buku ini menawarkan solusi guna mengatasi kepenatan hidup yang mendera seseorang. Walaupun demikian, buku ini ditulis tanpa menggurui.

*)Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Monogami Yes, Poligami No!

Surya, Jumat, 23 Oktober 2009

Benni Setiawan
Mahasiswa Pascasarjana, sedang riset ihwal poligami

Poligami merupakan kejahatan melawan kemanusiaan (crime againt humanity) dan pelanggaran hak azasi manusia (HAM). Poligami juga perbuatan haram li qairi (haram karena eksesnya).

Harian Surya edisi 20 Oktober 2009 lalu menurunkan berita utama “Ibu-ibu Deklarasikan Klub Poligami”. Ini menarik untuk ditilik lebih lanjut. Poligami konon menjadi obat mujarab untuk mencegah selingkuh dan akan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini didasarkan pada asumsi, perempuan yang dipoligami akan menderita.

Penderitaan itu akan memudahkan dirinya mendekat kepada Allah. Bahkan, yang cukup mencengangkan, masyarakat poligami Indonesia (Mapolin), tidak mensyaratkan pembatasan istri sebagaimana dalam Qur’an. Sungguh pemikiran yang perlu dibuktikan lebih lanjut.

Artikel ini akan mencoba mengulas perihal poligami dalam perspektif Islam. Asghar Ali Engineer (2003) merujuk surat an-Nisa 4:3, menjelaskan, al-Qur’an “enggan” menerima institusi poligami. Hal ini didasarkan pada lima prinsip perkawinan.

Pertama, kebebasan dalam memilih jodoh bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak melanggar kententuan syari’ah. Kedua, prinsip mawaddah warahmah (cinta kasih). Ketiga, prinsip saling melengkapi dan melindungi. Keempat, prinsip mu’asyarah bil ma’ruf (pergaulan yang sopan dan santun). Kelima, prinsip monogami.

Debat poligami dalam Islam memang tidak lepas dari penafsiran surat an-Nisa’ 4:3. Ayat ini seringkali dijadikan dasar bahwa Islam membenarkan poligami. Namun, jika kita menilik lebih lanjut, pada dasarnya Islam sangat menentang poligami. Pasalnya, syarat yang diajukan dalam ayat ini sangat berat. Yaitu harus mampu berbuat adil.

Selama ini kata adil dalam masyarakat (pendukung poligami), diartikan secara kuantitatif. Yaitu bagaimana membagi nafkah harta, membagi hari, dan seterusnya. Masih belum ada untuk menyatakan tidak ada pemahaman adil dalam perspektif kualitatif.

Syafiq Hasyim (2001) berpendapat, keadilan yang dikemukakan oleh paera ahli fiqh cenderung bersifat kuantitatif, yang sebenarnya lebih tepat untuk kata al-qists. Keadilan kuantitatif ini tampak dalam aturan-aturan fiqh mengenai poligami, misalnya tentang pembagian rizki secara merata di antara istri-istri yang dikawini, pembagian jatah harian (giliran), dan sebagainya.
Ahli fiqh tidak memerhatikan aspek kualitatif yang justru sangat menentukan. Misalnya, rasa cinta, tidak pilih kasih, memihak, dan sebagainya. Padahal keadilan kualitatif yang seharusnya menjadi prioritas. Dia juga menegaskan, orang yang bisa mencapai keadilan kuantitatif belum tentu bisa mencapai keadilan kualitatif.

Lebih lanjut, keadilan merupakan pilar utama dalam perkawinan, apapun polanya, baik monogami ataupun poligami. Tetapi, prinsip keadilan dalam perkawinan poligami harus lebih tegas diutarakan, karena menyangkut jumlah istri yang lebih dari satu.

Muhammad Abduh menggarisbawahi, maksud keadilan dalam perkawinan bersifat kualitatif atau hakiki. Seperti curahan kasih sayang, cinta, dan perhatian yang sulit diukur dengan angka. Hal ini sesuai dengan makna ‘adalah yang dikandung dalam al-Qur’an yang bersifat lebih kualitatif.

Sementara ulama fiqh lain menafsirkan keadilan cenderung bersifat kuantitatif. Misalnya dalam pembagian rizki atau nafkah, pembagian jatah atau gilir, dan sebagainya (Siti Musdah Mulia dan Anik Farida: 2007).

Dengan demikian, amatlah sulit bagi seorang laki-laki berbuat adil dalam konsepsi kualitatif. Alih-alih adil dalam arti kualitatif, seorang laki-laki seringkali tidak mampu berbuat adil dalam konsepsi kuantitatif.

Lebih dari itu poligami seringkali meninggalkan duka bagi perempuan. Perempuan tidak berdaya dengan keadaan psikologis dan sosiologisnya. Sebagaimana terjadi baru-baru ini di Jakarta.

Retmiyanti, 27, dibunuh suaminya, Marsan alias Macong, 35, di Jalan Flamboyan RT 12 RW 08 Kelurahan Cengkareng Barat, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, Senin lalu.

Sehari sebelumnya, Retmiyanti babak belur dihajar oleh Marsan. Akibat pukulan Marsan, mata kiri Retmiyanti lebam, leher memar, dan kedua betis membiru serta membengkak (Kompas, 01 Juli 2009).

Retmiyanti merupakan istri muda dengan tiga anak. Ia seringkali dipaksa bekerja oleh Marsan. Ia dipaksa melacur oleh Marsan di tempat karaoke dekat lokalisasi Dadap, Kabupaten Tangerang.

Bahkan anak Retmiyanti dari hasil perkawinan pertamanya, dijual oleh Marsan (Kompas, 30 Juni 2009). Inilah secuil realitas poligami di bumi Nusantara.

Pencegahan poligami dapat menyelamatkan harkat dan martabat perempuan. Perempuan merupakan makhluk mandiri yang wajib dihormati hak-haknya. Pembenaran teks keagamaan untuk mensubordinasi kaum perempuan tidak dibenarkan dalam Islam.

Islam tidak membenarkan adanya semua bentuk perkawinan yang di dalamnya ditemukan unsur-unsur kezaliman, kekerasan, ketidakadilan, pelecehan seksual, pemaksaan dan penindasan (Siti Musdah Mulia: 2004).

Maka dari itu, sudah saatnya kaum intelektual dan “penafsir” teks keagamaan berani menyatakan melarang poligami. Sebagaimana pendapat Siti Musdah Mulia, poligami merupakan kejahatan kemanusiaan (crime againt humanity) dan pelanggaran hak azasi manusia (HAM). Lebih lanjut ia menyatakan poligami sebagai perbuatan haram li qairi (haram karena eksesnya).

Pada akhirnya, jika tetap memaksakan poligami, ada baiknya menyimak pandangan Muhammad Shahrur (2004). Shahrur mensyaratkan dua hal utama jika tetap ingin poligami. Pertama, syarat istri kedua, ketiga, dan keempat adalah janda mempunyai anak yatim.

Kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap anak-anak yatim. Surat perintah poligami akan gugur ketika tidak terdapat syarat-syarat di atas. Wallahu a’lam.

Senin, 19 Oktober 2009

Membangun Kerja Intelektual Dosen



Kampus, Suara Merdeka, Sabtu, 17 Oktober 2009

Tiga tugas utama dosen sesuai dengan amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah mengajar, meneliti, dan melakukan pengabdian kepada masyarakat. Ketiganya harus dilakukan secara proporsional. Artinya, harus dikerjakan secara beriringan tanpa memprioritaskan satu tugas dan mengesampingkan tugas yang lain.

SELAMA ini, masih ada —kalau tidak mau disebut banyak— dosen yang hanya ’’hobi’’ mengajar daripada dua tugas pokok lainnya: meneliti dan melakukan pengabdian kepada masyarakat.

Hal ini makin dikuatkan oleh amanat Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) yang menyatakan, setiap dosen yang ingin mendapatkan sertifikat dan tunjangan profesi diwajibkan memenuhi persyaratan ekuivalen waktu mengajar penuh (EWMP), sebanyak 12 satuan kredit semester (SKS).

Banyaknya waktu untuk mengajar ini sudah saatnya dijadikan pemacu untuk terus berkarya. Artinya, waktu mengajar yang banyak bukan menjadi alasan untuk tidak melakukan tugas pokok yang lainnya.

Mengajar memang pekerjaan mulia. Namun, dosen yang baik bukan hanya mengajar dan memenuhi target mengajar. Mengajar juga butuh inovasi, antara lain update data.
Masih banyak dosen yang menggunakan sistem pembelajaran atau buku acuan tempo doeloe.

Bahkan masih ada yang mengajar berbekal satu buku yang sudah lusuh. Ironisnya, itulah satu-satunya buku pegangan yang diajarkan kepada mahasiswanya sejak ia menjadi dosen.

Dosen yang baik adalah seseorang yang mau dan terus belajar, baik dari mahasiswanya, teman sesama dosen, pimpinan perguruan tinggi, dan masyarakat.

Dengan pergaulan yang luas, seorang dosen akan mampu menggairahkan semangat belajar mahasiswa. Hal ini karena dosen mampu bercerita banyak dan selalu baru dalam menyampaikan pandangan ataupun bahasan.
Kerja Intelektual Pendek kata, seorang dosen harus mempunyai cakrawala luas agar apa yang disampaikannya selalu mengundang decak kagum dan menggairahkan semangat belajar mahasiswa. Kemudian, bagaimana agar dosen mampu memesona mahasiswa?

Pertama, dosen harus terus membaca, diskusi, dan menulis (melakukan penelitian). Ketiga hal ini merupakan kamus wajib bagi seorang intelektual.

Seorang intelektual adalah seorang yang selalu gelisah. Ia terus-menerus mempertanyakan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dari kegelisahan ini ia akan mencari jawaban yang tepat dan bijak.

Jawaban tersebut adalah hasil dari permenungan yang mendalam, didasarkan pada hasil bacaan, penelaahan, dan penelitian. Jawaban yang demikian dapat menjadi pedoman bagi masyarakat yang terus berjuang mempertahankan hidup di tengah cepatnya perubahan sosial.

Mentalitas dosen seperti inilah yang diharapkan oleh bangsa. Dosen tidak hanya sebagai konsumen ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi sekaligus menjadi produsennya.

Kerja intelektual sebagai produsen ilmu pengetahuan dan teknologi bukan hanya mengajar di depan kelas dan mampu memesona mahasiswa dalam kelas tersebut, melainkan juga harus menjadi kebanggaan para mahasiswa yang diajarnya.

Salah satu kebanggaan mahasiswa adalah jika dosennya mampu menulis dan menelurkan gagasan besar dalam jurnal-jurnal ilmiah, media massa, dan buku.

Sebagai mahasiswa, saya merasa bangga jika orang-orang yang mengajar saya mempunyai kemampuan akademis yang memadai.

Ia mampu berbicara banyak atas ilmu yang digelutinya, menjadi rujukan orang banyak, pendapatnya dikutip media massa, dan hasil penelitiaannya menjadi proyek percontohan bagi dosen atau perguruan tinggi lain.

Tentu semua itu tidak hanya dapat dilakukan dengan mengajar. Maka dari itu, seorang dosen tidak boleh (juga) terjebak dalam tiga tembok kekuasaan: kampus, kantin, dan rumah.

Jika dosennya saja terjebak dalam tiga dinding tersebut, bagaimana dengan mahasiswanya?
Reward-Punishment Kedua, diperlukan peranserta pemerintah untuk terus mendorong agar dosen berkarya.

Program pemerintah mengirimkan dosen untuk belajar S2/S3 ke luar negeri dan dalam negeri, juga program non-gelar, sudah saatnya disambut dengan suka cita oleh dosen.

Dosen harus mau bersaing guna memeroleh beasiswa tersebut, kendati kuotanya masih timpang antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS).

Pemerintah juga perlu memberi penghargaan (reward) kepada dosen berprestasi. Pemberian penghargaan akan menjadi semangat tersendiri bagi dosen.

Selain reward, pemerintah juga perlu memberi punishment (hukuman) kepada dosen yang tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.

Ancaman dosen di-TU-kan sudah saatnya dijalankan, bukan hanya sebagai hiasan hukuman.

Dosen yang tidak melakukan penelitian selama enam bulan, atau tidak menulis untuk jurnal ilmiah menimal dua buah, patut diberi sanksi.

Sebab enam bulan adalah waktu yang cukup panjang untuk menulis dua artikel ilmiah, minimal 20 halaman spasi ganda.

Dengan demikian, kerja intelektual dosen bukan hanya mengajar memenuhi EWMP. Kerja inteletual dosen adalah mampu menjawab persoalan sosial berdasarkan hasil penelitian dan penelaahan yang mendalam. Selamat berkarya! (32)

—Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Akrobat Politik Anggota Dewan



Kedaulatan Rakyat, Kamis, 15 Oktober 2009

Sungguh menyenangkan terpilih menjadi anggota dewan. Betapa tidak, anggaran pelantikan 962 anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah 2009-2014 sebesar 11 miliar. Jika dibagi kasar untuk semua calon anggota DPR/DPD, tiap calon terpilih menerima Rp 15,89 juta. Kalkulasi lain menunjukkan, dibandingkan dengan dana pelantikan untuk tiap calon anggota DPR, biaya pelantikan seorang anggota DPR/DPD 38.000 kali lebih besar dibandingkan biaya sosialisasi bagi tiap pemilih.
Selain itu, tiap anggota DPR yang akan dilantik mendapat anggaran perjalanan dinas pindah Rp 46,5 juta. Fasilitas penginapan satu kamar hotel untuk satu anggota DPR pun disediakan. Padahal, 356 (63,57 persen) calon anggota DPR berdomisili di wilayah Jabodetabek, sedangkan 204 (36,43 persen) calon terpilih ada di luar Jabodetabek (Kompas, 9-10/9/2009).
Tidak hanya anggota DPRRI saja, anggota DPRD pun demikian. Seperti anggota DPRD DI Yogyakarta.Anggota dewan yang baru dilantik pada Senin (31 Agustus), keesokan harinya (Selasa, 1 September) sudah mendapatkan gaji. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh sekretariat dewan (Setwan), rata-rata tiap anggota dewan mendapatkan gaji sebesar Rp. 15.737.000. Dengan perincian, uang representasi sebesar Rp. 2.250.000, tunjangan jabatan Rp. 3. 262.000, uang paket Rp. 225.000, tunjangan perumahan Rp. 4.000.000, dan tunjangan komunikasi intensif Rp. 6.000.000. Tunjangan tersebut masih dipotong dengan pajak penghasilan (Pph) 10 persen.
Gaji yang diterima oleh pimpinan dewan lebih besar lagi. Untuk ketua DPRD akan menerima Rp. 17.650.000, sedangkan wakil ketua DPRD menerima pendapatan senilai Rp. 16.128.000. Penghasilan tersebut nantinya masih akan bertambah setelah kelengkapan anggota dewan terbentuk. Sebab, setelah ada kelengkapan dewan, masing-masing anggota akan mendapatkan tambahan tunjangan istri dan anak.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah begitu muliakah anggota dewan sehingga mereka harus digaji sebelum bekerja untuk rakyatnya?

Ilmu terhormat
Aristoteles yang sering dijuluki sebagai perintis ilmu politik, dalam Nichomachean Ethics menyebutkan, politik merupakan ilmu yang paling tinggi kedudukannya dibanding ilmu-ilmu lain. Alasan utamanya karena tujuan dan target akhir politik ialah bagaimana menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang sehat, sehingga semua warga negara merasa dilindungi dan dibela hak-haknya untuk menjadi pribadi yang sehat sesuai dengan minat dan bakatnya.
Oleh karena sasaran akhir politik adalah menyejahterakan dan meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat, maka menurut Aristoteles semua cabang ilmu lain bersifat melayani ilmu dan aktivitas politik.
Berdasarkan logika ini, para filsuf Yunani kuno umumnya memandang pilitik sebagai sebuah ilmu dan seni yang terhormat dan para politisi harus mempunyai kualitas moral dan intelektual tinggi. Bila para politik tidak bermoral dan tidak memiliki kapasitas intelektual, mana mungkin mereka dapat mendidik dan mendesain masyarakat agar hidup dan berkembang menjadi masyarakat yang beradab? (Komaruddin Hidayat: 2006).

Transaksi illegal
Berdasar rumusan Aristoteles di atas ilmu politik memiliki peran yang sangat signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini karena, aktor politik adalah manusia terpilih (the chosen people). Mereka adalah pribadi unggul yang mempunyai hati nurani, kecerdasan, dan kedewasaan yang akan membimbing warga negaranya menjadi lebih maju dan mandiri.
Namun, apa yang terjadi sekarang. Politik dan intitusi politik menjadi sesuatu yang “kotor”. Politik tak ubahnya seperti transaksi illegal yang dihalalkan.
Contohnya, ketika seseorang mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Ia harus berjuang meraih simpati rakyat dengan menggeluarkan biaya yang tidak sedikit. Selian itu, guna memopolerkan namanya, seoarang calon anggota legistatif (caleg) memampang gambar dan fotonya bak selebritis dadakan di pinggi-pinggir jalan. Selain merusak pandangan dan tata kota, gambar-gambar caleg tersebut merusak ekosistem tumbuhan.
Tebar pesona dan tebar janji menjadi hal lumrah di tengah semakin ruwetnya mengurai masalah kehidupan. Saling serang antar caleg pun menjadi “bumbu” dalam setiap persta demokrasi lima tahunan. Kasak-kusuk politik uang menjelang hari pemilihan pun dilakukan. Aksi serangan fajar bahkan telah menjadi budaya dalam masyarakat. Siapa berani bayar lebih, maka peluang menduduki kursi empuk adalah balasan yang setimpal.
Ketika mereka terpilih (pasca-pelantikan), mereka segera mengambil gaji dengan dalih sesuai aturan atau protokoler anggota dewan. Padahal mereka belum bekerja sedikit pun. Janji-janji kesejahteraan rakyat pun hanya menjadi angin lalu.

Masyarakat beradab
Jika realitas politik seperti ini, apa yang dapat diharapkan dari aktivitas politik dan aktor politik? Kita tentunya tidak dapat berharap banyak. Misi politik yang mulia sebagaimana dirumuskan Aristoteles di atas hanya menjadi bahan kuliah yang diseminarkan. Bagaimana dapat mewujudkan tatanan masyarakat yang beradab, jika aktor politiknya tidak memiliki kecakapan intelektual dan moral?
Masyarakat beradab mungkin hanya ada di dalam riwayat Polis dalam sejarah Yunani kuno. Hal ini karena, pemimpin saat itu adalah seorang filsuf yang mempunyai kebajikan dan kebijaksanaan. Mereka tidak lagi membutuhkan uang guna menghidupi diri dan keluarganya. Semua aktivitas politik dilakukan sepenuhnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Hal ini tentunya berbeda dengan anggota dewan dan pemimpin kita sekarang. Alih-alih untuk memikirkan hajat hidup orang banyak, mereka disibukkan dengan aktivitas mengembalikan dana yang telah dikuras ketika kampanye. Aktivitas politik di negeri ini hanya diwarnai dengan uang, duit, dan rupiah. Falsafah yang mereka pedomani adalah bukan “makan apa hari ini, namun siapa yang kita makan hari ini”.
Inilah realitas politik di bumi Nusantara. Kita tidak dapat berharap banyak dari mereka. Maka dari itu, teruslah berdoa dan bekerja dengan giat. Karena hanya kita sendiri yang mampu menyelamatkan biduk rumah tangga dan masa depan bangsa ini. Lupakan janji-janji yang pernah terucap oleh anggota dewan. Karena janji-janji itu adalah buaian yang melenakan kita.

Benni Setiawan, Peneliti, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.