Search

Jumat, 30 Juli 2010

Membangun Pendidikan Karakter

Jurnal Nasional, Selasa, 27 Jul 2010

BELUM lekang dari ingatan kasus video porno mirip Ariel-Cut Tary- Luna Maya. Kini sudah beredar video mesum mirip artis Ariel-Bunga Citra Lestari, dan oral seks yang diperagakan artis mirip Shireen Sungkar. Kasus ini tak pelak menyita perhatian media. Banyak kasus korupsi yang “kalah pamor” dengan video panas mirip artis.

Selain itu, kita juga menyaksikan betapa masyarakat Indonesia sudah tidak terkendali. Mereka mudah marah dan meluapkan emosi dengan merusak dan membakar aset negara. Sebagaimana disaksikan dalam pilkada di berbagai daerah. Seperti terjadi di Mojokerto Jawa Timur, Bima Nusa Tenggara Barat, dan Tanah Toraja, Sulawesi Selatan. Pertanyaan muncul bagaimana menyelesaikan persoalan kebangsaan ini?

Epistemologi Pendidikan Karakter
Salah satu yang dapat menyelesaikan persoalan pelik itu adalah membangun kembali pendidikan karakter. Phillips dalam The Great Learning (2000:11), menyebut pendidikan karakter sebagai if there is righteousness in the geart, there will be beauty in the character; if there is beauty in the chacacter, there will be harmony in the home; if there is harmony in the home, there will be order in the nation; if there is order in the nation, there will be peace in the world.
Mempertimbangkan berbagai kenyataan pahit yang dihadapi ini, pendidikan karakter merupakan langkah sangat penting dan strategis membangun kembali jati diri bangsa. Dan menggalang pembentukan karakter masyarakat Indonesia. Penting segera dikemukakan -sebagaimana terihat dalam pernyataan Phillips- pendidikan karakter haruslah melibatkan semua pihak; rumah tangga dan keluarga; sekolah; dan lingkungan sekolah lebih luas (masyarakat). Karena itu langkah pertama harus dilakukan menyambung kembali hubungan dan educational network yang nyaris terputus antara ketiga lingkungan pendidikan ini. Pembentukan watak dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara ketiga lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan harmonisasi.
Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentuk watak dan pendidikan karakter pertama dan utama mestilah diberdayakan kembali. Sebagaimana disarankan Phillips, keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah kasih sayang (Azyumardi Azra: 2010).

Di sinilah inti pendidikan karakter. Yaitu dimulai dari lingkungan terkecil, rumah tangga dan keluarga. Dalam lingkungan rumah tangga dan keluarga, orang tua berkewajiban mengembangkan dan menanamkan nilai seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab. Juga rasa hormat terhadap diri maupun orang lain bersama nilai-nilai kinerja pendukung seperti ketekunan, etos kerja tinggi, dan kegigihan -sebagai basis karakter yang baik.
Cara paling mudah membangun anak sejak pagi hari, dan melatih mereka membersihkan kamar tidur sendiri, beribadat, dan membantu pekerjaan orang tua di pagi hari. Mendisiplinkan anak sejak dini akan mampu membentuk karakter anak mandiri.

Orang tua pun berkewajiban memberi contoh dan teladan baik dalam berhubungan. Orang tua perlu berkata dengan tutur lembut, namun tegas, mengajak anak bersosialisasi, dan mengenalkan hal-hal baru kepadanya. Langkah-langkah sederhana inilah yang akan membantu tumbuh kembang anak menjadi pribadi berkarakter.

Pelajaran Sejarah
Demikian pula di sekolah. Sekolah harus berkomitmen mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikan dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari. Lalu mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikan, sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai ini di sekolah dan masyarakat. Yang terpenting, semua komponen sekolah bertanggung jawab terhadap standar-standar perilaku yang konsisten sesuai nilai-nilai inti (Khoiruddin Bashori: 2010).
Pendidikan karakter pun dapat diajarkan melalui mata pelajar sejarah di sekolah. Mata pelajaran sejarah sudah saatnya diajarkan secara benar dan baik oleh guru. Model pengajaran sejarah saat ini seolah menafikan sejarah sebagai peristiwa yang sarat makna kehidupan. Alhasil, peristiwa sejarah yang seharusnya dipenuhi nilai-nilai perjuangan, kegagalan dan keberhasilan, kesalahan dan keunggulan, serta semangat tak terpatahkan memperjuangkan suatu kebenaran oleh para pelaku sejarah justru tidak diajarkan kepada peserta didik.

Penggalian nilai dan makna dalam setiap peristiwa sejarah merupakan keniscayaan. Materi pendidikan sejarah tidak boleh menempatkan pelaku sejarah sekadar sebagai sebuah nama yang berupaya mengubah jalan kehidupan umat manusia, tanpa mengindahkan nilai-nilai yang dimiliki pelaku (Kompas, 9 Juli 2010).

Maka dari itu, dibutuhkan kreativitas guru dalam mengolah bahan ajar sejarah menjadi lebih menarik. Guru dapat mengajak peserta didik mengetahui sejarah tempat tinggal masing-masing, dengan menugaskan peserta didik mewawancarai aparat atau sesepuh desa. Jadi, mereka mendapat dua nilai plus sekaligus. Yaitu, pengetahuan tentang sejarah itu sendiri, dan berusaha bersosialisasi dan mengenal tokoh masyarakat setempat. Demikian pula masyarakat. Masyarakat itu keluarga kedua bagi peserta didik. Masyarakat perlu menanamkan nilai dengan memberi teladan baik kepada peserta didik.
Kerja sama (networking) yang baik antara ketiga komponen pendidikan ini, akan mampu meminimalisasi dampak buruk pergaulan bebas sebagaimana yang direpresentasikan dalam peredaran video porno artis atau mirip artis.

Masyarakat akan mampu berpikir arif dan bijaksana dalam menerima kekalahan dan mencoba bangkit dari keterpurukan dengan semangat baru. Bukan melampiaskan dengan hal-hal kurang terpuji. Pada akhirnya, semoga dengan pendidikan karakter bangsa ini kembali mampu menghayati jati diri dan mengamalkan nilai-nilai luhur. Hingga yang disaksikan hari tidak akan terulang di kemudian hari.

Benni Setiawan
Penulis Buku Agenda Pendidikan Nasional.
http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Opini&berita=138495&pagecomment=1