Search

Rabu, 19 September 2012

Perlu Hermeneutika Baru

Oleh Benni Setiawan



Gagasan, Koran Jakarta, Senin, 10 September 2012

Radikalisme menyasar kaum muda. Hal itu tecermin dari terungkapnya nama Farhan Mujahidin (19) dan Mukhsin Sanny Permadi (20) yang tertembak mati di Jalan Veteran, Kelurahan Tipes, Solo, Jumat, 31 Agustus 2012 lalu.

Dari pemeriksaan kepolisian terhadap Bayu Setiawan alias Bayu Setiono (22), diketahui bahwa Farhan merupakan eksekutor dari tiga aksi yang mereka lakukan di Solo pada 17, 18, dan 30 Agustus 2012, sementara Bayu ikut merencanakan ketiga aksi itu. Dalam aksi 17 Agustus 2012, misalnya, peran Bayu adalah menukarkan pelat nomor kendaraan yang akan dipakai. Farhan adalah anak tiri Abu Omar, pemimpin kelompok Abu Omar. Senjata yang dipakainya diduga berasal dari Filipina. Kelompok itu pun memunyai ikatan emosional dan pernah berkomunikasi dengan jaringan lama.

Sebelumnya, ada nama Pepi Fernando, anak muda yang keahlian merancang bomnya setara dengan Azhari. Juga Heru Komaruddin, Yadi al Hasan alias Abu Fatih, Beni Asri, dan Muhammad Syarif yang terlibat dalam serangkaian bom.

Gambaran tersebut seakan-akan menguatkan temuan hasil survei dari Lazuardi Biru tahun 2011 tentang indeks kerentanan radikalisme di Indonesia yang menunjukkan bahwa indeks kerentanan radikalisme 43,6 atau turun 1,44 dibanding 2010 (45,4). Namun, indeks 43,6 itu tetap mengkhawatirkan karena masih di atas titik aman, 33,3.

Indeks 0 berarti antiradikalisme sempurna dan indeks 100 berarti proradikalisme sempurna. Survei itu dilakukan di sembilan provinsi dengan responden di tiap provinsi 400 orang.

Survei dilakukan pada periode Juni-Juli 2011. Dari sembilan provinsi, terdapat tiga daerah yang paling rentan atau rawan tindakan radikalisme, yaitu Nanggroe Aceh Darrusalam (56,8), Jawa Barat (46,6), dan Banten (46,6).

Komponen indeks kerentanan ini terdiri dari tindakan radikal, sikap radikal, jihadisme, agenda islamis, dukungan terhadap organisasi radikal, keanggotaan organisasi radikal, aleniasi, deprivasi, intoleransi terhadap nonmuslim, perasaan tidak aman, dan perasaan cemas.
Hasil survei tersebut mengisyatkan bahwa program deradikalisasi yang kini menjadi salah satu cara mencegah aksi terorisme tidak berjalan. Program ini masih menyisakan banyak persoalan besar. Banyak tumpang tindih program karena ketidaksesuaian gerak antarlembaga dan penanganan program yang lebih menonjolkan aksi senjata daripada berpikir logis dan sistemtis dengan cara-cara yang santun.

Istilah deradikalisasi, bagi sebagian kelompok, merupakan teror baru. Artinya, program ini sangat mengusik karena bagi mereka program deradikalisasi sama artinya dengan dejihadisasi. Program deradikalisasi yang digalakkan pemerintah tidak akan mampu menyelesaikan persoalan jika tidak meletakkan temanya dalam perspektif yang memadai.

Jika pemaknaan seperti ini tidak dipahami oleh pemerintah atau lembaga nonpemerintah, program yang dilakukan hanya sia-sia. Apalagi selama ini program yang menjadi andalan hanyalah pelatihan kewirausahaan, seperti beternak dan bertani. Memang program ini terkesan lembut (soft). Namun, banyak hal yang perlu diperbaiki sehingga tujuan program deradikalisasi tidak hanya membangun kesadaran baru tentang jihad, tetapi juga mampu memanusiakan manusia sebagai makhluk berakal dan berhati nurani.

Sinergi gerak antarlembaga menjadi penting. Kerja sama Polri dan TNI menjadi sebuah keniscayaan agar tidak ada prasangka antarlembaga. Lebih lanjut, penanganan teroris dengan angkat senjata atau membunuh di tempat hanya akan menguatkan asumsi adanya "medan jihad" di Indonesia.

Penafsiran Teks

Penyelesaian dengan penangkapan yang humanis dan kemudian dibina secara baik akan menimbulkan simpati. Sebagaimana pengakuan Nasir Abbas, mantan Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah. Ketertarikannya tobat dan mengakhiri aksinya karena ketika setelah ditangkap dia diperlakukan secara baik oleh kepolisian. Ia mengaku ketika itu sang komandan yang kebetulan beragama Kristen melayaninya dengan baik.

Dengan demikian, sikap santun aparat itu lebih ampuh daripada aksi angkat senjata. Proses penyadaran yang meletakkan manusia pada fitrahnya itu, selain dapat menjaga kehormatan korps kepolisian yang selama ini menangani terorisme, menyelamatkan nama baik bangsa dan negara.

Lebih dari itu, mengutip pendapat Mutiara Andalas (2010), kepedulian hendaknya terulur pada mereka yang pernah mengalami masa tahanan karena dakwaan keterkaitan dengan jaringan teroris. Masyarakat sering kali mengucilkan mereka karena dakwaan berkomplot dengan jaringan teroris di masa lalu.

Warga kerap sulit menerima mereka yang pernah berurusan dengan aparat keamanan karena dakwaan terlibat dengan teroris. Selain itu, mendorong pembacaan dan penafsiran kritis terhadap teks-teks suci agama yang sepintas "membenarkan" teror kekerasan. Hermeneutika terhadap teks suci agama perlu untuk membongkar kedok jaringan teroris yang sering kali menyelubungi aksi anti kemanusiaan dengan baju teks kitab suci. Pernyataan pemuka agama bahwa pelaku membajak kitab suci perlu berlanjut dengan pembacaan dan penafsiran terhadap teks-teks yang rentan terhadap pembelokan makna. Hermeneutika adalah ilmu yang berupaya memahami teks-teks kuno (seperti kitab suci agama-agama) berdasarkan latar belakang konteks sosial, politik, budaya, pada waktu teks disusun sehingga muncul bacaan seperti itu.

Aksi kekerasan dan lingkaran dendam harus diputus karena "perbaikan adalah sumber kehidupan", bukan dendam atau pembalasan (Abdulaziz Sachedina, 2000). Setiap orang diharapkan memprakarsai proses memulihkan dan bertindak dengan bertanggung jawab terhadap satu sama lain untuk memperoleh pengampunan Tuhan (Mohammad Abu-Nimer: 2009).

Pada akhirnya, semoga dengan sinergi gerak dan perubahan pola pemahaman mampu menekan kerentanan radikalisme kaum muda. Ini merupakan sebuah upaya yang membutuhkan kerja keras dan kemauan bersama.

Sinergi Agama dan Kemanusiaan

Oleh Benni Setiawan



Gagasan, Solopos, Jum'at, 14 September 2012

Kekerasan mengoyak ketenteraman Republik Indonesia. Belum rampung mengurai masalah kekerasan bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di Sukabumi, Jawa Barat dan Sampang, Madura, Jawa Timur kini masyarakat dihebohkan dengan serangkaian penangkapan teroris di Solo, Jawa Tengah, Beji, Depok, Jawa Barat dan Tambaro, Jakarta.

Menurut penyelidikan kepolisian, penemuan bom di Jakarta dan Depok terkait dengan jaringan teroris Solo. Muhammad Thorik, tersangka teroris (calon pengantin bom bunuh diri) yang menyerahkan diri, penemuan bom di Tambora, Jakarta dan Beji, Depok merupakan serangkaian rencana bom bunuh diri di empat lokasi di Ibu Kota. Keempat lokasi itu adalah, Markas Komando Brigadir Mobil di Depok, pos polisi di Jalan Salemba, kantor Detasemen Khusus 88 Antiteror, dan Komunitas Masyarakat Budha.

Penyerangan kepada Komunitas Masyarakat Budha konon sebagai aksi keprihatinan terhadap etnis Rohingnya di Myanmar. Sebuah kondisi yang semakin mengkhawatirkan tatanan kebangsaan dan keadaban.

Pernyataan yang muncul kemudian adalah mengapa tindakan teror (ancaman yag menimbulkan kegelisahan) yang seringkali didasarkan pada keyakinan atas nash (ketetapan) Tuhan masih selalu muncul di Indonesia?



Humanisasi

Semakin tingginya intensitas teror di Indonesia saat ini menunjukkan kepada kita betapa keadaban publik sudah mulai luntur. Proses humanisasi dalam terma pembudayaan ala Driyarkara pun sudah semakin terpinggirkan. Proses humanisasi adalah perjalanan tiap pelaku, aktor, subyek manusia Indonesia yang berjuang dengan cerdas, batin hening untuk mencipta struktur-struktur hidup bersama yang semakin manusiawi, berharkat hingga keragaman sebagai bangsa yang satu mengarah menuju bernegara yang demokratis dan berkepastian hukum di mana setiap kemajemukan dihormati dengan keberlainannya dan belajar untuk hidup saling damai sebagai warga negara Indonesia.

Humanisasi pun bermakna kerja-kerja peradaban yang semakin mencipta kondisi hidup bersama semakin manusiawi, semakin menyejahterakan satu sama lain karena orang-orangnya juga saling mengembangkan kemanusiaan sesama dan dirinya. Humanisasi dari kondisi sosial manusia saling mengerkah sesamanya sebagai serigala (homo homini lupus) menuju ke kondisi hidup bersama di mana manusia memperlakukan sesamanya dan hidup bersama sebagai sahabat (homo homini socius) (Mudji Sutrisno, 2009).


Pemanusiaan manusia ternyata masih jauh dari semangat ke-Indonesia-an. Padahal bangsa Indonesia telah merdeka selama 67 tahun. Manusia Indonesia masih saja bermental serigala. Membunuh secara buas dan membabi buta tanpa memedulikan kehidupan manusia lain.

Ironisnya perilaku tersebut didasarkan pada sebuah keyakinan, atas perintah Tuhan. Meminjam istilah M. Amin Abdullah, Tuhan sebagai pembenar atas perilaku itu bak keranjang sampah. Semua hal yang buruk dan tak berguna seolah-oleh menjadi bersih dan berdayaguna jika mendapat sandaran pembenar.

Padahal Tuhan memerintahkan kepada manusia senantiasa menjalin ukhuwah (persaudaraan) (Q.S. al-Hujurat, 49: 10), tolong menolong dalam kebajikan (Q.S. al-Maidah, 5: 2. As-Shaffat, 37: 25), dan melakukan klarifikasi terhadap berbagai persoalan yang muncul (tabayun) (Q.S. al-Hujurat, 49: 6).

Apa yang terjadi saat ini di Nusantara jauh dari semangat keberagamaan tersebut. Manusia Indonesia saling curiga dan mudah menjatuhkan vonis sesat kepada golongan yang “berbeda” dan mengolok-olok. Bahkan, atas dasar perintah sesat dari otoritas keagamaan mereka bergerak tanpa dikomando untuk merusak, membakar, dan bahkan membunuh.

Perilaku teror tersebut sepertinya menegaskan betapa manusia terkungkung dalam kesadaran semu. Manusia dalam kesadaran naif, sehingga tidak mampu membedakan antara kebenaran dan keburukan.



Peradaban Teks

Kesadaran mereka digerakkan oleh ketaatan buta (taqlid). Perilaku yang jauh dari semangat keadaban. Pasalnya, keadaban dibangun atas dasar iqra (membaca) dan berpikir (tafakur).

Perilaku taqlid biasanya dibesarkan dalam lingkungan mendengar (mustami’an) tanpa teks. Padahal pengajak (da’i, pengkhotbah) mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Mereka pun besar dalam buaian peradaban yang tidak sama. Maka dari itu, cara pandang dai cenderung tidak sama. Pemahaman teks mereka pun lebih didasarkan pada realitas diri dan lingkungan yang telah membesarkannya. Kondisi ini memunculkan ragam penafsiran teks yang berbeda. Kadang bercorak lembut, kasar, atau biasa-biasa saja.

Maka benarlah apa yang telah dinyatakan Begawan Pemikiran Islam Modern Indonesia, Nurcholish Madjid. Cak Nur menegaskan bahwa gagasan pluralisme yang telah melekat dalam setiap gagasanya harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban.

Keadaban mendasarkan hidup pada pemanusiaan manusia. Manusia hidup seiring sejalan guna mewujudkan society (socius). Penciptaan keadaan ini harus didukung manusia merdeka. Manusia merdeka adalah mereka yang kuyup dengan peradaban teks (membaca). Peradaban ini mengantarkan manusia pada taraf kritis dan berbudaya. Mereka tidak mudah digoyahkan oleh sikap sering curiga yang dihembuskan oleh orang lain. Mereka senantiasa melakukan tabayun dan selalu menjalin kerjasama (silaturahmi).

Pada akhirnya, apa yang kita saksikan saat ini, menandakan betapa agama dan kemanusiaan belum mampu bersinergi. Agama masih sibuk dalam urusan privat dan meninggalkan urusan publik. Kemanusiaan pun seringkali tercerabut dalam arus utama agama karena tafsir teks seringkali jauh dari pemaknaan sosio-historis. Wallahu a’lam.