Search

Senin, 25 Mei 2009

Kritik Habermas atas Masyarakat




Resensi, Koran Seputar Indonesia, Minggu, 24 Mei 2009

Jurgen Habermas merupakan tokoh cukup fenomenal abad ini.Dia seorang tokoh pembaru dari Mazhab Frankfurt,Jerman,sebuah aliran pemikiran yang digawangi oleh Max Horkheimer,Theodor Adorno,dan Herbert Marcuse.

Tidak hanya itu, Habermas juga ”pendobrak kebuntuan” berpikir ala Mazhab Frankfurt. Ia mampu memadukan dan melampaui tradisi berpikir pendahulunya, tanpa harus terjebak dalam dikotomi salah dan benar. Kecemerlangan filsuf Jerman kontemporer ini semakin tampak ketika ia pindah dari Universitas Frankfurt ke Max Planck Institute di Starnberg dan menulis karya besar berjudul Theorie des Kommunikativen Handelns (diterjemahkan dalam bahasa Inggris The Theory of Communicative Action).

Melalui karya ini Habermas secara brilian mendialogkan teori kritisnya yang disebut ”Teori Tindak Kritis” dengan tradisi besar ilmu-ilmu sosial modern. Melalui teorinya ini,Habermas beranggapan bahwa kekuasaan semestinya tidak dilegitimasikan, tapi dirasionalisasikan. Rasionalisasi di sini tidak dimengerti dalam paradigma kerja, tapi dalam paradigma komunikasi.

Artinya, kekuasaan harus dicerahi dengan diskusi rasional yang bersifat publik agar anggota masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam menentukan perkembangan politik, termasuk mengarahkan kemajuan teknis masyarakat. Habermas tidak memandang rasionalisasi kekuasaan sebagai ide normatif belaka.

Dia melihat tren itu mendasar dalam proyek modernisasi, dan arah-arah itu memang dapat dibaca dalam perkembangan politik modern. Rasionalitas adalah aspirasi modernitas. Namun, ide rasionalisasi kekuasaan ini akan bersifat normatif jika dihadapkan pada politik yang miskin partisipasi.

Artinya, ide itu memerlukan perjuangan untuk dapat diwujudkan dalam realitas, dan ini mengandaikan kehendak politis yang dilandasi oleh kepercayaan atas rasionalitas. Mempertanyakan relevansi pandangan ini bagi sebuah masyarakat sama dengan mempersoalkan kepercayaan pada rasionalitas dalam masyarakat itu sendiri.

Jadi,secara hipotesis dapat dikatakan, kiranya rasionalisasi kekuasaan sulit diwujudkan selama belum ada perjuangan untuk rasionalisasi dalam dunia akademis dan masyarakat,dan selama penghuni dunia politik bersikap defensif terhadap kritik rasional serta menghambat perkembangan (embrio) institusi-institusi diskusi publik dalam masyarakat.

Dalam arti ini, rasionalisasi merupakan proyek modernisasi yang belum usai. Kehadiran buku Menuju Masyarakat Komunikatif karya F Budi Hardiman sangat relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini,yang kini diwarnai hirukpikuk pesta demokrasi. Melalui buku ini, penulis seakan mengingatkan segenap warga bangsa bahwa gegap-gempita pemilu Indonesia sudah saatnya tidak dipandang sebagai gejala atau jalan memperoleh kekuasaan semata.

Namun, pemilu sebagai jalan untuk meraih kekuasaan tersebut dapat menyentuh aspek riil dalam masyarakat sebab kekuasaan tidak hanya berkutat pada bagaimana memperoleh kursi, kedudukan, dan jabatan. Lebih dari itu, kekuasaan merupakan manifestasi nyata dari sistem kebenaran yang harus terus diperjuangkan.

Lebih dari itu,melalui buku ini, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta ini ingin memperlihatkan pendirian Habermas yang sangat penting bahwa sejauh diarahkan oleh sistem kapitalisme, masyarakat modern akan terus menyingkirkan solidaritas sosial sebagai aspek terpenting dalam kehidupan bersama.

Habermas yakin bahwa imperatif pasar kapitalis dan patologi sosial yang diakibatkannya dapat diatasi dengan penguatan solidaritas sosial melalui praksis komunikasi. Mengingat krisis solidaritas sosial terus berkembang bahkan dalam skala lebih besar di era globalisasi pasar dewasa ini, kritik Habermas yang diulas dalam buku ini tetap relevan untuk masyarakat kita.

Buku ini pembahasan komprehensif atas karya-karya Habermas mengenai sains, modernitas, dan postmodernisme yang telah mengangkatnya menjadi intelektual kelas dunia. Penulis kelahiran Semarang, 31 Juli 1962 ini mampu menelaah karya-karya besar Habermas dengan apik dan cermat tanpa harus terjebak pada kultus individu yang berlebihan.

Di tangan F Budi Hardiman, yang juga staf pengajar di Universitas Pelita Harapan, Jakarta ini,karya Habermas begitu renyah dan mampu melampaui batasbatas tradisi berpikir dan menohok realitas masyarakat modern. F Budi Hardiman dengan ketekunannya juga mampu menerjemahkan adikarya Habermas,tanpa mengurangi makna substansialnya, begitu penting untuk dibaca sebagai alat baca baru dalam menafsir realitas masyarakat yang semakin kompleks.

Karena itu, siapa saja yang ingin mengenal lebih dekat filsuf kelahiran 18 Juni 1929, di Dusseldorf, Jerman ini wajib membaca karya ini. Buku Menuju Masyarakat Komunikatif karya alumnus Hochschule fur Philosophie Munchen, Jerman,2001 ini memusatkan perhatian pada ilmu-ilmu sosial yang berkembang dewasa ini.Ilmu-ilmu sosial ini memuat diskursus filosofis.

Buku ini tidak terlalu tebal, tapi mungkin sulit dibaca oleh mereka yang kurang terbiasa dengan filsafat. Akan tetapi,dengan ketekunan dan kesabaran,kita akan menemukan bahwa buku ini menelusuri sebuah petualangan filosofis yang sangat menarik. Dengan kecermatan lebih tinggi, kita akan menemukan bahwa buah karya ini sebuah kritik mendasar terhadap masyarakat kapitalis yang telah mendarah daging dalam seluruh aspek kemanusiaan.

Benni Setiawan,
mahasiswa Program Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga,Yogyakarta

Senin, 18 Mei 2009

Nasionalisme ala Sukarno



Surabaya Post, Jumat, 15 Mei 2009 | 13:52 WIB

Iki dadaku, endi dadamu
Rawe-rawe rantas, malang-malang putung



Oleh Benni Setiawan
Analisis Sosial, Peneliti Lembaga Ma’rifat Indonesia.


Kata-kata tersebut di atas adalah teriakan lantang Presiden RI pertama Sukarno atau yang sering disapa dengan Bung Karno. Teriakan penuh keberanian ini mengiringi barisan siap tempur dalam misi “Ganyang Malaysia” pada tahun 1963. Semboyan “Ganyang Malaysia” dipicu oleh pernyataan Perdana Menteri Malaysia Tunku Abdul Rahman Putra (8 Februari 1903-6 Desember 1990) yang mendeklarasikan Kerajaan Federasi Malaysia. Hal ini sontak menimbulkan “amarah” bangsa Indonesia. Presiden Sukarno atas nama bangsa Indonesia, menyerukan kepada seleruh rakyat untuk berperang melawan Kerajaan Federasi Malaysia. Hal ini disebabkan, Kerajaan Federasi dianggap sebagai “antek” atau wujud neo-kolonialisme Inggris dan Amerika Serikat.

Konfrontasi Indonesia-Malaysia berlanjut ketika Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB pada tahun 1965. Dan Indonesia kala itu menyatakan keluar dari keanggotaan PBB. Sejak saat itulah, Indonesia memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Malaysia.

Hampir 34 tahun peristiwa tersebut berlalu. Apa yang terjadi dengan bangsa Indonesia sekarang? Alih-alih melakukan konfrontasi, pemerintah Indonesia terlihat santai seperti tidak ada masalah genting yang mengancam eksistensi atau kedaulatan negara. Malah perwakilan Indonesia menghadiri Hari Kemerdekaan Malaysia ke 50 tahun yang jatuh pada tanggal 31 Agustus 2008.

Padahal, Donald Peter Luther Kolopita duta olah raga (resmi) bangsa Indonesia sudah dianiaya oleh empat oknum polisi diraja Malaysia tanpa sebab yang jelas. Perlakukan tersebut menyulut emosi anak bangsa. Demonstrasi marak di pelbagai daerah. Akan tetapi, maraknya demonstrasi ini merupakan puncak gunung es (kemarahan) perlakuan pemerintah Malaysia terhadap bangsa Indonesia.

Sebelumnya, banyak tenaga kerja Indonesia (TKI) harus dipulangkan dengan paksa dan peti mati. Kasus terakhir, mengenai TKI yang meninggal di Malaysia adalah Kurniasih. Bahkan Migrant Care juga menemukan data bahwa TKI bernama Sumarmi ditemukan tewas di Malaysia pada tanggal 25 Agustus 2007 lalu.

Sebelumnya, pada tahun 2004, pemerintah Malaysia telah memulangkan dengan paksa sekitar 700.000 TKI bermasalah. Lebih lanjut, banyak diantara mereka disiksa dan tidak dibayar hak-haknya sebagai tenaga kerja. Data yang dikeluarkan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) menyatakan tidak kurang dari 100 TKI di Malaysia setiap tahun disiksa oleh majikan dan tidak dibayarkan hak-haknya.

Perlakuan tidak manusiawi itu hanya ditanggapi sebagai resiko kerja. Tidak ada langkah berani pemerintah Indonesia untuk melaporkannya kepada Mahkamah Internasional sebagai tindakan melanggar hak asasi manusia (HAM). Pemerintah Indonesia sepertinya cukup menikmati hasil jerih payah mereka berupa devisi negara.

Devisa yang masuk dari sekitar 2,7 juta tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri pada akhir tahun 2006 diperkirakan mencapai 3,4 miliar dolar AS atau setara Rp. 30,6 trilyun. Jumlah ini masih kalah jauh dibandingkan dengan sumbangan 8 juta buruh migran Filipina bagi negaranya yang berkisar 14 miliar dolar AS-21 miliar dolar AS pertahun (Kompas, 9/06/2007).

Akan tetapi, apa balasan dari pemerintah Indonesia? Pemerintah tidak peduli dan acuh terhadap mereka. Perkara Nirmala Bonat, TKI yang mengajukan tuntutan hukum kepada majikannya empat tahun lalu pun hingga kini belum menampakan hasil. Dalam wawancara dengan sebuah stasiun televsisi, Nirmala Bonat mengaku sudah letih menghadapi persidangan yang selalu ditunda-tunda. Ia sekarang ingin pulang ke-Indonesia dan hidup wajar bersama keluarganya di nusa tenggara timur (NTT).

Tidak ada sedikit pun pembelaan hukum dari pemerintah Indonesia mengenai permasalahan ini. Pendek kata, persoalan TKI yang dapat merusak citra bangsa bukanlah masalah besar. Masalah yang penting bagi pemerintah Indonesia adalah bagaimana meningkatnya pemasukan devisa negara dari hasil jerih payah TKI di luar negeri.



Citra bangsa

Citra atau pamor bangsa ini telah hilang. Bangsa berdaulat dengan berbagai macam potensi alam hanya dianggap sebagai “sampah” dalam percaturan dunia. Bangsa Indonesia adalah “bangsa babu” yang patut untuk disiksa dan dikebiri hak-haknya.

Guna mengangkat citra atau pamor bangsa Indonesia di luar negeri, sudah saatnya pemimpin bangsa Indonesia sekarang belajar kepada foundhing fathers dan guru bangsa, seperti Sukarno. Berani mengambil sikap dan tegas dalam menentukan arah kebijakan negara.

Bung Karno berani mengambil langkah tegas karena ia merasa bangsa Indonesia kaya. Ia tidak takut pada tekanan Inggris dan Amerika Serikat. Bangsa Indonesia adalah bangsa berdaulat penuh. Maka tidak ada satu pun kekuatan yang mampu (baca: bleh) mendikte kebijakan sebuah negara berdaulat.

Ketika pemimpin bangsa Indonesia saat ini masih saja takut kepada kekuatan neo-kolonialisme Inggris dan Amerika Serikat, maka bangsa ini akan tetap menjadi bulan-bulanan dan dianggap remeh oleh bangsa lain.

Pada akhirnya, semangat nasionalisme ala Sukarno sudah saatnya dibangkitkan kembali. Pemimpin bangsa ini harus berani menyatakan tidak kepada korporasi internasional, meninjau kontrak karya dengan negara asing, sehingga aset bangsa dapat digunakan sepenuhnya oleh anak negeri, tanpa harus “ngemis” ke negeri Jiran, Malaysia. Wallahu a’lam.

Minggu, 17 Mei 2009

Guru Kami Bukan Penjahat

Surya, Jumat, 15 Mei 2009

Jika guru bertindak keras karena didasari tekanan ekonomi (gaji kecil), maka yang perlu dihukum adalah pemerintah. Hal ini karena, pemerintah sebagai pemegang otoritas kenegaraan tidak mampu menyejahterakan pendidik yang mengabdi untuk bangsa dan negaranya. Kesejahteraan guru menjadi kata kunci jika masyarakat dan pemerintah mengidamkan guru sebagai sosok yang ideal. Tanpa gaji dan kesejahteraan yang memadai, guru akan terus tertekan oleh kebutuhan hidup.

PENGANIAYAAN ringan yang dilakukan Sumarno, Guru SMPN 1 Kawedanan, Magetan, Jawa Timur, berbuntut panjang. Ia dijatuhi hukumun dua bulan penjara dengan masa percobaan dua bulan oleh Pengadilan Negeri Magetan. Tak pelak putusan yang dijatuhkan pada 21 April 2009, mengundang reaksi dari kalangan guru dan pemerhati pendidikan. Forum guru yang tergabung dalam musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes), Paguyuban Solidaritas Guru, dan LSM pendidikan Solidaritas Generasi Muda (SGM), Magetan, berunjuk rasa menuntut pembebasan Sumarno.

Sumarno dinyatakan bersalah karena telah melakukan tindak kekerasan terhadap peserta didiknya. Apa yang dialami oleh Sumarno merupakan pukulan telak bagi dunia pendidikan Indonesia. Seorang guru (pendidik), yang mendidikan peserta didiknya dinyatakan bersalah karena melakukan tindakan yang konon merugikan peserta didik.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah guru dalam melakukan tindak kekerasan harus diposisikan sebagai pihak yang selalu bersalah? Siapa yang pantas dihukum atas tindakan guru ini?

Tak Berguna
Kesejahteraan guru di negeri ini sungguh memilukan. Banyak guru yang hanya dibayar Rp 50.000 per bulan. Sistem pendidikan di Indonesia yang menempatkan guru dalam posisi “mulia” tidak diimbangi oleh kesejahteraannya. Guru dibiarkan “hidup mandiri” tanpa bantuan dari pemerintah. Pemerintah sepertinya ingin membiarkan, kalau tak mau disebut menelantarkan guru. Guru dininabobokan dengan rayuan dan panggilan yang menyenangkan seperti digugu lan ditiru, pahlawan tanpa tanda jasa, dan seterusnya.
Sistem pendidikan yang menempatkan guru dalam posisi mulia itu tidak ada gunanya. Guru dibiarkan miskin oleh sistem yang tidak pernah memihak. Janji kenaikan gaji dan tunjangan guru melalui program sertifikasi tidak pernah dipenuhi. Maka guyonan, “kalau lulus sertifikasi pemerintah akan menggaji guru dengan yen”, maksudnya, “yen sido lan yen ono”, berkembang di kalangan guru.
Gaji kenaikan guru melalui anggaran pendidikan 20 persen masih meninggalkan tanda tanya. Pemerintah “berencana” menggaji guru minimal Rp 2 juta per bulan pada Januari 2009. Namun itu hanya untuk guru dengan status pegawai negeri sipil (PNS). Gaji guru swasta tetap seperti dahulu, ditanggung yayasan, yang notabene hidup dari seberapa banyak peserta didik. Hingga April 2009, realisasi untuk PNS, masih nol besar.
Ironisnya, jika seorang oknum guru melakukan kesalahan, seperti memukul, melakukan tindak asusila, dan sebagainya, masyarakat dan pemerintah buru-buru “menghukum” mereka. Kalau perlu, sebelum diproses di pengadilan, seorang guru dihakimi massa. Bila perlu harkat dan martabat guru dijatuhkan, tanpa pernah berpikir bahwasanya mereka telah mendidik kita.
Media ikut menyebarkan, guru diposisikan dalam pesakitan. Guru dianggap dewa atau Tuhan yang tidak dapat (boleh) salah. Jika melakukan kesalahan, ia berhak dihukum dengan sistem perundang-undangan yang berlaku. Padahal, kita tidak pernah tahu, mengapa seorang oknum guru melakukan tindak kekerasan terhadap peserta didiknya. Guru adalah manusia biasa yang tidak luput dari salah. Ia dapat berbuat apa saja karena tekanan hidup seperti tetap menjaga dapur isteri tetap mengepul. Anak-anak mereka juga butuh biaya hidup, dan lain sebagainya. Di sisi lain, gaji guru tidak pernah naik. Jika naik, harga kebutuhan pokok sudah melambung lebih dulu.

Menghukum Pemerintah
Jika guru bertindak keras karena didasari tekanan ekonomi (gaji kecil), maka yang perlu dihukum adalah pemerintah. Hal ini karena, pemerintah sebagai pemegang otoritas kenegaraan tidak mampu menyejahterakan pendidik yang mengabdi untuk bangsa dan negaranya. Kesejahteraan guru menjadi kata kunci jika masyarakat dan pemerintah mengidamkan guru sebagai sosok yang ideal. Tanpa gaji dan kesejahteraan yang memadai, guru akan terus tertekan oleh kebutuhan hidup.
Ketika kondisi guru tidak stabil, dalam proses pendidikan tidak akan berjalan baik. Konsentrasi guru pecah, memikirkan kondisi hidupnya dan bagaimana mendidik peserta didiknya. Belum lagi menghadapi tingkah laku peserta didik yang macam-macam, yang seringkali menjadikan guru jengkel dan mudah marah. Kemarahan guru sudah saatnya dipandang dalam kerangka akademis. Artinya, kita tidak boleh hanya memandang dan menyalahkan guru disatu sisi.

Guru harus dipandang secara utuh dan menyeluruh, bahwa ia pendidik, ya, tetapi, ia juga butuh gaji yang layak untuk menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya. Pemerintah tidak boleh diskriminatif dalam sistem penggajian. Mengotak-kotakan guru dalam guru swasta yang digaji oleh yayasan sesuai kemampuan pengelola dan guru negeri yang digaji dengan APBN hanya akan semakin “menyulut emosi” pendidik.

Tindak kekerasan oleh guru karena tekanan hidup dan gaji rendah sudah saatnya diselesaikan oleh pemerintah dengan bijak. Pemerintah sudah saatnya adil dalam sistem penggajian. Jika pemerintah belum mampu berbuat adil, ia tidak boleh dengan serta merta menghukum guru karena guru mempunyai keterbatasan.

Pada akhirnya, masyarakat sudah saatnya tidak mudah emosi menghadapi permasalahan guru. Masyarakat seyogianya memandang guru sebagai manusia biasa yang punya kelebihan dan kelemahan. Masyarakat harus paham kondisi psikologis guru yang digaji rendah di tengah melambungnya harga-harga kebutuhan pokok di pasaran.

Benni Setiawan
Penulis buku Agenda Pendidikan Nasional (2008)

Guru, Riwayatmu Kini

Kompas edisi Jatim, Rabu, 13 Mei 2009

Nestapa bagi Pak Guru Sumarno. Guru SMPN 1 Kawedanan, Magetan ini, divonis dua bulan dengan masa percobaan empat bulan kurungan pada 21 April lalu. Sumarno dinyatakan bersalah karena ”menganiaya” peserta didiknya. Keputusan pengadilan tersebut sontak membuat Paguyuban Solidaritas Guru, Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Penjaskes, dan LSM pendidikan Solidaritas Generasi Muda (SGM), Magetan meradang. Mereka menuntut Sumarno dibebaskan dan dipulihkan nama baiknya.
Kasus yang menimpa Sumarno, sungguh di luar kewajaran. Artinya, seorang guru dinyatakan bersalah karena mendidik peserta didiknya. Jika seluruh guru yang mendidik dengan agak keras dijatuhi hukuman, maka tamatlah riwayat pendidikan. Pertanyaan yang muncul kemudian bagaimana melindungi martabat guru?

Tidak ada gunanya
Sistem pendidikan di Indonesia yang menempatkan guru dalam posisi “mulia” ternyata tidak diimbangi oleh kesejahteraannya. Guru dibiarkan “hidup mandiri” tanpa bantuan dari pemerintah. Pemerintah sepertinya ingin membiarkan--kalau tidak mau disebut menelantarkan guru. Guru dininabobokan dengan rayuan dan panggilan-panggilan yang menyenangkan seperti digugu lan ditiru, pahlawan tanpa tanda jasa, dan seterusnya.
Sistem pendidikan yang menempatkan guru dalam posisi mulia tersebut tidak ada gunanya. Hal ini karena, guru dibiarkan miskin oleh sistem yang tidak pernah memihak. Janji kenaikan gaji dan tunjangan guru melalui program sertifikasi tidak pernah dipenuhi. Hingga kini insentif tersebut masih dalam rancangan anggaran pemerintah. Konon, insenstif ini akan turun menjelang pemilihan presiden (pilpres). Jika benar terjadi, maka bisa katakan insentif syarat muatan politis.
Ironisnya, jika seorang oknum guru melakukan kesalahan, seperti memukul, masyarakat dan pemerintah buru-buru “menghukum” mereka. Bahkan, kalau perlu sebelum diproses di pengadilan, seorang guru dihakimi oleh massa, sebagaimana terjadi di Tapanuli, Sumetera Utara sekian bulan lalu.
Melalui pemberitaan media massa yang gencar, sepertinya guru diposisikan dalam pesakitan. Guru dianggap Dewa atau bahkan Tuhan yang tidak dapat (boleh) melakukan kesalahan. Jika melakukan kesalahan, maka ia berhak dihukum dengan sistem perundang-undangan yang berlaku.
Padahal kita tidak pernah tahu, mengapa seorang oknum guru melakukan tindak kekerasan terhadap peserta didiknya. Guru adalah manusia biasa yang tidak luput dari salah. Ia dapat berbuat apa saja karena tekanan hidup. Seperti, tetap menjaga dapur isteri tetap mengepul, anak-anak mereka juga butuh biaya hidup, dan lain sebagainya. Namun, di sisi lain, gaji guru tidak pernah naik. Jika naik pun, harga kebutuhan pokok sudah melambung terlebih dahulu. Tekanan mental dan psikis guru ini perlu dipelajari lebih lanjut.

UU Perlindungan Profesi Guru
Kemudian bagaimana melindungi martabat guru? Pemerintah harus segera merealisasi UU Perlindungan Profesi Guru. Dengan UU ini seorang guru akan terlindungi martabatnya. UU ini akan menjamin ”keberlangsungan hidup” seorang guru. UU ini akan mengatur bagaimana hubungan guru dengan peserta didik, guru dengan masyarakat dan guru dengan pemerintah.
UU Perlindungi Profesi Guru juga akan dapat menjamin kesejahteraan guru. Dengan UU ini pemerintah tidak bisa dengan serta merta mencampakkan guru sebagaimana buruh kasar. Guru akan terjamin haknya sebagai tenaga pendidik dan pemerintah berkewajiban untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
UU ini juga menjadi bukti pemihakan pemerintah kepada guru. Guru tidak lagi menjadi ”bancakan” politik menjelang pemilu. Guru mempunyai kedaulatan hukum dan kemandirian. Sebagaimana ada dalam UU Pers yang menjamin wartawan sebagai pewarta independen dan jauh dari intervensi pihak manapun juga.
Namun, tampaknya hingga saat ini pemerintah masih sibuk dengan urusan politik. Nasib guru dikesempingkan sebagaimana bidang-bidang lain. Guna menjembatani kebuntuan ini, pemerintah daerah, dalam hal ini DPRD (C.q. Gubernur, dan atau Bupati/Wali Kota) berkewajiban membuat peraturan untuk perlindungan profesi guru.
Peraturan ini akan mampu memecah kebuntuan sistem pendidikan yang diakibatkan oleh semakin banyaknya guru yang diajukan ke ”meja hijau”. Jika tidak segera dibuat peraturan tersebut, guru akan takut mengajar karena dibayang-bayangi ancaman hukuman. Lebih dari itu, akan semakin banyak peserta didik yang tidak dididik sebagaimana mestinya karena banyak guru mogok mengajar.
Semoga vonis bersalah bagi Pak Guru Sumarno, tidak terjadi lagi di masa yang akan datang, dengan adanya UU Perlindungan Profesi Guru. Sudah saatnya guru diletakkan pada maqam (kedudukan) yang mulia. Tidak hanya dalam angan-angan namun juga, dalam kehidupan nyata.

*)Benni Setiawan, Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia (2006)

Senin, 04 Mei 2009

Kiai dan Media Massa



Harian Joglosemar, Senin, 4 Mei 2009

Kiai merupakan tokoh masyarakat. Bahkan Azra, menyamakan guru dengan Kiai. Guru dan Kiai sebenarnya figur yang sama, mesti dalam wilayah kultural yang berbeda. Guru mengajar di lingkungan pendidikan modern (negara), sedangkan Kiai berada di lingkungan pendidikan tradisional pada masyarakat santri.
Namun demikian, keduanya sama-sama mereproduksi dari narasi-narasi agung, yaitu negara dan agama. Dalam proses reproduksi tersebut, mereka mengajarkan kebajikan dalam kehidupan. Tindakan dan perbuatannya begitu santun, setiap orang akan menaruh rasa hormat. Karena setiap kali guru datang, murid-muridnya menyambut dengan mencium tangan, merebut membawakan tas dan sepedanya (Zainuddin Maliki: 2004).
Lebih dari itu, Kiai adalah corong bagi kehidupan umat. Namun, di tengah tanggung jawab yang berat tersebut, Kiai dan pesantren belum mampu mengakses media massa (koran) sebagai portal informasi aktual. Padahal koran merupakan ”buku harian” yang wajib dibaca oleh siapa pun. Koran menyediakan topik dan pembahasan yang hangat dari penjuru negeri maupun dunia. Dengan koran, komunitas pesantren sebagai basis pendidikan dan Kiai sebagai pemimpin masyarakat akan berlangsung budaya baca yang kritis dan mencerahkan. Membaca koran akan sangat membantu kiprah seorang Kiai sebagai pemimpin masyarakat.
Sebagaimana diketahui, Kiai merupakan tokoh yang tidak pernah lepas dari budaya baca. Kiai selalu membaca kitab suci dan kitab kuning setiap saat. Bahkan, saking seringnya membaca kitab tersebut, banyak Kiai yang hafal di luar kepala. Maka tak aneh jika seorang Kiai jauh dari penyakit pikun. Walaupun Kiai sudah sepuh, ia tetap memiliki ingatan dan hafalan yang kuat mengenai ilmu-ilmu agama. Pendek kata, Kiai dan budaya baca bukanlah hal baru di pesantren, terutama dalam membaca kitab suci dan kitab kuning.
Akan tetapi, sebagaimana disinggung di muka, masih sedikit —untuk menyatakan tidak ada— Kiai yang gemar membaca kitab putih, dalam hal ini koran. Koran bagi sebagian Kiai belum seakrab dengan kitab kuning yang telah ditulis puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Koran belum menjadi konsumsi harian di kalangan pesantren dan Kiai.
Kitab kuning yang ditulis dengan huruf Arab lebih diakrabi Kiai dan pesantren jika dibandingkan dengan kitab putih yang ditulis dengan bahasa latin. Membaca kitab kuning menurut pandangan kelompok pesantren, akan mendapat pahala dari Allah SWT, karena dianggap sebagai ibadah. Ini tentunya berbeda dengan membaca kitab putih (koran). Koran dianggap sebagai ”produk baru” yang belum mempunyai nilai pahala (ibadah).
Padahal koran selalu menyediakan informasi akurat dan up to date. Ulasan dan headline (berita utama) koran selalu berubah dan berkembang setiap hari. Jika tidak membaca satu hari saja, maka kita akan kehilangan beberapa informasi penting. Hal ini tentunya berbeda dengan kitab kuning, yang tidak begitu berkembang cepat. Kitab kuning akan tetap sama dari tahun ke tahun. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana seorang Kiai dan pesantren dapat mengakrabi koran?
Koran sepertinya masih menjadi barang ”mahal” bagi sebagian orang. Walaupun di Jawa Tengah sendiri, setidaknya ada lebih dari 20 koran yang terbit setiap hari. Belum lagi ditambah koran terbitan Jakarta dan beberapa kota di Jawa Barat dan Jawa Timur. Koran sulit diakses karena harganya mahal walau ada beberapa koran yang dijual dengan harga terjangkau.
Akses
Persoalan tersebut sudah saatnya dipikirkan bagaimana mengatasinya. Salah satunya, bisa dimulai dari kesediaan perusahaan media cetak untuk menginfak-kan koran kepada masyarakat umum dan pesantren. Misalnya dengan memasangnya di tempat-tempat umum, memberikan cuma-cuma atau dengan harga khusus untuk lembaga pendidikan.
Cara ini akan membantu warga kurang mampu untuk menikmati informasi yang juga menjadi haknya. Ini juga akan makin mengakrabkan koran dengan masyarakat. Artinya, masyarakat dapat belajar membaca dan diskusi berdasar informasi dari koran.
Demikian pula di pesantren. Pesantren merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah panjang pendidikan nasional. Bahkan model pesantren ini diklaim sebagai cara pendidikan tertua di Indonesia. Jika pesantren dan Kiai, yang notabene juga membutuhkan informasi dari membaca ternyata jauh dari koran, maka sistem pendidikan tertua ini akan makin terbelakang. Bahkan lulusan pesantren akan dianggap kuper karena jarang membaca koran.
Lebih dari itu, mengubah konsepsi bahwa membaca koran juga mendapat pahala sebagaimana membaca kitab kuning kiranya juga penting. Hal ini karena, ayat pertama yang turun dalam Al-Qur’an adalah iqra’ (bacalah). Membaca kitab kuning dan kitab putih sama-sama mendapat pahala dari Allah.
Dengan demikian, khasanah intelektual pesantren tidak hanya dipenuhi dan diwarnai oleh tradisi masa lampau yang diwakili kitab kuning, namun juga diisi oleh tradisi masa kini yang diwakili oleh kitab putih (koran). Penguasaan dua kitab ini akan makin mengokohkan peran Kiai dan pesantren dalam tradisi keilmuan dan intelektual bangsa Indonesia. Alumnus pesantren, tidak lagi jago membaca huruf dari kanan ke kiri, namun juga fasih melafalkan huruf dari kiri ke kanan.
Lebih lanjut, dengan banyak membaca koran, meminjam istilah Gramsci dalam praktik hegemoni, sosok individu seperti Kiai, yang dianggap memiliki pengetahuan mendalam dalam hal ilmu-ilmu keagamaan, dapat membentuk pemaknaan tertentu mengenai kategori moral dan imoral dan sejenisnya di dalam masyarakat, terutama menyangkut wilayah keagamaan.
Kepandaian dalam ilmu pengetahuan dan agama yang dimiliki para Kiai melalui praktik pengajaran, pendidikan dan dakwah keagamaan dapat membentuk struktur kognitif dan afektif individu dan kelompok-kelompok sosial dengan orientasi dan visi keberagaman yang dikonstruk oleh sang Kiai (Abdur Rojaki: 2004).
Pada akhirnya, jika Kiai dan civitas akademika pesantren mampu memadukan antara kitab kuning dan kitab putih, maka revolusi besar peradaban akan lahir dari rahim pesantren, sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia.

Penulis adalah
Peneliti Lentera Institut
tinggal di Sukoharjo
Jawa Tengah

Demokrasi dan IHSG



KONTAN, Senin, 4 Mei 2009

Benni Setiawan, Peneliti Lentera Institute.

Pasar ragu apakah SBY akan mampu mencari pengganti Jusuf Kalla


Pecah kongsi SBY-JK telah mengubah iklim politik di Indonesia. Iklim bisnis pun terkena imbas “ketidakdewasaan” pemimpin bangsa ini. Menurut data tanggal 24 April 2009, indeks harga saham gabungan (IHSG) ditutup merosot 19,48 point (1,21%) ke level 1.595,75 diikuti indeks lainnya seperti LQ 45 yang turun 1,18%, Jakarta Islamic indeks (JII) menorot 0,75% dan indeks Bisnis-27 terkoreksi 1,3%.
Koreksi tersebut membuat IHSG kehilangan momentum kenaikan indeks yang melanda bursa Asia. Indeks Morgan Stenley Capital (MSCI) untuk Asia Pasifik naik 1,3% menjadi 89,32, akibat penguatan indeks Nikkei (1,4%), Han Seng (2,3%) dan Austaha 2%.

Pasar menanti putusan
Padahal IHSG pascapemilu legislatif 9 April lalu, sempat menguat selama enam hari berturut-turut. Pada perdagangan tanggal 13 April misalnya, IHSG Bursa Efek Indonesia (BEI) melonjak 5,1%. Lonjakan ke level 1.540,4 dari 1.465, 75 itu merupakan posisi tertinggi 6 bulan terakhir sejak 15 Oktober 2008. Penguatan itu sekaligus menempatkan IHSG BEI menjadi salah satu indeks bursa regional yang paling besar menorehkan kenaikan dan memiliki kinerja terbaik.
Kini, keadaan berbalik. IHSG terjun bebas. Investor meradang. Iklim bisnis dan investasi menjadi pertaruhan politik. Pasar yang pada awalnya yakin akan stabilitas politik yang dibangun SBY-JK, kini mulai menyangsikan. Pasar masih menantikan keputusan SBY untuk memilih wapres yang pro-pasar.
Sebagaimana kita ketahui, JK, sebagai saudagar memiliki kepiawaian di dalam mengolah sumber daya ekonomi bangsa. JK juga dikenal sebagai wapres yang pro-pasar. Inilah yang menjadikan investor yakin akan konstelasi politik nasional.
Kini, dua kekuatan besar ini sudah bubar. komunikasi politik yang buntu konon menjadi penyebab utamanya. Pecahnya kongsi dua kekuatan besar ini, seakan menjadi penanda ketidakstabilan politik. Pasar ragu apakah SBY akan mampu mencari pengganti JK; apakah JK mampu membangun koalisi yang kuat agar iklim investasi dapat jalan terus.
Lebih dari itu, pasar masih terus merespon gejolak politik yang terus memenas. Seperti masih kacaunya daftar pemilih tetap (DPT), protes dari berbagai parpol mengenai hasil pemilu, dan kinerja kabinet yang mulai terbagi.

Beberapa kelemahan demokrasi tersebut sudah saatnya dipikirkan secara bijak. Jangan sampai iklim demokrasi ini semakin memperburuk sistem perekonomian bangsa.

Rintisan demokrasi
Demikian pula bagi para pialang dan investor. Gejolak politik merupakan warna dalam sistem demokrasi Indonesia. Gejolak politik seperti ini juga pernah dialami oleh India dan China.
Amartya Sen pernah membandingkan India dan China dalam urusan korelasi antara pembangunan dan demokrasi. Menurut dia, China yang pada akhir 1958-1961 membunuh ribuan warganya membukukan pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih gemilang dari India.
Menurut Amartya Sen dalam tulisannya “Democracy as a Universal Value” (Journal of Democracy:1999), memberikan nasihat visioner bagi bangsanya. India, katanya, tidak perlu terlalu peduli dengan angka-angka perekonomian. Yakinlah, demikian Sen, pada jalan demokrasi yang sudah dirintis.
Gagasan cemerlang Sen ini patut direspon oleh pemimpin bangsa ini. Mereka perlu menjamin bahwa demokrasi yang sudah dirintis tidak akan dibunuh. Artinya, iklim demokrasi sudah selayaknya disuburkan dengan perilaku elit politik yang santun.
Cara-cara meraih kekuasaan harus didasarkan pada semangat kebersamaan dan gotong royong sebagaimana ada falsafah bangsa ini. Politik menghalalkan segala cara ala Machiavelli sudah saatnya ditinggalkan. Politik semacam itu hanya akan mematikan demokrasi yang telah kita rintis bersama.
Demokrasi merupakan bagian terpenting dalam membangun sistem perekonomian bangsa. Jika para pengambil keputusan keliru dalam menerapkan demokrasi, pasar akan meresponnya secara negatif. Respon negatif pasar ini merupakan mimpi buruk bagi bangsa Indonesia.
Krisis ekonomi yang berkepanjangan dan krisis keuangan global akan semakin menjerat ekonomi rakyat. Terdesaknya kebutuhan masyarakat akan hak hidup dan ekonomi akan semakin memperkeruh suasana bangsa. Pada akhirnya, pasar masih terus menanti “kearifan” elit politik. Pengambilan keputusan yang tepat dan bijaksana akan mampu menyelamatkan biduk bangsa yang semakin rapuh ini.

Jika para pengambil keputusan keliru dalam menerapkan demokrasi, pasar akan meresponnya secara negatif.

Jumat, 01 Mei 2009

Titik temu agama dan politik



Solo Pos, Jum'at, 01 Mei 2009 , Hal.4

Agama selama ini hanya dimaknai oleh masyarakat umum sebagai ibadah an sich antara manusia dan Tuhan. Perwujudannya pun sangat sederhana, yaitu ibadah di tempat ibadah. Keluar dari tempat ibadah adalah urusan dunia, bukan urusan agama. Begitu kira-kira yang selama ini ada di dalam benak masyarakat secara umum.

Padahal, agama adalah aturan universal untuk umat manusia. Agama tidak hanya terbatas pada ibadah vertikal melainkan juga horizontal. Contohnya, salat adalah perwujudan cinta kasih manusia dengan Tuhan. Salat tidak hanya soal gerakan, melainkan mempunyai dimensi sosial. Hal ini pernah dinyatakan oleh Muhammad Iqbal dalam buku The Reconstructions of Religions Thought in Islam. Salat yang dicapai secara sempurna adalah berjamaah dan semua semangat salat sejatinya adalah sosial.
Hal senada juga pernah disinggung oleh Kuntowijoyo dalam Identitas Politik Umat Islam untuk memahami persoalan zakat. Zakat yang nilai ibadahnya diberikan kepada orang lain seagama yang tidak mampu itu masih bersifat subyektif. Maka, makna zakat harus diobjektifkan agar dapat diterima siapa saja. Makna zakat juga berdimensi sosial. Zakat dapat digunakan untuk menekan angka kemiskinan yang tidak memandang agama.
Dengan demikian, agama mempunyai pesan universal. Ia juga bersentuhan secara langsung maupun tidak langsung dengan realitas umat manusia. Salah satunya dalam bidang politik.
Ibnu Khaldun, tokoh politik yang namanya banyak disandingkan dengan filosof besar Yunani menyatakan bahwa politik berkaitan dengan kekuasaan dalam suatu wilayah negara. Titik puncak dari pengertian kekuasaan itu adalah kebenaran.
Pengertian tersebut di atas mengisyaratkan kepada kita adanya sinergi antara agama dan politik. Agama selalu mengajarkan kebaikan dan kebenaran. Dan politik adalah cara mendapatkan kekuasaan. Kekuasaan dalam politik adalah memperjuangkan kebenaran.
Maka, apa yang terjadi selama ini sudah melenceng jauh dari realitas agama dan politik. Agama berjalan sendiri, politik juga demikian. Seharusnya agama dan politik dapat bersinergi membangun peradaban secara lebih baik. Agama dan politik adalah kekuatan yang bisa disatukan.
Pertanyaannya yang muncul kemudian adalah bagaimana menyinergikan agama dan politik? Agama dan politik sudah saatnya berjalan seiringan dan saling mengisi. Agama sebagai sistem kepercayaan memacu pemeluknya untuk melakukan interpretasi dan pemahaman akan realitas sosial. Sedangkan politik sebagai cara memperoleh legitimasi kewenangan (kekuasaan) negara dengan cara menegakkan kebenaran.
Pengertian atau cara kerja di atas bukan berarti menggunakan legitimasi agama untuk memperoleh kekuasaan. Akan tetapi, bagaimana apa yang dikerjakan oleh agama dan politik bermuara pada satu tujuan yaitu kebenaran. Kebenaran inilah yang tentunya ditunggu oleh masyarakat guna memecahkan persoalan sosial yang semakin pelik.
Ambil contoh, soal kemiskinan. Tafsir keagamaan yang selama ini menyatakan bahwa kemiskinan adalah takdir Tuhan, orang-orang miskin dicintai Allah dan Rasul dan seterunya perlu diluruskan. Kemiskinan bukan takdir Tuhan, kemiskinan adalah hasil dari buah kerja kita. Bahkan dalam Islam diajarkan bahwa, “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya.” Ajaran inilah yang harus disuarakan terus menerus. Bukan malah tafsir atau ayat-ayat yang semakin mengecilkan semangat hidup manusia yang diwartakan.

Seiring
Demikian pula dengan politik. Persoalan kemiskinan adalah realitas nyata yang harus segera diselesaikan atau ditanggulangi. Kemiskinan akan dapat mengancam stabilitas negara. Kemiskinan juga dekat dengan kebodohan. Kekuasaan politik harus berpihak kepada kaum miskin. Yaitu dengan memberikan subsidi dan banyak membuka lapangan kerja baru.
Menghentikan korupsi dan menghukum koruptor menjadi agenda penting dalam menyelamatkan aset negara dari tangan “pendekar” berwatak jahat. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui tekanan politik yang tentunya didukung oleh seluruh elemen bangsa.
Agama dan politik sudah saatnya menjadi potensi bangsa Indonesia. Artinya, agama dan politik berjalan seiring guna menyelesaikan persolan sosial. Hal ini karena misi profetik agama dan politik adalah sama, yaitu mewujudkan kebenaran.
Semoga pemimpin bangsa yang telah terpilih dalam hajat akbar Pemilu 9 April lalu dan 8 Juli mendatang memahami esensi agama dan politik ini. Sebagai kaum beriman, anggota legislatif tentunya mempunyai kewajiban untuk menunaikan amanat dan janji politik mereka. Agama dan politik yang sedang mereka jalani mengamanatkan tujuan yang mulia, yaitu kebenaran.
Jika kesadaran religius ini disinergikan dengan realitas politik, bangsa ini akan segera keluar dari jerat krisis multidimensional. Hal ini karena pemimpin bangsa yang duduk di kursi DPR, DPRD, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, menyadari amanat ketuhanan dan kemanusiaan untuk selalu berbuat benar.
Kebenaran juga akan membentengi diri mereka dari nafsu duniawi yang menyesatkan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menjadi musuh bangsa ini akan hilang dengan sendiri jika mereka paham akan realitas diri (sebagai bentuk interpretasi agama) dan politik (sebagai bentuk interpretasi kekuasaan). Wallahualam. - Oleh : Benni Setiawan, Mahasiswa Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta