Search

Selasa, 19 Maret 2013

Bangsa Galau Republik Gaduh

oleh Benni Setiawan



Opini, Sinar Harapan, Senin, 18 Maret 2013

Mereka berkumpul bukan atas nama ke-Indonesia-an, melainkan atas nama ‘kepentingan bersama’

Tahun politik 2013 terlalu dini gaduh. Baru memasuki bulan Maret saja, iklim politik negeri sudah panas. Elite politik saling sikut dan serang. Perang urat saraf di media massa pun menjadi menu harian.

Panasnya perpolitikan Tanah Air tak lepas dari kasus rumah tangga Partai Demokrat yang menyeret Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden SBY berdiri atas nama Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat mengambil alih kewenangan. Pada saat bersamaan Anas Urbaningrum, sang ketua akhirnya ditetapkan sebagai tersangka korupsi Hambalang.

Anas melawan penetapan ini. Ia berikrar akan membuka lembaran-lembaran baru dari buku catatannya. Kini berembus kabar Anas sudah mulai membuka skandal Bank Century.

Gaduh politik di pusat ternyata merembet ke daerah. Daerah kembali memanas, salah satunya di Papua. Peristiwa tersebut seakan menjadi bukti Republik ini penuh dengan kegaduhan—kalau tidak mau disebut anarkisme. Mengapa Republik ini gaduh?

Humanisasi

Kegaduhan yang terjadi saat ini menunjukkan betapa keadaban publik sudah mulai luntur. Proses humanisasi dalam terma pembudayaan ala Driyarkara sudah semakin terpinggirkan.

Proses humanisasi adalah perjalanan tiap pelaku, aktor, subjek manusia Indonesia yang berjuang dengan cerdas, batin hening untuk mencipta struktur-struktur hidup bersama yang semakin manusiawi, berharkat hingga keragaman sebagai bangsa yang satu mengarah menuju bernegara yang demokratis dan berkepastian hukum, di mana setiap kemajemukan dihormati dengan keberlainannya, dan belajar hidup saling damai sebagai warga negara Indonesia.

Humanisasi pun bermakna kerja-kerja peradaban yang semakin mencipta kondisi hidup bersama semakin manusiawi, semakin menyejahterakan satu sama lain, karena orang-orangnya juga saling mengembangkan kemanusiaan sesama dan dirinya.

Humanisasi dari kondisi sosial manusia saling mengerkah sesamanya sebagai serigala (homo homini lupus) menuju ke kondisi hidup bersama di mana manusia memperlakukan sesamanya dan hidup bersama sebagai sahabat (homo homini socius) (Mudji Sutrisno, 2009).

Namun, proses humanisasi tersebut belum mampu berjalan sebagaimana mestinya. Manusia Indonesia masih saja menjadi serigala bagi orang lain. Saling memangsa dan menyerang pada saat sempit maupun luang.

Perilaku bengis membela kepentingan pribadi dan golongan seperti menjadi sebuah keharusan. Tidak ada rasa saling memiliki sesama. Orang lain adalah musuh. Mereka adalah ancaman. Sikap saling curiga semakin menyulut emosi.

Lebih lanjut, keadaban publik hanya ada dalam ucapan. Namun, dalam perilaku kita saling serang bahkan saling bunuh. Membunuh seperti menjadi sesuatu yang halal. Padahal pekerjaan ini tidak mencerminkan perilaku kemanusiaan. Perilaku itu tak lebih seperti hewan. Nafsu hewaniyah berdiri di atas kemanusiaan yang mulia. Sebuah potret perilaku hidup yang timpang dan salah arah.

Kegalauan Bangsa

Kondisi yang demikian justru menjadi mantra pemimpin bangsa ini. Mereka saling terkam, membunuh karakter, dan saling jegal. Aksi tipu-menipu tidak pernah luput dari keseharian mereka.

Ketika para pemimpin bangsa masih menjadi homo homini lupus maka tidak aneh jika masyarakat di akar rumput menjadi lebih beringas. Keberingasan mereka tampak dengan mudahnya disulut emosi dan melakukan aksi-aksi ala masyarakat bawah, membakar (obong) dan saling bunuh.

Hal tersebut tentunya berbeda dengan tabiat pemimpin kita. Mereka korupsi berbarengan dan saling membentengi guna menyelamatkan “aset bersama”. Kesejahteraan hanya milik penguasa tanpa pernah terdistribusi kepada masyarakat kelas bawah.

Jangan sampai teman sejawat masuk ke penjara. Pasalnya, ketika teman masuk penjara, banyak orang yang terseret. Gerbong golongan/partai politik akan tercoreng. Saling melindungi menjadi agenda wajib. Aparat penegak hukum (KPK) pun perlu dilemahkan guna memuluskan “agenda golongan” ini. Tujuannya hanya satu “menyelamatkan rumah partai”.

Menilik kondisi demikian, tidak aneh jika proses humanisasi belum bergerak menuju homo homini socius. Masyarakat Indonesia masih terkotak dalam fragmen-fragmen.

Mereka berkumpul bukan atas nama ke-Indonesia-an, melainkan atas nama “kepentingan bersama”. Ke-Indonesia-an telah usang dalam hati mereka. Bendera partai dan kelompok wajib dijaga. “Walaupun negara ambruk yang penting panji partai tetap tegak,” celetuk mereka.

Kebangsaan yang ditandai semangat Pancasila dan UUD 1945 tidak menjadi semangat hidup bersama (society). Dua nilai luhur bangsa Indonesia seakan telah tercabut dari akar budaya masyarakat. Ironisnya, nilai-nilai tersebut hanya menjadi mata pelajaran yang dihafal di bangku sekolah. Hafalan yang miskin makna dan tanpa bekas.

Maka dari itu, pawiyatan (pendidikan) sudah selayaknya mulai menyadari kondisi demikian. Jika sekolah masih berkutat dengan rutinitas dan “menjunjung tinggi” ritual pendidikan ala Barat maka kondisi kebangsaan akan semakin kronis. Pasalnya, masyarakat tidak dididik menjadi pribadi yang berkarakter (pinter dan pener).

Pada akhirnya, apa yang terjadi di pusat dan polah tingkat elite politik saat ini merupakan sebuah jawaban atas kegalauan bangsa. Bangsa tanpa panglima atau pemimpin (auto pilot). Jika kondisi ini tidak segera disadari maka kemanusiaan akan semakin terkoyak dan kebangsaan akan semakin terpinggirkan.

Paus Baru dan Dialog Antaragama

Oleh Benni Setiawan


Opini, Koran Jakarta, Senin, 18 Maret 2013

Setelah melewati masa konklaf selama dua hari dan hanya lima putaran pemungutan suara, akhirnya Kardinal Jorge Mario Borgoglio SJ terpilih menggantikan Paus Benediktus XVI. Dia adalah Kardinal Argentina yang lahir pada 17 Desember 1936. Dia merupakan Uskup Agung Buenos Aires, Argentina, untuk periode 1998 sampai 2012, dan kini menjadi Paus ke-266. Dia dikenal sebagai sosok konservatif.

Beberapa pandangannya mencakup penentangan atas praktik aborsi dan homoseksualitas. Meski menyatakan menghormati gay dan lesbian sebagai individu, Paus menentang keras undang-undang yang dirilis pada 2010 di Argentina karena melegalkan perkawinan sesama jenis. Sebaliknya, Paus yang menggunakan nama Fransiskus ini juga dikenal sebagai sosok yang sangat memiliki kepedulian sosial, termasuk mengkritisi masalah perbedaan kelas sosial kaya dan miskin.

Menilik kepribadian Paus Fransiskus yang agung ini, tidak salah jika dunia menyambutnya dengan suka cita. Masyarakat dunia mengharapkan dia terus berkarya dalam bidang kemanusiaan. Salah satunya dengan semakin mengintensifkan dialog antaragama yang pernah diretas Paus Paulus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI.

Pengembangan dialog ini menjadi penting, khususnya di Indonesia, karena angka intoleransi cukup tinggi. Human Right Watch (HRW), lembaga internasional pemerhati hak asasi manusia, menuding Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono lembek menghadapi gerombolan militan antipluralisme.

Riset terbaru yang dirilis HRW di Jakarta, Kamis (28/2), mengungkap kegagalan pemerintah mengatasi gerombolan-gerombolan militan. Kelompokkelompok itu melakukan intimidasi dan serangan terhadap rumah-rumah ibadah serta anggota minoritas agama. Temuan HRW menyebut gerombolan militan ini makin lama makin agresif. Sasaran mereka termasuk Ahmadiyah, Kristen, dan muslim Syiah.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa dialog antaragama perlu terus disuarakan? Lester Kurtz, dalam Gods in the Global Village (1995), menulis "Religious conflict can be extraordinarily bitter, and is aften destructive because the parties to the dispute view themselves as respresentative of supraindividual claims, of flighting not for themselves but only for a cause which can give the confl ict a radicalism and mercilessness."

Lebih lanjut, Kurtz menjelaskan watak dari konflik antaragama cenderung mengabaikan kualitas kesalehan individu yang dimusuhi, bahkan yang sering terjadi adalah baik yang memerangi maupun yang diperangi sama-sama rendah kualitas keberagamaannya. Di sini yang menjadi garis pembeda hanyalah sebuah sikap prejudice dan sebuah kategori yang sangat artifisial dan menyesatkan, yaitu setiap orang yang dianggap "bukan kelompok kita" (laisa minni) harus dimusnahkan.

Karena konflik agama sifatnya sangat emosional dan destruktif, maka emosi massa yang terlibat akan sangat mudah dikobarkan dengan cara dihasut. Yang dirugikan sulit untuk berdamai sebelum melakukan pembalasan setimpal. Sedangkan pihak yang merasa unggul akan semakin agresif agar lawan benar-benar lumpuh sehingga peluang pembalasan semakin menyempit.

Semangat untuk saling memusnahkan akan bertambah intens ketika faktor keyakinan eskatologis ikut andil, yaitu anggapan siapa yang berhasil menyingkirkan lawan berarti pintu surga sudah menunggu. Demikian absurd dan kompleksnya pertikaian antaragama sehingga setiap konfl ik cenderung merusak prinsip-prinsip keadilan dan HAM (Komaruddin Hidayat: 2006).

Kebhinekaan
Konflik antaragama yang dibumbui motif ekonomi dan politik hanya akan memperkeruh situasi kebangsaan. Situasi kebangsaan Indonesia sudah saatnya dibangun dengan suasana tenang dan damai. Jika kedamaian dicederai dengan berbagai urusan politik (kekuasaan) dan ekonomi (urusan perut dan kuasa modal), agama hanya kedok. Kondisi sosial politik yang memanas di tahun 2013 tentu cukup mengkhawatirkan jika aktor-aktor politik menggunakan sentimen agama untuk meraih keuntungan sesaat.

Geger dan gaduh politik yang dibumbui isu suku, agama, ras, dan antargolongan pun hanya semakin menjauhkan semangat kebinekaan dalam realitas hidup berbangsa. Oleh karena itu, falsafah bangsa Bhineka Tunggal Ika tampaknya perlu kembali didengungkan. Kebinekaan menjadi prasyarat mutlak dalam mewujudkan hidup damai dalam bingkai kemanusiaan yang beradab.

Tanpa ini, manusia hanya akan semakin bersifat homo homini lupus (menjadi serigala manusia lain). Kemanusiaan pun tercerabut dari akarnya sehingga manusia semakin limbung dalam menjalakan proses kebangsaan. Lebih lanjut, intoleransi keagamaan yang terjadi di Indonesia menjadi senjakala sekaligus ujian umat beragama.

Kejadian akhir-akhir ini merupakan potret betapa kelompok minoritas masih dianggap liyan. Dia belum diterima dengan baik oleh masyarakat dan pemerintah. Padahal negara wajib melindungi semua. Maka, sudah seharusnya tidak ada lagi dikotomi mayor-minor. Di sinilah peran penting seorang Paus dalam dialog antaragama.

Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Paus Yohanes Paulus II ketika berkunjung ke Polandia. Seorang mufti, pemimpin komunitas muslim di Polandia, pernah berkata, "Dengan inisiatif dialog Paus Yohanes Paulus II, kami tidak lagi merasa minoritas di Polandia. Kami minoritas hanya dalam jumlah. Tetapi kami memiliki segala hak yang sama dengan siapa pun di sini" (Armada Riyanto CM, 2013).

Olah karena itu, untuk mengurai masalah ini, dibutuhkan dialog antaragama (Islam-Kristen). Dialog pun menjadi buah pemikiran yang segar dalam perjumpaan Islam-Kristen di abad kedua puluh/ empat belas. Dalam pandangan Hugh Goddard (2013), seorang dosen senior Teologi Islam di Universitas of Notthingham, dialog bukan merupakan sesuatu yang baru.

Beberapa abad sebelumnya, kedua komunitas itu telah berselisih dan berdebat. Hanya, perkembangan terbaru pada abad kedua puluh dilanjutkan abad ke-21 melibatkan aktivitas pemikiran yang lebih maju, ditunjang kajian kritis terhadap agama, dan hasrat yang lebih besar untuk saling mendengarkan. Dialog dan saling jumpa memang menjadi agenda penting abad ini.

Tanpa dialog, perjumpaan Islam-Kristen yang sempat mesra di awal abad keenam hanya akan tinggal kenangan. Pada akhirnya, semoga terpilihnya Paus Fransiskus yang bersahaja ini mampu semakin mengeratkan harmoni Islam-Kristen. Intoleransi yang semakin tinggi di Indonesia pun akan terurai dan tidak terjadi lagi pada tahun-tahun mendatang berkat inisiatif dialog antarumat.

Dialog antaragama kali ini pun selayaknya lebih membumi agar dapat dilakukan siapa pun dan tidak hanya menjadi konsumsi elite agama. Selamat berkarya, Paus Fransiskus. Dunia mendoakanmu.

Paus Baru & Hubungan Islam-Kristen

Oleh Benni Setiawan



Gagasan, Solo Pos, Jum'at, 15 Maret 2013

Pemimpin tertinggi umat Katolik di dunia telah terpilih. Terpilihnya Paus baru dalam konklaf di Vatikan ini pun menjawab penantian umat Katolik khususnya dan penduduk dunia secara umum. Kardinal gereka Katolik Argentina, Jorge Mario Bergoglio, yang kemudian menggunakan nama Paus Fransiskus, adalah pemimpin baru umat Katolik sedunia.

Ia dikenal sebagai sosok konservatif. Beberapa pandangannya mencakup penentangan atas praktik aborsi dan homoseksualitas. Meski menyatakan menghormati gay dan lesbian sebagai individu, dia menentang keras undang-undang yang dirilis pada 2010 di Argentina yang melegalkan perkawinan sesama jenis.

Paus Fransiskus juga dikenal sebagai sosok yang sangat memiliki kepedulian sosial, termasuk mengkritik masalah perbedaan kelas sosial kaya dan miskin. Menilik kepribadian Paus kelahiran 17 Desember 1936 ini, dunia sangat berharap akan tindakan dan langkah nyatanya. Termasuk dalam hubungan dengan Islam.

Apa yang pernah dirintis Paus Benediktus XVI melalui dialog antaragama (Islam-Kristen) dapat dilanjutkan. Mengapa dialog Islam-Kristen perlu terus disuarakan? Dialog adalah duduk bersama untuk mencari titik temu tanpa harus mengedepankan egoisme pribadi, kelompok, maupun golongan. Dialog Islam-Kristen di era kekinian pada dasarnya bukanlah hal yang baru.

Dalam kajian Hugh Goddard (2013), Konsili Vatikan II menjadi penanda penting dalam perkembangan ini. Konsili ini mengubah pandangan Kristen tradisional yang eksklusif terhadap Islam dan agama-agama lainnya. Konsili itu juga mengajak umat Kristen dan kaum muslim melupakan masa lalu dan berusaha dengan tulus untuk saling memahami satu sama lain. Sebelum pernyataan Konsili pada 1964/1384 itu, seruan ini dilembagakan dengan dibentuknya Sekretariat untuk Kaum Bukan Kristen, yang pada 1989/1409 berubah nama menjadi Pontifical Council for Inter-Religious Dialogue (Lembaga Kepausan bagi Dialog Antaragama).

Kira-kira pada waktu yang sama, perubahan pandangan semacam itu pun berlangsung di kalangan Kristen non-Katolik—meskipun butuh waktu yang lebih lama untuk membentuk sebuah lembaga resmi. Lebih lanjut, Hugh menyatakan dialog dalam kerangka konferensi Islam-Kristen yang paling menarik dan lebih mutakhir adalah konferensi di Institut Teologi Agama Fakultas Teologi St Gabriel, Wina, pada 1993/1413 atas anjuran Dr Alois Mock, Menteri Luar Negeri Austria, yang menyuguhkan tema Perdamaian bagi Kemanusiaan.

Saat itu hadir 23 tokoh Kristen dan 23 tokoh Islam dari seluruh dunia. Deklarasi Wina disampaikan pada akhir konferensi dan ditujukan bukan hanya kepada umat Kristen dan kaum muslim sedunia, melainkan juga kepada para penguasa hukum dan politik.



Ajang Perseteruan

Namun, dialog pun meninggalkan sejumlah masalah. William Montgomery Watt (1996) menyatakan barangkali sebagian pemeluk Kristen merasa bahwa untuk ikut dalam dialog ini berarti menjauhkan perintah Kristus untuk mengabarkan ajaran Injil kepada setiap makhluk; dan sebagian pemeluk Islam punya perasaan sana. Sementara tiap perasaan itu adalah salah secara mendasar.

Dalam dialog, kita menyaksikan iman kita merupakan jalan untuk mengabarkan ajaran itu. Dalam beberapa kejadian ini dapat menjadi cara yang lebih efektif untuk memproklamasikan iman ketimbang metode-metode tradisional. Akibatnya orang mengatakan, “Aku pernah mendapatkan sesuatu yang bagus dan aku ingin memberi andil dialog itu kepadamu.”

Dengan kata lain, orang menunjukkan kesaksian terhadap nilai-nilai positif iman kita dan melakukan hal ini dengan baik tanpa memperbandingkan keimanan satu dengan keimanan yang lain sehingga merugikan pemeluk agama lain. Walaupun demikian, setelah kesaksian itu lahir pada jalan ini maka harus terbuka untuk para pendengar agar menanggapi kesaksian itu dalam termanya masing-masing.

Tak dapat dimungkiri bahwa dialog Kristen-Islam itu kadang-kadang menjadi ajang perseteruan. Bahkan, salah satu kumpulan dokumen mengenai dialog itu benar-benar memasukkan kata ”perseteruan”. Dan akhir-akhir ini, dialog yang digelar justru memunculkan realitas hubungan yang rapuh, seperti terlihat pada beberapa diskusi yang digelar di Roma.

Diskusi itu mengenai hubungan antara dialog dan proklamasi. Posisi Pastor Jacques Dupuis yang terlibat dalam dialog dengan agama-agama wilayah Asia selain Islam, namun pendapatnya mengenai hubungan antara Kristen dan agama-agama lain secara umum telah memicu kontroversi. Dalam bingkai komunikasi verbal, satu-satunya pilihan selain dialog adalah monolog atau kebisuan total, dan tampaknya dialog tidak dapat disingkirkan sepenuhnya (Hugh Goddard, 2013).

Pada akhirnya, semoga Paus yang memegang gelar doktor dari Jerman dan menguasai ilmu filsafat dan teologi ini semakin mengukuhkan peran keagamaan Islam-Kristen. Dua agama besar dunia ini sudah selayaknya ”akur” dalam mengemban misi keumatan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.

Melalui dialog yang intensif, semoga terwujud titik temu (kalimatussawa’) Islam-Kristen. Titik temu yang dimaksud adalah pengembangan dialog yang lebih dapat dicerna oleh umat, tentu ini yang harus menjadi agenda utamanya. Selama ini dialog hanya menjadi konsumsi elite agama dan tidak pernah menyentuh akar rumput (umat). Selamat berkarya Paus Fransiskus, warga dunia memberkati Anda.