Search

Kamis, 26 November 2009

Kepastian Usaha




"Telaah", KR Bisnis, Selasa Legi, 24 November 2009

Krisis listrik Indonesia melanda pulau Jawa dan Bali, sebagai konsumen terbesar nasional (80 persen), meresahkan kalangan dunia usaha. Mereka harus merugi akibat tidak adanya kepastian kapan krisis listrik ini akan berakhir. Bahkan karena berlarut-larutnya krisis listrik ini dalam minggu pertama bulan Juli Asosiasi Pengusaha Jepang merugi hingga 48 miliar. Lebih dari itu, pelaku industri petrokimia menunda investasi 1,5 miliar dollar Amerika Serikat atau hampir 14 triliun rupiah pada tahun ini lantaran krisis listrik belum teratasi hingga kini.
Tidak hanya itu pengusaha tekstil Indonesia juga mengalami banyak kerugian.Karena menggunakan bahan bakar minyak untuk genset pengeluaran untuk tenaga listrik mencapai Rp. 7 juta per bulan. Padahal pemasukan dari hasil usaha berkurang sehingga pengusaha banyak yang merugi.
Data tersebut di atas memang cukup mengkhawatirkan. Artinya, perkembangan iklim investasi dan dunia usaha akan mengalami mati suri akibat krisis listrik ini. Tidak berkembangnya iklim dunia usaha ini pada akhirnya akan merugikan buruh. Mereka akan banyak di rumahkan atau bahkan di PHK akibat perusahaan terus merugi.
Ketidakjelasan kapan berakhirnya krisis listrik ini juga akan mengakibatkan pengusaha untuk memindahkan dana investasinya ke luar negeri. Sebagaimana yang akan dilakukan oleh Jakarta Japan Club yang akan menyatakan hengkang ke Vietnam.
Ancaman hengkang oleh pengusaha Jepang ini merupakan pukulan nyata bagi pemerintah yang konon ingin terus mengembangkan dunia usaha, percepatan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan devisa negara, dan percepatan penyerapan tenaga kerja melalui iklim investasi yang sehat.
Bahkan pemerintah selalu menyatakan akan menyiapkan karpet merah untuk pengusaha, agar impiannya tercapai. Namun, apa yang terjadi? Alih-alih dapat mempersiapkan karpet merah dan kepastian dunia usaha, untuk menyelesaikan krisis listrik saja pemerintah kelabakan.
Pasokan listrik adalah “nyawa” bagi dunia usaha. Tanpa adanya listrik yang cukup, pengusaha dan perusahaan akan merugi. Menurut data, kebutuhan pasokan listrik Indonesia untuk tahun 2005 sebesar 107 TWH, namun pemerintah hanya mampu memenuhi 34. 146 MW. Dengan demikian pemerintah (PLN) hanya mampu memenuhi kebutuhan pasakon listrik 52 persen. Pengembangan pembangkit listri 100.000 MW pun hingga kini belum ada kabarnya.
Tidak seimbangnya antara pasokan dan rasio penggunaan listrik mengakibatkan terjadinya pemadaman bergilir. Pemadaman bergilir ini tentunya berdampak negatif terhadap iklim usaha. Seperti, target produksi per hari akan, banyaknya waktu istirahat, kerusakan mesin, dan menurunnya hasil produksi. Padahal, pihak pemesan tidak mau tahu mengenai kondisi yang sedang dialami oleh pengusaha.
Krisis pasokan listrik yang dihasilkan dari total pembangkit 24.856 MW ini sudah saatnya segera diselesaikan oleh pemerintah. Pemerintah mesti bertanggung jawab mengenai mengapa krisis pasokan listrik bergitu panjang dan tidak segera rampung. Pemerintah juga sekiranya perlu memikirkan energi alternatif guna memenuhi kebutuhan industri.
Keinginan pemerintah yang akan memberlakukan pemindahan kerja ke hari Sabtu dan Minggu kiranya perlu didukung. Kebijakan ini sebagai upaya untuk menghemat listrik dan mengurangi beban puncak energi listrik pada hari kerja efektif (Senin-Jum’at).
Namun, perlu kiranya pemerintah juga bertanggung jawab mengenai kesejahteraan buruh dan ketersediaan dana pengusaha untuk membayar upah. Pemindahan hari kerja sudah saatnya dikomunikasikan dengan baik antara pemerintah, pengusaha dan buruh (tri partit). Hal ini dikarenakan, akan berkaitan erat dengan apakah pemindahan kerja ini termasuk dalam kerja lembur atau tidak.
Kemudian mengenai usaha pemerintah menerapkan peraturan baru mengenai penggunaan bahan bakar nabati (BBN) sebesar 2,5 persen dari konsumsi bahan bakar industri, juga perlu dicermati dengan saksama. Artinya, pemerintah harus berani menggaransi bahwa penggunaan BBN tidak akan berpengaruh pada penyediaan kebutuhan pangan rakyat. Harus ada regulasi yang jelas agar tidak ada penyelewengan bahan pangan yang dikonfersi ke BBN.
Selanjutnya, pemerintah juga perlu menindak tegas penyelundup bahan bakar minyak (BBM) yang sediannya untuk pasokan bahan bakar pembakit listrik yang dijual ke Singapura. Tindakan tegas pemerintah akan dapat mengembalikan sedikit semangat investor untuk tetap menanamkan sahamnya di Indonesia.
Kepastian usaha nasional dari industri yang menggunakan pasokan tenaga listrik menjadi kata kunci bagi pemerintah, jika ingin meningkatkan devisa dan mengurangi jumlah pengangguran. Namun, jika krisis energi ini tidak segera diselesaikan oleh pemerintah, maka iklim usaha akan terganggu yang pada akhirnya pengusaha dan tenaga kerja akan terkena dampak negatifnya.

Benni Setiawan, Peneliti Lentera Institute.

Minggu, 22 November 2009

Menilik Sejarah Pemikiran Militer




Resensi, Seputar Indonesia, Minggu, 22 November 2009

Setiap 10 November bangsa Indonesia memeringati Hari Pahlawan.Sebuah hari penghormatan yang didedikasikan kepada para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia,khususnya untuk arek-arek Surabaya.

Rakyat Surabaya menghadapi tentara Inggris sebagai unit kesatuan yang (solid) kokoh dan akan bertempur dengan semboyan “Merdeka atau Mati”, sumpah yang telah diucapkan bersama. Pemikiran militer secara kolektif rakyat Surabaya adalah sederhana, tidak berbelit-belit (halaman 237). Apa yang terjadi di Surabaya menjadi penanda bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia tentu tidak dapat lepas dari peran serta prajurit (tentara/militer).

Mereka dengan gagah berani mengorbankan harta dan nyawa untuk kemuliaan bangsanya. Pascakemerdekaan pun, peran serta militer dalam membangun bangsa Indonesia terus berlanjut. Mereka banyak menduduki posisi penting dalam pemerintahan.Bahkan ketika pemilu 2009 lalu, beberapa purnawirawan Jenderal TNI tergerak hati untuk maju memperebutkan kursi RI 1 dan RI 2.

Namun, mengapa hingga kini bangsa Indonesia tidak kunjung maju dan sejahtera.Malah korupsi semakin menjadi, rakyat kecil semakin menderita, dan pejabat hidup dengan bergelimangan harta. Kegelisahan ini mendorong Soehario K Padmodiwirio, nama asli penulis buku Pemikiran Militer Sepanjang Masa Bangsa Indonesia. Hario Kecik,begitu nama revolusinya ingin mengungkap dan mengurai persoalan tersebut dengan melihat sejarah panjang pemikiran militer di Indonesia.

Karena dalam pandangannya didasarkan pada fakta yang ada menunjukkan bahwa masalah militer tidak pernah dapat dipisahkan dengan masalah militer dan diplomasi suatu negara. Salah satu kecemerlangan purnawirawan Jenderal Angkatan Darat ini terletak pada pemikirannya mengenai mengapa pascaperang gerilya yang dijalankan oleh Pangeran Sambernyowo, tidak lagi terjadi perlawanan terhadap VOC.

Padahal sebetulnya pada waktu itulah seharusnya bangsa kita mengangkat senjata melawan kekuatan Belanda yang berada dalam keadaan lemah itu. Tetapi mengapa tidak demikian? Sebabnya terutama harus dicari dalam masalah konsep pemikiran militer dari Pangeran Sambernyowo dan keterbatasan sejarah yang pada waktu itu yang objektif, seperti masalah tidak adanya komunikasi dengan dunia luar.

Selain itu kita tidak dapat mengharapkan dari seorang yang berjiwa feodal terbatas itu untuk berpikir secara futuristik. Ia hanya berpikir bagaimana mendapatkan gelar yang disandang almarhum ayahnya. Setelah mendapat kepastian dari Pakubuwono III bahwa ia akan mendapatkan gelar itu jika mau kembali ke Surakarta,ia menyerah dan meninggalkan semboyan “Tiji- Tibeh”,yang boleh dikatakan satusatu ikatannya dengan rakyat desa.

Kecuali itu, ia juga masih ingin memberi kehidupan di lingkungan keraton kepada istri dan anaknya. Dengan sendirinya ia tidak dapat berpikir untuk membuat “kader revolusioner generasi baru”. Pikirannya setelah mendapat tanah lenggahan dan mulai hidup dalam lingkungan yang tenang,jati dirinya mengalami evolusi yang dikuasai oleh yang bersifat ‘pelarian yang fiktif mengembara di dunia fantasi keagungan dan keluhuran kefeodalannya’.

Ia tertelan dalam kabut kefeodalan yang tidak cocok lagi dalam zaman selanjutnya. Karena itu,setelah dapat dimasukkan ‘kandang penjinakan’ oleh Belanda VOC, Mataram jatuh ke dalam suasana lethergis yang berlangsung kurang lebih 70 tahun dari tahun 1756 sampai timbulnya perang yang dinamakan Belanda Javaoorlog (Perang Jawa) pada tahun 1825 (halaman 67-68). Mungkin inilah yang menjadi kegelisahan Hario Kecik. Ia khawatir keadaan ini berulang.

Meminjam istilah Omar Kayam sebagaimana dikutip buku ini menyatakan “semua hal ikhwal yang terjadi di alam semesta termasuk di subatomik level materi yang terjadi sekarang adalah kelanjutan atau akibat dari suatu kejadian di waktu lampau”. Banyak pemimpin bangsa kita tidak mampu berbuat lebih untuk rakyat dan kemakmuran bangsa karena terbuai oleh kenikmatan sesaat.

Padahal kesempatan yang ia miliki tidak berulang dua kali. Cara pandang pemimpin bangsa, seperti ini hanya semakin menumbuhsuburkan perilaku korupsi dan kerusakan bangsa Indonesia. Semua dipandang hanya dari segi materi. Sumpah jabatan dan amanat penderitaan rakyat tidak lagi menjadi senjata atau semangat untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa. Buku ini mengurai dengan jelas dan detail mengenai sejarah panjang pemikiran militer di Indonesia.

Secara rinci mantan Komando Resimen Mahasiswa Fakultas Kedokteran/Dai Tai Co Gakuto Tai Ika Dai Gaku Jakarta ini berhasil memotret kecenderungan (gaya pemikiran militer) dengan gaya bahasa sederhana nan lugas. Semua diungkapkan tanpa tendensi, mengalir indah menelusuri relung zaman. Buku ini sangat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mengkaji lebih lanjut sejarah ke-Indonesiaan, terutama dalam kajian militer.

Tidak hanya dalam kajian militer saja, buku ini juga menilik lebih lanjut sejarah pemikiran politik bangsa Indonesia. Buku ini menawarkan sebuah pendekatan yang dapat dibilang baru dalam penelusuran sejarah. Yaitu, sebuah pengungkapan data dinarasikan secara objektif dengan penalaran yang komprehensif.

Selain itu, kelebihan buku ini terletak pada pengalaman penulis dalam bidang kemiliteran sekaligus pelaku sejarah.Karena itu,apa yang dituturkan begitu bermakna dan mempunyai spirit juang.Maka tidak aneh ketika Stanley Adi Prasetyo dalam pengantarnya menyatakan buku ini dengan gamblang merunut kembali pemikiran militer yang pernah ada di Republik beserta para tokohnya yang berpengaruh.(*)

Benni Setiawan,
Mahasiswa Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga,Yogyakarta.

Panduan (tanpa menggurui) menjadi guru efektif



"Jeda", Solo Pos, 22 November 2009,Hal.V

Judul : The First Days of School
Penulis : Harry K Wong & Rosemary T Wong
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Edisi : I, Mei 2009
Tebal : xix + 412 Halaman

Menjadi guru merupakan cita-cita mulia. Anak-anak banyak yang menggantungkan cita-cita mereka menjadi guru. Mereka mengidolakan menjadi seorang guru yang penyabar, tenang, berwibawa, dan bijaksana. Mereka tidak pernah berpikir bahwa tugas guru amatlah berat, yakni mendidik, dan bukan sekadar mengajar. Tugas yang berat ini seringkali tidak seimbang dengan penghasilan yang mereka dapatkan. Seringkali harus utang ke sana-kemari untuk sekadar menyambung hidup. Toh semua itu tidak pernah terpikirkan di benak anak-anak.

Guru juga merupakan sosok sempurna bagi anak-anak. Sosok yang digugu lan ditiru (dipatuhi dan diteladani). Sosok bak dewa inilah yang menjadikan posisi dan peran guru di masyarakat sangat dihormati. Ia seringkali diminta nasihatnya, baik dalam urusan privat maupun publik. Karena jasanya inilah mereka seringkali dipanggil ”Mas Guru atau Mbak Guru” oleh orang yang lebih tua, atau ”Pak Guru” oleh yang lebih muda dan sebaya.

Penghormatan ini tidak hanya dalam bentuk lisan, namun juga perbuatan. Apa yang menjadi kebiasaan guru akan diterima dan diikuti. Maka, tidak aneh jika pada saat Pemilu legislatif dan Pilpres lalu, guru merupakan tim sukses gratis bagi partai politik atau pasangan capres-cawapres tertentu, ini karena mereka melakukan penetrasi halus terhadap calon pemilih dan mewartakan bahwa calon yang diusungnya merupakan figur pemimpin yang pantas memimpin bangsa ini dalam lima tahun mendatang.
Hal tersebut di atas semakin dikuatkan oleh pencitraan bahwa pasangan capres dan cawapres tertentu merupakan seorang guru, pembela guru, dengan mem-PNS-kan para guru honorer, sertifikasi yang menyejahterakan guru, dan berpihak kepada guru dengan gaji ke-13.

Namun, dari sekian banyak kelebihan guru, tugas mendidik bukanlah perkara yang mudah. Mendidik bukan hanya datang ke sekolah dan mengajarkan materi yang telah digariskan pemerintah. Mendidik berarti memasukkan nilai, meminjam istilah Driyarkara, ke dalam peserta didik. Proses inilah yang seringkali belum disadari guru.

Lebih dari itu pendidikan bukan mengajarkan kepada orang hal-hal yang sekarang belum diketahui. Pendidikan adalah mengajarkan kepada orang perilaku yang saat ini belum dipraktikkan (Hal 8).

Proses tiada akhir
Dengan demikian, pendidikan tidak hanya berlangsung di dalam kelas. Pendidikan berlangsung dalam setiap kehidupan. Pendidikan yang berhasil bukan hanya dilihat dari hasil nilai ulangan harian dan Ujian Nasional. Namun, pendidikan yang berhasil merupakan proses tiada akhir dalam mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik.

Buku The First Days of School ini memberikan gambaran yang jelas dan rinci bagaimana menjadi pendidik (guru) yang efektif. Bercerita tentang A-Z cara mengajar, mendidik, dan proses memasukkan nilai. Kelebihan buku ini berangkat dari hasil riset selama bertahun-tahun dan pengakuan langsung guru-guru yang telah berpengalaman mendidik.

Buku ini tidak menggurui, namun benar-benar mendidik. Berangkat dari filosofi belajar yang menyenangkan, menggairahkan, meneguhkan, dan mencerahkan. Oleh karena itu sangat filosofis namun tetap ringan dan mudah dipahami. Bertutur apa adanya mengenai tugas guru, trik mengatasi gangguan dalam belajar-mengajar, dan apa saja yang dapat dilakukan guru dalam mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik.

Buku ini menarik selain karena disertai gambar-gambar yang menghibur dan semakin menguatkan gagasan-gagasan segar, juga diformat sedemikian rupa, sehingga memudahkan pembaca untuk langsung mengetahui maksudnya. Buku yang ditulis seorang guru ini begitu memesona. Tidak hanya dalam tutur bahasanya, namun juga pengemasan ide-idenya.

Membaca buku ini seakan berselancar menuju dunia yang indah. Membayangkan peserta didik yang datang dengan segera dan enggan pulang ke rumah karena merasa tenang dan enjoy di sekolah. Dan, inilah sebenarnya filosofi belajar. Yakni, menjadikan peserta didik betah dengan guru (juga orangtua), dan tak mau berjauhan dari mereka.

Bagi para guru, dengan membaca buku ini akan kian menambah wawasan dan cara pandang dalam belajar mengajar, sehingga layak dibaca calon guru dan atau orang yang bercita-cita menjadi guru. Dengan bekal inilah kita semakin bersemangat meraih cita-cita mulia itu.

Dengan begitu, kehadiran buku ini sangat tepat, karena di tengah tak terarahnya sistem pendidikan nasional—yang kian feodal, haus materi, tercerabut dari budaya Nusantara, dan tidak memerhatikan kualitas guru.

Benni Setiawan, Penulis buku Menifesto Pendidikan Nasional (2006) dan Agenda Pendidikan Nasional (2008).

Kamis, 19 November 2009

Republik Para Maling



Surya, Kamis, 19 November 2009

Bangsa Indonesia adalah bagian dari Bangsa Timur dengan penuh keakraban, cinta kasih dan kedamaian serta berlandaskan rasa iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apakah hal tersebut masih relevan dengan keadaan sekarang? Apakah bangsa ini masih mengakui adanya eksistensi kekuatan lain selain manusia (Tuhan)?
Bangsa timur dengan penuh keberadaban tampaknya sudah hilang dari bumi Indonesia. Yang ada di negeri dengan berjuta persona ini tinggallah keangkaramurkaan. Yang kuat dan berkuasa ingin langgeng dengan apa yang telah ia peroleh. Sedangkan yang miskin tetapnya menjadi miskin tanpa kekuatan yang pada akhirnya mati terbujur kaku.
Betapa tidak, disaat negeri ini dilanda krisis kepemimpinan, rakyat dipaksa antri minyak tanah, kekeringan, kelaparan, dan banyak sekolah roboh, pejabat Indonesia dengan sikap bak kesatria menohok hati rakyat. Presiden dan menteri ingin naik gaji. Konon sudah lima tahun gaji menteri tidak naik.
Di sisi lain, masyarakat harus “bertamasya” hingga ke puncak gunung untuk mendapatkan air bersih. Air bersih di sumur-sumur desa sudah mengering sejak empat bulan lalu. Seluruh anggota keluarganya juga turut serta mencari air untuk kebutuah sehari-hari. Rombongan keluarga anggota dewan bersenang-senang dan berbelanja dengan anggaran dan uang rakyat untuk menambah koleksi.
Lebih lanjut, anggota DPR komisi III melakukan acrobat politik. Mereka memanggal Kapolri guna menguak kasus cicak vs buaya. Namun, ternyata apa yang dilakukan komisi III kontra produktif dengan harapan masyarakat.
Desakan masyarakat untuk mencopot Kapolri dan Jaksa Agung pun semakin menguat. Hal ini karena, kedua pimpinan tersebut tidak mampu menjadikan lembaganya sebagai kekuatan melawan korupsi dan koruptor, malah banyak diantaranya terlibat. Namun, pemimpin bangsa besar ini kehilangan keberanian untuk menyatakan kebenaran dan menegakkan kedaulatan sebagai bangsa dan negara.
Betapa tidak, di tengah semakin banyaknya tenaga kerja Indonesia (TKI) disiksa hingga meninggal dunia, duta olah raga dihajar empat polisi hingga babak belur, perjanjian pertahanan dan keamanan yang merugikan, ia hanya dapat tersenyum tanpa mampu berbuat banyak.
Elit pemerintah Indonesia sepertinya tidak mempedulikan nasib sekitar 2,7 juta tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri pada akhir tahun 2006 dan diperkirakan mencapai 3,4 miliar dolar AS atau setara Rp. 30,6 trilyun devisa yang telah disumbangkan kepada negara. Jumlah ini masih kalah jauh dibandingkan dengan sumbangan 8 juta buruh migran Filipina bagi negaranya yang berkisar 14 miliar dolar AS-21 miliar dolar AS pertahun (Kompas, 9/6/2007).
Belum lagi dengan jumlah TKI yang disiksa dan meninggal dunia untuk membela banga dan negara di luar negeri. Pada Maret 2007 saja, departemen luar negeri (Deplu) mencatat ada 10 kasus penganiayaan dan pemerkosaan terhadap TKI. Baru-baru ini Muntik bin Bani, Vanita dan Murungan, meregang nyawa oleh majikannya.
Bangsa ini sudah tidak mempunyai kedaulatan lagi. Yang ada hanyalah kekuasaan dalam negeri yang garang terhadap rakyatnya sendiri dan loyo menghadapi luar negeri. Rakyat dibiarkan mati kelaparan dan busung lapar sebagaimana terjadi di nusa tenggara timur (NTT) baru-baru ini. Sedangkan pemimpin sebagai panutan mereka pesta pora dengan kenaikan gaji dan tunjangan diluar batas kewajaran.

Melupakan eksistensi Tuhan
Pemimpin bangsa ini juga telah melupakan eksistensi Tuhan. Ia tidak lagi mempercayai Tuhan sebagai kekuatan di luar manusia. Pemerintah sepertinya melupakan anugerah yang telah diberikan kepada Tuhan kepada manusia.
Seperti, hutan yang sengaja dibakar atau ditebang secara liar. Pembalakan hutan yang sering mengakibatkan bencana seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan adalah salah satu bukti bahwa pemerintah sudah melupakan Tuhan.
Pemerintah dengan enaknya mengeluarkan surat untuk merusak hutan dengan alasan pengelolaan hutan. Pemerintah juga dengan tanpa berdosa memperbolehkan seseorang untuk membabat hutan hingga 2 hektar, sebagaimana di Riau.
Tuhan pun menjadi tidak ada di negeri ini. Yang ada penuhanan terhadap kekuasaan, kekayaan dan jabatan. Pemegang kekuasaan merasa dirinyalah yang paling berjasa di negeri ini. Maka, ia dengan bangga mengajukan kenaikan gaji dan tunjangan di tengah penderitaan dan kelaparan masyarakat Indonesia.
Pemerintah juga bangga telah memperoleh devisa negara yang tinggi dan berlebih dari jerih payah dan keringat TKI di luar negeri, tanpa memperhatikan hak-haknya sebagai manusia merdeka dan makhluk Tuhan. Pemerintah juga tidak peduli dengan kehidupan masyarakat Indonesia di tengah himpitan bencana alam. Ia lebih peduli dengan kedudukan dan kekuasaan yang telah diperoleh.
Pendek kata di negeri ini yang ada adalah sifat individualisme yang tinggi. Pejabat sudah terbuai oleh kekuasaan dan kekayaannya. Sedangkan rakyat terus saja menahan derita yang tak kunjung berakhir.
Patutlah negeri ini disebut sebagai republik maling. Artinya, tatanan ketatanegaraan timpang. Pejabat yang serakah dan tidak dapat nrimo dengan apa yang telah mereka peroleh. Rakyat hidup menderita dan hanya dijadikan modal sosial untuk mendapatkan dana asing.
Bak maling, yang merampas kekayaan orang lain tanpa memperdulikan apakah orang tersebut dapat makan atau mempertahankan hidupnya kelak. Yang ada dibenak para pejabat pemerintahan adalah bagaimana saat ini dapat mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya.
Lebih dari itu, bagaimana dapat mempertahankan kekuasaan hingga akhir hayat. Hal ini dikarenakan, kekuasaan adalah sumber kekayaan, prestisi (pengakuan dan penghormatan) masyarakat dan menaikkan derajat martabat keluarga. Selamat datang di republik para maling.

Benni Setiawan, Peneliti Lentera Institute.

Selasa, 17 November 2009

Tafsir Kritis TBC di Tengah Globalisasi



Jurnal Nasional, Selasa 17 Nov 2009

Benni Setiawan
Kader Muda Muhammadiyah, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Sejak berdiri 97 tahun (18 November 1912-18 November 2009) silam, Muhammadiyah telah bersama membangun bangsa Indonesia. Muhammadiyah melalui tokoh-tokohnya seperti Ki Bagus Hadikusumo telah meletakkan dasar negara. Memasuki usianya yang hampir seabad dan usia bangsa Indonesia 64 tahun, persyarikatan dengan amal usaha terbesar di dunia dan Nusantara kini mempunyai persoalan yang cukup pelik. Diantaranya masalah krisis global, global warming, illegal logging dan illegal fishing, pengangguran, kemiskinan, korupsi, dan seterusnya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa Muhammadiyah harus terlibat dan mencari solusi dalam persoalan-persoalan tersebut?
Persoalan tersebut tentunya membutuhkan penyelesaian yang bijak dan tepat sasaran. Jika tidak, Muhammadiyah sengaja membiarkan kesengsaraan ada di tengah masyarakat.
Lebih dari itu, apa yang telah diperjuangkan oleh KH Ahmad Dahlan dalam melakukan gerakan puritan telah sirna. Artinya, jika dahulu Kiai Dahlan berusaha mengentaskan kemiskinan dan membuat masyarakat pandai dengan mendirikan rumah sakit, panti asuhan dan sekolah-sekolah bagi rakyat kecil, tinggal kenangan. Pergeseran perjuangan untuk membela wong cilik telah dilupakan pemimpin sekarang.
Muhammadiyah mempunyai peran dan posisi strategis dalam persoalan kebangsaan tersebut. Hal ini karena, Muhammadiyah merupakan gerakan amar ma'ruf nahi munkar dan belum terjebak dalam kegiatan politik praktis. Dengan demikian, tugas menyelamatkan umat dari kesengsaraan adalah tugas semua kalangan, termasuk di dalamnya Muhammadiyah.
Ajaran KH Ahmad Dahlan, yang selama ini masih dipakai oleh warga Muhammadiyah adalah penafsiran Surat al-Maun. Surat ini mengajarkan kepada manusia agar tidak mendustakan agama. Mendustakan agama dalam ayat ini ditandai dengan tidak memberi makan orang miskin dan menghargai anak yatim. Dalam pengertian sederhana, memberi makan orang miskin adalah juga memberikan pekerjaan kepadanya. Artinya, orang yatim dan miskin berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, sebagaimana juga yang telah dituangkan dalam batang tubuh UUD 1945 Pasal 28.
Di antara 230 juta penduduk Indonesia ada warga Muhammadiyah. Ia hidup menderita di bawah payung Muhammadiyah. Perjuangan KH. Ahmad Dahlan guna mengentaskan kemiskinan dengan jalan pendidikan, kesehatan, dan sosial yang telah lama dirintis apakah harus berhenti pada abad ini?
Hal yang ingin diutarakan dalam tulisan ini adalah bagaimana kader Muhammadiyah menyikapi perubahan zaman dan tantangannya yang semakin kompleks. Muhammadiyah ke depan tidak lagi menghadapi persoalan klasik Takhayul, Bid'ah dan Khurofat (TBC). Akan tetapi, bagaimana TBC dimaknai sebagai hal baru dalam perkembangan dinamika masyarakat.
Sistem yang Membelenggu
Mengapa TBC harus diperangi? Sebagaimana amanat yang telah dirumuskan dalam matan keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah (MKCH) kelompok kedua yang berbunyi "Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyirikan, bid'ah dan khurofat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam".
TBC pada zaman sekarang tentu berbeda dengan zaman KH Ahmad Dahlan. TBC dapat berbentuk sistem yang membelenggu kebebasan semua golongan dalam bergerak dan menyuarakan aspirasinya. Persoalan kebangsaan yang semakin komplek ini dapat dipandang sebagai TBC yang harus diperangi disebabkan kebebasan manusia terpasung dan masyarakat menderita karenanya.
Keberpihakan dan bahkan kewajiban setiap kader Muhammadiyah saat ini adalah memerangi TBC dalam artian luas. Sekali lagi, TBC bukan lagi persoalan teologi yang selalu dipermasalahan karena mengandung dosa dalam pandangan syariat Islam secara umum, melainkan TBC adalah penyakit sosial-kemasyarakat yang menganggu ketenteraman dan keberlangsungan hajat hidup orang banyak.
Lebih dari itu, dalam Kepribadian Muhammadiyah, kader dituntut untuk amar ma'ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh teladan yang baik. Membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun negara untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur yang diridhoi Allah.
Dua pernyataan yang tertuang di dalam Kepribadian Muhammadiyah tersebut mempunyai signifikansi dalam menjawab persoalan Muhammadiyah dan umat ke depan. Artinya, ketika dahulu Muhammadiyah bekerjasama dengan NU untuk memberantas korupsi, alangkah baiknya, jika Muhammadiyah juga kembali bersuara dalam masalah krisis global, illegal logging, illegal fishing, global warming, pengangguran, kemiskinan, dan seterusnya.
Sudah saatnya Muhammadiyah bangun dari tidur panjangnya dan kembali memperteguh gerakan kerakyatan yang telah dipelopori dan diwarikan oleh KH Ahmad Dahlan. Muhammadiyah yang selama ini disibukkan dengan wacana pemikiran yang ndakik-ndakik dan kurang menyentuh realitas sosial sudah saatnya kembali pada pemikiran yang mudah diterima oleh warganya.
Ambil contoh, Muhammadiyah hingga kini belum mempunyai alat produksi cangih seperti, kapal penangkap ikan, TV Nasional, Radio Nasional, yang kesemuanya digunakan sebagai sarana dakwah melawan budaya konsumerisme dan kapitalisme yang menggejala. Seandainya Muhammadiyah mempunyai kapal yang dapat menanggkap ikan di laut yang sekarang ini banyak dicuri oleh pihak yang tidak bertanggungjawab, Muhammadiyah akan bertambah "kaya" dan semakin banyak membuka peluang kerja bagi warganya. Dan tentunya mampu menyelamatkan aset bangsa Indonesia.
Guna menghadapi persoalan yang semakin kompleks ini, Muhammadiyah sudah saatnya berani untuk banting stir dan menenggok kembali ajaran yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w, dan "tafsir" ala KH Ahmad Dahlan. Beberapa pokok ajaran tentang pentingnya pendampingan/pembelaan terhadap kaum mustad'afin sebagaimana yang telah diuraikan di atas sudah selayaknya dikaji kembali oleh generasi Muhammadiyah hari ini. Muhammadiyah seyogianya kembali ke garda depan sebagai pembela wong cilik (kaum mustad'afin). Wallahu a'lam.