Search

Selasa, 28 Juli 2009

Bebaskan Kampus dari Kepulan Asap Rokok



Oleh Benni Setiawan
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Harian Jogja, Rabu Legi, 22 Juli 2009

“Merokok dapat merugikan kesehatan, serangan jantung, kanker, impotensi dan gangguan pada janin”. Begitulah peringatan yang selama ini ada di dalam bungkus rokok. Namun, sejauh ini jumlah perokok semakin meningkat, bahkan, anggaran untuk membeli rokok lebih besar dari pada membeli koran atau media cetak.
Menurut data Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada tahun 2003 saja, belanja masyarakat Indonesia untuk rokok Rp. 150 triliun per tahun, tetapi belanja surat kabar atau koran hanya Rp. 4,9 triliun. Dengan perbandingan yang sangat jauh ini, masyarakat Indonesia lebih bangga membeli rokok yang membahayakan jiwa dan raganya dari pada membeli koran yang dapat menyehatkan dan mencedaskan jiwa dan raga mereka.

Lebih berbahaya
Berdasarkan data Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gapri) volume penjualan rokok di Februari 2009 mencapai 12,2 miliar batang. Padahal, setidaknya rokok telah membunuh 10 juta orang per tahun di seluruh dunia. Lebih banyak dari pada kematian yang disebabkan oleh penyakit malaria, kematian ibu hamil dan melahirkan, infeksi pada anak-anak dan diare.
Ironisnya, lebih dari separo kematian ini menimpa mereka yang berumur 30-69 tahun, yang kehilangan sekitar 25 tahun dari harapan hidup mereka. Rokok juga telah membunuh 100 juta orang pada abad ke-20, yang sebagian besar di negara maju. Pada abad ke-21 ini rokok akan membunuh 1 miliar orang, terutama di negara-negara berkembang. Sebanyak 150-180 juta kematian akibat rokok dapat dicegah sebelum tahun 2050 jika proporsi orang dewasa di negara-negara berkembang yang berhenti merokok ditingkatkan dari 5 persen saat ini menjadi 30-40 persen sebelum tahun 2020 (seperti yang terdapat di Kanada saat ini). (Prabhat Jha, Koran Tempo, 29 Januari 2008).
Pembatasan jumlah produksi rokok juga penting. Artinya, kebijakan World Health Organization (WHO) yang akan membatasi produksi rokok setiap negara maksimal 260 miliar batang setahun mulai tahun 2020 sudah saatnya kita dukung, kalau perlu dipercepat.
Di Indonesia, menurut data Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA), setidaknya 427.948 orang meninggal setiap tahun akibat rokok. Lebih dari itu, menurut data survei pada tahun 2006, 57 persen atau separoh lebih rumah tangga di Indonesia memiliki perokok aktif. Sedangkan jumlah perokok pasif 97,5 juta jiwa atau hampir separoh jumlah penduduk Indonesia, di antaranya 65,8 juta adalah perempuan dan anak-anak.
Menganggu iklim akademis
Ironisnya, perokok aktif adalah para mahasiswa. Mereka merokok di lorong dan pojok kampus. Bahkan di ruang berpendingin ruangan (AC) pun mereka merokok. ”Pahit rasanya jika tidak merokok”, gumam mereka.
Lebih dari itu, kampus menjadi kotor, karena puntung rokok tidak dibuang pada tempatnya. Petugas kebersihan kampus pun harus hilir mudik membersihkan kotoran rokok yang tidak kunjung habis, karena ada saja mahasiswa perokok hingga pintu gerbang kampus ditutup.
Kampus bak lokomotif kereta api yang mengeluarkan asap mengepul. Pojok dan lorong kampus tidak lagi sehat. Hal ini karena, asap rokok telah mengepung ruang udara sehat di kampus. Kumpulan mahasiswa tidak sah apabila tanpa asap rokok.
Tentunya hal ini sangat menganggu iklim akademis. Kampus bukanlah tempat untuk merokok. Kampus merupakan sarana untuk meningkatkan kapasitas intelektual seseorang. Membaca, diskusi, dan membangun jaringan merupakan salah satu fungsi kampus. Ketika asap rokok sudah memenuhi ruang gerak civitas akademika kampus, maka yang ada adalah kampus menjadi salah satu penyumbang ”kematian” generasi muda bangsa.

Bertahap
Oleh karenanya, sudah saatnya kampus difungsikan sebagaimana fungsinya. Kampus harus steril dari asap rokok. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi kepulan asap rokok di kampus adalah: Pertama, keberanian pihak rektorat dan jajarannya melarang merokok di kampus. Larangan merokok di kampus ini dapat disosialisasikan saat orientasi mahasiswa baru, melalui papan-papan pengumuman, atau dimasukan dalam kode etik mahasiswa.
Larangan merokok ini juga dapat dilakukan bertahap. Seperti memperbanyak ruang yang bertuliskan ”kawasan tanpa asap rokok” di awal tahun dan menyediakan tempat khusus di kampus bagi perokok di tahun berikutnya. Penerapan kebijakan yang bertahap akan dapat mengurangi resistensi dari aktivis gerakan mahasiswa.
Kedua, keteladanan dosen. Larangan merokok di kampus tentunya bukan hanya bagi mahasiswa, melainkan juga bagi dosen. Keteladanan dosen untuk tidak merokok di kampus tentunya akan semakin mendukung program kampus bebas asap rokok. Tidak ada artinya jika, mahasiswa dilarang merokok, di sisi lain, dosen bebas menghisap rokok di ruang dosen atau ruang kampus lain.
Kampus merupakan bagian dari sarana umum. Maka, melarang merokok di kampus sesuai dengan rekomendasi (fatwa) Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Sidang Ijma’ Ulama Fatwa III MUI di Padang Panjang 24-26 Januari 2009 lalu.
Rokok adalah pembunuh nyata yang patut kita waspadai. Artinya, mengajak dan mendidik masyarakat agar menghentikan pekerjaan sia-sia itu adalah kata kuncinya.
Sudah saatnya manusia Indonesia dapat bertahan hidup selama lebih dari satu abad (100 tahun). Hal ini sesuai dengan penelitian Robert Butler dalam Biogenetic Maximum Life Span sebagaimana dikutip Hendrawan Nadesul. Robert Butler menyatakan bahwa secara biologis umur manusia dapat diulur hingga 120 tahun. Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah dengan hidup sehat, yaitu tidak merokok. Maka matikan rokok Anda sekarang, sebelum rokok mematikan Anda. Wallahu a’lam.

Utang dan Korupsi



KONTAN, Senin, 6 Juli 2009
Benni Setiawan, Peneliti Lentera Institute.

Persoalan korupsi bermulanya dari dana pinjaman luar negeri (utang)

Sudah saatnya pemerintah berani menjadwalkan kembali dan menegoisasikan penghapusan utang luar negeri

Persoalan utang luar negeri kembali menjadi perbincangan hangat di tengah semakin panasnya suhu politik menjelang pilpres 8 Juli. Bahkan, isu tingginya utang Indonesia menjadi bola liar yang siap menghantam salah satu calon presiden alias capres.
Soalnya salah satu capres selalu menyatakan, bahwa Indonesia sudah tak mempunyai utang pada Dana Moneter Internasional (IMF). Ia tidak jujur, bahwasanya bangsa ini punya utang yang lebih besar daripada utang kepada IMF.

Bermula dari utang
Berdasarkan kajian Komite Penghapusan Utang Negara Dunia Ketiga alias Committee for Abolition Third World Debt, Koalisi Anti Utang (KAU) menyebutkan, pada 2007 utang jangka panjang Indonesia sudah mencapai US$67 miliar. Angka itu hanya terpaut sedikit di bawah Meksiko, Brasil, dan Turki.
Data Departemen Keuangan (Depkeu) menunjukkan, total utang pemerintah Indonesia hingga 29 Mei 2009 mencapai Rp. 1.700 triliun. Jumlah itu meningkat Rp. 64 triliun hanya dalam tempo lima bulan jika dibandingkan dengan utang pada akhir 2008 yang Rp. 1.636 triliun. Besarnya tingkat utang menyebabkan setiap penduduk Indonesia saat ini menanggung beban utang Rp. 7 juta
Lebih dari itu, besarnya pembayaran utang yang harus digelontor setiap tahun hampir sama dengan tiga kali anggaran pendidikan, 11 kali anggaran kesehatan, dan 33 kali dari anggaran perumahan dan fasilitas umum. Dengan demikian, utang sangat membebani bangsa Indonesia.
Mengapa bangsa ini tidak dapat lepas dari belenggu utang? Dalam sejarah, pemaksaan terhadap kepentingan modal menjadi agenda kaum imperialis. Ketika bangsa Indonesia sudah "merdeka" dengan Proklamasi 17 Agustus 1945, dominasi kaum imperialis melalui neokolonialisme sangat kentara di Indonesia. Contohnya, ketika perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB).
KMB menjadi ajang kaum neokolonialisme menanamkan penjajahan baru di Bumi Nusantara. Dalam perjanjian ini, bangsa Indonesia dipaksa untuk menandatangai kesepakatan yang timpang dan merugikan. Lihat saja, utang-utang pemerintahan Hindia Belanda dengan penguasa di Eropa menjadi tanggung jawab Pemerintah Indonesia untuk membayarnya. Demikian juga, segala kerugian yang diakibatkan oleh agresi militer Indonesia I dan II. Beban tanggungan biaya dan utang ada di tangan Pemerintahan Indonesia. Sungguh hal yang tidak logis. Sudah dijajah dibebani utang (Baswier 2006).
Ironisnya, dalam kajian Chris Wangkay, hampir 30 persen hasil utang dikorupsi oleh pejabat Orde Baru. Lebih dari itu, perilaku ini diketahui oleh lembaga pemberi dana internasional, seperti IMF, IGGI, Word Bank, dan seterusnya.
Jadi, persoalan korupsi di Indonesia pada mulanya berasal dari dana pinjaman luar negeri (utang). Pemerintah dengan sengaja membuat angka defisit dalam setiap penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) guna mendapatkan kucuran dana dari negara dan lembaga donor.
Keadaan ini dimanfaatkan oleh negara donor untuk mendikte setiap persoalan dan penanganan oleh pemerintah Indonesia. Maka tidak aneh, jika banyak kebijakan pemerintah terkesan tidak merakyat. Hal ini terjadi karena adanya dominasi kepentingan pihak asing terhadap bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bak kelinci percobaan dan kambing dungu yang siap didekte oleh sekian kepentingan yang menyengsarakan dan memiskinkan.
Maka, sudah saatnya pemerintah berani menjadwalkan kembali dan menegoisasikan penghapusan utang luar negeri. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh pemimpin yang tegas. Ketegasan dan keberanian menjadi kata kunci dalam program penyelamatan bangsa ini. Keraguan dalam mengambil keputusan hanya akan semakin menambah beban penderitaan rakyat.
Selain itu, pemerintah juga sudah saatnya berani meninjau kembali kontrak karya dengan asing. Penguasaan sumber daya alam untuk kemakmuran bangsa lebih berharga daripada selalu mengemis kepada negara donor. Pada akhirnya, Indonesia akan bebas dari ketergantungan utang yang menjadi sumber kerusakan dan kehancuran bangsa (korupsi).

Rabu, 15 Juli 2009

Nasib Guru Pasca-Pilpres



Surya, Rabu, 15 Juli 2009.

Sadarlah wahai pemerintah, bahwa bangsa ini akan berdiri tegak ketika guru-gurunya sejahtera. Guru adalah pendidik dan penyala obor semangat dalam membangun bangsa ini. Hentikan tindakan diskriminatif, karena ia bukanlah watak seorang pemimpin.

HAJATAN pemilihan presiden (pilpres) sudah usai. Menurut beberapa lembaga survei, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono- Boediono (SBY-Boediono) menang dengan angka 58-60 persen. Janji pasangan ini ketika kampanye adalah mempertahankan anggaran pendidikan 20 persen dalam APBN dan melakukan pemerataan pendidikan.

SBY juga berjanji akan menaikan gaji guru hingga Rp 2 juta per bulan. Janji ini pada dasarnya sudah sering SBY sampaikan dalam banyak kesempatan. Entah sebagai Presiden maupun ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Namun hingga kini sistem penggajian antara guru berstatus negeri dan guru swasta masih timpang.

Kebijakan pemerintah menaikan anggaran pendidikan melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) ternyata tidak banyak membantu meningkatkan kesejahteraan guru.
Kenaikan anggaran dalam APBN hanya meninggalkan harap-harap cemas bagi guru. Hal ini terbukti dengan tidak adilnya proses penggajian yang diajukan oleh pemerintah. Pemerintah terkesan memanjakan guru dengan status PNS dan mengerdilkan peran dan fungsi guru non-PNS.
Maka tidak aneh, jika banyak kalangan beranggapan bahwa kenaikan anggaran pendidikan dalam APBN hanya sebagai model kampanye atau mencari dukungan dengan menggunakan uang negara.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa pemerintah lebih memanjakan guru berstatus PNS daripada menyejahterakan guru non PNS?
Hingga kini, masih banyak guru dengan masa kerja lebih dari 10 tahun bahkan 20 tahun masih digaji di bawah upah minum kabupaten/kota (UMK). Pemerintah toh tidak merasa risi melihat kondisi ini. Pemerintah bahkan sepertinya ingin cuci tangan dalam masalah ini. Penggajian guru swasta diserahkan sepenuhkan kepada yayasan yang mempekerjakannya.

Langgar HAM
Tindakan diskriminatif yang melanggar hak asasi manusia (HAM) ini sudah saatnya diakhiri. Pemerintah tidak boleh angkat tangan dalam masalah ini. Pemerintah harus mampu berbuat adil.
Pemerintah sebagai representasi masyarakat harus menjadi seorang pemimpin. Pemimpin adalah seorang yang mampu berbuat adil, bertindak dengan nalar, dan bekerja tanpa pamrih.
Kesejahteraan guru adalah harga mati yang harus diwujudkan pemerintah. Hal ini karena, ketika guru sejahtera bangsa ini akan makmur. Artinya, guru akan bekerja dengan sepenuh hati karena hak-haknya sebagai warga negara dan pendidik bangsa dipenuhi oleh pemerintah.
Dengan demikian, ia tidak perlu mencari kerja tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Guru dapat fokus belajar dan terus membaca buku, diskusi, mengikuti seminar-seminar, guna meningkatkan kualitas keilmuannya.
Jangan sampai guru hanya mampu membaca buku tua tanpa menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Kesejahteraan guru merupakan manifestasi dari keinginan bangsa ini untuk maju, berkembang, dan mempunyai daya saing dengan bangsa lain.
Bagaimana mungkin bangsa ini dapat bersaing dengan negara lain, jika, guru-gurunya menderita dan hidup di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan telah “memenjarakan” ide-ide kreatif guru dalam berinovasi dalam dunia pendidikan.
Tidak aneh jika, banyak guru frustasi dan melakukan tindak kekerasan terhadap peserta didik. Mereka sudah tidak mampu lagi berpikir rasional dan mendidik dengan hati. Pasalnya, konsentrasi mereka dibuyarkan oleh “rengekan” anak istri di rumah.
Lebih dari itu, ketika seorang guru melakukan khilaf yang patut dituntut dan dipenjarakan adalah pemerintah. Hal ini karena, pemerintah tidak mampu memenuhi kebutuhan guru sehingga ia nekat melampiaskan kegundahannya kepada peserta didik.
Beratnya beban tugas guru ini seharusnya diimbangi dengan kesediaan pemerintah untuk memenuhi kesejahteraanya. Pemerintah juga tidak boleh berlaku diskriminatif dalam proses penggajian. Perilaku diskriminatif terhadap guru swasta hanya akan meninggalkan luka sejarah dan mencederai proses kesejarahan bangsa.
Hal ini karena, bangsa ini dibangun oleh “guru-guru swasta”, seperti K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’arie, Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Soedirman dan seterusnya. Mereka adalah pendidik bangsa dan peletak dasar-dasar negara ini.
Pahlawan bangsa ini sudah saatnya dimuliakan dengan menyejahterakan penerusnya, yaitu guru-guru swasta. Ketika pemerintah di hari-hari akhir ini tidak mempunyai itikad baik untuk berlaku adil, maka sudah saatnya kita tinggalkan pemerintahan kali ini. Pemerintah kali ini telah gagal mengemban amanat kemanusiaan yang telah diwariskan oleh founding fathers dan founding mathers.
Melalaikan dan mengerdilkan guru swasta secara tidak langsung juga tidak menghargai keringat guru bangsa Indonesia. Pemerintah kali ini sepertinya ingin membangun dinasti kalau tidak mau disebut kediktatoran dengan semakin mengerdilkan peran guru.

Tak ada kata lain, bersatulah para guru. Bulatkan niat dan tekad menuntut kesejahteraan. Jangan menyerah memperjuangkan nasib. Perjuanganmu hari ini akan ditulis dalam sejarah panjang bangsa Indonesia.

Sadarlah wahai pemerintah, bahwa bangsa ini akan berdiri tegak ketika guru-gurunya sejahtera. Guru adalah pendidik dan penyala obor semangat dalam membangun bangsa ini. Hentikan tindakan diskriminatif, karena ia bukanlah watak seorang pemimpin.
Mari kita tunggu komitmen pemerintah terpilih melalui proses pemilihan langsung yang konon demokrasi ini. Semoga apa yang pernah dinyatakan oleh SBY-Boediono bukanlah janji kosong.
Ketika pemerintahan saat ini masih saja ingkar janji dan mendholimi guru, maka sulit diharapkan bangsa ini dapat maju bersaing dengan negara lain. Pada akhirnya, sejahterakan guruku, makmurlah bangsaku. Wallahu a’lam.

Benni Setiawan
Pemerhati pendidikan, penulis buku ‘Manifesto Pendidikan Indonesia’ dan ‘Agenda Pendidikan Nasional’

Minggu, 12 Juli 2009

Membedah Darwinisme



Seputar Indonesia, Resensi, Minggu, 12 Juli 2009

Charles Darwin tidak dapat dimungkiri merupakan tokoh teori evolusi kenamaan.Tanpa teori evolusinya mungkin tidak akan ada kontroversi dan penelitian tentang manusia dan kemanusiaan hingga saat ini.

Darwin melalui teorinya mengajarkan kepada kita betapa bumi dan seisinya sangat indah untuk dilihat dan diteliti. Kegemaran Darwin meneliti bumi dan seisinya direpresentasikan dengan melihat tingkah laku burung di hutan selama 13 tahun. Ia tidak merasa bosan melihat keindahan makhluk hidup yang satu ini. Banyak hal yang perlu kita ketahui dari ciptaan Tuhan ini.Dengan melakukan penelitian terhadap ciptaannya ini kita akan semakin mengetahui hakikat diri manusia dan Tuhan-nya.

Kemahakuasaan Tuhan akan semakin tampak di tengah zaman yang semakin gelap. Kemahakuasaan Tuhan itu juga tampak dalam teori besar evolusi Darwin. Evolusi adalah teori yang tidak saja merangkum seluruh pengamatannya, tetapi juga sebuah gagasan brilian yang terbukti kokoh hingga sekarang. Evolusi, yang diperhitungkan Charles Darwin sebagai keterangan untuk menjelaskan asal-usul spesies, telah menjangkau wilayahwilayah terluar dan sekaligus makna terdalam dari jangkauan teoretisnya.

Teori itu nyatanya pun berevolusi di tangan sejumlah ilmuwan dan filsuf di kemudian hari. Dalam teori evolusi, untuk dapat melewati seleksi alam, tiap makhluk hidup harus mampu beradaptasi dengan lingkungan di mana ia bermukim. Dengan demikian, tentu saja tidaklah mungkin terdapat adanya telos (tujuan) dalam diri tiap makhluk hidup— yang sudah dirancang sebelumnya oleh ”kekuatan ideal”. Transformasi intelektual berikutnya hingga hari ini,secara langsung maupun tidak langsung, sangat dipengaruhi oleh perspektif Darwinian.

Di bawah pengaruh perspektif Darwinian, ketertarikan intelektual bukan lagi membicarakan konsepsi-konsepsi ideal (transendental), namun bergeser pada pencapaian empiris, naturalistik, dan kegunaan. Berbekal teori evolusi Darwin, banyak peneliti menemukan keterkaitan antarilmu pengetahuan yang digelutinya.Teori evolusi juga seakan telah membuka cakrawala baru dalam dunia pengetahuan empiris yang mampu menembus batas-batas yang tak terpikirkan (unthought, meminjam istilah Mohammed Arkoun). Hal ini sangat kentara dalam buku ini.

Buku Ayat-Ayat Evolusi, karya beberapa filsuf dari Departemen Filsafat Universitas Indonesia, menyadarkan kita betapa teori evolusi Darwin melampaui batas tradisi yang selama ini kita pikirkan. Dalam pengamatan Noviar Andayani misalnya teori evolusi Darwin diracik sedemikian rupa menjadi alat bantu dalam membedah ilmu kedokteran (biologi).Ia berkesimpulan bahwa evolusi sesungguhnya tidak berurusan dengan upaya memaksimalkan kesehatan atau kesejahteraan makhluk hidup, tapi untuk memastikan keberhasilan replikasi genetik.

Apa yang baik untuk gen kita, belum tentu baik untuk kita. Bahkan bila tujuan gen dan kita bersesuaian, gen makhluk hidup lain dapat mengintervensi dengan agendanya sendiri. Tanpa menghargai dinamika evolusi dari kesehatan dan penyakit, kita tidak mungkin mengerti dengan benar asal, keberadaan, dan pilihan untuk mengobati penyakit yang mendera tubuh manusia. Eko Wijayanto menggali makna teori evolusi Darwin dalam kaitannya dengan perkembangan filsafat modern.

Ancangan Eko Wijayanto dengan teori evolusi Darwin menandaskan bahwa pencerahan bukan sekadar suatu periode spesifik (abad ke-18), melainkan juga afirmasi atas upaya manusia untuk membebaskan ilmu pengetahuan dari ”belenggu kegelapan” tradisi feodal dan dogma-dogma teologi. Rasio pencerahan melahirkan keyakinan bahwa manusia sudah harus keluar dari suasana kegelapan tersebut menuju terbit fajar akal budi. Artinya, tiap manusia harus mempunyai kebebasan, otonomi, dan kemerdekaan dalam berpikir.

Demikian pula dengan gagasan Irianto Wijaya dalam kajian epistemologi ilmu pengetahuan. Irianto Wijaya berkesimpulan bahwa ”kebenaran” bukanlah notion yang murni epistemik. Usaha untuk membela ataupun mempromosikannya, yakni apakah Anda menginginkan maksimalisasi kedamaian ataukah maksimalisasi kekuasaan atas fakta, akan lebih efektif dilakukan bukan dengan argumentasi, melainkan narasi.

Sedangkan, bagian normatif dari epistemologi dapat dipahami sebagai sejenis studi engineering untuk merancang berbagai tool-kit untuk membantu orang mencapai kebenaran, sebagaimana dipahami orang itu. Herdito Santi Pratama lebih menitikberatkan penelaahannya terhadap teori evolusi Darwin pada bidang filsafat. Herdito dengan cemerlang mampu mengupayakan gagasan segar mengenai hakikat manusia.Baginya,hakikat (nature) manusia yang disajikan ilmu pengetahuan adalah keterangan deskriptif (apa adanya) mengenai manusia.

Tidak dimaksudkan sebagai sebuah kondisi semestinya yang normatif. Mengutip semboyan Royal Society ”Nullius in Verba”, ”tidak berdasar kata-kata siapa pun”. Sedangkan Saraswati Dewi menyibak tabir cinta,di mana evolusi ini memengaruhi bagaimana manusia memahami kebudayaan dan makna-makna di dalam hidupnya. Dengan pendekatan filsafat, biologi, dan kebudayaan yang cukup mendalam buku ini menjadi semakin utuh dalam membedah Darwinisme.

Dengan membaca buku ini, kita akan lebih mengenal sosok Charles Darwin beserta ragam pemikiran unik yang telah ditelurkannya. Lebih dari itu, melalui buku ini juga kita punya peluang sebesar mungkin untuk mendiskusikan kebenaran yang dikandung dalam rahim evolusi. (*)

Benni Setiawan,
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga,Yogyakarta

Jumat, 03 Juli 2009

Mengapa Nilai UN Diabaikan?



Kampus, Suara Merdeka, Sabtu, 04 Juli 2009

MUSIM pendaftaran mahasiswa baru telah tiba. Calon mahasiswa baru mulai hilir-mudik membanjiri kota-kota pendidikan di Tanah Air. Dengan bekal informasi pas-pasan, mereka mencoba mengadu nasib mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), agar dapat diterima pada jurusan dan perguruan tinggi yang didambakannya.

Sekadar menyegarkan ingatan, seleksi masuk untuk PTN awalnya disebut Sekretariat Kerjasama Antar-Lima Universitas (SKALU) di tahun 1976, Proyek Perintis (1979), Sipenmaru (1983), UMPTN (1989), dan SPMB (2001).

Sejak tahun 2008, ujian ini kembali berganti nama dan sedikit perubahan format. Istilah SNMPTN kemudian diperkenalkan, menyusul Keputusan Mendiknas No 006/Tahun 2008 tentang Pedoman Penerimaan Calon Mahasiswa Baru.

Perubahan sistem seleksi yang berkali-kali ini tentu membosankan dan menyu-litkan calon mahasiswa baru. Padahal mereka sudah berjuang keras agar dapat lulus ujian nasional (UN) SMA atau sederajat.

Melihat perjuangan gigih mereka selama di SMA, sudah selayaknya pemerintah segera merealisasi amanat aturan perundangan yang berlaku. Menurut Pasal 68 Peraturan Pemerintah (PP) No 19/Tahun 2009 tentang Standar Pendi-dikan Nasional, hasil UN dija-dikan salah satu dasar seleksi ke jenjang pendidikan lebih tinggi.

Dengan ketentuan itu, PTN hanya melaksanakan tes seleksi berupa tes bakat skolastik, tes intelegensia, tes minat, tes ba-kat, dan tes kesehatan sesuai dengan kriteria pada satuan pendidikan.
Terlalu Lama Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, Fasli Jalal, pengakuan terhadap hasil UN SMA dan sederajat oleh perguruan tinggi diharapkan bisa berjalan secara baik pada 2012, atau tujuh tahun setelah penerbitan PP tersebut. Sebuah hitungan yang jelas terlalu lama.

Integrasi UN SMA/sederajat dengan SNMPTN dimulai dengan melibatkan PTN dalam pelaksanaan UN yang selama ini dilaksanakan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan pemerintah daerah. PTN ikut memberi masukan untuk meningkatkan kualitas soal-soal UN SMA sederajat.

Selain itu, PTN juga ikut mengawasi pelaksanaan, pendistribusian soal-soal ke daerah, penilaian, hingga pengumuman. Langkah itu untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan UN SMA/sederajat sehingga hasilnya tidak lagi diragukan PTN (Kompas, 13 April 2009).

Namun, faktanya, hingga kini masih sedikit PTN yang menerapkan sistem ini. PTN di Jawa Tengah yang siap mengintegrasikan nilai UN dengan seleksi masuk PTN sejak awal hanya Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto.

Mengapa PTN enggan mengintegrasikan UN dengan UNMPTN? Beberapa rektor PTN mengatakan, universitasnya siap menjadi world class university. Dengan predikat ini, kata Rektor Universitas Indonesia Gumilar R Somantri, bobot nilai UN masih jauh dari standar universitas yang dipimpinya (Kompas, 13 April 2009).

Alasan lain yang muncul adalah guna memperoleh input yang memadai dan mampu menaikan peringkat sebuah perguruan tinggi diperlukan calon mahasiswa baru yang mumpuni (berkualitas) dan mempunyai prestasi gemilang.

Alasan terakhir ini terasa sangat diskriminatif. Sebab, tidaklah mudah mencari mahasiswa ideal seperti itu di tengah kelayuan sistem pendidikan di Indonesia.
Mencari Bentuk Sebagaimana diketahui, sistem pendidikan nasional masih jauh dari ideal, bahkan masih mencari bentuk, sehingga pemerintah tidak percaya diri menggunakan kurikulum berbasis keindonesiaan. Mereka lebih suka mengadopsi sistem pendidikan asing yang dianggap mampu mendayagunakan sistem pendidikan nasional.

Sudah saatnya para rektor dan jajaran perguruan tinggi berpikir bijak mengenai hal ini. Perjuangan siswa-siswi SMA/sederajat sudah saatnya dihargai, antara lain dengan mengintegrasikan UN dengan sistem seleksi PTN.

Integrasi ini sekaligus merupakan wujud perwujudan keberpihakan perguruan tinggi terhadap sistem pendidikan nasional. Artinya, UN sebagai produk politik tak semestinya menjadi hal menakutkan bagi peserta didik.

Harus ada reward bagi peserta didik yang lulus dengan nilai UN tinggi, misalnya dengan memudahkan langkah mereka menikmati bangku perguruan tinggi.
Lebih dari itu, integrasi nilai UN dengan seleksi masuk PTN juga dapat memacu tingkat jumlah lulusan sarjana Indonesia yang masih kalah jauh dari negara-negara tetangga.

Akhirnya, integrasi nilai UN dengan seleksi masuk PTN merupakan amanat konstitusi yang patut direalisasi. Siapa yang menghalang-halangi atau melanggar konstitusi, maka wajib diperkarakan di meja hijau. (Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta-32)

"Anarkisme” Iklan Politik Capres




Surabaya Post, Jumat, 3 Juli 2009.
Oleh Benni Setiawan
Peneliti Lembaga Ma’rifat Indonesia

Gong pemilu presiden (pilpres) 2009 sudah ditabuh. Partai politik (parpol), gabungan parpol pengusung capres dan cawapres, serta pasangan capres dan cawapres sudah mulai kampanye. Mereka memasang wajah ramah, penuh senyum, dan optimistis dapat menang pada pilpres kedua secara langsung di era reformasi ini. Namun, dari wajah manis yang terpampang di sepanjang jalan, mereka sepertinya tidak memerhatikan etika berpolitik. Mereka main pasang gambar, yang pada gilirannya menganggu kenyamanan publik.

Jika setiap capres dan cawapres yang berjumlah tiga pasang mencetak 1.000 poster saja di setiap kabupaten dan kota di Jawa Timur, totalnya ada 38.000 poster. Jika satu poster pajangnya 50 cm saja, ketika berjejer urutan panjangnya bisa mencapai 19.000 kilometer. Seberapa panjang itu? Bandingkan saja, bentangan jarak dari Sabang di Aceh sampai Merauke di Papua hanya 5.000 kilometer. Artinya, bentangan poster itu mencapai 3,8 kali jarak dari ujung ke ujung negeri ini.

Bisa dibayangkan betapa sumpeknya ruang kota dan desa jika dipenuhi gambar-gambar capres tersebut. Mungkin ruang hijau dan indahnya tata kota akan hilang karena tertutupi wajah manis bak selebritis yang sedang naik daun.

Lebih dari itu, selain selain memperburuk tata kota, iklan politik capres telah merusak lingkungan. Hal ini karena, banyak caleg memasang poster, baliho dan spanduknya dengan cara memaku di batang-batang pohon. Tentunya hal ini akan menyakitkan pohon dan akan mematikan tanaman tersebut.

Padahal, menurut Undang-undang No 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam, merusak alam atau ekosistem pohon dengan sengaja dapat dijerat dengan denda dan hukum pidana, tergantung tingkat kerusakan yang ditimbulkan.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah ketika sekarang capres sudah mengabaikan etika dalam memasang dan menyosialisasikan dirinya dengan semakin memperburuk tata kota dan merusak alam, apakah ia kelak akan mematuhi etika politik atau peduli dengan rakyatnya?

Ada sebuah teori yang patut direnungkan capres maupun pengurus parpol ikhwal etika politik. Hakikat etika merupakan refleksi filosofis tentang moral. Etika merupakan wacana normatif, tetapi tidak harus imperatif karena bisa juga hipotesis, yang membicarakan pertentangan antara yang baik dan yang buruk, yang dianggap sebagai nilai relatif.

Untuk mudahnya. Etika itu ingin menjawab pertanyaan, “bagaimana hidup yang baik?” Oleh karena itu etika lebih dipandang sebagai seni hidup yang mengarah kepada kebahagiaan dan memuncak kepada kebajikan. Jadi etika politik mustinya menjawab, “bagaimana kehidupan politik yang lebih baik?” (“Refleksi”, Joglosemar, 13/12/2008).

Apa yang kita saksikan saat ini, menunjukkan betapa etika iklan politik capres jauh dari ideal—kalau tidak mau disebut tidak beretika. Capres dengan sengaja memasang gambarnya untuk memperkenalkan diri dan membujuk masyarakat untuk memilihnya. Namun, apa yang terjadi, mereka tidak memedulikan etika keindahan tata kota dan kehidupan tumbuhan sebagai bagian dari makhluk hidup.

Lebih dari itu, strategi memasang gambar capres, menurut beberapa pakar tidak akan banyak membantu memperoleh suara pada pada pilpres 2009. Hal ini karena, capres beriklan secara monoton dan membosankan.

Model iklan seperti itu juga terlalu boros. Jika satu poster dihargai dengan Rp. 40.000,- pasangan capres dan cawapres akan menghabiskan Rp. 40 juta hanya untuk membuat poster dengan asumsi mencetak 1.000 buah. Sebuah angka yang tidak sedikit. Uang sebanyak itu, dapat dipergunakan untuk membangun dua buah ruang kelas untuk pendidikan anak bangsa.

Namun, sepertinya, capres tidak memedulikan hal itu. Capres sepertinya ingin menunjukkan keakuannya sebagai calon pemimpin. Mereka tidak peduli seberapa banyak uang yang dikeluarkan, yang penting pada pilpres 2009 dapat terpilih.

Perilaku “pokoke” inilah yang akan menyuburkan korupsi di Indonesia. Korupsi akan dipandang sebagai sebuah hal yang biasa, karena mereka merasa telah mengeluarkan banyak biaya saat pencalonan dahulu.

Inilah kekhawatiran masyarakat melihat fenomena iklan politik capres. Iklan politik yang mengarah pada anarkisme ini akan semakin memperburuk pemimpin bangsa. Masyarakat akan muak melihat wajah-wajah calon pemimpin bangsa yang terpampang di pinggir-pinggir jalan. Hal ini karena, masyarakat sekarang sudah melek politik. Mereka sering beranggapan bahwa nasibnya akan sama saja ketika capres tersebut duduk memimpin bangsa ini. Capres tidak akan mampu menolong meringankan penderitaan rakyat. Capres hanya akan memperkaya diri di tengah kemiskinan rakyat Indonesia.

Pada akhirnya, ketika capres sekarang sudah berani kampanye (iklan) dengan melanggar UU dan semakin memperburuk tata kota, maka sulit diharapkan mereka mampu mengembang amanat rakyat ketika menjadi pemimpin. Mereka akan melakukan apa saja untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan saat kampanye. Dan mungkin benar apa yang pernah dikatakan oleh Jason Jones dan Shân Wareing, “bagaimana caranya agar kita tahu kapan politisi berbohong? Jawabnya setiap kali mereka berbohong, mereka selalu menggerakkan bibir mereka”. Mereka akan selalu berbohong untuk kepentingan diri sendiri dan golongannya. Wallahu a’lam.