Search

Selasa, 29 September 2009

Krisis Global Perspektif Marx

Resensi, Seputar Indonesia, 27 September 2009

KRISIS global yang melanda dunia sejak akhir 2008 meninggalkan duka mendalam. Setidaknya hingga 24 Desember 2008 sudah ada 200.000 buruh di-PHK.

Di meja Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakerstran) juga masih ada sekitar 25.557 buruh yang menunggu giliran di-PHK. Lebih dari itu, menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), pada 2009 setidaknya akan ada 1,5 juta penganggur baru. Data ini belum ditambah dengan pemulangan paksa 300.000 TKI yang di-PHK di Malaysia.

PHK massal ini tentu merugikan para buruh.Mereka harus menanggung dosa politik-ekonomi akibat ketamakan kaum kapitalis dalam sistem produksi. Kaum buruh selalu dalam posisi lemah dan tidak berdaya. Sedangkan kaum kapitalis yang menguasai ”sendisendi” perekonomian umat mendasarkan kerja dan kinerja mereka dengan gaya imperialisme atas dasar uang.

Inilah yang dikritik secara tajam dan genius oleh Karl Marx. Marx menyatakan dalam tulisannya (petikan karya 10) bahwa imperialisme memang membawa manfaat-manfaat teknologi, rel-rel kereta api, dan metode-metode produksi yang baru kapitalis ke negara-negara nonindustri. Namun, alih-alih memandang semua perkembangan itu sebagai suatu contoh kemajuan.

Dia menggambarkan semua perkembangan positif itu sebagai bagian dari suatu proses penyiksaan dan perendahan martabat yang dilakukan kekuasaan kolonial. Dia bahkan membandingkan semua itu dengan ‘dewanya para penyembah berhala yang tidak minum nektar,kecuali dari tengkorak- tengkorak korbannya’.

Gagasan brilian tersebut menjadi ruh dalam buku ini. Lebih lanjut, Marx dan Frederick Engels termasuk di antara para penulis awal yang mengakui sifat kebaruan dari kapitalisme global, dan yang menulis tentang hal tersebut secara sistematis. Merekalah yang pertama-tama memahami bahwa modus ekonomi seperti itu akan berkembang dan bahwa masyarakat kapitalis akan menyebar luas—padahal di masa mereka, kapitalisme baru muncul di sebagian Inggris dan Eropa Utara.

Dengan mempertimbangkan kenyataan bahwa keduanya hidup dalam masyarakat-masyarakat desa dan monarkis yang penduduknya hidup dari mengolah tanah di bawah kondisi-kondisi yang masih dicekam oleh feodalisme, sungguh merupakan suatu pencapaian yang luar biasa bahwa keduanya bisa memetakan dengan tepat konturkontur dunia kapitalis sebagaimana yang kita alami saat ini.

Harapan buku ini ialah untuk mengingatkan kembali para pembaca mengenai betapa kreatif dan vitalnya cara Marx mendekati persoalan- persoalan ekonomi dunia; kemajuan; imperealisme; determinisme teknologi; komoditi dan konsumsi; kapital, uang, usaha dan perdagangan; kapital, keuangan, dan laba.

Marx menghadirkan contoh-contoh yang konkret dan selalu terlibat dalam sejarah dunia yang tengah berlangsung. Selama hidupnya, Marx turut memberikan dukungannya kepada korban-korban kolonialisme dalam perjuangan mereka melawan kekuasaan Inggris dan kepada kaum buruh Inggris dalam pemberontakan mereka.

Tak pernah muncul keraguan dalam dirinya pihak mana yang harus didukungnya antara kaum tertindas dan kapital global. Mungkin sekali Marx dan Engels akan lebih cenderung bersikap skeptis terhadap teori globalisasi yang akan mengonsumsi segalanya (the theory of all-consuming globalization).

Meski banyak pernyataan bahwa kapital global sekarang ini telah bebas dari segala hambatan, masih merupakan sesuatu yang tak terbantahkan bahwa jika sesuatu itu hendak dijual, pertama-tama sesuatu itu harus diproduksi dan bahwa setiap produk mestilah ada produksinya. Kapital dan buruh dengan demikian semakin lebih terbakukan dalam kerangka teori globalisasi.

Jadi singkatnya,dalam petikan-petikan yang dihimpun dalam buku ini,apa yang digambarkan oleh Marx dan Engels sebenarnya adalah suatu dunia yang tak jauh berbeda dari dunia kita saat ini. Buku Karl Marx Membongkar Akar Krisis Global ini setidaknya memberikan penyadaran kepada kita bahwa akar krisis global bersumber dari sistem kapitalisme yang menjadi ‘tuhan’ di dunia ini.

Melalui karya ini Marx menyatakan bahwa krisis akan menjadi kamus umum masyarakat ketika masih berkiblat pada kapitalisme. Hal ini karena krisis merupakan sesuatu yang inheren dalam sistem kapitalisme itu sendiri,sebagai akibat kontradiksi- kontradiksi internalnya. Krisis akan terus menjadi hantu yang menakutkan negara-negara dunia ketiga ketika keterkaitan dan ketergantungan pada negara dunia pertama masih besar.

Negara dunia ketiga akan menjadi ‘bancakan’ kaum kapitalisme selama sistem ekonomi yang dibangun masih didasarkan pada anasir-anasir kuasa kelas atas menindas kelas bawah. Lebih dari itu, buku yang berisi kumpulan artikel Marx dan Engels, termasuk surat-surat pribadi, tulisan-tulisan hasil reportase mereka, naskah-naskah yang belum dipublikasikan dalam karya-karya mereka yang telah diterbitkan,

manifesto-manifesto dan kutipankutipan dari karya ekonomi mereka di masa awal ini, menjadi suatu pengantar bagi siapa pun yang ingin mengenal lebih dekat sosok pemikir berpengaruh hingga saat ini. Membaca karya ini seperti bertualang menelusuri relung sejarah panjang perjalanan sistem ekonomi dunia.(*)

Benni Setiawan,
mahasiswa Program Pascasarjana
Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Kamis, 10 September 2009

Meneguhkan Visi Pendidikan Humanis



Telaah Pendidikan, Suara Muhammadiyah, 1-15 September 2009

Bom kembali meledak di Hotel JW Marriott dan Rizt Carlton, Jum’at Legi 17 Juli 2009. Sembilan orang tewas dan 52 luka-luka. Peristiwa ini semakin menambah deret panjang peledakan bom di Indonesia. Dimulai Bom Bali I, 12 Oktober 2002, yang menewaskan 202 orang dan melukai 132 orang. Disusul Bom Marriott, 5 Agustus 2003, dengan 11 korban tewas dan 152 luka-luka. Kemudian bom Kedubes Australia, 9 September 2004, yang menelan 9 korban tewas dan 161 luka-luka. Selanjutnya, bom Bali II, 1 Oktober 2005, yang merenggut 25 nyawa dan 102 luka-luka.

Rangkaian peledakan bom di Indonesia selalu dikaitkan dengan keberadaan Jamaah Islamiyah (JI). Pentolan JI Noor Din M Top menjadi buronan nomor wahid di negeri ini hingga sekarang. Bahkan, berkat kepiawaian Noor Din M Top, jaringan terorisme ini semakin besar dan memburu target yang lebih besar. Rekrutmen “calon pengantin” (calon pelaku bom bunuh diri) pun tidak memandang usia. Pelaku bom bunuh diri Hotel Rizt Carlton adalah remaja berumur 17 tahun. Ia baru lulus sekolah menengah atas (SMA) tahun ini dan gagal menembus seleksi nasional mahasiswa perguruan tinggi negeri (SNMPTN).
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mengapa remaja yang baru lulus SMA itu dengan sadar melakukan tindakan yang di luar kewajaran? Bagaimana sistem pendidikan di sekolahnya? Apakah kurikulum pendidikan di sekolahnya mengajarkan remaja yang bernama Dani untuk berjihad dengan aksi bom bunuh diri?

Pendidikan Humanis
Pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1, adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dengan demikian, pendidikan merupakan proses humanis yang dilakukan dengan sadar dan terencana. Pola pendidikan humanis atau humanizing human being (memanusiakan manusia) dalam bahasa Freire, penyadaran dalam bahasa Mangunwijaya, pengangkatan manusia muda ke taraf insani dalam bahasa Driyarkara dan principle of reaction dalam bahasa Ki Hajar Dewantara.
Konsepsi pendidikan humanis ini sudah saatnya digali dan diajarkan kembali di bangku sekolah. Pendidikan yang seperti ini akan mampu membentengi peserta didik dari perilaku menyimpang. Lebih dari itu, peserta didik akan mampu mengetahui dan memahami hakikat diri dan lingkungannya.
Tanpa pemahaman yang benar mengenai pendidikan sebagai sebuah proses hidup dan proses menjadi sulit kiranya bangsa ini akan terbebas dari belenggu kekerasan. Pendidikan Indonesia sudah saatnya kembali diformulasikan guna mencegah tindakan biadab tersebut.
Dalam pendidikan yang bercorak humanis, seseorang dianggap sama. Artinya, semua manusia memiliki potensi yang telah diberikan oleh Tuhan sejak lahir. Potensi inilah yang diolah dan dikembangkan untuk bekal hidup. Tidak dengan jalan pemaksaan (kekerasan), melainkan dengan saling tegur sapa dan saling mengisi.
Pendidikan humanis mendudukan posisi yang sama antara guru dan peserta didik. Hubungan yang dibangun adalah simbiosis mutualisme. Tidak ada yang terganggu dan menganggu. Guru berperan sebagai motivator dan fasilitator. Guru berdiri di depan kelas bukan sebagai seseorang yang maha mengetahui akan ilmu yang diajarkan. Namun, guru hanyalah penyampai sekaligus pengelola gagasan-gagasan segar yang senantiasa muncul di tengah proses pembelajaran. Guru juga bukanlah sosok yang angker dan anti kritik. Guru merupakan sosok yang senantiasa mau mendengar keluh kesah peserta didik dalam segala hal.
Tidak ada hukum-menghukum di dalam proses pendidikan. Jika ada hukuman yang diberikan kepada peserta didik harus bersifat mendidik dan menimbulkan sebuah kesadaran bahwa yang telah dilakukan keliru itu dan tidak akan mengulanginya di kemudian hari.
Lebih lanjut, pembinaan (respon positif) dari komponen pendidikan juga penting. Komponen pendidikan terdiri dari, peserta didik, alumni, guru, dewan sekolah, pengawas dan seterusnya. Mereka semua adalah komponen yang wajib turut serta dalam menjaga agar pendidikan menjadi hal yang menyenangkan dan mencerdaskan. Artinya, keadaan sekolah yang nyaman dan penuh keramahan akan dengan sendirinya menjauhkan rasa bosan dan kepenatan.
Seseorang yang membawa beban berat persoalan akan merasa gembira ketika bertemu dengan komponen pendidikan. Komponen pendidikan lainnya adalah keluarga atau teman dalam menghadapi setiap persoalan. Dengan bekal pendidikan seperti ini tindak kekerasan apalagi bom bunuh diri tidak akan dilakukan oleh alumnus sekolah yang notabene mereka pernah mendapat pendidikan.

Mengubah Orientasi Pendidikan
Selain itu, pembenahan kurikulum dalam proses pendidikan perlu dilakukan. Kurikulum pendidikan sudah saatnya diorientasikan sebagaimana maksud dan tujuan diadakan pendidikan. Kurikulum yang diarahkan hanya untuk memenuhi sektor usaha dan dunia kerja hanya akan semakin mengerdilkan fungsi dan peran pendidikan dalam menciptakan tatanan bangsa yang sejahtera dan mandiri.
Banyaknya aksi kejahatan yang dipelopori oleh peserta didik sudah saatnya mengilhami pemerintah untuk mengubah orientasi pendidikan. Perlu kiranya pendidik (guru) dibekali materi pendidikan anti kekerasan. Misalnya, dalam bentuk kegiatan praktik atau dalam satuan kegiatan belajar mengajar.
Pemahaman yang benar mengenai pemahaman teks suci keagamaan kiranya juga penting. Hal ini karena, selama ini pendidikan agama yang diajarkan di bangku sekolah masih bersifat hafalan. Pendidikan agama belum mampu menyentuh kesadaran dan kemandirian peserta didik dalam memahami konsepsi agama yang rahmatan lil ‘alamin.
Sebagaimana ada dalam buku pelajaran agama kelas XI terbitan PWM Jawa Timur. Dalam pokok bahasan mengenai jihad, di sana diutarakan bahwa jihad adalah berperang. Padahal, makna jihad bukan hanya perang. Jihad dalam arti sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu juga penting. Jihad dalam konteks perang melawan kaum kafir tidak cocok dengan iklim keberagamaan di Indonesia.
Ketika pemaknaan jihad masih saja sebagaimana ada dalam fiqih klasik sekian ratus tahun lalu, maka jangan disalahkan jika ada warga Muhammadiyah yang turut serta dalam aksi terorisme. Walaupun terorisme bukan jihad dalam pemaknaan masyarakat secara umum, namun ketika ada teks yang diajarkan sebagai bagian dari proses pendidikan maka akan membentuk mainstream dalam diri peserta didik.
Pembenahan bahan ajar dan cara pengajaran (pendidikan) di sekolah setidaknya mampu mencegah tindakan yang tidak dibenarkan di hadapan hukum. Lebih dari itu, konsepsi jihad tidak disalahartikan oleh segelintir orang yang justru merusak nama baik agama.
Dengan demikian, pendidikan mempunyai peran yang cukup signifikan dalam mencegah dan mengeliminir tindak kekerasan dalam bentuk apapun. Karena dari pendidikanlah embrio kesadaran dan pemaknaan hidup tumbuh dan berkembang. Jika pendidikan tidak diarahkan dalam bingkai memanusiakan manusia dan diajarkan secara memadai maka akan banyak insan pendidikan yang melakukan hal yang sulit diterima oleh akal sehat.
Selain pembenahan dari sektor pendidikan, pemerintah juga perlu mengubah cara sporadis dalam membasmi terorisme. Cara-cara sporadis dan anti kemanusiaan akan semakin menyuburkan geliat terorisme di Nusantara.
Kebijakan jangka panjang dan holistik serta melibatkan seluruh komponen bangsa tentunya akan lebih efektif dalam menindak kejahatan terorisme. Lebih dari itu, anggaran belanja negara tidak terbuang sia-sia.
Pada akhirnya, visi pendidikan humanis sudah saatnya kembali menjadi agenda besar bangsa Indonesia dalam membangun peradaban yang lebih baik. Tanpa hal ini sulit bagi bangsa Indonesia keluar dari jerat kekerasan dan terorisme. Wallahu a’lam.•
________________________________
Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Sabtu, 05 September 2009

Awas, Dokter Aspal !!!



"Kampus", Suara Merdeka, 05 September 2009

Menghawatirkan! Sebanyak 16 fakultas kedokteran di Indonesia ternyata
belum terakreditasi. Kita layak bertanya, bagaimana kualitas dokter yang dihasilkannya? Benarkah ini sinyalemen maraknya dokter aspal (asli tapi palsu)?

MENURUT Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, Fasli Jalal, baru 53 dari 69 pendidikan tinggi kedokteran yang terakreditasi. Sekitar 63 persen pendidikan kedokteran di perguruan tinggi negeri (PTN) sudah berakreditasi A, sedangkan perguruan tinggi swasta (PTS) umumnya berakreditasi B dan C (Kompas, 14 Agustus 2009).

Belum terakreditasinya sebuah program studi sungguh mengakha­watirkan. Apalagi program studi tersebut adalah kedokteran. Sebab kedokteran berhubungan erat de-ngan nyawa manusia. Ketika se-orang dokter salah mendiagnosis, derita pasien makin bertambah, bahkan dapat berjuang kematian.

Dokter merupakan profesi mulia. Banyak orang bermimpi meraih profesi ini. Tapi jika banyak dokter yang tidak sesuai dengan standar mutu, tentu akan membahayakan banyak orang. Kematian manusia akibat kesalahan dokter (malpraktik) tentunya merisaukan.
Belum Ideal Pemerintah telah mencanangkan Program Indonesia Sehat 2010. Guna mendukung program ini, minimal dibutuhkan 94.376 dokter. Tetapi diperkirakan pada saat yang sama baru terpenuhi 72.800 dokter.

Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Fachmi Idris menyatakan, rasio dokter dan pasien di negara kita memang masih jauh dari ideal, yaitu seorang dokter untuk 2.500 penduduk. Dari kebutuhan dokter umum 80 ribu orang, saat ini baru terpenuhi 50 ribu saja.

Ironisnya, penyebaran dokter masih terkonsentrasi di Jawa. Sekitar 70,5 persen dokter spesialis praktik di Jawa, sedangkan dokter umum yang praktik di Jawa sebesar 64 persen.

Jelaslah negeri ini masih membutuhkan banyak dokter. Namun membuka pendidikan kedokteran tanpa memedulikan kaidah dan syarat yang berlaku bukanlah solusi bijak.

Kebijakan membuka banyak fakultas kedokteran tanpa standar mutu dan kualitas juga makin mengerdilkan peran dan fungsi pendidikan sebagai proses yang mulia. Apalagi biaya masuk fakultas ke­dokteran sangat mahal.

Tahun ini sebuah fakultas kedokteran di Yogyakarta mematok harga Rp 80 juta untuk gelombang pertama. Uang sebanyak itu tidak mung­kin dibayarkan oleh calon mahasiswa dari keluarga miskin.

Ironisnya, sebagaimana pernah saya tulis dalam rubrik ini, fakultas kedokteran dipenuhi oleh mahasiswa asing, terutama dari Malaysia. Kondisi ini tentunya paradoks dengan kebutuhan dokter dalam negeri yang belum memenuhi standar.

Ketika kampus masih saja berorientasi materi (uang) dan mengejar ’’pengakuan’’ dari luar negeri di tengah kekurangan dokter di dalam negeri, hal ini sama saja mengkhianati kedaulatan bangsa Indonesia.

Karena itu, diperlukan keberanian semua pihak untuk segera membatasi jumlah mahasiswa asing, seraya meningkatkan jumlah mahasiswa pribumi. Selain itu, pemerintah harus mulai memikirkan bagaimana agar pembiayaan pada fakultas kedokteran terjangkau dapat semua kalangan. Tanpa tindakan itu, sulit kiranya mencapai target Indonesia Sehat 2010.
Akreditasi Penting Selain itu, pembenahan dari da­lam pun penting dilakukan. Akre­ditasi menjadi syarat mutlak. Ia merupakan pintu masuk fakultas kedokteran untuk menyelenggarakan program sesuai dengan kebijakan pemerintah.

Akreditasi juga menjamin alum­ni­nya dapat praktik sesuai dengan standar ilmiah dan kemanusiaan. Lebih dari itu, fakultas kedokteran tanpa akreditasi hanya akan mencetak dokter aspal (asli tapi palsu). Dokter yang bekerja bukan untuk kemanusiaan. Dan dokter seperti ini hanya akan makin menyengsarakan rakyat miskin.

Rakyat miskin makin terbebani. Pasalnnya, APBN yang juga digunakan untuk menyelenggarakan fakultas kedokteran ternyata tidak dipergunakan dengan baik, bahkan mengancam keselamatan orang miskin.

Meningkatkan akreditasi dari C ke A juga penting. Artinya standar akreditasi A makin menjamin ke­cakapan seorang dokter muda dalam melayani masyarakat. Ma­syakarat pun akan tenang jika diperiksa oleh dokter yang berkualitas, meski mungkin pasien tidak akan pernah me­nanya­kan asal-usul pendidikan dokter yang bersang­kutan.

Fakultas kedokteran sebagai fakultas the have dan terhormat sudah saatnya memberi contoh baik kepada fakultas lain. Jika masih banyak fakultas kedokteran yang belum terakreditasi di tengah ketatnya persaingan antar­program studi, maka ia akan makin ditinggalkan.

Ditinggalkannya fakultas kedokteran oleh masyarakat karena makin mahal dan tidak bermutu tentu bakal akan mengancam eksistensi masyarakat itu sendiri. Sebab dokter merupakan salah satu ujung tombak terciptanya kesehatan dalam masyarakat.

Lebih dari itu, makin banyak dokter yang tidak bermutu di tengah zaman globalisasi yang ditandai dengan perdagangan bebas, bisa makin mengecilkan persaingan antara dokter dalam ne­geri dan luar negeri.

Pada akhirnya, mencegah malpraktik dokter karena belum terakreditasinya sebuah program studi penting dilakukan guna melindungi hajat hidup orang banyak.

Jangan sampai masyarakat In­donesia dijadikan kelinci percobaan oleh ’’dokter jadi-jadian’’ ini. (Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta-32)