Search

Senin, 25 Juli 2011

Mewujudkan Doktrin Tri Karma Adhyaksa



Opini, Kedaulatan Rakyat, 25/07/2011

Sebagai salah satu pilar penegakan hukum di Indonesia, Kejaksaan mempunyai peran penting dalam mewujudkan keadilan sosial sebagai salah satu falsafah Pancasila. Penerjemahan sikap ini tertuang dalam doktrin Tri Karma Adhyaksa Satya Adhi Wicaksana. Satya, kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun kepada sesama manusia. Adhi, kesempurnaan dalam bertugas, memiliki rasa tanggung jawab dan bertanggung jawab terhadap keluarga dan sesama manusia. Wicaksana, bijaksana dalam setiap tutur kata dan tingkah laku khususnya dalam penerapan kekuasaan dan kewenangannya.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana mewujudkan doktrin tersebut?
Berada dalam puncak kekuasaan, seseorang seringkali lupa asal muasalnya. Ia lupa sedang menjalankan amanah mulia mengembangkan aspirasi masyarakat. Kekuasaan telah membutakan mata hati Jaksa untuk menegakkan hukum.
Hukum sebagai panglima menuju kesejahteraan dan keadilan masyarakat dilanggar oleh lembaga yang seharusnya menegakkannya. Amanah rakyat yang juga merupakan amanah Tuhan (vox populie vox die) ditukar dengan harta kekayaan yang menyilaukan.
Harta merupakan ‘jalan menuju’ surga dunia. Dengan banyaknya harta yang dimiliki seseorang akan mendapat tempat di masyarakat. Ia akan dipandang (dihormati). Penghormatan ini akan berujung sikap membanggakan diri sendiri (narsisitis). Narsisitis akan membentengi orang melihat kebenaran. Mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk menguras pundi-pundi negara dengan kekuasaannya (pangkat dan jabatan).
Kekuasaan seringkali hanya dimaknai secara sempit oleh pejabat kita. Kekuasaan hanya dimaknai sebagai alat atau tempat untuk menumpuk kekayaan. Kekuasaan belum mampu dimaknai sebagai amanah kemanusiaan. Amanah kemanusiaan yang dapat menyelamatkan diri sendiri dan orang lain.
Mengembangkan amanah kemanusiaan akan dapat menyelamatkan seseorang dari godaan kekayaan atau dunia. Lebih dari itu, amanah kemanusiaan akan menuntun seseorang menjadi seorang pemimpin bukan seorang penguasa. Kekuasaan bukanlah untuk menjadi penguasa. Kekuasaan adalah tempat untuk memimpin dan menjadi pemimpin.
Korupsi adalah Syirik
Hilangnya misi menjadi pemimpin saat berkuasa yang mendorong seseorang untuk melakukan tindak pidana korupsi sepertinya juga didukung oleh legitimasi keagamaan seseorang. Menurut Abdul Munir Mulkhan (2005), Islam selama ini diyakini mengajarkan semua tindak maksiat itu terbuka bagi pengampunan Tuhan kecuali syirik (tindakan yang didasari kepercayaan atas kekuatan lain selain Tuhan). Sementara korupsi dipandang bukan syirik, dosanya pun dipahami sebatas besaran korupsi, apalagi jika didasari alasan terpaksa akibat sistem atau tekanan dari atasan.
Lebih lanjut, komisioner Komnas HAM ini mengusulkan bahwa korupsi tergolong syirik tanpa ampunan karena selain kerusakan yang luar biasa dan berantai setara dengan mempercayai kekuatan penentu nasib selain Allah.
Selama ini, tafsir konvensional syirik lebih sebagai model keberagamaan magis yang hanya mengejar pahala bagi kepentingan pragmatis dan disusun dalam kesadaran budaya agraris yang belum mengenal perilaku korupsi, money politics dan tindakan kriminal yang dilakukan dengan jasa teknologi. Zaman global dengan kecanggihan teknologi seperti saat ini memerlukan tafsir kritis yang fungsional bagi kepentingan publik di luar batas-batas kepemelukan agama. Syirik perlu diberi tafsir baru, penduaan Tuhan dilihat dari kerusakan publik dan lingkungan serta penderitaan manusia yang diperkirakan bakal terjadi akibat suatu tindakan seperti korupsi.
Dengan tafsiran baru ini, seseorang akan seribu kali berpikir untuk korupsi. Namun, kesadaran teologis ini perlu dikembangkan menjadi ketaatan pada hukum. Artinya, tidak hanya korupsi sebagai syirik besar, namun bagaimana hukum masyarakat berlaku. Mengucilkan seorang koruptor dari kehidupan berbangsa dan bernegara mungkin lebih efektif daripada menghukum mereka di dalam penjara.
Inilah manifestasi utama dalam Tri Karma Adhyaksa. Sebuah formula dalam menjaga harkat diri pribadi dan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk tidak melakukan hal terpuji seperti korupsi.
Ketika hal ini sudah tertanam dalam diri Korps Adhyaksa, maka ia akan benar-benar menjadi pilar atau kekuatan yang ditakuti oleh para perusak negeri (koruptor). Pada akhirnya, membersihkan mental korup di tubuh Kejaksaan merupakan hal utama sebagaimana doktrin Tri Karma Adhyaksa. q - k. (3191-2011).
*) Benni Setiawan,
Pemerhati Masalah Sosial.

Jumat, 08 Juli 2011

Korupsi Melumpuhkan Bangsa



Jurnal Nasional | Selasa, 5 Jul 2011

Benni Setiawan

PERSOALAN korupsi yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan publik seakan telah menjadi bom waktu yang siap menghancurkan tatanan bangsa Indonesia. Korupsi tidak lagi dikonsumsi oleh pejabat-pejabat pada level elite, melainkan telah menjadi perilaku yang sudah mendarah-daging dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Betapa tidak, korupsi berjamaah pembangunan asrama atlet untuk SEA Games misalnya telah menjelma dan menjadi bukti betapa koruptor tidak saja mengeruk aset bangsa, namun telah bersemayam dalam tubuh partai politik yang menjadi bungker pelindung.

Begitu peliknya persoalan korupsi di negeri ini, sehingga mengakibatkan bangsa ini menduduki peringkat teratas negara terkorup di Asia Tenggara. Padahal kita semua tahu bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama. Bangsa Indonesia mempunyai norma ketimuran dan aturan hukum yang kuat dan mengikat. Masyarakatnya pun sangat plural dan menghormati keragaman serta menghargai hajat hidup orang banyak.

Lebih dari itu, survei Transparency Internasional Indonesia tahun 2010 menempatkan Kota Denpasar mendapatkan skor paling tinggi (6,71), disusul Tegal (6,26), Solo (6,00), Yogyakarta dan Manokwari (5,81). Sementara Kota Cirebon dan Pekanbaru mendapatkan skor terendah (3,61), disusul Surabaya (3,94), Makassar (3,97), dan Jambi (4,13).

Kota-kota dengan skor tertinggi mengindikasikan bahwa para pelaku bisnis di sana menilai korupsi mulai menjadi hal yang kurang lazim terjadi, dan usaha pemerintah dan penegak hukum di sana dalam memberantas korupsi cukup serius. Sebaliknya, korupsi masih lazim terjadi di sektor-sektor publik, sementara pemerintah daerah dan penegak hukum kurang serius dalam pemberantasan korupsi --menurut persepsi para pelaku bisnis di kota-kota yang mendapat skor rendah.

Jalan Kebahagiaan

Ada beberapa alasan mengapa seseorang melakukan korupsi. Pertama, korupsi adalah jalan tercepat menuju kebahagian dunia. Dengan korupsi orang akan kaya dan dihormati oleh masyarakat, karena orang kaya mempunyai nilai lebih di tengah masyarakat. Sikap masyarakat yang seringkali menghormati orang kaya dan tidak memedulikan orang miskin adalah tindakan pendukung terjadinya korupsi.

Sikap "arogan" ini dipicu oleh gaya hidup glamor dan malu disebut miskin. Padahal kita sering melihat realitas di lapangan bahwa sebagian pejabat pemerintahan lebih bangga disebut miskin ketika akan datang bantuan dari pusat, sehingga mereka akan mendapatkan berapa persen bagian dari dana yang diturunkan.

Meminjam istilah Sindhunata, keadaan ini tidak ada bedanya dengan perilaku muja. Artinya, mencari kekayaan dengan cepat tanpa peduli dari mana sumber kekayaan tersebut. Lebih lanjut, perilaku muja juga tidak memedulikan keadaan orang lain dan bahkan keluarga. Pemuja makhluk halus tidak segan mengorbankan anggota keluarganya sebagai tumbal. Sebagai gantinya ia akan mendapatkan kekayaan yang melimpah dalam waktu singkat tanpa harus bekerja keras.

Kedua, korupsi sudah menjadi sistem dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, jika kita tidak korupsi, maka uang ini akan dikorup oleh orang lain. Maka, orang berlomba-lomba melakukan korupsi. Mungkin mereka menghayati sebuah ungkapan: Hari gini tidak korupsi, apa kata dunia? --sebagaimana iklan di televisi.

Munir Mulkhan pernah menyinyalir, suburnya korupsi di Indonesia karena adanya persaingan antara satu kelompok dengan kelompok lain. Jika Departemen/Kementerian A tidak dikuasai oleh kelompok Y, maka kelompok X tidak akan mendapat jatah apa-apa. Perebutan posisi dan kedudukan secara tidak sehat merupakan pemicu suburnya tindakan korupsi.

Ketiga, masyarakat acuh terhadap persoalan korupsi. Artinya, masyarakat pun sedemikian tersistem menggunakan jasa koruptor untuk memperlancar kegiatannya. Ambil contoh ketika kita melanggar lalu lintas. Kebanyakan warga masyarakat menyelesaikan kasus ini dengan sidang di tempat. Dengan cara membayar sesuai kesepakan dengan pihak terkait, maka pelaku dapat lolos.

Melumpuhkan Bangsa

Maka itu, dari sudut pandang etika, korupsi harus dicela. Ada dua alasan. Pertama, setiap rupiah yang diperoleh secara korup adalah uang curian. Setiap koruptor adalah seorang pencuri. Kedua, korupsi adalah ketidakadilan tingkat tinggi, karena terjadi dengan memanfaatkan kedudukan istimewa yang tidak dimiliki orang lain. Akibatnya, korupsi membuat orang miskin tidak bisa keluar dari kemiskinan.

Korupsi adalah salah satu kecurangan terbesar dalam kehidupan berbangsa. Karena korupsi, orang kecil tidak dapat hidup secara manusiawi. Karena biaya siluman yang membebani perindustrian kita, para buruh kita tidak dapat dibayar secara wajar. Ini bukan saja mencurangi orang kecil, tetapi juga membuat tidak berhasil usaha menciptakan lapangan kerja serta produk yang bermutu.

Itulah sisi terburuk korupsi, dan fatal. Garis jelas antara kemanusiaan yang wajar dan sikap penjahat menjadi kabur. Orang terbiasa menipu, mencuri, main curang, dan tidak bertanggung jawab. Dengan demikian, korupsi melumpuhkan ketahanan moral bangsa secara keseluruhan.

Korupsi merusak karakter dan jati diri bangsa. Singkatnya, bangsa yang tidak lagi tahu apa itu kejujuran tidak akan bisa maju. Bangsa yang terdiri atas penjahat yang malas, tidak tahu apa itu kompetensi dan hanya ngiler menempuh jalan pendek (to make a quick buck) adalah bangsa yang sakit (Franz Magnis-Suseno: 2009).

Guna mencegah berjangkitnya virus korupsi di negeri ini, perhatian semua pihak sangat diperlukan. Pemerintah bersama penegak hukumnya wajib melakukan upaya nyata dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Pemerintah harus tegas bahwa korupsi adalah musuh bersama dan tidak ada kata maaf bagi koruptor. Ia wajib dihukum gantung agar benih koruptor mati di tempat.

Organisasi sosial-keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU yang telah melakukan kerja sama dalam pemberantasan korupsi harus terus berusaha menyadarkan masyarakat, khususnya warganya, agar selalu hidup sederhana tanpa korupsi. Perlu ditularkan cara pandang kepada masyarakat luas bahwa kekayaan materi bukan satu-satunya kebanggaan dalam hidup, dan bukan kunci utama dalam menyelesaikan berbagai masalah. n

Peneliti, Alumnus Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Senin, 04 Juli 2011

Menyoal Korupsi Dana Pendidikan



Joglosemar, Senin, 27 Juni 2011

Kabupaten Sukoharjo kembali mendapat sorotan publik. Setelah menjadi Kabupaten yang menjadi daerah operasi Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror karena konon banyak teroris yang mukim di Sukoharjo, kali ini perhatian masyarakat berkaitan dengan korupsi dana pendidikan untuk siswa miskin tahun 2009-2010 sebesar 6 miliar rupiah.
Ketua LSM Peduli Penegakan Hukum dan HAM MS Kalono mengatakan, setiap siswa miskin mendapatkan alokasi yang berbeda. Untuk siswa SD jumlahnya Rp 360.000/anak/tahun, siswa SMP mendapatkan Rp 540.000/siswa/tahun, sedangkan untuk siswa SMA sederajat Rp 780.000/siswa/tahun. Namun demikian, uang yang alokasinya dari APBN tersebut tidak pernah menerima sepeserpun sejak tahun 2009-2010 (Joglosemar, Selasa, 14 Juni 2011).
Miris rasanya menyimak berita tersebut. Perilaku ini semakin menjadi bukti betapa rakusnya pemimpin bangsa. Dana pendidikan untuk siswa miskin pun tidak luput dari mangsa untuk dikeruk. Sebuah perilaku yang jauh dari rasa kemanusiaan dan keadaban.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa pemimpin bangsa begitu tega merampok uang untuk anak-anak orang miskin?
Perilaku Muja
Dalam Islam, menghardik anak yatim sebagaimana digambarkan dalam Surat al-Maun merupakan perbuatan mendustakan agama. Jika menghardik saja mendustakan agama, bagaimana jika hak-hak anak yatim dan miskin dirampok oleh orang-orang yang seharusnya melindungi, menyayangi, dan mendidik mereka?
Korupsi dan uang sepertinya memang tidak punya “agama”. Artinya, jika ada kesempatan dan banyak celah untuk merampok uang negara maka dengan cara individu maupun berjamaah pundi-pundi siap dikuras, tanpa memedulikan bagaimana nasib orang-orang yang mempunyai hak atas uang tersebut.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Sindhunata. Korupsi tidak ada bedanya dengan perilaku ”muja”. Artinya, mencari kekayaan dengan cepat tanpa memedulikan dari masa sumber kekayaan tersebut.
Lebih lanjut, perilaku muja juga tidak memedulikan keadaan orang lain dan bahkan keluarga. Pemuja makhluk halus, tidak segan mengorbankan keluarganya sebagai tumbal. Sebagai gantinya ia akan mendapatkan kekayaan yang melimpah dalam waktu singkat tanpa harus kerja keras (Benni Setiawan: 2008). Mereka begitu tamak untuk mendapatkan uang dalam tempo singkat sehingga mendapat “penghargaan” dari masyarakat.
Melumpuhkan Bangsa
Maka dari itu, sebagaimana diungkapkan oleh Franz Magnis-Suseno (2009), korupsi secara etis harus dicela dengan dua alasan: Pertama, setiap rupiah yang diperoleh secara korup adalah uang curian. Setiap koruptor adalah seorang pencuri.
Kedua, korupsi adalah ketidakadilan tingkat tinggi, karena terjadi dengan memanfaatkan kedudukan istimewa yang tidak dimiliki orang lain. Sebagai akibatnya korupsi membuat orang miskin tidak bisa ke luar dari kemiskinan. Korupsi adalah salah satu kecurangan terbesar dalam kehidupan bangsa. Karena korupsi itu orang kecil tidak dapat hidup secara manusiawi. Karena biaya siluman yang membebani perindustrian kita, para buruh kita tidak dapat dibayar secara wajar, ini bukan saja berarti mencurangi orang kecil, tetapi juga membuat tidak berhasil usaha menciptakan lapangan kerja serta produk yang bermutu.
Itulah sisi terburuk korupsi. Orang maupun lembaga yang korup tidak dapat membedakan antara yang benar dan yang salah. Itu fatal. Garis jelas antara kemanusiaan yang wajar dan sikap penjahat menjadi kabur. Orang menjadi terbiasa menipu, mencuri, main curang, dan tidak bertanggung jawab.
Dengan demikian, korupsi melumpuhkan ketahanan moral bangsa secara keseluruhan. Korupsi merusak karakter bangsa dan jati diri bangsa. Singkatnya, bangsa yang tidak lagi tahu apa itu kejujuran tidak akan bisa maju. Bangsa yang terdiri atas penjahat yang malas, tidak tahu apa itu kompetensi dan hanya ngiler mengambil jalan pendek to make a quick buck, adalah bangsa yang sakit.
Membongkar Korupsi
Bagaimana menjadikan bangsa Indonesia berdaya saing, jika dana pendidikan untuk anak miskin menjadi sasaran empuk pemimpin amoral. Sudah saatnya pemimpin sadar, bahwa jabatan yang ia sandang bukan untuk menumpuk kekayaan pribadi, namun untuk kesejahteraan rakyat banyak.
Mengorupsi dana pendidikan sama artinya dengan mengubur harapan anak bangsa untuk menikmati haknya sebagai warga negara. Anak bangsa semakin bodoh yang pada gilirannya mereka akan semakin miskin sebagaimana orangtuanya.
Kemiskinan akan melunturkan daya tahan bangsa. Karena mereka akan melakukan apa saja demi mempertahankan hidup atau mendapatkan sesuap nasi.
Ketika sektor pendidikan yang mengajarkan arti kejujuran dan tanggung jawab moral saja menjadi ladang korupsi, maka jangan diharapkan bangsa Indonesia dapat mewujudkan cita-cita mulia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Cita-cita besar foundhing fathers akan hancur. Karena tulang punggung bangsa (pendidikan) sudah digerototi manusia rakus yang konon berpendidikan dan mempunyai jabatan strategis.
Kasus korupsi harus dibongkar. Korupsi merupakan perilaku kotor yang wajib dikecam dan dihukum berat. Apalagi mengorupsi dana pendidikan yang menjadi hak anak-anak miskin. Koruptor perlu dimiskinkan agar mereka jera. Hal ini karena, sebagaimana diriwayatkan dari Sumurah Ibn Jundub, dalam Hadis Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Rasulullah memperingatkan agar koruptor tidak dilindungi, disembunyikan, atau ditutupi perbuatannya. Barangsiapa melakukan demikian, maka ia sama dengan pelaku korupsi itu sendiri.
Pada akhirnya, sebagai Kabupaten yang mempunyai jumlah terbesar di wilayah Solo Raya, sudah saatnya Sukoharjo menjadi garda depan pemberantasan korupsi. Kasus korupsi dana pendidikan menjadi awal kebangkitan sekaligus kebangkrutan Kabupaten yang kini dipimpin oleh Wardoyo Wijaya dan Haryanto ini. Wallahu a’lam.

Benni Setiawan

Alumnus Program
Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta,
tinggal Sukoharjo.