Search

Rabu, 30 Desember 2009

Pemuda dan Kemerdekaan



Harian Jogja, 29 Desember 2009

Pemuda adalah tulang punggung bangsa. Pemuda adalah generasi penerus cita-cita perjuangan dan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Di tangan pemudalah bangsa dan negara dipertaruhkan. Maka tidak salah jika ada adagium, “ketika pemuda rusak moralnya maka robohnya bangsa ini”.
Mengingat keutamaan pemuda di atas, sudah sewajarnya jika pemuda mempunyai tanggung jawab mempertahankan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang baik. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana peran strategi pemuda dalam kemerdekaan?
Kemerdekaan menurut Soekarno dalam Pancasilan dan Perdamaian Dunia (1985), “….di dalam risalah tahun 1933 itu, telah penulis katakan, bahwa kemerdekaan, polite keonafhan kelijkheid, political independene, tak lain dan tak bukan, ialah suatu jembatan, suatu jembatan emas. Saya katakan dalam bab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan, kita punya masyarakat” (Nurul Huda SA: 2003).
Pengertian di atas mengajarkan kepada kita betapa kemerdekaan yang diusahakan dengan sekuat tenaga pada dasarnya adalah jembatan emas. Jembatan emas adalah keinginan untuk hidup adil dan makmur.
Jembatan adalah penghubung jalan. Ia ada sebagai bagian dalam perjalanan hidup. Mengapa harus dengan perumpamaan jembatan? Jembatan selain berfungsi sebagai penghubung ia adalah cita-cita besar. Cita-cita besar inilah yang perlu didorong dan dikembangkan ke arah yang lebih baik.
Dengan demikian diperlukan orang-orang yang sigap dan mampu membangun jembatan yang kokoh. Tanpa itu semua jembatan akan cepat rapuh yang pada akhirnya kita jatuh ke lembah yang dalam (penjajahan). Menjadi jembatan yang kokoh inilah yang menjadi tugas dan peran pemuda.

Kesadaran untuk belajar
Bagaimana menjadi pemuda yang mampu menjadi jembatan yang kokoh? Pertama, kesadaran pemuda untuk mau belajar. Belajar adalah aktivitas sepanjang masa. Belajar tidak mesti dalam bentuk formal di sekolah maupun perguruan tinggi. Belajar dapat dilakukan di luar sekolah, seperti orang lain, lingkungan dan alam. Hal ini sesuai dengan petuah Bapak pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara.
Ki Hajar Dewantara selain mengajarkan principles of reaction “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”, di depan memimpin, di tengah mampu menguatkan dan di belakang mampu mendorong, juga mengajarkan “Jadikanlah semua tempat sekolah dan semua orang guru”. Petuah sederhana dengan penuh makna.
Belajar tidak mesti diformalkan dalam bentuk gedung-gedung sekolah. Kita dapat berlajar dimana saja dan kapan saja. Kita dapat belajar dari alam yang banyak mengajarkan arti kearifan, dan orang lain yang mengajarkan arti pengalaman hidup.

Gemar membaca
Dengan demikian, pemuda Indonesia sudah saatnya bangkit dari keterpurukan. Pemuda harus menjadi pelopor dalam belajar atau pendidikan. Salah satunya dengan gerakan gemar membaca dan menulis.
Aktivitas membaca akan membuat pemuda menjadi cerdas. Membaca adalah jendela dunia. Dengan membaca pemuda akan mampu menangkap dan menganalisis apa yang terjadi. Tanpa membaca seseorang akan menjadi buta realitas. Yang pada akhirnya, ia akan mudah untuk dijajah oleh kepentingan asing.
Selain membaca pemuda Indonesia harus bisa menulis. Menulis adalah aktivitas yang melibatkan banyak indera. Indera mata untuk melihat, tangan untuk menggerakkan, otak untuk berfikir dan seterusnya. Dengan menulis seseorang akan terhindar dari kepikunan. Hal ini karena menulis akan dapat meningkatkan daya ingat dan memori yang ada di dalam otak.
Aktivitas menulis juga dapat digunakan untuk melakukan advokasi terhadap masyarakat. Menulis juga sebagai “protes” terhadap kemapanan dan penindasan yang dilakukan secara sistematis oleh sistem negara (pemerintah). Dengan menulis seseorang akan dapat dikenal dan ide-idenya akan menjadi acuan gerak bagi orang lain.
Menulis juga akan melahirkan ruang kritis bagi masyarakat atau meminjam istilah Habermas sebuah masyarakat yang reflektif (cerdas) yang berhasil melakukan komunikasi yang memuaskan. Komunikasi yang memuaskan kemudian akan mencapai konsensus bebas dominasi. Konsensus yang bebas dominasi bisa tercapai melalui diskursus-diskursus rasional
Habermas menggunakan kata rasional/rasio tidak dalam pengertian yang ada dalam budaya positivis/empiris saat ini di mana istilah ‘rasio’ direduksi menjadi kontrol alam dan teknis masyarakat, hanya sebagai kesadaran subjektif untuk menguji hipotesis-hipotesis ilmiah secara empiris. Bagi Habermas, pengertian ini mengkhianati pengertian ‘rasional’ yang muncul dari semangat pencerahan, di mana rasional berarti kepentingan, kecenderungan, spontanitas, harapan, tanggapan terhadap penderitaan dan penindasan, kehendak untuk emansipasi dan kebahagiaan. Maka, yang disebut ‘irasional’ adalah segala bentuk penindasan dan ketidakdewasaan manusia (masyarakat yang tidak sejajar antar satu dengan yang lain, yang tidak deliberatif dan argumentatif) (F. Budi Hardiman: 2009).
Dengan kata lain, kita bisa mengatasi kepentingan dominasi dengan menciptakan masyarakat yang komunikatif. Diskursus dilakukan bukan untuk menyingkirkan pihak lain, melainkan untuk mencari apa yang baik bagi kehidupan bersama (praksis bersama). Manusia akan mempunyai posisi yang sejajar dan keputusan yang diambil mengenai praksis bersama akan mempunyai legitimasi yang kuat karena itu semua adalah hasil dari konsensus yang rasional (bebas penindasan). (Gadi K Makitan: 2009).
Dengan demikian, pemuda tidak hanya jago dalam aksi parlemen jalanan namun juga mumpuni dalam memainkan isu dan memengaruhi kebijakan publik.
Pada akhirnya, pemuda mempunyai tugas besar menjadi masyarakat komunikatif tanpa dominasi. Tugas ini tidak mudah. Maka dari itu, singsingkan lengan baju. Tetap semangat.

*)Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.

Senin, 28 Desember 2009

Membaca Kebudayaan Menafsir Keindonesiaan



Resensi, Seputar Indonesia, Minggu, 26 December 2009

GADAMER dalam TruthandMethods menyatakan,membaca akhirnya merupakan kerja menafsir.Sang penafsir harus mampu menangkap makna awal atau “asli” dari teks tertulis si pengarang.


Untuk itu penafsir harus mencermati beberapa tempat beradanya makna, yaitu makna yang dihurufkan pengarang dari peristiwa kehidupan atau pengalaman hidupnya yang diwujudi dalam aksara. Kemudian ia harus membandingkan dengan teks-teks di sekitar tema serupa yang biasanya disebut penafsir antarteks. Selanjutnya adalah kesediaan penafsir dengan kesadaran sikapnya untuk rendah hati terbuka dan membuka cakrawala mata bacanya pada cakrawala makna teks, sehingga saling dibuahi menemukan “makna baru” dalam peleburan cakrawala (fusion of horizons).

Tiga hal inilah yang mungkin diancang Mudji Sutrisno dalam buku Ranah-Ranah Kebudayaan.Dia ingin mengutarakan sesuatu yang tersembunyi dari makna teks.Keberhasilannya dalam mengutarakan makna tersembunyi tersebut membuahkan sebuah pemaknaan baru yang dapat membuka cakrawala kita sebagai manusia pembaca (penafsir). Dosen dan guru besar pada STF Driyarkara Jakarta ini resah dengan kondisi bangsa Indonesia.Keresahannya diutarakan dalam 33 esai pendek berbingkai kebudayaan. Menurut peraih gelar MA dan PhD dari Universitas Gregoriana,Roma, 1986 ini proses kebudayaan intinya adalah humanisasi.

Yaitu kerja-kerja peradaban yang semakin mencipta kondisi hidup bersama semakin manusiawi,semakin menyejahterakan satu sama lain, karena orangorangnya juga saling mengembangkan kemanusiaan sesama dan dirinya. Humanisasi dari apa ke mana? Humanisasi dari kondisi sosial manusia saling memangsa sesamanya sebagai serigala (homo homoni lupus) menuju ke kondisi hidup bersama sebagai sahabat (homo homoni socius) (halaman 75–76).

Lebih lanjut ia menyatakan, bila asumsi mengenai ruang nilai kebudayaan adalah sama dengan moralitas (yang sudah disistematisasikan logis nantinya sebagai etika) dan bila moralitas secara khusus dalam refleksi hubungannya manusia dengan yang transenden (ilahi) dan alam semesta disepakati sebagai religiositas; dan salah satu wujud-wujud sosialnya adalah agama, maka tindakan politik sebagai tindakan rasional merencanakan dan membuat hidup bersama lebih sejahtera dengan memanfaatkan semua energi kreatif, kesempatan,kemungkinan,dan daya organisasinya, tidak mungkin menyejahterakan atau menjadi tindakan humanisasi bila tidak mendasarkan dirinya pada moralitas.

Di sinilah letak simpang tajam antara politik kekuasaan sebagai politisasi untuk kepentingan dan politik kesejahteraan–sebagai kulturalisasi demi memperjuangkan nilai sejahteranya hidup bersama dalam “homo homoni socius” (halaman 79-80). Dia mencontohkan korupsi. Baginya korupsi tidak hanya merupakan salah urus, tetapi lebih-lebih sebagai mentalitas kultural dan struktural ke mana-mana.Pokok ini direkomendasikan untuk diperangi secara hukum dengan penghukuman betul dan pengadilan ad hocserta “counter culture”dengan aksi membuat malu dan merasa salah dari pelaku.

Membuatnya diisolasi masyarakat dan mengajak masyarakat tidak memberi suap dan upeti. Bacaan teori besar merupakan konseptualisasi nilai-nilai yang mendukung kelangsungan hidup yang mampu mengartikan peristiwa hidup yang diwujudkaan dalam rangkuman pandangan hidup,pandangan dunia, dan way of life yang ditradisikan terus-menerus dari generasi ke generasi.

Sementara, berhadapan dengan mereka dari kehidupan yang sama telah menghayati secara diam,merayakan dan memuliakan secara estetis serta konsekuen berlaku baik dalam perilaku,maka bacaan kebudayaan bukan lagi teori besar,melainkan sebuah kesehariaan laku dan peri hidup yang dimaknai hingga bacaan budaya menjadi bacaan rakyat sehari-hari yang dimaknai secara berharga. Teori besar membaca kebudayaan dalam sistematisasi rasional dan filsafat budaya besar dalam teoriteori, sedangkan ‘teori-teori kecil ‘ (baca: rakyat jelata) atau kita umumnya membaca kebudayaan sebagai keseharian yang diberi makna secara sederhana dan efektif agar survival hidup berjalan terus.

Dekade ini memunculkan bacaan budaya cultural studies atau kajian-kajian budayasebagai reaksi epistemologis terhadap teori besar kebudayaan. Romo Mudji dalam buku ini mengajak bangsa besar seperti Indonesia menjadikan “kebudayaan” sebagai salah satu solusi dalam mengurai benang kusut persoalan kebangsaan dan kenegaraan. Kebudayaan akan memberi ruang humanis dalam catatan sejarah perjalanan bangsa. Hal ini karena kebudayaan di satu ruang hidupnya memberi acuan nilai mengenai bagaimana manusia harus hidup.

Ruang ini membuat pandangan hidup, dunia, dan cita ke depan mengenai apa yang benar,apa yang baik dan yang indah (halaman 147). Walaupun buku ini merupakan serpihan pemikiran yang berpencar dan dikumpulkan,serta di sanasini masih banyak salah ketik bahkan pengulangan pembahasan,karya ini layak dibaca khalayak Indonesia. Khususnya pejabat (pemimpin) yang sedang mengemban amanat kebangsaan.(*)

Benni Setiawan,
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.