Search

Selasa, 30 Juni 2009

Kiprah Ibu Negara dan Kepemimpinan Bangsa




Perempuan, Suara Merdeka, Rabu, 01 Juli 2009

GEGER jilbab istri capres dan cawapres sempat menyita perhatian publik. Perempuan berjilbab dipersonifikasikan sebagai individu yang baik dan taat agama. Jika ibu negara berjilbab, konon bangsa ini akan lebih baik.

Namun, gagasan ini juga bukan tanpa kritik. Banyak aktivis berpandangan, berjilbab dan tidak itu urusan individu, tidak ada kaitannya dengan masalah kenegaraan. Selain soal jilbab, istri salah seorang kontestan Pilpres 2009 juga diisukan beragama Katolik. Sontak hal ini sedikit mengendurkan mitra koalisi.
Isu agama, bagi masyarakat Indonesia, masih sangat sensitif. Basis agama sering dijadikan alasan dalam memilih calon pemimpin. Ca-lon nonmuslim —maaf— masih sulit diterima oleh sebagian besar ma-syarakat Indonesia. Hal ini tercermin pula dari hasil penelitian Ari Anshori dkk (Presiden Pilihan Umat, 2009).

Penelitian kualitatif yang dida-sarkan hasil wawancara sejumlah tokoh agama itu dengan jelas mengisyaratkan pemimpin Indonesia (presiden dan wapres) harus se-orang muslim. Alasan yang dominan adalah karena faktor kepatutan, bahwa mayoritas penduduk di ne-geri ini adalah muslim.
Ibu Negara Terlepas dari polemik di atas, marilah kita menilik sejarah panjang bangsa Indonesia yang telah memiliki enam presiden, dan lima ibu negara. Bagaiman peran dari masing-masing ibu negara tersebut, inilah yang lebih penting daripada berdebat soal jilbab atau tidak berjilbab.

Pertama, Ibu Fatmawati. Fatma-wati tentu bukan orang sembarangan. Ia sosok yang kuat dan teguh dalam pendirian. Ketika Sukarno dalam masa sulit semasa memimpin revolusi di negeri ini dan sering dipenjara, Fatmawati selalu setia menunggu dan mendukungnya.

Tanpa dukungan dan kesetiaan Fatmawati, mungkin Sukarno tidak akan mampu memimpin revolusi kemerdekaan negeri ini. Di era kemerdekaan, Fatmawati tetap menunjukkan dirinya sebagai Ibu Negara. Ia rela menjahit bendera Merah-Putih sebagai simbol pemersatu bangsa. Ia pun teguh dalam pendirian dan tidak mau dipoligami, meski risikonya harus bercerai.

Di masa Orde Baru, kita mengenal Ibu Tien Soeharto. Banyak literatur menyatakan, Ibu Tien merupakan ”separo nyawa” Soeharto. Bahkan, dia menjadi bagian dari pemerintahan Soeharto itu sendiri. Artinya, Ibu Tien telah menjadi pendamping hidup dan penasihat spiritual yang ampuh bagi Soeharto.

Kiprah Ibu Tien dalam pemerintahan tidaklah sedikit. Ia inisiator Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Meski diwarnai pro-kontra, TMII telah menjadi simbol ragam budaya Nusantara yang adiluhung. Keragaman budaya Nusantara inilah yang menjadikan bangsa ini kuat. Lebih dari itu, multikulturalisme bangsa telah menopang tegaknya NKRI hingga sekarang.

Kiprah Ibu Tien dalam pemberdayaan perempuan tercermin dari program PKK. Meski hanya serupa organisasi paguyuban ibu tingkat RT/RW, PKK mampu memberdayakan perempuan Indonesia. Pekerjaan ibu rumah tangga tidak sertamerta dimaknai sebagai pekerja rendahan. Dengan program ini, perempuan Indonesia mampu menyalurkan potensi dan bakatnya guna masa depan keluarga dan bangsanya.
Babak Baru Setelah rezim otoritarian Soeharto tumbang, bangsa ini memasuki babak baru dalam berbangsa dan bernegara. Dimulai dari gerakan reformasi 1997/1998, bangsa ini melahirkan ”pemimpin baru”, sebagai pelaksana tugas pengganti Soeharto, yaitu BJ Habibie.

Habibie memerintah dalam situasi serbasulit. Tapi dalam waktu singkat, dia mampu mengembalikan kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia. Ini terbukti dengan meningkatnya nilai tukar rupiah dari Rp 16.000 menjadi Rp 9.000 per dolar AS.

Kiprah Habibie tentu tidak lepas dari pendampingnya, Ibu Ainun Habibie. Dengan pembawaan kalem dan tenang, wanita yang berasal dari Purwodadi itu sanggup mengikuti ritme dan mengendalikan suasana hati suaminya.
Selanjutnya, bangsa ini dipimpin Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pembawaannya yang nyentrik, dengan aneka gagasan besar mengenai kebangsaan dan keagamaan, mampu sedikit mengendurkan urat saraf dan kepenatan bangsa Indonesia.

Terobosan Gus Dur yang melampaui batas tradisi menjadi titik awal tumbuhnya demokratisasi dan kebebasan berekspresi di negeri ini. Pembawaan ini berpengaruh terhadap istrinya, Ibu Shinta Nuriyah Wahid.

Ibu Shinta Nuriah dikenal sebagai aktivis gender dan hak asasi manusia (HAM). Ia seringkali mendampingi korban tindak kekerasan, baik dalam rumah tangga maupun buruh migran. Hingga kini, kiprahnya dalam memperjuangkan HAM dan gender masih bisa kita lihat, seperti penolakkannya terhadap UU Antipornografi.

Kita tidak bisa melihat kiprah Megawati Soekarnoputri sebagai ibu negara, karena dia adalah presiden. Pun demikian dengan Ibu Ani Yudhoyono, yang tak bisa dinilai karena masa tugasnya sebagai ibu negara belum berakhir. Dari paparan tersebut, sangat jarang isu agama mewarnai perjalanan kenegaraan para ibu negara. Mereka tampil apa adanya. Ibu Fatma, sesuai dengan zamannya, hanya mengenakan kebaya tahun 1950-an dan berselempang kerudung di lehernya. Ibu Tien juga sering berpakaian Jawa. Demikian pula de-ngan Ibu Ainun dan Ibu Shinta Nuriyah.

Pada akhirnya, seorang pendamping (istri) merupakan bagian tak terpisahkan dari sebuah kepemimpinan bangsa. Ia adalah panutan bangsa. Ia dipandang ada bukan karena faktor agama yang menonjol, melainkan kiprahnya dalam mewarnai sejarah panjang bangsa itu sendiri. (Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta-32)

Minggu, 21 Juni 2009

Selamat Tinggal Dosen S1



Kampus Suara Merdeka, Sabtu, 20 Juni 2009

Saat berkunjung ke kampus Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang, beberapa waktu lalu, Mendiknas Bambang Sudibyo menegaskan semua dosen yang berijasah S1 hanya diberi kesempatan selama enam tahun untuk menempuh pendidikan S2. Alasannya, pada tahun 2015, semua dosen harus sudah berijazah minimal S2.

PENINGKATAN kualifikasi dosen dari S1 menjadi S2, menurut Mendiknas, bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Tanah Air. Saat ini komposisi dosen bergelar S2 dan S3 di perguruan tinggi negeri (PTN) sekitar 70 persen, sedangkan di perguruan tinggi swasta (PTS) masih di bawah 50 persen (Suara Merdeka, 13 Juni 2009).

Ancangan peningkatan mutu pendidikan ini menarik untuk dicermati. Artinya, dosen sebagai salah satu pilar penting perguruan tinggi memang sudah selayaknya mempunyai kualifikasi pendidikan lebih. Namun bukan hanya gelarnya saja yang panjang. Lebih dari itu, harus memiliki kompotensi standar atas mata kuliah yang digelutinya.

Untuk menjawab tantangan itu, setidaknya ada dua pertanyaan pokok. Pertama, mengapa masih ada dosen yang belum menempuh pendidikan S2? Kedua, bagaimana dosen dapat mempunyai kompetensi standar atas mata kuliah yang digelutinya?

Ironis memang! Di tengah beasiswa yang melimpah bagi dosen, masih ada tenaga pengajar yang belum menempuh pendidikan S2. Hampir setiap tahun pemerintah memberi kesempatan kepada dosen untuk menempuh S2 melalui Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS).

Prosedur pengajuannya pun mudah. Seseorang yang mempunyai surat keputusan (SK) dari rektor yang menyatakan dirinya seorang dosen, dikuatkan dengan tanda tangan pimpinan Koordinator Perguruan Tinggi Negeri (Kopertin) atau Koordinator Perguruan Tinggi Negeri Swasta (Kopertis), dapat menempuh S2 dengan mudah dan nyaman.

Disebut mudah karena mereka sudah tidak lagi memikirkan biaya per semester. Nyaman, karena selain gratis, mereka juga mendapat living cost (biaya hidup), tunjangan buku, dan kesehatan.
Sibuk ’’Ngamen’’ Tapi, mengapa masih ada dosen yang malas menempuh S2? Salah satu sebabnya, mereka amat disibukkan dengan jam mengajar di kampus, bahkan ’’ngamen’’ di kampus-kampus lain.

Waktu mengajar selama 16-20 jam/minggu yang harus dipenuhi dosen terasa kurang. Ia harus mencari jam tambahan di kampus lain.

Hal ini dilakukan terutama guna menjaga agar dapur keluarga tetap mengepul.
Dengan pendidikan S2, seseorang akan berbagi ilmu dengan peserta program lain. Tukar pengalaman dan ilmu pengetahuan ini tentu makin memperkaya khasanah intelektual seseorang.

Dengan demikian, diharapkan lulusan S2 mempunyai standar kompetensi dalam menganalisis sebuah masalah dengan baik dan bijak. Tidak menutup kemungkinan, jebolan S2 mampu menemukan teori baru sebagaimana diharapkan dalam pendidikan S3.
Tak Serius Untuk memeroleh kompetensi standar, seorang dosen perlu meluangkan waktu untuk belajar. Menurut cerita beberapa teman, banyak dosen PTN/PTS yang memeroleh BPPS seringkali tidak serius belajar.

Mereka kerap memosisikan diri sebagai senior yang patut dihormati dan antikritik. Dalam pembuatan makalah, misalnya, penerima BPPS biasanya asal comot tanpa memahami substansi dari buku yang dikutipnya. Meski sering diingatkan pengampu mata kuliah, ia tetap melakukan hal yang sama.

Jika virus malas menjangkiti dosen dalam proses pendidikan S2, jangan harap mereka bisa membawa perubahan atau meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Menempuh pendidikan S2 kelak hanya sebagai sarana guna memeroleh nilai kum atau kenaikan pangkat. Proses pendidikan tidak menjadi inti dan semangat, namun hanya formalitas.

Maka, apa yang diancang Mendiknas dalam meningkatkan mutu pendidikan dengan peningkatan kualifikasi dosen S2 perlu dievaluasi dengan saksama. Artinya, gelar S2 tidak dapat dijadikan garansi guna meningkatkan kualitas pendidikan, ketika dalam proses belajar mengajar tidak ada ruh atau semangat meningkatkan mutu diri dan khasanah intelektual.

Evaluasi selanjutnya dapat dilihat melalui dosen yang telah menempuh pendidikan S2/S3. Apakah mereka mampu mengaktualisasikan diri dan ilmunya dengan melakukan penelitian dan kajian mendalam dalam bidangnya atau tidak. Ini dapat dilihat dari karya tulis dalam jurnal ilmiah, media massa, dan buku.

Kualitas dan kuantitas hasil penelitian dosen Indonesia masih kalah jauh dari Jepang, China, Malaysia, Thailand, dan Singapura. Kita hanya berada satu kelas dengan Vietnam dan Myanmar.

Karena itu, perlu dipikirkan bagaimana dosen tidak hanya menempuh pendidikan S2/S3 sebagai sebuah kewajiban —kalau tidak mau disebut paksaan dari Mendiknas. Salah satunya adalah mengembalikan falsafah pendidikan sebagai sebuah proses menjadi, bukan hasil jadi. (32)

—Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, penulis buku ’’Manifesto Pendidikan Indonesia’’ (2006) dan ’’Agenda Pendidikan Nasional’’ (2008).

Jumat, 19 Juni 2009

KDRT kerdilkan peran Pencipta



Solo Pos, Jum'at, 19 Juni 2009, Hal.4

Beberapa hari terakhir, kita disuguhi fakta sosial yang cukup mencengangkan. Yaitu tindak kekerasan yang dilakukan oleh Tengku Fachry, putera Raja Kelantan, Malaysia, kepada isterinya, Manohara Pinot.

Beberapa bukti kekerasan berupa sayatan benda tajam, suntikan dan bekas pemukulan dibuka di muka publik oleh pengacara Mano. Selang beberapa waktu, giliran penyanyi Cici Paramida, ditabrak menggunakan mobil suaminya sendiri. Cici mengalami luka di pelipis sebelah kanan karena peristiwa itu. Lalu seorang jaksa senior dilaporkan menganiaya dua isteri dan seorang anaknya.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami kepada isteri begitu marak. Apakah ini ada hubungannya dengan konsepsi keagamaan yang dipeluk seseorang.
Menurut Komisi Nasional Perlindungan Perempuan, hingga Desember 2008, kekerasan terhadap perempuan mencapai lebih dari 48.000 kasus. Sedangkan yang dilaporkan oleh isteri hanya sekitar 6.600 kasus.
Menurut data Poltabes Solo, hingga November 2008, setidaknya sudah ada 101 kekerasan terhadap perempuan dan anak. 62 kasus di antaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga. Sementara pada 2007, mencapai 80 kasus.
Peran penciptaan
Kekerasan terhadap perempuan dengan alasan perempuan merupakan kanca wingking dan ia makhluk lemah hanya akan mengerdilkan peran penciptaan Tuhan. Artinya, Tuhan tentunya menciptakan makhluknya dengan kelebihan dan kekurangan. Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah untuk saling melengkapi dan meneruskan garis keturunan, bukan untuk saling menyakiti.
Manusia juga tidak boleh superior terhadap manusia lain. Laki-laki tidak boleh superior terhadap perempuan atau sebaliknya. Perempuan maupun laki-laki juga tidak boleh merasa inferior karena keterbatasan dan kekurangannya.
Lebih dari itu, dalam khasanah keilmuan Islam misalnya, Tuhan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, yang menjadikan berbeda di hadapan Tuhan adalah kualitas takwanya (QS al-Hujrat/49:13). Secara religius maupun sosial, laki-laki dan perempuan menurut Alquran memiliki kesamaan penuh (QS Ali Imran/4: 124). Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengerdilkan peran perempuan baik di wilayah domestik maupun publik.

Dapat dicegah
Tindak kekerasan terhadap perempuan pada dasarnya dapat dicegah atau ditanggulangi dengan beberapa hal. Pertama, dari intern kehidupan rumah tangga. Yaitu adanya kesepakatan atau kesepahaman bersama antara laki-laki dan perempuan bahwa mereka adalah makhluk Tuhan yang berdaulat. Artinya, kelebihan dan kekurangan antara keduanya harus dapat saling ditutupi dan didayagunakan. Laki-laki dapat melakukan pekerjaannya sebagai pemimpin rumah tangga yang baik. Perempuan pun juga harus dapat mengelola rumah tangga dengan baik, mendidik anak-anak dengan baik dan membantu urusan suami lainnya.
Akan tetapi, keadaan ini tidak selamanya mutlak dan saklek. Perempuan pada dasarnya dapat menjadi “pemimpin” rumah tangga dan laki-laki dapat menjadi manajer rumah tangga yang baik. Hal tersebut dilakukan atas dasar kesepakatan bersama.
Kedua, kesadaran dan keberanian perempuan untuk melapor ke polisi. Karena kasus kekerasan terhadap perempuan bukanlah aib keluarga, melainkan masalah pidana.
Ketiga, dari pihak ekstern, yaitu peran serta tokoh masyarakat dan penegak hukum. Tokoh masyarakat sebagai panutan atau pamong sudah saatnya mewartakan kebenaran tentang relasi laki-laki dan perempuan. Pandangan miring tentang perempuan yang tidak berdaya sudah saatnya dipulihkan dengan memberikan peran aktif perempuan dalam masyarakat.
Perempuan adalah manusia mandiri dan independen. Ia ada bukan karena adanya makhluk lain (laki-laki). Ia ada sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan laki-laki. Lebih dari itu, membenarkan kekerasan terhadap perempuan dengan dalil-dalil agama merupakan bentuk pelecehan terhadap agamanya sendiri.
Penegak hukum pun demikian. Dengan diundangkannya UU No 9/2005 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), pihak-pihak yang melakukan kekerasan sudah saatnya dihukum. Hal ini bisa menimbulkan efek jera bagi orang lain agar tidak melakukan tindak kekerasan.
Keberanian penegak hukum ini perlu didukung oleh keberanian perempuan sebagai korban tindak kekerasan untuk melaporkannya kepada pihak yang berwenang. Dengan demikian, akan terjadi sinergi antara pelapor dan penegak hukum.
Tindak kekerasan terhadap perempuan dapat kita cegah dengan menciptakan hubungan perempuan dan laki-laki secara baik, tanpa harus saling merendahkan satu dan lainnya.
Perempuan adalah makhluk mandiri dan independen. Ia ada bukan sebagai pelengkap semata. Lebih dari itu, perempuan adalah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kelangsungan hidup manusia di muka bumi. -
Oleh : Benni Setiawan Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Senin, 15 Juni 2009

Fakultas Kedokteran untuk Siapa?




Oleh Benni Setiawan
Kampus Suara Merdeka, Sabtu, 13 Juni 2009

Ada hal menarik saat Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari melakukan kunjungan kerja ke Universitas Padjajaran, Bandung, pertengahan bulan Mei lalu. Dia menghimbau Rektor dan Dekan Fakultas Kedokteran Unpad untuk membatasi jumlah mahasiswa asing di Indonesia. Setiap tahun, Fakultas Kedokteran Unpad menerima sekitar 300 mahasiswa baru. Dari jumlah itu 2,5 persen adalah mahasiswa asing dan umumnya dari Malaysia (Kompas, 11 Mei 2009).
Tak hanya itu, Menkes juga meminta agar jumlah mahasiswa kedokteran asing di sejumlah perguruan tinggi dikurangi serta distop secara bertahap. Dia khawatir, penerimaan mahasiswa asing dapat mengurangi jatah mahasiswa Indonesia. “Masih banyak rakyat Indonesia yang ingin menjadi dokter”, tandasnya.
Menurut Siti Fadilah, keberadaan mahasiswa asing itu telah mengurangi kesempatan pemuda Indonesia yang ingin menuntut ilmu kedokteran di negeri sendiri.
Ini akan berakibat panjang. Dengan terbatasnya mahasiswa lokal, pasokan dokter juga sangat minim.
Saat ini rasio antara dokter dan jumlah penduduk jauh dari ideal. Tak hanya itu, para mahasiswa pendatang juga dituding menikmati fasilitas rumah sakit pendidikan, yang notabene dibiayai dengan uang rakyat. ”Ini sangat menyakitkan. Kita keluarkan dana dari APBD tapi dipakai calon dokter dari Malaysia,” katanya.
Apa yang disarankan Menkes ini bak oase di gurun pasir. Dia ingin menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa fakultas kedokteran di Indonesia justru banyak dinikmati oleh mahasiswa asing.
Padahal pembiayaan fakultas kedokteran juga ditopang melalui pajak alias hasil keringat masyarakat Indonesia. Tidaklah pantas bagi mahasiswa asing, menikmati hasil jerih payah bangsa Indonesia, dengan menumpang di fakultas kedokteran.
Menurut data 2004-2007, fakultas dengan biaya kuliah hingga Rp 100 juta lebih itu menerima 82 hingga 116 mahasiswa asing untuk tingkat sarjana. Sementara mahasiswa asing di program pasca sarjana berkisar 75-150 orang. (Tempo Interaktif, 13 Mei 2009).
Sepanjang 2007, misalnya, terdapat 2.539 mahasiswa kedokteran dari luar negeri yang menimba ilmu di beberapa perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Yang paling banyak tentu Malaysia.
Jumlah mahasiswa kedokteran asal Malaysia memang terus bertambah dari tahun ke tahun. Kalau pada tahun 2005 baru tercatat 988 orang, akhir tahun 2008 membengkak menjadi 3.127 orang.
Mereka tersebar antara lain di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (Makassar), Universitas Indonesia, Universitas Udayana (Denpasar), Universitas Sebelas Maret (Surakarta), Universitas Diponegoro (Semarang), dan Universitas Airlangga (Surabaya) (Gatra, No 45, 18 September 2008).
Menurut Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar, Dewa Putu Wijana, hampir 100 persen mahasiswa asing di fakultas yang dipimpinnya itu berasal dari Malaysia. Jumlahnya 175 orang (Tempo Interaktif, 03 Juli 2008).
Ironis memang! Malaysia yang seringkali melecehkan martabat Indonesia di mata Internasional selalu mengirimkan mahasiswanya untuk belajar di Bumi Nusantara.
Pemerintah dan kampus tidak memedulikan harkat dan martabat bangsa yang seringkali dikangkangi Malaysia. Mereka menganggap, persoalan diplomatik adalah urusan politik dan pertahanan dan keamanan; tidak ada sangkut-pautnya dengan dunia pendidikan. Sebuah pemikiran yang antirealitas.
Lebih dari itu, atas nama prestise dan mengejar kelas Internasional, Pemerintah Indonesia dan pihak universitas dengan senang hati dan lapang dada menerima mereka.
Selain mendapatkan keuntungan akreditasi Internasional, kampus yang dituju mahasiswa asing juga mendapat suntikan dana besar dari mahasiswa asing. Maka, tidak aneh kalau, fakultas yang terkenal mahal ini hanya diperuntukan bagi mereka yang “berkantong tebal”.

Prioritaskan Indonesia
Selain harus berkantong tebal mahasiswa pribumi juga mesti bersaing masalah finansial dan kuota dengan mahasiswa asing. Bagi mahasiswa asing membayar Rp. 100 juta mungkin bukanlah hal yang sulit, karena nilai mata uang mereka lebih tinggi daripada rupiah.
Mereka menganggap kuliah di Indonesia sangatlah murah. Selain murah fakultas kedokteran Indonesia terkenal berkualitas internasional. Para lulusan fakultas kedokteran Indonesia akan lebih mudah bekerja dan menduduki posisi penting di rumah sakit luar negeri.
Sudah saatnya fakultas kedokteran yang juga dibiayai rakyat dikembalikan kepada masyarakat Indonesia. Artinya, membatasi atau bahkan meniadakan mahasiswa asing di fakultas kedokteran menjadi agenda mendesak.
Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, harus berani membuat aturan tegas mengenai hal ini. Aturan yang selama ini mengakomodir 10 persen mahasiswa asing sudah saatnya ditinjau ulang.
Kuota mahasiswa asing sudah saatnya dikurangi hingga angka nol. Jika tidak, meminjam sindiran Menkes, ”Nanti Malaysia nggak usah bikin fakultas, mendidik dosen, tidak usah membangun sekolah. Lebih baik sekolahin di sini saja”
Dengan demikian, pemuda Indonesia dapat menikmati pendidikan kedokteran di rumahnya sendiri. Memprioritaskan pemuda Indonesia untuk menikmati pendidikan kedokteran di dalam negeri lebih mulia daripada memanjakan mahasiswa asing.
Artinya, anggaran pendidikan yang dibuat tinggi bukanlah untuk mahasiswa asing, namun untuk menyejahterakan kehidupan bangsa Indonesia.
Pada akhirnya, fakultas kedokteran dibangun bukan untuk mahasiswa asing yang seringkali melecehkan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia. Ia dibangun untuk mencukupi kebutuhan tenaga dokter terdidik dari kalangan pribumi.
Mengembalikan fakultas kedokteran kepada rakyat Indonesia, sebagaimana diancang oleh Siti Fadilah Supari, sudah saatnya kita dukung bersama. Apa yang diancang Menkes merupakan bentuk pengabdiannya kepada nusa dan bangsa Indonesia.
Lebih dari itu, ini adalah bentuk keberpihakan pemimpin negeri kepada rakyatnya.

*)Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia (2006) dan Agenda Pendidikan Nasional (2008).

Revitalisasi Peran Bulog




Benni Setiawan, Peneliti Lentera Institute

Kontan, 27 Mei 2009

Artinya, Bulog tidak hanya menjadi perantara antara petani dan pemerintah.

Menurut Inpres Nomor 13 Tahun 2005, ada tiga tugas pokok Perum Bulog dalam tatanan kebijakan nasional. Pertama, pelaksanaan pembelian gabah oleh pemerintah secara nasional dengan harga sesuai harga pembelian pemerintah (HPP). Kedua, menyediakan dan menyalurkan beras untuk rakyat miskin (raskin). Ketiga, pengelolaan cadangan beras pemerintah.

Ada ketimpangan
Tiga tugas pokok di atas tampaknya belum mampu dilaksakan oleh Perum Bulog dengan baik. Artinya, masih ada ketimpangan antara Perum Bulog dengan realitas di lapangan.
Ambil contoh, dalam melaksanakan pembelian gabah di tingkat petani. Menurut instruksi presiden (Inpres) Nomor 8 tahun 2008 tentang Kebijakan Perberasan, yang mulai berlaku per 1 Januari 2009, HPP gabah kering panen (GKP) di tingkat petani Rp. 2.400,- per kg. Sementara HPP gabah kering giling (GKG) di penggilingan Rp. 3.000,- per kg.
Realitasnya, banyak petani yang menjual gabahnya kepada tengkulak. Harga tengkulak tentunya tidak sesuai dengan aturan pemerintah. Penjualannya pun dengan cara tebasan. Tapi, tengkulak menghargai gabah sebelum padi dipotong. Hal ini memang merugikan petani.
Ironisnya, sebagaimana rumus ekonomi, harga gabah selalu rendah ketika musim panen tiba. Padahal, ketika musim tanam, harga pupuk mahal bahkan langka.
Maka tidak aneh, jika petani Indonesia, yang sebagian besar petani gurem (kepemilikan lahannya 0,25 hektare), miskin. Menurut data badan pusat statistik (BPS), 57,77%penduduk miskin adalah petani dan buruh tani. Mereka tidak pernah diuntungkan oleh sistem. Bahkan, banyak diantara mereka yang harus makan beras raskin. Beras raskin, sebagaimana kita ketahui, kualitasnya jauh dari standar. Keras dan tidak enak untuk dikosumsi. Padahal mereka adalah produsen beras.
Ketidakberdayaan petani Indonesia diperparah oleh laju perubahan iklim yang begitu cepat. Perubahan iklim ini menyebabkan tidak teraturnya musim. Banjir di musim penghujan, dan kekeringan di musim kemarau.
Tidak aneh jika target pengadaan beras dalam negeri tahun 2009 yang mencapai 3,8 juta ton atau meningkat 700.000 ton dari tahun 2008, yang hanya mampu menyerap 3,1 juta ton, sulit terwujud. Itu karena, hasil pertanian di Jawa, sebagai sentral produksi beras nasional, banyak yang puso (gagal panen). Salah satu penyebabnya adalah banjir.
Gagal panen tentunya akan mengancam stabilitas harga beras di pasaran. Padahal, mahalnya harga beras akan mendorong gejolak sosial. Sudah begitu, ketahanan pangan terancam. Akan semakin banyak keluarga miskin kelaparan dan kurang gizi, karena kebutuhan pokoknya tidak tercukupi.
Ironisnya, stabilitas harga dan ketahanan pangan nasional seringkali dijadikan alasan untuk melakukan impor beras. Impor beras menjadi persoalan tersendiri di tengah kemiskinan petani Indonesia.

Varietas bibit unggul
Inilah tantangan kerja Bulog ke depan. Bulog tidak boleh berpangku tangan melihat realitas yang terjadi di masyarakat. Usaha dan kerja keras Bulog dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan tetap menjaga stabilitas harga beras begitu penting artinya.
Bulog seyogianya memikirkan formula yang tepat untuk menyiasati hal tersebut. Salah satunya dengan meningkatkan jumlah varietas bibit unggul. Bulog dalam hal ini dapat bekerjasama dengan Departemen Pertanian. Penyediaan varietas bibit unggul diharapkan mampu menggenjot peningkatan produksi beras nasional. Varietas bibit unggul mendesak diadakan di tengah semakin sempitnya lahan pertanian.
Di Indonesia, sesungguhnya terdapat lahan potensial dengan luas mencapai 20 juta hektare. Dari jumlah itu baru 8 juta hektare yang dimanfaatkan. Namun, dari 20 juta hektare itu yang benar-benar subur hanya 12%, yang 47% kesuburannya sedang, dan 41% rendah (Khudori: 2008).
Dengan demikian, perlu peningkatan kapasitas kerja Bulog. Artinya, Bulog tidak hanya menjadi perantara antara petani dan pemerintah, yaitu menampung, mengelola, dan menyalurkan beras. Bulog juga mempunyai tugas menyejahterakan petani, meningkatkan produksi beras nasional, dan menjadikan pertanian tuan rumah di negeri sendiri. Tanpa melakukan itu semua, Bulog tidak akan banyak berperan dalam menjaga kedaulatan pangan nasional.

Minggu, 07 Juni 2009

Menjadi Pemimpin Sejati




Seputar Indonesia, Minggu, 07 Juni 2009

BANGSA Indonesia saat ini sedang melaksanakan hajatan besar lima tahunan,yang dinamakan pemilihan umum (pemilu).Pemilu kali ini terasa begitu spesial karena diadakan pada saat bangsa ini tengah dilanda krisis keuangan global sejak awal tahun lalu.


Pemilu legislatif telah dilaksanakan pada 9 April lalu. Kini bangsa Indonesia menyambut ajang paling bergengsi di 2009 ini, yaitu pemilihan presiden (pilpres). Tiga pasang calon presiden dan wakil presiden telah siap berlaga.

Mereka adalah Megawati Soekarno Putri-Prabowo Subiyanto (Mega- Pro) yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra); Susilo Bambang Yudhoyono- Boediono (SBY-Boediono) yang diusung koalisi Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP),dan beberapa partai kecil yang tidak lolos ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold); dan Muhammad Jusuf Kalla-H Wiranto (JK-Win) yang diusung Partai Golkar dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Tiga pasangan capres dan cawapres ini akan beradu program dan meraih simpati rakyat yang akan ditentukan pada 8 Juli untuk putaran pertama dan 8 September untuk putaran kedua. Fungsi utama pemilu adalah memilih calon pemimpin bangsa.Ia akan menentukan arah dan nasib bangsa ini setidaknya dalam lima tahun mendatang. Kesalahan dalam memilih pemimpin saat ini akan membawa petaka terhadap nasib bangsa lima tahun yang akan datang. Jim Clemmer melalui buku Sang Pemimpin,Prinsip Abadi untuk Keberhasilan Tim dan Organisasi, menjelaskan secara gamblang arti sebuah pemimpin dan kepemimpinan.

Bagi Jim, pemimpin harus mampu membuat perbedaan. Inilah semangat utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.Tampil beda dengan gagasan yang kuat akan mengantarkan seseorang menduduki posisi penting dalam perusahaan atau pemerintahan. Sebagaimana Barack Husein Obama Jr dengan slogan change (perubahan), mampu meraih simpati masyarakat Amerika Serikat dan mengantarkannya menjadi seorang presiden kulit hitam pertama di negeri Paman Sam.

Seorang pemimpin bagi pemikir terkemuka Amerika Utara ini juga harus memiliki keautentikan.Para pemikir yang autentik membangun kepercayaan yang menjembatani celahcelah pemisah antara ”kami dan mereka”. Para pemimpin seperti itu memiliki integritas dan konsistensi yang tinggi.Mereka mengembangkan lingkungan yang penuh keterbukaan dan transparansi, yaitu menampilkan masalah-masalah yang sebenarnya.

Sebagai hasilnya,tim-tim tiba pada jantung permasalahan performa dan tidak bermain politik atau menjilat atasan. Lebih dari itu,melalui buku tersebut, Jim pada dasarnya ingin menyatakan bahwa para pemimpin memandang lebih jauh dari situasi sekarang, melihat kemungkinankemungkinan yang ada. Itulah sebabnya mengapa kepemimpinan selalu berhubungan dengan perubahan.

Itulah sebabnya mengapa kepemimpinan adalah sebuah tindakan,bukan jabatan. Ketika pemaknaan kepemimpinan menyentuh pada ranah ini,sebuah bangsa akan dipimpin dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan akan mengantarkan pada kemakmuran dan keadilan.Hal ini karena seorang pemimpin sadar betul akan eksistensi dirinya. Ia bukanlah pejabat publik yang pantas untuk selalu dihormati dan dipuja-puja. Namun, ia adalah pelayan masyarakat yang siap mendengar keluhkesah dan bergerak cepat dalam menyelesaikan persoalan bangsa.

Ia selalu bekerja sekuat tenaga untuk kemakmuran bangsanya, bukan kepentingan pribadi dan kroni-kroninya. Lebih lanjut Jim menyatakan, para pemimpin yang kuat merupakan pelatih yang efektif mengetahui nilai dari R & R (reflection and renewal/refleksi dan pembaruan). Mereka secara berkala menarik diri dan tim-tim mereka dari kesibukan tiap hari dalam pelaksanaanpelaksanaan untuk menangani diri sendiri. Mereka secara terusmenerus mengajukan pertanyaanpertanyaan seperti,”Apakah yang harus tetap kita lakukan, yang harus kita berhenti lakukan dan yang mulai kita lakukan untuk menjadi lebih efektif”?

Prinsip-prinsip kepemimpinan yang dikemukakan dalam buku ini tidak hanya untuk memimpin diri sendiri, tetapi juga memimpin orang lain. Bagi Jim, hal itu adalah persoalan menumbuhkan kepemimpinan kita dari ”dalam sini” menuju ”ke luar sana”. Selain gagasan segar yang mengalir dari semangat Jim,format buku ini sangat unik. Buku ini diformat seperti majalah. Dengan format ini, pembaca tanpa sadar akan terus diajak membaca hingga akhir halaman buku.

Format yang menawan dan menawarkan gaya baru dalam tradisi tata letak buku ditambah dengan gambar dan kutipan dari tokoh-tokoh dan pemikiran-pemikiran dari berbagai sumber yang luar biasa, semakin menguatkan gagasan dalam buku ini. Tidak hanya itu, buku ini sangat inspiratif dan provokatif. Lebih dari itu, dengan format yang unik dan mudah dibaca,buku ini dirancang untuk memperkaya danmemberi informasi kepada siapa saja yang memiliki tanggung jawab dalam memimpin orang—entah dalam sebuah kelompok kerja kecil atau sebuah perusahaan multinasional yang besar.

Kehadiran buku ini sangat tepat di tengah situasi bangsa yang karut-marut. Buku ini hadir membawa pelita dan harapan baru bagi masa depan bangsa Indonesia. Bangsa ini membutuhkan seorang pemimpin sejati, yaitu sosok pemimpin yang memandang kepemimpinan bukanlah sebuah jabatan, melainkan sebuah tindakan nyata dalam mengemban amanat kemanusiaan. Adakah capres dan cawapres seperti itu? (*)

Benni Setiawan,mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga,Yogyakarta