Search

Minggu, 23 Agustus 2009

Mewujudkan Islam Rahmatan lil Alamin




Resensi, Surabaya Post,23 Agustus 2009

Jum’at, 17 Juli 2009 lalu bom kembali menguncang bumi Nusantara. tepatnya pukul 07.55 WIB bom meledak di Hotel JW Marriott dan Hotel Rizt-Carlton. Sembilan dinyatakan tewas dan puluhan luka-luka. Pascapeledakan tersebut kelompok Noor Din M Top kembali buruan polisi. Diduga kelompok jaringan teroris internasional ini bertanggung jawab atas peladakan tersebut.
Jaringan Noor Din M Top menyatakan bahwa bom bunuh diri adalah bentuk jihad fi sabilillah. Siapa yang mampu melakukannya akan mendapatkan surga dan bidadari di Surga. Namun, pemahaman ini mendapat kecaman keras dari ulama. Bahkan, majelis ulama Indonesia (MUI) sebagai representasi ulama di Indonesia, mengharamkan bom bunuh diri. Menurut MUI jihad tidak dilakukan dengan bom dan membunuh orang-orang yang tidak berdosa. Lebih lanjut, MUI menyatakan apa yang dilakukan oleh kelompok Noor Din M Top adalah terorisme bukan jihad.
Namun demikian, inilah potret umat Islam Indonesia. Ada yang radikal, fundamental, liberal, bahkan sekuler. Sebuah keniscayaan di negeri seribu satu pulau ini.
Banyaknya paham keislaman ini tentunya perlu diolah agar menjadi rahmat. Artinya, Islam dapat mewujud dalam dimensi ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Islam mempunyai tanggung jawab lebih dalam mewartakan kedamaian dan ketenteraman di muka bumi. Hal ini karena, Islam merupakan agama rahmatan lil alamin. Ketika Islam tidak mampu mewujudkan dirinya sebagai rahmatan lil alamin, berarti ia kehilangan sebagian besar ruh yang ada di dalam dirinya.
Islam harus menjadi garda depan dalam pencerahan dan peradaban bangsa dan negara Indonesia. Islam bukanlah sekte yang terkotak-kotak atau dikotak-kotak.
Inilah salah satu buah pemikiran yang tertuang dalam buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah, karya Begawan Muslim Indonesia Ahmad Syafi’i Ma’arif.
Islam dalam pandangan mantan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah harus tampil dengan wajah yang anggun, inklusif, dan mampu turut serta dalam mengisi kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan wajah ini diharapkan persoalan-persoalan sosial seperti kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial dapat diselesaikan dengan baik dan bijak.
Namun mengapa hingga kini Islam belum mampu berwujud seperti hal tersebut? Menurut Pendekar Chicago—meminjam istilah Gus Dur—ini, klaim besar Islam dalam sejarah yang belum terwujud mendekati maksimal dalam peradaban manusia sekarang. Masyarakat Islam masih saja disibukkan dengan urusan internnya (organisasi) sendiri-sendiri. Mereka masih garang bahkan saling serang antarsatu dengan yang lainnya.
Umat Islam masih berjibaku dengan urasan akherat dan melupakan urusan dunia. Padahal menurut Jalaluddin Rumi sebagaimana dikutip dalam buku ini, siapapun yang mengaku dapat berjalanan di langit, mengapa harus sulit baginya melangkah di bumi. Ini berarti, umat Islam tidak boleh hanya berkutat pada urusan surga dan neraka. Sudah saatnya umat Islam juga berdebat bagaimana memakmurkan bangsa dan negaranya.
Buku ini merupakan refleksi mendalam Buya Syafi’i dalam melihat realitas keislaman di Indonesia. Buku ini bukan buku tuntutan agama, melainkan sebuah buku yang akan menuntun umat Islam menemukan keislamannya di bumi Nusantara dalam bingkai kemanusiaan yang holistik.
Guru Besar Sejarah pada Universitas Negeri Yogyakarta ini sepertinya ingin menggugat konsepsi keislaman yang selama ini dianut oleh umat Islam Indonesia. Ia juga ingin memperlihatkan kepada dunia bahwasannya Islam merupakan agama rahmatan lil alamin tanpa harus mereduksi konsepsi yang ada di dalam al-Qur’an maupun Sunnah.
Sebagai seorang tokoh yang mengerti betul akan sejarah, Buya Syafi’i bercerita panjang lebar mengenai sejarah bangsa Indonesia yang tidak pernah lepas dari bingkai keislaman yang humanis. Dengan ketajaman analisis dan pengalaman bertemu dengan banyak orang dan kalangan, Islam ditangan pendiri Ma’arif Institute ini menjadi kekuatan nyata dalam membangun sebuah peradaban. Maka tidak heran jika, Azumardi Azra dalam pengantarnya menyatakan bahwa buku ini merupakan masterpiecenya Prof. Ahmad Syafi’i Ma’arif.
Pada akhirnya, dengan membaca dan memahami buku ini semoga aksi kekerasan atas nama Islam yang senantiasa mengancam kedaulatan bangsa ini sirna dari bumi pertiwi. Selamat membaca.

*)Benni Setiawan, Pembaca buku, peneliti Lembaga Ma’rifat Indonesia.

Merangsang Embrio Metafisika




Resensi, Seputar Indonesia, Minggu, 23 Augustus 2009

Tema metafisika menurut Aristoteles ialah ”kenyataan sebagai kenyataan”.Metafisika terfokus kepadait isjustru karena it is.Hal yang berlaku juga untuk it is karena it is berlaku untuk all what is. It is ialah seluas segala kenyataan.


Pertanyaan khas metafisika terarah kepada it is,that it is dan why it is.Metafisika dalam arti yang khas lebih tepat disebut ontologia. Karena ontologi,menurut Aristoteles, terarah kepada to on hei on (on berarti keadaan, logos berarti paham) atau dalam bahasa Latin disebut ens in quantum ens, maka terarah kepada ”pengada sekadar pengada”,yaitu suatu usaha untuk memahami ”kenyataan sekadar kenyataan”. Metafisika dalam arti ontologia menuju metaphysical insight.

Dalam it is disentuh all what is. Luasnya tidak terbatas (paling ekstensif) dan paham terarah kepada ”akarnya” sehingga merupakan yang paling dasariah (hlm 30- 31). Maka, metafisika membahas ”seluas segala kenyataan”. Metafisika yang dirumuskan Aristoteles ini sering disebut dengan metafisika pertama.Rumusan kesatuan dan kebanyakan ala Aristoteles ini juga menimbulkan masalah pokok yang tetap aktual sampai sekarang.Rumusan metafisika Aristoteles berhadapan dengan ”realisme dan idealisme” ala Immanuel Kant.

Masalah bagi realisme dan idealisme adalah manusia terkurung dalam pengetahuan (imanensi) atau manusia terbuka untuk membiarkan kenyataan untuk menyatakan dirinya (transendensi). Batu ujian bagi kebenaran dalam metafisika realisme adalah kenyataan yang menyatakan diri (evidential objectiva). Menurut Kant, yang datang dari luar melalui impressions yang menyentuh indera (sependapat dengan Hume).

Untuk membela sifat umum dan perlu, maka keputusan science (kontra Hume) memerlukan struktur apriori dalam akal. Struktur apriori dalam akal merupakan kondisi apriori dan dasar bagi sifat umum dan perlu atas keputusan science. Dasar sifat umum dan perlu bukanlah kenyataan (metaphysics of objectivity), melainkan merupakan struktur apriori dalam akal manusia (metaphysics of subjectivity).

Budi manusia bersifat mengonstruksikan impressions yang datang dari luar dan menyembunyikan kenyataan. Budi bukan lumen (cahaya) yang olehnya kenyataan menjadi nyata dan menyatakan diri.Akal manusia dalam idealisme ekstrem bersifat menciptakan (idealisme radikal). Budi manusia menurut Kant bersifat mengonstruksikan impressions (idealisme filsafat kritisisme Kant). Maksud Kant mengenai struktur apriori diterangkan dengan contoh kacamata yang berwarna biru. Bayangkan semua manusia lahir dengan kacamata berwarna biru.

Manusia tidak mengetahui keberadaan kacamata itu.Manusia melihat semua kenyataan berwarna biru. Dasarnya bukan kenyataan, melainkan kacamata yang berwarna biru. Untuk memastikan hal itu, kita harus memanggil seseorang yang tidak memakai kacamata tersebut dan ternyata orang itu tidak ada. Kacamata yang berwarna biru bersifat transendental dalam arti superindividual dan kodrati. Dalam contoh ini, kacamata berwarna biru terdapat pada manusia sejak lahir.

Akhirnya,manusia tak pernah mengetahui apakah kenyataan itu berwarna biru atau hanya dilihat berwarna biru karena memakai kacamata berwarna biru. Contoh ini ingin mengatakan bahwa kacamata merupakan struktur apriori dalam akal, maka bersifat transendental dan kodrati (hlm 101-102). Masalah lain bagi idealisme atau realisme sebenarnya terletak pada ”titik awal”.Titik awal dari kritisisme Kant adalah dualisme. Pengetahuan dan kenyataan dari awal terpisah.Manusia terkurang pada pengetahuan yang terpisah dari kenyataan. Inilah titik dari transcendental idealism(Kant).

Dalam transcendental thomism, dari awal pengetahuan dan kenyataan merupakan suatu kesatuan. Kondisi apriori dari segala kegiatan manusiawi merupakan prapengetahuan yang seluas kenyataan. Inilah titik tolak dari transcendental realisme. Prapengetahuan ”seluas segala kenyataan” berarti bahwa dari awal, pengetahuan dan kenyataan tidak terpisah. Manusia terbuka tanpa batas. Prapengetahuan yang seluas segala kenyataan mendahului proses eksplisitasi yang terbatas.

Eksplisitasi tidak terkurung dalam pengetahuan, tetapi sungguh mengeksplisitasi kenyataan. Inilah metafisika realisme tradisi Aristoteles-Thomas yang kontra dengan metafisika idealisme Kant. Eksplisitasi merupakan eksplisitasi terbatas atas prapengetahuan yang tak terbatas. Inilah paradoks pengetahuan manusiawi, terbatas dan tidak terbatas serta ilahi dan manusiawi. Paradoks ini menjadi dasar bagi dinamika. Eksplisitasi tidak terkurung dalam pengetahuan. Eksplisitasi bersifat relatif dan terbatas namun benar kalau sesuai dengan kenyataan yang dari awal luasnya secara implisit identik dengan luas pengetahuan.

Prapengetahun menjadi dasar untuk menilai apakah eksplisitasi benar atau tidak.Dasar metafisika realisme adalah kehadiran prapengetahuan yang dari awal seluas kenyataan (hlm 150-151). Buku Seluas Segala Kenyataan ini merupakan kelanjutan dari karya Manusia, Paradoks dan Seruan (2004),Manusia dan Kebenaran (2006). Ini trilogi dari peraih gelar doktor dari Perguruan Tinggi Propaganda Fide,Roma,tahun 1957.

Sebagaimana dua buku sebelumnya, buku yang ditulis dosen Fakultas Filsafat Agama,Universitas Katolik St Thomas, Medan, (1986- 1999) ini agak sulit dimengerti bagi mereka yang tidak terbiasa dengan bacaan filsafat.Apalagi dua buku sebelumnya terlewatkan.Namun, sebagai sebuah trilogi, buku ini menawarkan sebuah kajian akademis yang mendalam.Dengan kesabaran dan ketekunan kita akan dibawa menyelami kajian filsafat yang memesona dan mencerahkan.

Lebih dari itu, buku ini bertujuan merangsang pembaca supaya mulai bermetafisika. Di zaman sekarang saintisme telah mendewa-dewakan salah satu cara untuk memperoleh paham, scientifical insight. Padahal manusia bersifat multidimensional dan paham itu pun multidimensional. Scientifical insight, philosophical insight, dan metaphysical insight masing-masing otentik. Berfilsafat dan bermetafisika merupakan kegiatan manusiawi yang asli.

Pentinglah menyentuh dan merangsang embrio metafisika yang hadir sejak awal. Embrio ini perludirangsanguntukdapatselalu dinamis menuju kedewasaan.(*)

Benni Setiawan,
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga,Yogyakarta

Sabtu, 15 Agustus 2009

Matinya Pendidikan Humanis




Benni Setiawan, Pemerhati Pendidikan, Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia dan Agenda Pendidikan Nasional.

Harian Jogja, Sabtu, 15 Agustus 2009

Kekerasan (bulying) dalam dunia pendidikan tampaknya telah menjadi budaya masyarakat sekarang. Gencetan atau bulying dapat berupa tekanan berupa pengucilan, pelecehan, pemalakan, intimidasi, ejekan, gosip, fitnah, kekerasan fisik atau mental secara serius. Perilaku ini biasanya dilakukan oleh kakak kelas kepada adik kelas. Dapat juga dikarenakan karena kecemburuan sosial.
Kecenderungan-kecenderungan di atas seringkali menjadi beban mental bagi peserta didik. Artinya, mereka sudah tidak lagi mendapatkan tempat untuk saling tegur sapa (berkeluh kesah). Orangtua di rumah sudah susah mencari sesuap nasi. Teman-teman di sekolah yang dholim. Guru-guru yang banyak menggelar demontrasi menuntut kesejahteraan dan seterusnya.
Tindakan kekerasan yang dilakukan kakak kelas ini tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ada di Institute Pemeritahan Dalam Negeri (IPDN). Senior adalah orang yang selalu benar. Sedangkan yunior adalah orang yang selalu salah. Tidak ada kesalahan atau dosa bagi senior untuk menyiksa yunior. Dan akibat perlakuan ini yunior mendapat “pahala” atau “disayang” oleh senior. Sungguh keadaan yang membuat kita miris.
Perilaku semacam ini tentunya tidak boleh kita biarkan begitu saja. Tindak kekerasaan dalam bentuk apapun adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Apalagi jika tindak kekerasan tersebut mengakibatkan luka atau patah tulang atau sampai menghilangkan nyawa seseorang. Setiap pelaku harus dihukum sesuai aturan hukum yang berlaku.

Kondisi ironis
Ironisnya keadaan ini terjadi di dunia pendidikan. Dunia dimana seharusnya terjadi proses atau interaksi antar individu untuk saling mengisi dan mengembangkan potensi yang diberikan Tuhan kepada setiap manusia.
Pendidikan seharusnya sesuai dengan yang dijabarkan dalam UU No 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 yaitu, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara ».
Mengapa keinginan mulia tersebut di atas malah menjadi momok tersendiri bagi peserta didik?

Pendidikan humanis
Kekerasan (bulying) dalam dunia pendidikan sudah saatnya dihentikan. Hal ini dikarenakan pendidikan adalah proses memanusiakan manusia (humanizing human being).
Proses pendidikan humanis dilakukan dengan sadar dan terencana. Pola pendidikan humanis atau humanizing human being (memanusiakan manusia) dalam bahasa Freire, penyadaran dalam bahasa Romo Mangun, pengangkatan manusia muda ketaraf insani dalam bahasa Driyarkara dan principle of reaction dalam bahasa Ki Hajar Dewantara sudah saatnya diimplementasikan.
Bangsa ini memiliki banyak tokoh pendidikan yang mengemukakan gagasan brilian. Mengapa mereka tidak pernah kita rujuk? Mungkin benar pendidikan nasional Indonesia lebih berorientasi kerja atau pasar, tanpa memedulikan aspek-aspek humanis dalam pendidikan.
Dalam pendidikan yang bercorak humanis, seseorang dianggap sama. Artinya, semua manusia memiliki potensi yang telah diberikan oleh Tuhan sejak lahir. Potensi inilah yang diolah dan dikembangkan untuk bekal hidup. Tidak dengan jalan pemaksaan (kekerasan), melainkan dengan saling tegur sapa dan saling mengisi.
Lebih lanjut, pembinaan (respon positif) dari komponen pendidikan juga penting. Kompenen pendidikan terdiri dari, peserta didik, alumni, guru, dewan sekolah, pengawas dan seterusnya. Mereka semua adalah kompenen yang wajib turut serta dalam menjaga agar pendidikan menjadi hal yang menyenangkan dan mencerdaskan. Artinya, keadaan sekolah yang nyaman dan penuh keramahan akan dengan sendirinya menjauhkan rasa bosan dan kepenatan. Seseorang yang membawa beban berat persoalan akan merasa gembira ketika bertemu dengan komponen pendidikan. Kompenen pendidikan lainnya adalah keluarga atau teman dalam menghadapi setiap persoalan.
Jika komponen pendidikan di atas aktif dalam mendidik peserta didiknya maka tidak akan ada lagi tindak kekerasan sebagaimana dipraktikan di berbagai sekolah, seperti dalam masa orientasi siswa beberapa waktu lalu. Peserta didik akan saling menyayangi dan memahami dirinya dalam proses pendidikan.
Pada akhirnya, kekerasan di sekolah merupakan cerminan matinya pendidikan humanis di lembaga mulia ini. Pendidikan humanis sudah tidak lagi diajarkan di dalam sekolah. Maka tidak aneh jika sekolah sekarang tidak lebih seperti penjara. Peserta didik mendapat perlakuan kasar dari kakak kelasnya, guru-guru sudah disibukkan oleh urasan pribadi seperti sertifikasi guru, kepala sekolah yang acuh tak acuh, dan seterusnya. Kehidupan semacam itu, tak ubahnya seperti kehidupan di dalam penjara. Bahkan, lebih jahat, karena sekolah adalah institusi mulia untuk mendidik generasi penerus bangsa. Wallahu a’lam.

Melamatkan anak dari kekurangan ASI



Benni Setiawan, Peneliti Lentera Institute, tinggal di Sukoharjo

GeRak, 49, 13-17 Agustus 2009

Mempunyai seorang anak, merupakan idaman bagi setiap keluarga. Anak menjadi lentera yang akan selalu menerangi kehidupan rumah tangga. Ketiadaan anak dalam ikatan perkawinan biasanya menjadi awal runtuhnya bangun rumah tangga. Walaupun ada juga rumah tangga tanpa anak rukun dan damai. Dan sebaliknya rumah tangga dengan anak malah tidak harmonis.
Namun, apa yang terjadi, anak-anak kita sekarang semakin banyak yang tidak menemukan kebahagiaan dan ketenangan jiwa dengan meminum air susu Ibu (ASI), dekapan kasih sayang ketika tidur, dan seterusnya secara langsung. Kesemuannya telah kita ganti dengan susu buatan lewat botol (dot) yang sedemikian keras untuk dipegang oleh anak.
Padahal, menurut para psikolog, seorang anak yang meminum ASI secara langsung dengan (maaf) memainkan susu Ibunya akan menyebabkan kelembutan jiwa, demikian pula yang sebaliknya anak-anak yang meminum susu buatan melalui botol (dot) maka jiwa mereka akan keras sekeras botol yang dipegangnya, anak-anak akan mengalami dahaga jiwa. Ini kelihatanya sangat sepele dan remeh temeh, tetapi sebenarnya sangat berpengaruh besar terhadap kepribadian dan masa depan anak-anak kita (Nurul Huda SA: 2002).
Selain itu, pemberian ASI pada dasarnya dapat mencegah keracunan akibat banyaknya produk susu palsu, sebagaimana baru-baru ini terjadi. Kemudian, menurut penelitian Tim Peneliti McGill Kanada, dari 14.000 anak, menunjukkan bahwa anak yang diberi ASI lebih cerdas dari pada anak yang tidak diberi ASI. Kandungan asam lemak (fatty acid) di dalam ASI diduga meningkatkan kecerdasan, tetapi laporan itu mengatakan aspek kedekatan fisik dan batin dalam proses menyusui mungkin mendorong perubahan permanen pada otak bayi yang sedang berkembang. Lebih dari itu, dengan diberikannya ASI pengeluaran orangtua dapat dihemat.
Pendek kata, ASI tidak akan pernah tergantikan oleh produk susu apapun. Akan tetapi, apa yang terjadi pada masyarakat Indonesia sekarang? Orangtua lebih bangga memberikan produk susu buatan untuk anak-anaknya daripada ASI. Ibu-ibu muda malu ketika bagian tubuhnya terlihat jelek akibat memberi ASI. Ibu-ibu muda juga sudah sibuk dengan pekerjaan kantor dan bisnis yang mereka geluti. Tidak ada lagi waktu untuk menyusui anak-anaknya.
Padahal, tumbuh kembang anak dapat dimulai saat mereka mendapat asupan ASI yang cukup. ASI menjadi bentuk pendidikan pertama yang diberikan oleh orangtua, teruama dari seorang Ibu.
Begitu pentingnya ASI bagi tumbuh kembang anak, menjadikan pemerintah Kabupaten Klaten di Jawa Tengah mengeluarkan Perda No 7 Tahun 2008, tentang Inisiasi Menyusu Dini ASI Eksklusif. Di antara isi perda tersebut adalah kewajiban seorang Ibu untuk memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif selama enam bulan pertama kepada bayinya.
Mengapa perda ini menjadi penting? Kasih sayang orangtua pada dasarnya dapat dilihat saat masa persalinan. Apakah anak ketika lahir langsung mendapat air susu ibu (ASI) melalui proses inisiasi. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian aksi eksklusif selama enam bulan dan diteruskan hingga umur dua tahun.
Perda Inisiasi Menyusu Dini ASI Ekskulsif merupakan terobosan berani dari pemerintah daerah. Perda ini akan semakin menguatkan hubungan antara Ibu dan bayi. Walaupun cenderung memaksa, kehadiran perda ini bagai oase di tengah gurun pasir. Perda ini akan menginspirasi para Ibu untuk memberikan hak ASI kepada bayinya. Ibu akan semakin dekat dengan buah hatinya. Bayi juga akan mampu merasakan dekapan kasih dari orangtuanya. Dengan demikian, ia akan menjadi generasi penerus keluarga, bangsa, dan negara yang berkarakter.
Keradaan perda yang salah satu fungsinya untuk menekan atau mengurangi angka kematian Ibu dan bayi perlu kita dukung. Artinya, perlu ada peran serta masyarakat dalam mewujudkan rasa cinta kasih antara Ibu dan anak. Rasa cinta kasih ini merupakn awal dari masa depan anak itu sendiri.
Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah, pertama, kesadaran Ibu yang didukung oleh suami. Kesadaran memberikan ASI kepada bayi merupakan hal utama. Artinya, tanpa adanya kesadaran bahwa ASI merupakan hak bayi, cita-cita tersebut akan bertepuk sebelah tangan. Kemudian dimana peran suami (Ayah)? Ayah juga harus mendorong istrinya untuk merawat payudaranya agar nanti ketika melahirkan, ASI dapat langsung diberikan.
Kedua, peran serta bidan. Keberhasilan memberikan ASI eksklusif kepada bayi perlu didukung oleh kemampuan bidan yang memadai. Pengalaman penulis mendampingi persalinan istri menunjukkan bahwa, tidak semua bidan menyampaikan pentingnya ASI bagi bayi. Ketika bayi lahir, seorang bidan malah membuatkan sebotol susu buatan. Alasannya untuk kelancaran proses pencernakan bayi. Namun, keinginan bidan ini saya tolak, karena ASI istri saya sudah dapat langsung diberikan.
Seorang bidan, perlu membimbing pasangan suami-istri baru agar mereka langsung memberikan ASI kepada bayinya. Nalar bisnis bidan harus disingkirkan, agar tidak menyesatkan masyarakat.
Ketiga, peran serta pemerintah, swasta, dan instansi lain, untuk memberikan ruang publik yang seluas-luasnya untuk menyusui. Di setiap kantor pemerintahan maupun swasta harus disediakan ruang khusus untuk bayi, agar Ibu mereka dapat memberikan ASInya. Pemerintah dan swasta juga harus memberikan keluasan kepada Ibu agar dapat membawa bayinya ke kantor untuk disusui.
Pada akhirnya, ASI merupakan hak asasi anak, dan merupakan kewajiban seorang Ibu untuk menunaikannya. ASI dapat menjamin kelangsungan hidup yang lebih baik antara Ibu dan Anak. Pemberian ASI eksklusif selama enam bulan dan dilanjutkan hingga dua tahun, dapat menjamin masa depan anak yang lebih baik. Wallahu a’lam.

Kamis, 13 Agustus 2009

Jogja. Kota Langit Biru



Bernas Jogja, 10 Agustus 2009

YOGYAKARTA kembali menjuarai perhelatan nasional. Jum'at, 24 Juli 2009, Wakil Walikota Yogyakarta menerima trofi dan hadiah sepeda listrik dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Yogyakarta bersama empat kota yaitu kota Tangerang, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara, dinobatkan sebagai Kota Langit Biru.
Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup (Meneg LH) Rahmat Witoelar, Kota Langit Biru merupakan program aksi pengendalian pencemaran udara melalui implementasi kegiatan terpadu. Program yang dilaksanakan sejak tahun 2007 ini juga mendorong penurunan pencemaran udara dari sektor transportasi.
Keberhasilan kota Yogyakarta meraih predikat Kota Langit Biru tentunya tidak lepas dari beberapa program yang berjalan hingga kini. Seperti, pembuatan taman kota, sego segawe, dan uji emisi kendaraan rutin.
Tanpa bermaksud mengecilkan arti sebuah penghargaan dan upaya nyata pemerintah kota dalam mewujudkan tatanan kota yang nyaman, artikel ini ingin sedikit mengulas dan sedikit memberi masukan guna mempertahankan predikat Kota Langit Biru untuk Yogyakarta. Artikel ini hanya akan membatasi pada tiga persoalan utama, yaitu taman kota, sego segawe, dan uji emisi.
Taman kota
Taman kota Yogyakarta tidaklah seindah yang dibayangkan. Hal ini karena, masih banyak pohon yang di tebang atas nama keamanan warga kota, keindahan, memberi ruang untuk pemasangan reklame iklan. Sebagaimana pemotongan dahan pohon di ruang jalan Affandi dan Kusumanegara.
Pohon taman kota juga tak luput dari pengerusakan tangan manusia. Hal ini dapat dilihat ketika musim pemilu beberapa waktu lalu. Pohon dipaku guna menempel foto, gambar, dan spanduk calon anggota legistatif. Ironisnya hingga hari ini masih ada gambar partai dan calon anggota legislatif yang menempel di pohon. Selain insiden yang bersifat berjangka tersebut, pohon di kota Yogyakarta tidak luput dari serangan pengiklan dengan cara memaku papan di batang pohon. Bahkan, iklan perguruan tinggi dalam bentuk spanduk dan baliho semakin memperkeruh tatanan kota dan menyengsarakan poh
Lebih dari itu, taman kota Yogyakarta seringkali tidak terawat dengan baik. Taman kota hanya disiram oleh petugas dan sesekali dibersihk
an. Taman kota belum dioptimalkan menjadi sesuatu yang lebih berguna. Seperti, pembuatan bio pori yang dapat menyuburkan tanah, mencegah banjir, dan terawatnya sumber‑sumber air. Pembuatan bio pori sudah berhasil diterapkan di Jakarta Utara. Hasilnya pun sangat membanggakan. Selain menghasilkan taman kota yang indah dan asri, persedian air bersih di daerah tersebut melimpah. Terlebih daerah tersebut bebas dari banjir yang selalu mendera ibu kota.
Keberhasilan masyarakat Jakarta Utara tersebut sudah saatnya ditiru oleh pemerintah kota Yogyakarta. Hal ini mengingat perubahan iklim yang tidak menentu yang mengakibatkan kemarau panjang, dan seringnya banjir kecil di kota Yogyakarta.
Dengan demikian taman kota tidak hanya menjadi program mempercantik kota, namun juga memberi manfaat bagi orang lain.
Sego segawe
Selain taman kota, program lain yang dapat mengokohkan predikat Yogyakarta sebagai Kota Langit Biru adalah program sego segawe (sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe).
Sebagaimana telah banyak ditulis dalam rubrik ini, sego segawe merupakan program transportasi murah meriah, menghemat bahan bakar minyak (BBM), menyehatkan, dan mengurangi karbon dioksida. Namun demikian, terobosan sego segawe perlu diberengi dengan penataan jalur‑jalur sepeda. Jalur‑jalur yang dibuat oleh pemerintah kota seringkali malah digunakan sebagai lahan parkir mobil. Pembuatan jalur sepeda yang ramah bagi pengguna akan semakin membuat betah pengayuh sepeda onthel di Yogyakarta.
Selain itu, komitmen warga Yogyakarta untuk mendahulukan pengguna sepeda dan memberi ruang lebih kepadanya amatnya penting. Pengguna sepeda onthel seringkali menjadi korban keganasan pengguna sepeda motor dan mobil. Pengguna kendaraan bermotor ini sudah seharusnya tepo seliro dengan pengguna sepeda onthel. Misalnya, memberi kelonggaran kepada pengguna sepeda onthel untuk menyeberang, belok di tikungan, atau pun di lampu mewah akan menambah nilai plus program ini.
Uji emisi
Program sego segawe juga akan semakin bermakna ketika program uji emisi berjalan efektif. Artinya, selama ini program uji emisi hanya berupa pengukuran kualitas udara dan hasil buang gas kendaran bermotor di beberapa ruang jalan.
Pemerintah daerah sudah saatnya berfikir bagaimana membatasi jumlah pemilikan kendaraan bermotor. Uji emisi tanpa membatasi kepemilikan kendaraan bermotor tidak akan banyak berguna. Hal ini karena, menurut data Dinas Tata Lingkungan Yogyakarta, kadar timbal kota yang kini dipimpin oleh Hery Zudianto ini mengalami peningkatan karena jumlah pengguna kendaraan bermotor meningkat (Suara Merdeka, 25 Juli 2009).
Lebih dari itu, pembatasan ini menjadi penting mengingat jalan‑jalan kota Yogyakarta sekarang sudah mulai sesak oleh kendaraan bermotor. Apalagi ketika malam Minggu atau hari‑hari libur lainnya. Yogyakarta dipastikan macet karena banyaknya kendaraan bermotor.
Memikirkan langkah ini sejak dini akan memudahkan kinerja pemerintah. Hal ini karena, ketika jalanan sudah dipenuhi kendaraan bermotor karena tidak adanya pembatasan pemilikan, akan sulit bagi pemerintah menjaga kualitas udara dan mengatur regulasi lain. Lebih dari itu, pembatasan kepemilikan kendaraan bermotor juga mengingat kondisi jalan yang tidak semakin luas.
Tanpa langkah‑langkah tersebut sulit kiranya mempertahankan Yogyakarta sebagai Kota Langit Biru. Kota Langit Biru akan semakin mengokohkan citra Yogyakarta sebagai Kota Pelajar, Kota Budaya, dan Kota Gudheg.
Pada akhirnya, guna mengokohkan citra tersebut sinergi gerak antara pemerintah dan penduduk, baik asli maupun pendatang menjadi kunci utamanya. Taman kota akan tetap asri jika seluruh komponen masyarakat bahu‑membahu melindungi dan menyematkannya. Program sego segawe akan berjalan lancer jika semakin banyak warga yang menggunakan sepeda onthel dalam melaksanakan tugas belajar dan bekerja. Demikian pula dengan program uji emisi. Masyarakat harus sadar bahwa kualitas udara akan sangat memengaruhi kualitas hidup manusia. Wallahu a'lam. ***
Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Minggu, 02 Agustus 2009

Selamatkan remaja Indonesia dari dating violence



Resensi, Solo Pos, 02 Agustus 2009

Pacaran, telah menjadi kamus umum remaja Indonesia. Tidak pacaran, ”Gak gaul lo”. ”Hari gini gak punya pacar”, capek deh. Itulah ungkapan yang sering kita temui dalam obrolan anak muda zaman sekarang. Pacaran menjadi hal biasa dan merupakan kebutuhan wajib dalam sistem pergaulan ”anak gaul”.
Aktivitas pacaran pun seringkali mengalahkan pelajaran sekolah. Peserta didik mencuri-curi waktu untuk sekadar bertemu pacar di saat jam pelajaran sekolah. Tidak hanya itu, waktu istirahat yang dialokasikan untuk benar-benar mengendurkan urat saraf digunakan sebagai media ”temu darat” yang tidak beretika. Artinya, banyak peserta didik melakukan aktivitas seksual secara terbuka dan bebas baik di kantin atau tempat-tempat khusus. Tempat tersebut seperti di kantor UKS, kantor Osis, Pramuka, maupun warung internet (warnet) terdekat.
Tempat yang disebut terakhir, malah seringkali digunakan untuk melampiaskan nafsu birahi yang belum saatnya dilakukan oleh anak-anak usia remaja. Dimulai dengan mengakses situs-situs porno, guna merangsang kedua makhluk berbeda jenis kelamin ini. Mereka seperti tanpa kontrol melakukan hal yang melanggar norma-norma sosial. Sebagaimana temuan, Sony Set yang dirangkum dalam buku ini.
Temuan Sony Set sunggung mencenggangkan. Jumlah remaja Indonesia pengakses internet yang kecanduan menontong dan mengoleksi materi pornografi masuk dalam peringkat 10 besar dunia! (hal. 68). Data dari Miyabi, kita dapat menyimpulkan bahwa dari 2004 hingga 2008 para pengakses internet di Indonesia telah menjadi kolektor dan penikmat film porno yang menampilkan adegan kekeraan di dalamnya. Dahsyatnya, para pengakses internet di Indonesia menduduki peringkat satu dunia sebagai konsumen video porno kekerasan hasil produk negara Jepang. Ironisnya, empat kota tertinggi pengakses situs porno adalah kota-kota pendidikan, seperti Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, dan Bandung (hal. 69).
Lebih dari itu, aktivitas menonton blue film telah mengkonstruk pemikiran remaja Indonesia. Dalam aktivitas keseharian dan pacaran pun, orientasi mereka hanyalah sex, sex, dan sex. Mereka akan melakukan apa saja untuk membujuk pacarnya agar mau melakukan aktivitas sex sebagaimana dilihatnya dalam gambar-gambar porno. Jika, pacar tidak mau menuruti keinginannya, maka violence (kekerasan) menjadi hal yang ”wajib” dilakukan.
Ya, dating violence menjadi genre baru dalam pergaulan remaja Indonesia. Dating violence adalah pola kekerasan dalam hubungan cinta yang dilakukan seseorang untuk mengendalikan dan mengatur pasangannya agar menuruti semua keinginannya (hal. 135).
Buku ini bercerita panjang lebar mengenai apa itu, bagaimana ciri-cirinya, dan tanda-tanda korban dating violence. Buku ini menjadi menarik karena didasarkan pada fakta, baik berupa angka maupun pengakuan korban dating violence. Semua data diramu dan diracik dengan apik dengan bahasa ala anak muda yang santun dan renyah. Pembahasaan anak muda ala Sony Set juga tidak mengurangi misi stop dating violence. Dengan bernas, rangkaian kata mengalir bagi air kehidupan yang membasahi dan menyadarkan. Betapa remaja Indonesia dalam bahaya.
Sony Set yang juga dikenal sebagai pengebrak gerakan Jangan Bugil di Depan Kamera, mengajak semua pihak untuk menyelamatkan masa depan remaja Indonesia. Melalui buku ini, kita akan mendapatkan informasi yang berharga mengenai bagaimana cara membentengi remaja Indonesia dari tindak dating violence. Menyelamatkan remaja dari dating violence merupakan langkah nyata menyelamatkan bangsa Indonesia dari keterpurukan. Hal ini karena, remaja merupakan tulang punggung bangsa dan penerus estafet kepemimpinan bangsa.
Usaha nyata Sony Set ini memang perlu mendapat apresiasi (penghargaan). Sebagaimana komentar Heru Kasidi, Asisten Deputi Bidang Perlingdungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan, ”buku ini patut dibaca dan penulisnya patut mendapat penghargaan”.
Akhirnya, selamatkan remaja Indonesia dari dating violence. Selamat membaca....

Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Membaca Pemikiran Habermas



Resensi, Seputar Indonesia, 02 Agustus 2009

Filsuf dan sosiolog kondang dari Universitas Frankfurt, Jerman,Jurgen Habermas kembali menjadi bidikan akademisi F Budi Hardiman.

Kali ini ia membidik pemikiran Habermas mengenai demokrasi. berhasil mengelaborasi tradisi pemikiran neo-Marxis yang melatarbelakangi teori kritis Habermas dan karya awalnya tahun 1970-an dalam bidang filsafat pengetahuan melalui buku

Kritik Ideologi, Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas (2009), dan karya-karya Habermas tahun 1970-an dan 1980-an lewat buku Menuju Masyarakat Komunikatif, Ilmu,Masyarakat,Politik,dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas (2009), kini filsuf dari STF Driyarkara ini kembali memahami dan menguji secara kritis kontribusi-kontribusi teori diskursus

Habermas untuk teori demokrasi dan negara hukum modern dalam sebuah buku berjudul Demokrasi Deliberatif, Menimbang ’Negara Hukum’ dan ’Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas( 2009). Menurut Habermas, komunikasi sudah selalu merupakan ciri dasar kehidupan bersama manusia. Maka, tuntutan teori demokrasi tidak lain daripada sebuah radikalisasi dari struktur-struktur komunikasi yang lama sudah ada di dalam negara hukum modern.

Dengan demikian negara hukum yang faktual sedikit demi sedikit dapat mendekati asas-asas normatifnya sendiri. Makna judul karyanya, Faktizitat und Geltung (Fakta dan Kesahihan), adalah bagaimana Habermas meletakkan posisi pemikirannya di dalam tegangan itu.

Untuk mewujudkan imbauan teori klasik tentang demokrasi itu, Habermas mencoba menghubungkan pendiriannya dengan keadaankeadaan empiris masyarakatmasyarakat kompleks dewasa ini. Struktur-struktur komunikasi yang terkandung di dalam konstitusi negara hukum demokrasi dimengerti oleh Habermas sebagai sebuah proyek yang belum selesai, tetapi dapat diwujudkan.

Namun,agar keadaan-keadaan empiris masyarakat-masyarakat kompleks itu dapat didekatkan pada tujuan proyek tersebut, haruslah ada sebuah model yang sesuai untuk demokrasi. Sebuah model yang secara sosiologis dapat menjelaskan dinamika komunikasi politis di dalam negara hukum demokratis yang ada. Model yang sesuai dengan konsep proseduralis tentang negara hukum itu adalah model demokrasi deliberatif (deliberative demokratie).

Model deliberatif ini menekankan pentingnya prosedur komunikasi untuk meraih legitimasi hukum di dalam sebuah proses pertukaran yang dinamis antara sistem politik dan ruang publik yang dimobilisasi secara kultural. Dalam model demokrasi deliberatif ini Habermas mencoba untuk menghubungkan tesis hukumnya, yaitu tesis hukum sebagai medium integrasi sosial dengan sebuah teori sosiologis tentang demokrasi.

Hasilnya menarik: konsepkonsep dasarnya seperti konsep tindakan komunikatif, lebenswelt (dunia-kehidupan), dan diskursus praktis sekarang beroperasi di dalam kerangka sebuah teori demokrasi (hlm 126–127). Lebih dari itu, dalam model demokrasi deliberatif, banyak hal dikonsentrasikan pada tuntutan demokratisasi “ruang-antara” pemilihan umum.

Tentu saja makna pemilihan umum tidak boleh diperkecil karena pemilihan umum merupakan locus para warga negara menentukan diri mereka. Akan tetapi, pemilihan umum bukan locus satu-satunya. Jika demokrasi ingin dimengerti secara deliberatif, pemilihan umum dapat dianggap sebagai “hasil pemakaian publik atas hak-hak komunikatif’ (offentlicher Gebrauch de kommunikativen Freiheiten)” yang berlangsung terus-menerus.

Menurut Habermas, hak-hak komunikatif para warga negara terlaksana terutama di dalam diskursus- diskursus informal yang dapat dilaksanakan secara inklusif dan dapat mempersoalkan segala tema relevan yang mungkin.

Demokratisasi “ruang-antara” pemilihan umum berarti para warga negara memiliki kemungkinan untuk mengungkap kan pendapatpendapat mereka sendiri secara publik dan mempersoalkan segala tema yang relevan untuk masyarakat supaya suara-suara yang sensitif terhadap masalah ini dikelola oleh sistem politik yang ada.

Ruang demokratis seperti itu, tempat para warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan kepentingan, dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif adalah gagasan pokok ruang publik politis (politische Offentlichkeit) yang menjadi leitmotiv pemikiran Habermas sejak Habilitationsschrift- nya Strukturwandel der Offentlichkeit (perubahan struktur ruang publik) (hlm 133).

Dengan demikian, jika bangsa ini ingin mewujudkan ruang publik politis, pemerintah bersama pihak terkait harus bertanggung jawab atas adanya dugaan pelanggaran pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) yang baru saja usai, baik berupa pelanggaran administrasi, kisruhnya daftar pemilih tetap (DPT) maupun keterlibatan pihak asing.

Lebih lanjut, melalui buku ini, alumnus Hochschule fur Philosophie Munchen, Jerman, pada tahun 2001 ini menunjukkan betapa Habermas telah berhasil merekonstruksi paham negara hukum klasik dengan paradigma komunikasi. Kendatipun tidak dapat mengakhiri problematika klasik tentang legitimasi demokratis, teori diskursus sekurang-kurangnya dapat menunjukkan bahwa upaya pencarian legitimasi mempunyai sebuah ciri diskursif.

Selain menunjukkan kekuatan teori diskursus, F Budi Hardiman juga berhasil dalam mengurai betapa teori diskursus mengandung beberapa kesulitan dalam aplikasinya dalam politik riil. Rekonstruksi negara hukum demokratis lewat teori diskursus tersebut dalam arti tertentu memperlemah unsur-unsur kritis yang masih terkandung di dalam karyakarya Habermas yang terdahulu.

Melalui karya ini, filsuf kelahiran Semarang yang genap berusia 47 tahun pada 31 Juli 2009 nanti ini semakin mengokohkan eksistensi bahwasanya ia merupakan tokoh pemikir yang konsisten memperkenalkan pemikiran-pemikiran pembaru Mazhab Frankfurt Jurgen Habermas,khususnya di Indonesia.

Pada akhirnya, meminjam istilah Franz Magnis-Suseno dalam komentarnya,buku ini tidak hanya memperkenal kan pemikiran Habermas tentang demokrasi,melainkan juga memiliki relevansi tinggi bagi kita di Indonesia.(*)

Benni Setiawan,
Mahasiswa Program Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga,Yogyakarta

Sabtu, 01 Agustus 2009

Perguruan Tinggi Bukan Pabrik



Kampus, Suara Merdeka,01 Agustus 2009

Mutu menjadi hal penting bagi sebuah perguruan tinggi (PT). Sebuah PT akan mendapatkan banyak mahasiswa apabila di dalamnya terdapat penyelenggaraan pendidikan, dosen, penelitian, serta sarana dan prasana yang bermutu. Tanpa hal tersebut, sulit bagi PT bertahan di tengah banyaknya lembaga pendidikan tinggi saat ini.

DALAM konteks Indonesia, penjaminan mutu sebuah perguruan tinggi berada pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Juni lalu, Dikti mempublikasikan hasil evaluasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi (SPMIPT) di seluruh Indonesia.

Dari 387 PT yang telah diberi instrumen dan dinilai, Dikti memutuskan hanya 68 universitas/institut/sekolah tinggi yang layak disebut berpredikat good practices dalam pelaksanaan penjaminan mutu (quality assurance). Artinya, hanya 17,6 persen PT di Indonesia yang disebut ’’bermutu’’ dalam perspektif Dikti.

Beberapa kampus yang berhak menyandang predikat good practice dalam pelaksanaan penjaminan mutu adalah UI (Depok), ITB (Bandung), UGM, Universitas Atmajaya, Universitas Islam Indonesia (ketiganya di Yogyakarta), UNS (Solo), Universitas Bina Nusantara (Semarang), Universitas Airlangga, STIE Perbanas (keduanya di Surabaya), Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang, Universitas Merdeka, Universitas Kanjuruhan, Universitas Muhammadiyah Malang (kelimanya di Malang), dan Universitas Jember.

Dasar penilaian yang digunakan Dikti meliputi kurikulum, proses pembelajaran, kompetensi (mahasiswa, lulusan, dosen), suasana akademik, sarana-prasarana, keuangan, penelitian dan publikasi, pengabdian kepada masyarakat, manajemen lembaga, sistem informasi, serta kerjasama dalam dan luar negeri.

Artikel ini berusaha menerjemahkan beberapa indikator yang ditetapkan Dikti, namun hanya akan menganalisis beberapa indikator saja, yaitu kurikulum, proses pembelajaran, kompetensi (mahasiswa, lulusan, dosen), serta penelitian dan publikasi.

Masih Minim

Pertama, kurikulum. Kurikulum masih menjadi kendali Dikti. Inovasi PT yang diwakili rektor, dekan, dan dosen sangat minim, karena kurikulum berkaitan erat dengan akreditasi sebuah perguruan tinggi.

Minimnya inovasi PT menjadikan produk atau lulusan sama: sama-sama tidak mandiri! Padahal kurikulum buatan pemerintah masih berorientasi pasar. Belum ada terobosan berani dari pemerintah maupun PT untuk menjadikan mahasiswa mandiri dan bisa berkarya sesuai dengan bidang yang ditekuni.

Tidak aneh jika banyak lulusan PT menjadi penganggur terbuka. Mereka hanya berusaha bekerja dan mencari kerja jika ada lowongan baik dari institusi swasta maupun pemerintah (CPNS).

Kedua, proses pembelajaran. Proses pembelajaran di PT tak ubahnya seperti pabrik. Mahasiswa dimasukan dalam kelas, diajar oleh dosen, diminta mengerjakan tugas, mengikuti aturan main, dan melaksanakan ujian tengah semester dan akhir semester.

Proses pembelajaran pun hanya searah. Upaya menjadikan kelas sebagai milik mahasiswa —sementara dosen sekadar fasilitator— sulit dilakukan. Paradigma yang dibangun para mahasiswa adalah cepat lulus dengan nilai memuaskan (bahkan cum laude). Setelah itu menjadi PNS atau bekerja di kantor swasta dengan penghasilan lumayan.

Dosen pun bekerja sekadar menjalankan tugas dan berkeinginan materi yang diajarkan cepat selesai. Tidak ada ruang kritis dalam proses belajar-mengajar. Jika pun ada, banyak ketimpangan di dalamnya.

Misalnya, dosen siap dengan banyak bacaan, mahasiswa hanya mlongo (tidak paham). Sebaliknya, mahasiswa kritis dengan banyak bacaan, tetapi dosen justru tidak siap, antikritik, bahkan killer.

Belum Dilirik

Ketiga kompetensi (mahasiswa, lulusan, dosen). Kompetensi mahasiswa umumnya hanya diukur dari kesesuaian bidang yang digeluti. Biasanya diukur dari keaktifannya dalam unit kegiatan mahasiswa (UKM). Kompetensi mereka dalam karya tulis di berbagai media massa seringkali belum dilirik dan dinilai Dikti.

Lulusan pun demikian. Lulusan yang baik adalah mereka yang dapat bekerja menjadi PNS. Lulusan yang bekerja di sektor informal belum mendapatkan tempat.

Demikian halnya dengan dosen. Masih banyak dosen PTN maupun PTS yang mengajar bukan pada bidang kompetensinya. Masih banyak dosen mengajar 3-4 mata kuliah.

Jika masih serumpun mungkin dapat dimaklumi. Namun, jika sudah tidak ada hubungannya, ini yang menjadi masalah besar. Sebab, mata kuliah diajarkan oleh orang yang tidak kompeten. Bagaimana mungkin mahasiswa dapat paham dan kritis jika dosennya tidak menguasai mata kuliah yang diajarkan?
Keempat, penelitian dan publikasi.

Penelitian dan publikasi yang dilakukan peneliti dan PT di Indonesia masih minim, terutama dalam jurnal-jurnal internasional. Menurut data, hanya 0,87 artikel ilmiah per 1 juta penduduk Indonesia. Padahal Malaysia sudah mencapai 21,30 dan India sebesar 12,00 (Kompas, 13 Juli 2009).

Melihat data tersebut, dosen dan peneliti di Indonesia mesti bangkit dari keterpurukan. Sudah saatnya tidak sekadar hobi mengajar, namun juga hobi meneliti dan menulis. Tanpa hal itu, sulit perguruan tinggi di Indonesia bersaing dengan negara lain.

Sudah saatnya seluruh komponen PT sadar mengenai mutu yang masih jauh dari standar. Perguruan tinggi bukanlah pabrik tempat mencetak sebanyak-banyaknya manusia siap kerja.

Perguruan tinggi punya tugas dan tanggung jawab mencerdaskan kehidupan dan memandirikan bangsa dan negara. (32)

—Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Revitalisasi Pasar Tradisional



Kontan, Jum’at, 30 Juli 2009

Benni Setiawan
Peneliti Lentera Institute

Di dalam pasar tradisional terdapat interaksi antara pedagang dan pembeli, yang tidak dapat ditemui di dalam pasar modern.

Masuknya raksasa ekonomi pasar dunia seperti Carrefour, Giant, Hypermarket, Diamont, dan seterusnya tentunya berdampak buruk bagi keberadaan pasar tradisional. Pasar tradisional semakin terdesak mundur, sepi pengunjung, pedagang merugi (gulung tikar) dan semakin kumuh.
Berdasarkan penelitian AC Nielsen pada tahun 2005-2006, pertumbuhan pasar tradisional mengalami penurunan sebesar 8,1% karena terdesak oleh pasar modern yang tumbuh hingga 31,4%.
Guna mencegah semakin sedikitnya pasar tradisional di Indonesia pemerintah melalui Departemen Perdagangan ataupun Kementerian Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah tetap akan melanjutkan program revitalisasi pasar tradisional yang sudah mulai dirintis sejak awal tahun 2003.
Pada tahun 2008 Departemen Perdagangan telah merevitalisasi 104 pasar dengan dana Rp. 167 miliar. Menurut Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, selama tahun 2009 pasar tradisional yang ditangani Departemen Perdagangan mencapai 57 unit dengan nilai Rp. 100 miliar. Adapun stimulus untuk pasar tradisional sebanyak 37 unit senilai Rp. 215 miliar.
Lebih lanjut, Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Meneg Koperasi dan UKM), Suryadharma Ali menjelaskan, anggaran stimulus fiskal sesuai daftar isian pelaksaan anggaran (DIPA) tahun 2009 sebesar Rp. 100 miliar telah digunakan untuk membangun 91 unit pasar tradisional di 86 kabupaten/kota dan 13 sarana pedagang kaki lima di 13 kabupaten/kota. Proyek ini diharapkan dapat menyerap 37.400 tenaga kerja (naker).
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana merevitalisasi pasar tradisional di tengah semakin merangseknya pasar-pasar modern?

Membatasi pasar modern
Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah; Pertama, revitalisasi pasar tradisional yang dilakukan oleh pemerintah tidak boleh hanya memerhatikan kondisi pasar, volume perdagangan, ketersediaan lahan untuk perbaikan pasar, desain rencana perbaikan pasar, melainkan juga perlu membatasi tumbuhnya pasar modern.
Revitalisasi pasar tradisional tanpa membatasi tumbuhnya pasar modern tidak ada gunanya. Ketika program revitalisasi pemerintah hanya dalam bentuk fisik tanpa memperbaiki regulasi dalam menekan jumlah pasar modern, maka program ini hanya akan semakin mematikan sektor usaha riil masyarakat kecil.
Pembatasan jumlah pasar tradisional sudah berhasil dilakukan oleh Bupati Bantul Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, Idham Samawi. Idham Samawi hanya memberi izin kepada 73 pasar modern skala kecil di wilayahnya. Dengan kebijakan ini, pasar tradisional di Bantul dapat bertahan walaupun pendapatannya menurun.
Kedua, pemerintah daerah juga harus berani menata keberadaan pasar modern. Pendirian pasar modern harus jauh dari keberadaan pasar tradisional.
Ketiga, pemerintah melalui badan terkait perlu memerhatikan persaingan harga. Persaingan harga perlu dikelola dengan baik agar tidak merugikan pihak lain. Pedagang kecil yang menggunakan pasar tradisional tentunya akan kehilangan pelanggannya, karena mereka memilih berbelanja ke pasar modern dengan harga lebih murah.

Ruh perdagangan bangsa
Pasar tradisional merupakan ruh perdagangan bangsa Indonesia. Pasalnya, di dalam pasar tradisional terdapat interaksi antara pedagang dan pembeli, yang tidak dapat ditemui di dalam pasar modern. Interaksi, tawar-menawar, canda riang yang sesekali diselingi rasa ketidaksukaan, merupakan bagian dari budaya masyarakat Indonesia yang semakin asing, di tengah semakin banyaknya masyarakat berbelanja di pasar modern.
Maka dari itu, revitalisasi pasar tradisional pada dasarnya bukan hanya persoalan teknis, melainkan bagaimana mengubah cara pandang masyarakat. Yaitu, berbelanja di pasar tradisional bukan berarti kuno dan antimodernisme. Berbelanja di pasar tradisional pada dasarnya merupakan bentuk penghargaan diri sendiri dan menguji kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
Pada akhirnya, keberadaan pasar pasar tradisional sudah saatnya diuri-uri (dilestarikan). Salah satunya adalah dengan mengajak anggota keluarga berkunjung dan berbelanja di pasar tradisional.