Search

Rabu, 26 Maret 2008

Bunuh Diri dan Jerat Kemiskinan

Bunuh Diri dan Jerat Kemiskinan

Harian JogloSemar, 25-03-2008
Oleh Benni Setiawan

Fenomena bunuh diri yang kian marak belakangan ini sungguh sangat menyayat hati dan mengusik rasa kemanusiaan sekaligus keprihatinan yang mendalam. Belum lekang dari ingatan peristiwa bunuh diri seorang ibu bersama dua puteranya di Pekalongan, Jawa Tengah, dengan cara menceburkan diri ke dalam bak kamar mandi.
Sebelumnya, di Sleman, Yogyakarta, seorang ibu mengakhiri hidup dengan cara membakar diri bersama kedua orang anaknya. Demikian pula yang dilakukan oleh Ny Mercy bersama anak-anaknya di Malang Jawa Timur yang bunuh diri dengan meminum racun. Cara serupa juga ditempuh Golid warga Drono, Ngawen, Klaten yang nekat gantung diri lantaran tekanan ekonomi. Bahkan karena tak kuasa melihat istrinya yang harus berobat ke rumah sakit seorang anggota Brimob di Padang Sumatera Barat mencoba bunuh diri.
Banyaknya kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri berkait erat dengan kemiskinan. Karena kemiskinan, seseorang dapat melakukan hal-hal yang di luar kewajaran. Mencopet, merampok atau bahkan bunuh diri. Kemiskinan seakan menjadi ancaman serius bagi bangsa ini. Bangsa yang konon terbentang luas dari Sabang hingga Merauke. Bangsa yang subur makmur, gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo sarwo tukul kang tinandur. Apakah keadaan itu masih ada di bumi nusantara ini?
Ternyata falsafah di atas berbanding 180 derajat. Di negeri ini yang ada adalah harga beras mahal. Banyak masyarakatnya makan nasi aking, nasi jagung, dan tiwul, karena tidak mampu membeli beras. Kelaparan menjadi hal yang biasa. Bayi kurang gizi menjadi pemberitaan setiap hari. Sedangkan wakil rakyat meminta kenaikan gaji dan tunjangan hingga 200 persen.
Lahan pertanian disulap menjadi bangunan megah dan mal yang mengangkang di tengah desa. Sawah-sawah telah dipenuhi air bah (banjir). Petani tidak bisa panen. Harga bibit padi mahal demikian pula dengan harga pupuk Sedangkan pemimpin di Badan Urusan Logistik (Bulog) bergelimangan harta karena korupsi.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2004 penduduk miskin Indonesia mencapai 36,1 juta jiwa atau 16,7 persen. Jumlah ini meningkat drastis menjadi 63,6 juta jiwa atau 28,9 persen, pada tahun 2006. Bahkan menurut penelitian ekonom dari Universitas Indonesia (UI), dengan menggunakan kriteria penghasilan dari Bank Dunia, sebesar dua dolar perhari atau sekitar Rp 18.000/hari, maka 49 persen penduduk di negeri ini tergolong miskin.



Angka kemiskinan tentunya berbanding lurus dengan angka pengangguran. Pengangguran terbuka pada tahun 2004 mencapai 9,7 persen. Pada tahun 2005 pengangguran terbuka meningkat menjadi 10,3 persen. Akibat kesulitan ekonomi pada tahun 2006 diperkirakan jumlah pengguran menjadi 11,1 persen. Bila ditotal secara keseluruhan jumlah pengangguran (terbuka, setengah terbuka, dan terselubung) terjadi peningkatan signifikan dari tahun 2004 berjumlah 39,0 persen menjadi 40,1 persen tahun 2005 dan diperkirakan 41,0 persen pada tahun 2006.


Kemiskinan Fisiologis
Angka pengangguran yang tinggi sepertinya masih biasa-biasa saja. Artinya, masih banyak orang yang bekerja di sektor publik seperti buruh di pabrik-pabrik belum mendapatkan haknya secara penuh. Mereka harus bekerja selama delapan jam atau bahkan lebih, hanya menjadi pekerja kasar tanpa gaji yang memadai. Alih-alih untuk makan, untuk biaya transportasi saja masih kurang.
Buruh yang konon termasuk pekerja (bukan pengangguran) termasuk dalam klasifikasi penduduk miskin. Gaji buruh di Indonesia berkisar Rp 507.000/ bulan. Padahal untuk ukuran kemiskinan yang mengacu pada perhitungan BPS penghasilan perkapita adalah Rp 175.000/bulan atau Rp 700.000/tahun. Maka sudah dapat kita pastikan bahwa seluruh buruh di Indonesia tergolong masyarakat miskin.
Kembali pada persoalan bunuh diri. Gambaran di atas adalah realitas nyata keadaan masyarakat Indonesia. Masyarakat penuh kekurangan dan hidup dalam penderitaan. Maka tak aneh jika banyak masyarakat stres memikirkan hidup dan pada akhirnya mengakhiri hidupnya dengan gantung diri, minum racun dan sebagainya.
Masyarakat Indonesia berada pada kubangan kemiskinan fisiologis dan psikologis. Secara fisik dia sudah miskin, tidak mempunyai barang yang dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan pokok setiap hari. Secara psikologis mereka ditekan untuk membeli beras dengan harga yang terus melambung tinggi. Lebih dari itu, mereka selalu dipertontonkan oleh perilaku pemimpin bangsa yang saling serang, korupsi dan tidak peduli dengan beban penderitaan rakyatnya.

Perubahan Sosial
Perilaku bunuh diri sudah saatnya diakhiri. Yaitu dengan pertama, agama sebagai motor perubahan sosial. Sebagaimana telah diungkapkan oleh Marx Weber (1864-1920). Sudah bukan zamannya, agama hanya diperdebatkan dalam ranah teologis yang melangit. Sudah saatnya ajaran agama menjadi hal yang membumi dan mampu menyentuh persoalan riil di tengah masyarakat.
Kedua, pendidikan yang memihak. Sudah saatnya pemerintah pada khususnya dan masyarakat pada umumnya memikirkan formula yang tepat agar generasi penerus mampu berkarya dengan baik dan tidak putus asa. Salah satunya adalah dengan memberikan akses seluas-luasnya agar masyarakat mampu menikmati pendidikan. Sekolah murah dan didukung oleh buku-buku yang berbobot.
Dengan pendidikan seseorang akan mampu berfikir jernih dan mandiri. Artinya, ilmu pengetahuan yang diperoleh akan dapat dipergunakan sebagai bekal dalam menyelesaikan persoalan yang datang silih berganti.
Ketiga, komitmen pemimpin bangsa untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi. Korupsi telah banyak mengambil hak-hak masyarakat miskin. Hak hidup, sosial, politik, budaya, dan pendidikan.
Bangsa ini tentunya perlu belajar dari China dalam memberantas korupsi. Adalah Zhu Rongji Perdana Menteri China (1997-2002), pernah berkata beri saya 100 peti mati, 99 akan saya pergunakan untuk mengubur para koruptor, dan satu untuk mengubur saya, kalau melakukan tindak korupsi. Maka dibutuhkan komitmen dan keberanian untuk memberantas korupsi. Bukan tebang pilih sebagaimana terjadi selama ini.

Penulis adalah peneliti pada Yayasan Nuansa Sejahtera Solo

Sabtu, 22 Maret 2008

Pembangunan Berwawasan Lingkungan



Pembangunan berwawasan lingkungan adalah pembangunan berkelanjutan yang mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan cara menserasikan aktivitas manusia dengan kemampuan sumber daya alam untuk menopangnya.
Belum hilang rasanya duka akibat bencana alam banjir dan tanah longsor di beberapa wilayah Surakarta dan sekitarnya hingga Gresik Jawa Timur, kembali banjir menerpa semesta alam Ngawi. Madiun, Tuban Jawa Timur. Banyak pengangkut kebutuhan pokok harus terhenti akibat jalan yang tidak memungkinkan untuk dilalui. Hal ini tentunya semakin menambah kerugian baik materiil maupun immaterial. Pendek kata, berulangnya bencana alam ini menunjukkan alam ini sudah rusak.
Setidaknya ada dua hal yang ditengarai menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan, yaitu laju pertumbuhan penduduk yang relatif cepat dan kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan tehnologi.

ertumbuhan penduduk yang relatif cepat berimplikasi pada ketersediaan lahan yang cukup untuk menopang tuntutan kesejahteraan hidup. Sementara lahan yang tersedia bersifat tetap dan tidak bisa bertambah sehingga menambah beban lingkungan hidup.
Daya dukung alam ternyata semakin tidak seimbang dengan laju tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup penduduk. Atas dasar inilah, eksploitasi sistematis terhadap lingkungan secara terus menerus dilakukan dengan berbagai cara dan dalih.
Jumlah manusia yang memerlukan tanah, air dan udara di bumi ini untuk hidup pada tahun 1991 sudah berjumlah 5,2 miliar. Jumlah manusia penghuni planet bumi pada tahun 1998 berjumlah 6,8 miliar. Pada tahun 2000 membengkak menjadi 7 miliar. Kalau pertumbuhan penduduk tetap dipertahankan seperti sekarang, menurut Paul R. Ehrlich, 900 tahun lagi (tahun 2900) akan ada satu biliun (delapan belas nol di belakang 1) orang di atas planet bumi ini atau 1700 orang permeter persegi. Kalau jumlah ini diteruskan sampai 2000 atau 3000 tahun kemudian, berat jumlah orang yang ada sudah melebihi berat bumi itu sendiri.
Sementara kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sebenarnya diharapkan dapat memberi kesejahteraan bagi kehidupan umat manusia ternyata juga harus dibayar amat mahal, oleh karena dampaknya yang negatif terhadap kelestarian lingkungan. Pertumbuhan industri, sebagai hasil rekayasa ilmu pengetahuan dan tehnologi dibanyak negara maju terbukti telah membuat erosi tanah dan pencemaran limbah pada tanah pertanian yang menyebabkan terjadinya proses penggaraman (solinizasi) atau penggurunan (desertifikasi) pada lahan produktif.
Menurut Clarence J Glicken, penguasaan alam melalui ilmu pengetahuan lebih banyak bersumber pada falsafah modern yang dikemukakan oleh Frances Bacon, Descartes dan Leibnitz. Bacon mengemukakan dalam karyanya the New Atlantic bahwa ilmu pengetahuan harus dikembangkan secara aktif dan menganjurkan penemuan baru untuk merubah dan menguasai alam sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan manusia.
Descartes dalam the Discourse of Method berpendapat bahwa pengetahuan adalah kunci keberhasilan atau kemajuan manusia. Manusia perlu mengetahui tentang api, air, tanah, angkasa luar agar dapat menjadi tua dan pengatur alam. Begitu pula Leibnitz, pada permulaan abad ke-19 Masehi pandangan tersebut di atas mulai mendapat kritik dan tantangan. Pada akhir abad ke-19 masehi banyak sekali padangan lain yang dikemukakan. Ini dapat dibaca dalam buku Charles Darwin, The Origin of the Species (1859), buku George Perkin Marsh “Man and Nature” (1864), buku Charles Dickens “Hard Times” (1854).
Maka, proses perencanaan dan pengambilan kebijakan oleh lembaga-lembaga negara yang berkenaan dengan persoalan teknologi dan lingkungan hidup menuntut adanya pemahaman yang komprehensif dari aktor pengambil kebijakan mengenai masalah terkait.
Pemahaman ini berangkat dari pengetahuan secara akademis dan diperkuat oleh data-data lapangan sehingga dapat menghasilkan skala kebijakan yang berbasis kerakyatan secara umum dan ekologi secara khusus.
Kebijakan yang dapat dilakukan adalah kebijakan pembangunan berwawasan lingkungan yang berkenaan dengan upaya pendayagunaan sumber daya alam dengan tetap mempertahankan aspek-aspek pemeliharaan dan pelestarian lingkungan.
Pembangunan berwawasan lingkungan adalah pembangunan berkelanjutan yang mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan cara menserasikan aktivitas manusia dengan kemampuan sumber daya alam untuk menopangnya.
Komisi dunia untuk lingkungan dan pembangunan mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi mendatang.
Tujuan pembangunan berkelanjutan yang bermutu adalah tercapainya standar kesejahteraan hidup manusia dunia akhirat yang layak, cukup sandang, pangan, papan, pendidikan bagi anak-anaknya, kesehatan yang baik, lapangan kerja yang diperlukan, keamanan dan kebebasan berpolitik, kebebasan dari ketakutan dan tindak kekerasan, dan kebebasan untuk menggunakan hak-haknya sebagai warga negara. Taraf kesejahteraan ini diusahakan dicapai dengan menjaga kelestarian lingkungan alam serta tetap tersediannya sumber daya yang diperlukan.
Surya, Saturday, 22 March 2008

Implementasi pembangunan berwawasan lingkungan adalah dengan reboisasi, menanam seribu pohon dan gerakan bersih lingkungan tampaknya mengalami kendala yang berarti. Artinya, tidak seimbangnya antara yang ditanam dan yang dieksploitasi menjadi salah satu penyebabnya. Peraturan perudang-udangan pun tidak mampu mencegah kerusakan lingkungan ini.
Misalnya, UU No. 4 Tahun 1984 yang telah diratifikasi dengan UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup. UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem pun tidak mampu menangkap cukong kayu kelas kakap. UU ini hanya mampu menangkap dan mengadili pekerja dan mandor kecil pembalakan liar.
Sedangkan Maftuchah Yusuf (2000), mengemukakan empat hal pokok dalam upaya penyelamatan lingkungan. Pertama, konservasi untuk kelangsungan hidup bio-fisik. Kedua, perdamaian dan keadilan (pemerataan) untuk melaksanakan kehidupan sehari-hari dalam hidup bersama.
Ketiga, pembangunan ekonomi yang tepat, yang memperhitungkan keharusan konservasi bagi kelangsungan hidup bio-fisik dan harus adanya perdamaian dan pemerataan (keadilan) dalam melaksanakan hidup bersama. Keempat, demokrasi yang memberikan kesempatan kepada semua orang untuk turut berpartisipasi dalam melaksanakan kekuasaan, kebijaksanaan dan pengambilan keputusan dalam meningkatkan mutu kehidupan bangsa.
Jika hal-hal tersebut di atas tidak segera ditindaklanjuti dan dilaksanakan dengan segera dengan menangkap, mengadili dan menghukum seberat-beratnya pembalak liar maka tidak lama lagi bumi akan musnah. Kemusnahan bumi juga berarti kematian bagi penduduk bumi termasuk di dalamnya manusia.

Benni Setiawan
Peneliti pada Yayasan Nuasa Sejahtera

Jumat, 21 Maret 2008

Mengembalikan Khitah SPMB

Jawa Pos, Jumat, 21 Mar 2008,
Mengembalikan Khitah SPMB


Oleh Benni Setiawan *
Pendidikan tinggi di Indonesia dihebohkan pernyataan 41 rektor perguruan tinggi negeri (PTN) yang mengundurkan diri dari Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Hal itu disebabkan ada temuan atau hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Berdasar hasil pemeriksaan BPK No 06/HP/XIII/2007 bertanggal 27 Juni 2007, terungkap dana SPMB dari PTN termasuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sehingga harus disetor ke kas negara melalui mekanisme APBN.

Padahal, faktanya, dana yang jumlahnya miliaran rupiah itu tidak disetor ke kas negara, melainkan langsung digunakan untuk kepentingan SPMB dan operasional panitia.

Penggunaan dana SPMB tersebut dianggap bertentangan dengan UU 20 Tahun 2007 tentang PNBP, Keputusan Menteri Keuangan No 115/KMK.06/2001 tentang Tata Cara Penggunaan PNBP pada PTN, dan Surat Dirjen Anggaran No S-2097/MK.2/2002 yang ditujukan kepada para rektor/direktur/pimpinan PTN. Akibat kebijakan itu, hak negara atas PNBP, khususnya biaya SPMB di PTN tahun anggaran 2005 dan 2006, tidak terealisasi (Jawa Pos, 25/01/2008).


Tidak Beres

Polemik SPMB yang berkepanjangan itu mengindikasikan adanya ketidakberesan sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia lebih banyak dimaknai materi daripada bagaimana mendewasakan peserta didik, mengangkat, dan menjadikan perserta didik insan mandiri, pendidikan sebagai proses dan seterusnya.

Persoalan pendidikan yang sering mencuat dan menimbulkan konflik lebih banyak disebabkan kurang transparannya penggunaan dana dan mahalnya biaya pendidikan. Sangat jarang ditemukan, persoalan pendidikan yang menyoal mengapa mahasiswa harus dituntut segera menyelesaikan studinya, mahasiswa harus masuk 75 persen dan seterusnya, mengapa sarjana Indonesia banyak jadi pengangguran dan seterusnya.

Demikian halnya yang terjadi akhir-akhir ini. Polemik SPMB lebih didorong oleh rasa tidak puas sebagian rektor mengenai penggunaan dana segar dari calon mahasiswa baru tersebut. Polemik yang muncul tidak pernah mengarah sebenarnya apa hakikat atau khitah SPMB.


Khitah SPMB

Hakikat atau khitah SPMB sebagai salah satu sarana mencari kader terbaik bangsa yang mempunyai daya intelektual, emosional, dan kemampuan lebih terkalahkan oleh orientasi jangka pendek untuk mendapatkan dana segar miliaran rupiah.

Sistem SPMB yang sering ada kebocoran, perjokian, akurasi data yang kurang terjamin, dan pertarungan nasib seakan hilang ditelan polemik keuangan. Polemik keuangan yang berujung pada keinginan sejumlah rektor untuk kembali kepada sistem ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN).

Dengan UMPTN, beberapa rektor berpendapat dana dapat diawasi langsung karena menggunakan sistem rayon. Lagi-lagi, masyarakat awam dibingungkan oleh sistem penerimaan mahasiswa baru.

Lebih dari itu, sistem penerimaan -entah menggunakan nama SPMB atau UMPTN- pada dasarnya miskin strategi dan makna. Pihak universitas sekarang berlomba menjadi badan hukum milik negara (BHMN). Dengan status ini, universitas dapat mengadakan penerimaan mandiri tanpa harus ikut sistem ujian bersama. Anehnya, pelaksanaan ujiannya dilakukan sebelum ujian bersama.

Keadaan itu mendorong universitas berlomba mencari dana segar dari peminat program studi yang ditawarkan. Universitas negeri (PTN) pun berlomba mematok harga dengan kedok sumbangan kelembagaan atau pembangunan.

Sistem tersebut tidak lebih seperti politik dagang kambing. Siapa yang mampu membayar sumbangan lebih besar, peluang masuk di universitas dan program studi bergengsi lebih terbuka lebar. Sebaliknya, siapa yang hanya mampu uang jutaan rupiah, maka kesempatan untuk menikmati pendidikan di universitas dan program studi ternama pun tinggal kenangan.

Karena itu, tidak aneh jika banyak siswa berprestasi -namun berasal dari keluarga miskin- harus menerima nasib dan mengubur impian untuk menikmati pendidikan di PTN. Sebaliknya, banyak siswa dengan prestasi rata-rata atau bahkan di bawah rata-rata dapat menikmati pendidikan di PTN ternama.

Pendek kata, ketika masyarakat masih saja terbui oleh polemik SPMB dan kurang memperhatikan aspek lain dari SPMB yang sarat KKN itu hanya akan semakin menambah persoalan pendidikan di negeri seribu satu musibah ini.

Khitah SPMB sebagai salah satu sarana mencari bibit unggul bangsa Indonesia terkalahkan oleh limpahan materi yang mampu diberikan anak-anak orang kaya. Orang kaya yang kurang cerdas dapat menikmati PTN ternama, sedangkan anak orang miskin yang cerdas hanya dapat menikmati pendidikan di sawah dan ladang yang semakin tergerus laju industrialisasi.

Semoga, masyarakat Indonesia segera tersadarkan dan tidak larut dalam polemik SPMB itu. Harus ada keterbukaan bagi publik dari pihak PTN mengenai hal ini. Allahu a’lam
*. Benni Setiawan, penulis buku Manifesto Pendidikan Indonesia, dosen di Universitas Muhammadiyah Jember. Tulisan ini pendapat pribadi.

Kamis, 13 Maret 2008

MANIFESTO PENDIDIKAN NASIONAL. MANIFESTO PENDIDIKAN INDONESIA

Dilansir dari http://djokoawcollection.blogspot.com/2008/01/manifesto-pendidikan-nasional-manifesto.html

Apakah yang disebut manifesto?. Dalam pengertian popular manifesto [manifest] adalah suatu yang dimiliki dan merupakan potensi yang ingin dinyatakan kepada orang lain atau masyarakat. Misalnya jika kita melakukan perjalanan ke luar negeri, maka kita wajib mengisi daftar isian yang menyebutkan apa saja yang kita bawa, inilah yang disebut dengan manifest perjalanan.
Manifest atau manifesto merupakan sesuatu yang potensial dimiliki seorang-orang. Bisa berupa buah pikir, gagasan, konsep atau lainnya, yang sengaja akan di share-kan kepada orang lain. Apabila seorang-orang merasa yakin akan kebenarannya, maka manifesto dapat dijadikan program perjuangan diri, apakah itu perjuangan kelompok atau perjuangan lembaga. Dikaitkan dengan dunia politik, kita pernah mendengar istilah manifesto politik. Salah satu manifesto politik yang terkenal adalah Manifesto Komunis, yang dikreasi pada tahun 1848. Ketika Karl Mark bersama Fiedrich Engels yang mencetuskan, manifesto kemunis itu merupakan daktrin yang menentang kelas borjuis di dalam masyarakat kapitalis.
Tentunya kita juga pernah mendengar Manifesto Cyborg, yakni sebuah gagasan menuntut kesamaan harkat antara perempuan dan laki-laki. Kemudian di tanah air pernah juga muncul manifesto budayaan, saat ini kita mendengar „MANIFESTO PENDIDIKAN“.
Warung kami menemukan buku yang bertajuk manifesto, dan manifesto ini dikaitkan dengan dunia pendidikan. Pertama Manifesto Pendidikan Di Indonesia oleh Benni Setiawan. Kedua Manifesto pendidikan Nasional di tinjau dari perspektif postmodernisme dan studi kultural, buah karya H.A.R. Tilaar.

JUDUL : Manifesto Pendidikan Di Indonesia
PENGARANG : Beni Setiawan

ALAMAT PENERBIT: Aruzz Jl. Anggrek 97A Sambilegi Lor RT.04 RW.57 Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta Telp. [0274] 4332044. 0816.4272.234 E-mail : arruzzwacana@yahoo.com.
CETAKAN: I, Januari 2006
ISBN : 979-3417-116-3
JUMLAH HALAMAN: 134
[Buku ini merupakan pledoi penulis terhadap dunia pendidikan bagi kaum tertindas, meneropong berbagai ketidakadilan dan penindasan yang melanda pendidikan di negeri ini. Berbagai fakta dan fenomena yang dicermati, menjadi alur emosional dan sungguh-sungguh menggugah alias „provokatif“. Misalnya kata-kata, „kembalikan hak-hak pendidikan kepada rakyat!“, „wujudkan sekolah murah“, „wujudkan subsidi pendidikan 20%“ dan „Entaslah kebodohan dan kemelaratan pada Rakyat Kecil!“.
Kesejahteraan Guru juga dicermati, menurut buku ini kesejahteraan guru yang minim juga mengakibatkan perilaku guru dalam mengajar. Apalagi guru-guru tersebut tidak mempunyai kelapangan hati untuk mendermakan ilmunya.
Hakikat pendidikan juga disinggung, digambarkan bahwa hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia [humanizing human being].
Pendapat Prof Dwiyarkarya dirujuknya, selengkapanya sbb:
Pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia muda, yakni suatu pengangkatan manusia muda ke taraf insani sehingga ia dapat menjalankan hidupnya sebagai manusia utuh, bermoral, berasosial, berwatak, berpribadi, berpengetahuan, dan beruhani. Pendidikan bearti memasukkan anak ke dalam alam nilai-nilai, dan juga memasukkan dunia nilai ke dalam jiwa anak. Pendidikan di sini sebagai suatu bentuk hidup bersama, yakni pemasukan manusia muda ke dalam nilai-nilai dan kesatuan antar pribadi yang mempribadikan. Dalam pengertian mendidik itu, hubungan antara pendidik dan yang dididik adalah dialogis, saling mengembangkan dan membantu. Dalam proses pendidikan, anak didik turut berpartisipasi, aktif dan tidak diposisikan sebagai obyek.
Korupsi diteropong:
Persoalan yang mencakup Korupsi di sajikan dengan memperlihatkan fenomena yang menyedihkan. Artinya justru orang-orang yang bertitel/bergelar professor, doctor, dan gelar tertinggi kependidikan pun tidak lepas dari jeratan korupsi. Korupsi yang melibatkan pejabat KPU, bahkan Mantan Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. Said Agil Husein Al Munawar jadi tersangka. Pendidikan belum mampu mencegah atau setidak-tidaknya memberi gambaran awal bahwa, korupsi merugikan banyak kalangan dan menyengsarakan diri sendiri. Seharusnya pendidikan menjelmakan diri dalam relung kehidupan manusia, sehingga korupsi mampu dicegah kehadirannya. Ditambahkan bahwa pendidikan sebagai pilar bangsa dalam menciptakan kehidupan yang mencerdaskan dan membangun kepekaan terhadap realitas sosial ternyata „jauh panggang dari pada api“ Pendidikan selama ini hanya jadi ajang penindasan dan pembodohan gaya baru yang dibungkus rapi dengan nama sekolah. Penduidikannternyata tidak mampu meminimalisasi kesenjangan sosial dan mengobati penyakit moral yang terjadi sekarang ini.
Profesor [Guru Besar] disemprot:
Banyak guru besar [prefesor] di Indonesia, ternyata belum mampu memberikan andil lebih terhadap kemajuan bangsa. Hal ini diperparah oleh suatu kejadian yang diamatinya. Contohnya disebuah Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta, seorang prefesor hanya mampu menulis opini di media nasional, itupun ditulis enam tahun yang lalu. Ada juga seorang profesor yang tidak pernah menulis di media masa harian sama sekali. Bagaimana mungkin masyarakat dapat mengenal sosok pemikiran sang profesor. Jika para profesor di Perguruan Tinggi terakreditasi sudah seperti itu keadaannya, bagaimana edengan profesor-profesor lainnya?.
Badan Hukum Pendidikan [BHP]dikritik:
Salah satui contoh penindasan gaya baru adalah diusulkannya Rancangan Undang-Undang [RUU] Badan Hukum Pendidikan [BHP]. BHP berencana menjadikan perguruan tinggi sebagai institusi otonom. BHP sebenarnya adalah kelangsungan dari keinginan pemerintah untuk cuci tangan dari masalah pendidikan.
BHP juga menginginkan adanya korporasi dalam dunia pendidikan. Hal ini tak ubahnya seperti swatanisasi pendidikan nasional. Pendek kata, perguruan tinggi akan dijadikan pabrik pencetak tenaga kerja baru seperti halnya BHMN.
Buku Benni Setiawan ini sangat menggelitik, karena sempat membuat proklamasi pendidikan murah. Isi selengkapnya sebagai berikut:


PROKLAMASI PENDIDIKAN MURAH
Kami Bansa Indonesia dengan ini menyatakan pendidikan murah untuk semua. Hal-hal yang berkenaan dengan pembiayaan pendidikan murah dan lain sebagainya dilakukan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Bangsa Indonesia.





JUDUL : Manifesto Pendidikan Nasional [Tinjauan dari prespektif Postmodernisme dan Studi Kultural]
PENGARANG : H.A.R Tilaar
ALAMAT PENERBIT :PT Kompas Media Nusantara Jl Palmerah Selatan 26-28. Jakarta 10270 E-mail: buku@kompas.com.
CETAKAN: I, November 2005
ISBN : 979-709-227-5
JUMLAH HALAMAN: xvi + 340 hlm; 14x 21 cm
[Buku ini menjelaskan secara jernih terminologi manifesto, barangkali untuk menjernihkan pikir, karena selama ini menifesto di indentikkan dengan stigma buruk. Menurut penulisnya adalah:
Manifesto dalam kosa kata bahasa Indonesia mempunyai konotasi yang negatif karena mempunyai muatan politik. Manifesto biasanya selalau dihubungkan dengan paham komunisme dalam pengertian manifesto komunis yang dideklarasikan pada tahun 1848 oleh Karl Marx dan Friederich Engels.
Namun, kata manifesto mempunyai arti yang netral. Secara harfiah manifesto adalah suatu deklarasi. Dalam baha Jerman manifesto berarti suatu penjelasan atau erklären. Dari kata inilah dijabarkan kata kerja „erklaren“ yang berarti membuat sesuatu penjelasan atau transparan
Selanjutnya Profesor yang beraliran pedagogik libertarian ini, mengiformasikan bahwa Manifesto Pendidikan Nasional [MPN] bukan suatu doktrin, bukan dogma, juga bukan ideologi. MPN merupakan konsep terbuka untuk diskursus. Dengan kata lain merupakan konsep „berlari-lari„ yang mencoba menemukan kebenaran, yaitu kebenaran sementara atau kebenaran yang tertunda. Sebagai kebenaran yang tertunda maka MPN merupakan konsep yang terus-menerus menjadi.
Perubahan [change] merupakan ciri hakiki dari MPN. Inilah bentuk MPN yang berubah secara terukur dan terarah disesuaikan dengan kebutuhan. Dengan kata lain MPN mengenal tonggak-tonggak sebagai bingkai yang mengarahkan manuver perubahan pendidikan nasional antara lain sebagai berikut:



Kesepakatan masyarakat untuk mewujudkan hidup bersama yang bahagia dan berkeadilan
Kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural namun bertekad untuk bersatu dalam wadah negara bangsa Indonesia
Masyarakat Indonesia yang dinamis dipacu oleh dinamika kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya dan struktur penduduk
Masyarakat dan bangsa Indonesia dalam kehidupan global antar bangsa.

Manifesto Pendidikan Nasional dalam buku ini, digambarkan sesuatu yang mencakup keseluruhan proses Pendidikan. Yakni meliputi lima bidang utama:

hakikat pendidikan;
hak memperoleh pendidikan dan hak untuk mendidik
proses pendidikan
ruang pendidikan
pedagogik lebertarian.

Evaluasi Pendidikan juga diteropong:
Menurut buku ini, evaluator yang paling dekat dengan proses pendidikan adalah Guru. Guru adalah orang pertama yang mendampingi peserta didik di dalam proses pemerdekaannya. Di dalam proses evaluasi tersebut guru dapat saja dibantu oleh-alat-alat evaluasi seperti berjenis-jenis tes. Fungsi tes tidak dapat menggantikan fungsi dan tanggung jawab Guru. Selanjutnya fungsi tes sifatnya sesaat tidak dapat mengukur jalannya proses yang meminta waktu panjang. Tes tidak dapat dipergunakan untuk menetukan nasib peserta didik.
Badan Standarisasi Nasional Pendidikan [BNSP] bukanlah merupakan badan yang mengevaluasi kemajuan peserta didik tetapi sebagai badan pemetaan masalah-masalah pendidikan nasional dalam pengambilan kebijakan pendidikan. Pendidik [guru profesional] harus mempunyai kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap proses pendidikan peserta didik.

Menanggapi Globalisasi terhadap pendidikan tinggi kita :
Untuk dapat menghadapi bukan harus membendung, tapi mengarahkan kekuatan tersebut untuk pengembangan pendidikan tinggi. Prinsip-prinsip yang harus dilakukan adalah dari dalam pendidikan tinggi itu sendiri. “inside out principle”.
Adapun yang dimaksud dengan “inside out principle”, adalah:
Proses belajar dalam lingkungan pendidikan tinggi harus berubah. Proses belajar bukannya mengungkung atau memenjarakan proses berpikir, tetapi justru merupakan proses pembebasan.
Proses belajar sebagai proses pembebasan mahasiswa hendaknya dilengkapi pula oleh peran dosen pendidikan tinggi sebagai fasilitator pembebasan. Para dosen adalah “libertador”.
Di dalam suasan belajar pembebasan tersebut tentunya penghargaan kepada profesi dosen sebagai profesi “libertador” perlu mendapatkan perhatian yang memadai.
Adanya proses belajar yang dialogis dengan menggunkan prinsip Tut Wuri Handayani, kemudian disentuhkan pada wilayah dunia kehidupan, atau bidang-bidang ilmu pengetahuan:



Ilmu-ilmu kehidupan[ life sciences]
Ilmu kealaman [natural sciences & technology]
Informasi [information sciences]
Proses belajar yang dialogis dan eksploratif dan tranformatif, harus didukung dengan :
Buku teks yang murah, baik buku impor maupun terbitan dalam negeri
Pengadaan laboratorium yang lengkap.
Kemitraan yang setara antara PTN dan PTS. Peran PTS dalam perkembangan pendidikan nasional sangat unik. Secara kuantitas PTS selalu menggungguli PTN dan secara kualitas beberapa bidang studi sudah dapatditandingi PTS. Namun masih terasa terlalu besarnya capur tangan pemerintah dalam pemberian otonomi kepada perguruan tinggi, utamanya pada perguruan tinggi swasta [PTS]. Di dalam pengembangan otonomi seharusnya PTN dan PTS berada di dalam suatu flaying field sehingga terjadi perelombaan setara
Menghadapi perubahan global pendidikan tinggi, pengelolaan pendidikan tinggi haruslah mengikuti trend global yaitu efisiensi dan entrepreneurship.

Catatan : Buku ini juga menyediakan Glosari. Namun untuk lebih memberikan inforamsi, warung kami mencuplikan pengertian Pedagogik Libertarian, ini dimunculkan karena Penulis buku ini, Prof. Dr. Tilaar, mengaku dirinya sebagai penganut Pedagogik Libertarian.

Pedagogik Libertarian:
Orientasi pedagogik libertarian bertolak dari pandangan pendidikan adalah proses penyadaran akan kebebasan individu dalam berefleksi dan bertindak. Di dalam kenyatannya lembaga pendidikan [sekolah] telah menjadi penjara bagi kebebasan individu. Dengan kayta lain lembaga pendidikan telah menjadi alat penguasa untuk melestarikan kekuasaannya . Proponen orientasi pedagogik libertarian seperti Paulo Freire, Alexander S. Niel, Ivan Illich, Wihelm Reich, Tilaar.
Pedagogik libertarian yang menghormati akan kemerdekaan individu serta melihart perkembangan peserta didik di dalam budayanya secar kritis dan terarh, maka pedagogik libertarian mengadopsi secara kritis pandangan-pandangan postmodern dan studi kultural]
Warung kami juga menyimpan buku yang selaras dengan bahasan diatas:
JUDUL : Usulan Paideia [Suatu Manifesto Pendidikan]
PENGARANG : Moertimer J. Adler
PENERBIT : PT. Djambatan Jakarta
CETAKAN : I. 1986
ISBN :