Search

Kamis, 19 Mei 2011

Perpustakaan di Rumah



Opini, Harian Joglosemar, Kamis, 19 Mei 2011

Benni Setiawan
Pembaca buku, pengelola www.bertualangkata.blogspot.com, tinggal di Sukoharjo

Menyebut perpustakaan, pasti yang teringat adalah setumpuk buku tebal, tua, dan mulai menguning. Mengapa demikian? Pasalnya, pikiran kita telah dipenuhi oleh aroma perpustakaan yang tidak nyaman, sumpek, dan berdebu. Kondisi ini semakin menyiutkan nyali pembaca untuk berkunjung ke perpustakaan.
Faktor lain yang memengaruhi rendahnya budaya baca masyarakat Indonesia adalah, pertama budaya yang sudah ada secara turun menurun adalah budaya bercerita dan bukan budaya baca. Perkembangannya pun justru menuju ke arah budaya menonton (televisi). Kedua, adalah penghasilan kebanyakan masyarakat Indonesia masih rendah sehingga buku masih dianggap barang mahal.
Ketiga adalah sistem pendidikan di Indonesia belum menunjang tumbuh kembangnya budaya baca, karena orientasinya masih membaca untuk lulus bukan membaca untuk pencerahan sepanjang hidup. Keempat adalah keberadaan perpustakaan yang belum memadai. Kesan masyarakat umum tentang perpustakaan masih dianggap sebagai tempat yang serius dan menyebalkan.
Tentunya masih banyak alasan yang dapat kita daftar jika ingin membicarakan tentang penghambat perkembangan budaya baca di Indonesia. Walaupun terkadang alasan tersebut tidak didasarkan pada penelitian yang memadai dan hanya didasarkan pada asumsi.
Sebagai contoh alasan tentang penghasilan masyarakat Indonesia yang masih rendah. Memang rata-rata pendapatan per kapita masyarakat Indonesia rendah, namun yang perlu diperhatikan adalah tentang bagaimana alokasi pengeluarannya? Masih banyak pengeluaran masyarakat Indonesia dialokasikan untuk hal-hal yang tidak perlu. Misalnya, untuk kebutuhan rokok. Banyak orang Indonesia walaupun penghasilannya rendah, tetapi mereka tetap mengonsumsi rokok yang jelas-jelas tidak ada manfaatnya dan menghabiskan minimal satu bungkus rokok per hari (Harmawan: 2008).
Menurut data Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada tahun 2003 saja, belanja masyarakat Indonesia untuk rokok Rp 150 triliun per tahun, tetapi belanja suratkabar atau koran hanya Rp 4,9 triliun. Menurut data Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA), setidaknya 427.948 orang meninggal setiap tahun akibat rokok. Lebih dari itu, menurut data survei pada tahun 2006, 57 persen atau separuh lebih rumah tangga di Indonesia memiliki perokok aktif. Sedangkan jumlah perokok pasif 97,5 juta jiwa atau hampir separuh jumlah penduduk Indonesia, di antaranya 65,8 juta adalah perempuan dan anak-anak (Benni Setiawan: 2009).
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana meningkatkan kuantitas dan membaca masyarakat? Salah satunya dengan menjadikan rumah sebagai perpustakaan.
Rumah sudah saatnya tidak hanya menjadi tempat berlindung dari panas dan hujan. Rumah sudah saatnya menjadi happy home living (tempat tinggal yang nyaman dan menyenangkan). Artinya, setiap rumah hendaknya menyediakan sepetak tempat untuk buku atau perpustakaan.
Pojok Perpustakaan
Pojok perpustakaan ini selain sebagai tempat buku yang ditata rapi, juga dapat dijadikan sarana diskusi keluarga. Diskusi keluarga tidak hanya dapat dilakukan di meja makan atau saat makan saja, namun juga di sebuah tempat khusus di dalam rumah.
Pojok perpustakaan rumah selain berguna sebagai tempat kerja juga merupakan pusat kerja produktif anggota keluarga. Artinya, dari sinilah gairah membaca dan membudayakan membaca dapat disemai dengan baik. Adanya pojok perpustakaan di rumah juga mendorong dialog interaktif yang melibatkan seluruh anggota keluarga.
Pojok perpustakaan dapat dibangun dari buku-buku koleksi ayah, ibu, atau anak-anak. Berkumpulnya koleksi buku keluarga ini juga menjadi sarana tukar informasi yang akan menjadi semangat mengakrabkan antaranggota keluarga.
Koleksi perpustakaan rumah tangga bisa didapat dari kliping berita, opini, feature, cerpen, buku-buku pelajaran sekolah dasar hingga perguruan tinggi, majalah, dan seterusnya.
Jika setiap rumah tangga memiliki 10 saja kliping dan atau lima buku, dan itu dapat dipinjam secara bergiliran dalam satu rukun tetangga (RT), maka kebiasaan membaca akan menjadi budaya baru dalam masyarakat Indonesia.
Kebiasaan membaca yang didukung oleh keberadaan perpustakaan di setiap rumah dalam satu lingkungan kecil akan mendorong percepatan peningkatan kualitas keilmuan masyarakat. Seseorang akan terbiasa dengan buku sehingga budaya menonton televisi dapat diminimalisir sedemikian rupa.
Minimnya budaya menonton televisi juga menjadikan masyarakat tidak gandrung, gila nama dan popularitas, ditonton dan diberi tepuk tangan panjang, yang kesemuanya itu berbalikan dengan nilai-nilai komitmen yang penuh ketekunan dan tersembunyi pada kepentingan publik (Pierre Bourdieu, dalam B Herry Priyono: 2010).
Lebih dari itu, ketika seorang anak sudah terbiasa membaca di dalam rumah, maka ia akan dengan sendirinya mencintai buku. Buku akan menjadi sahabatnya. Mereka pun akan berlama-lama di perpustakaan sekolah. Perpustakaan sekolah akan menjadi tempat yang asyik dan nyaman lagi menyenangkan bagi peserta didik sehingga kondisinya selalu bersih dan koleksi bukunya pun semakin beragam, karena mendapat sentuhan dingin dari anak-anak yang doyan membaca.
Meningkatnya gairah membaca di kalangan masyarakat ini merupakan titik awal tercapainya target Millennium Development Goals (MDGs) yang salah satunya pemerataan pendidikan untuk semua yang ditandai dengan nol persen buta aksara dan terbebasnya masyarakat dari kemiskinan.
Kemiskinan tidak akan dapat dihapus dari bumi nusantara jika partisipasi melek huruf dan membaca masyarakatnya rendah. Menjadi kewajiban bagi pemerintah mengusahakan jalan mengentaskan kemiskinan dengan meningkatkan budaya baca.
Pada akhirnya, petuah buku adalah gudang ilmu, perpustakaan adalah gudang buku, tidak hanya menjadi kata yang mudah untuk diucapkan namun sulit untuk direalisasikan (dilakukan). Partisipasi masyarakat dalam membangun kesadaran membaca adalah kata kuncinya. Tanpa ada peran dan partisipasi masyarakat membudayakan membaca (membangun budaya baca), maka bangsa Indonesia akan semakin sulit bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Bangsa Indonesia akan selalu dipandang kecil dan miskin karena masyarakatnya belum mempunyai kesadaran membaca sebagai basis pencerahan dan keadaban bangsa.