Search

Minggu, 08 Desember 2013

Menyoal Kekerasan Perempuan

Oleh Benni Setiawan*)


Satu dari tiga perempuan di dunia mengalami kekerasan atau pelecehan seksual. Demikian menurut laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Laporan yang dirilis WHO, London School of Hygiene and Tropical Medicine (LSHTM), serta South African Medical Research Council (SAMRC), menjadi laporan sistematis pertama secara global yang merinci dampak pelecehan terhadap fisik dan mental perempuan.

Beberapa data yang ditemukan antara lain: kekerasan yang dilakukan pasangan merupakan kasus pelecehan yang paling umum terjadi, mempengaruhi 30% perempuan di dunia; 38% pembunuhan perempuan, dilakukan oleh pasangannya; korban serangan seksual dan kekerasan (yang dilakukan bukan oleh pasangan) akan mengalami depresi dan kegelisahan 2,6 kali lebih besar dibandingkan dengan perempuan yang tidak mengalami kekerasan; korban pelecehan (dengan pelaku pasangan sendiri) mengalami depresi dan kegelisahan dua kali lebih besar; korban cenderung memiliki masalah dengan alkohol, aborsi, dan penyakit yang dibawa dalam hubungan seksual, dan HIV (Kompas, 21 Juni 2013).

Mengutip data kekerasan dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, angka Kekerasan terhadap perempuan (KtP) terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Data Komnas Perempuan menyebutkan pada 2011 terdapat 19.107 ribu kasus dan meningkat menjadi 216.156 ribu pada 2012.

Dari data Legal Resource Keadilan Jender dan Hak Asasi Maunusia (LRC KJHAM) Semarang, tercatat kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah hingga medio November 2013 sudah mencapai 454 kasus, jumlah kasus itu mengalami peningkatan jika dibandingkan pada 2012 yang hanya mencapai 408 kasus (Suara Merdeka, 20 November 2013).

Data tersebut tentu sangat meresahkan. Perempuan masih saja dijadikan “alat pemuas nafsu” laki-laki. Perempuan-perempuan pun masih saja dianggap lemah. Bahkan, perempuan adalah the second sex (seks kedua) yang mempunyai banyak kelemahan. Perempuan pun masih dianggap sebagai hiasan. Masyarakat masih memandang perempuan dari kemolekan tubuh yang dapat setiap saat dijamah. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana mengurai masalah ini?

Payudara
Tubuh perempuan memang senantiasa menjadi hal yang menjadi perdebatan. Tubuh perempuan menjadi harga tersendiri bagi kaum hawa. Tubuh molek nan seksi senantiasa menjadi pergunjingan kaum adam. Jika seorang perempuan mempunyai hal yang demikian ia dianggap “mahal”.

Bagian kemolekan dari tubuh itu pun biasanya hanya dilihat dari payudara. Menurut, Freud, payudara itu tak ubahnya penis pada laki-laki. Keduanya—payudara dan penis—bersifat libidis, yaitu membangkitkan nafsu birahi secara instinktif. Kedunya adalah sumber kenikmatan seksual yang bisa dinikmati secara oral.

Lebih lanjut, Germaine Greer menyebut tubuh yang indah dan seksi, wajah jelita, kulut cemerlang, payudara montok adalah paket yang dikejar hampir setiap kaum perempuan agar kecantikannya menyamai para dewi yang hidup dalam dongeng. Mengapa harus menjadi seorang dewi, jika tubuhnya hanya menjadi objek permainan kaum laki-laki? Sementara itu, ada peran lain yang lebih penting menanti.

Menurut Betty Freidan, tokoh feminis yang menulis buku The Feminine Mystique, para perempuan yang terjerumus ke dalam gelapnya gua-gua masochism bukanlah atas kehendaknya. Melainkan karena kaum laki-laki hanya menghargai feminitas sebagai objek seksual belaka.

Jika kaum lelaki menghargai feminitas secara keseluruhan, yang terjadi tidak akan demikian, sehingga kaum perempuan punya peran lebih luas seperti peran kaum lelaki di masyarakat. Ini yang mendorong kaum feminis liberal berjuang keras untuk punya hak yang sama di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, dan lingkungan hidup seperti halnya kaum laki-laki (Naning Pranoto, 2010).

Dengan demikian, tubuh tidak hanya menjadi indah dengan atribut keindahan seperti di atas. Perempuan sudah selayaknya menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia dapat lebih berperan dalam banyak hal.

Simone de Beauvoir dalam The Second Sex merekomendasikan kemandirian perempuan. Ia tampak membela perempuan apa yang ditempatkannya lain, ditentukan oleh laki-laki yang dinamakan sebuah insistensi pada semacam subjektivitas laki-laki yang dicapai perempuan sendiri. Perempuan bebas dari laki-laki sebagaimana banyak yang membacanya, sejumlah perempuan mengambil milik dan kekuatan yang ditujukkan laki-laki, melakukan apa yang dilakukan laki-laki.

Apa yang diperlukan, beberapa orang memberi alasan, adalah bukan perempuan yang menjadi seperti laki-laki tetapi bahwa manusia, secara umum harus mengubah asal muasal dunia yang didominasi oleh laki-laki sedemikian rupa caranya sehingga perempuan bebas menjadi perempuan, tidak sekadar perempuan yang bertindak seperti apa yang dilakukan oleh laki-laki. Apa yang keliru dengan banyak keterangan, adalah androsentivitas dan solusinya tidaklah melihat otentisitas sebagai hidup maskulin, tetapi menyangkut hidup individual apa pun jenis kelaminnya (James Garvey, 2010).

Memiliki Jiwa
Di zaman serba cepat sekarang ini, perempuan mempunyai peran lebih dalam turut serta membangun peradaban. Kekaryaan perempuan ditunggu di era sekarang ini. Perempuan-perempuan yang masih terjebak pada rutinitas dan kemolekan diri hanya akan menjadi “masalah” di era kekinian.

Tubuh perempuan adalah modal untuk bergerak. Tubuh tidak hanya untuk dipercantik, namun sikap juga perlu untuk diperbaiki. Kemolekan tubuh tanpa kekuatan pribadi yang membudaya hanya akan semakin mengerdilkan peran perempuan.

Padahal laki-laki dan perempuan adalah setara. Kesetaraan itu berpangkal pada asal penciptaan manusia yang diciptakan dari satu jiwa (an-Nisa’, 4:1). Hadis-hadis yang menyatakan bahwa perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk laki-laki merupakan pernyataan yang perlu dipahami maknanya secara simbolik. Dengan pernyataan itu, Rasulullah (juga para pencipta tradisi Perjanjian Lama) tidak bermaksud untuk menunjukkan bahwa perempuan itu merupakan second creature, tapi untuk menunjukkan pandangan bahwa perempuan itu merupakan manusia yang memiliki jiwa.

Karena merupakan makhluk yang berjiwa, maka perempuan, memiliki otonomi. Di dunia ini, sebagaimana laki-laki, dia juga merupakan khalifah dan kehambaan itu merupakan sesuatu yang melekat padanya sesuai dengan kemanusiaannya. Keduanya tidak akan terlepas darinya selama dia masih menjadi manusia.

Kemudian, karena sama-sama memiliki otonomi, maka relasi laki-laki dan perempuan harus didasarkan pada prinsip-prinsip kesetaraan (al-Isra’, 17:70), keadilan (al-Maidah, 5:8), dan saling menghormati (an-Nisa’, 4:86). (Hamim Ilyas, 2001).

Menilik argumentasi di atas, selayaknya laki-laki tidak memperlakukan perempuan bak hiasan. Laki-laki dan perempuan punyak hak yang sama membangun peradaban.
Lebih lanjut, tingginya angka kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan hanya akan semakin memperlambat laju pembangunan. Perempuan akan menderita. Padahal mereka adalah ibu dari generasi yang akan datang.

Kekerasan terhadap perempuan atas nama apapun merupakan perbuatan biadab. Kekerasan terhadap perempuan pun mencerminkan betapa masih banyak laki-laki yang hanya menikmati kemolekan tubuh, tanpa mengajak mereka untuk bersama-sama membangun keadaban publik.
Pada akhirnya, kekerasan terhadap perempuan sudah selayaknya diakhiri. Pasalnya, laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam membangun kebangsaan dan keindonesiaan. (Harian Joglosemar, Kamis, 5 Desember 2013)


Jumat, 06 Desember 2013

Membangun Semangat Kebangsaan

Oleh Benni Setiawan*)


Setiap tanggal 16 November, dunia memperingati Hari Internasional untuk Toleransi. Meskipun lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Unesco sudah mengadopsi peringatan tersebut sejak 1995, Indonesia baru memperingatinya pada tahun 2008.

Kekerasan atas nama agama masih saja mewarnai kehidupan bangsa ini. Berdasarkan catatan Setara Institute selama periode Januari hingga November 2013, angka kekerasan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan masih sangat tinggi.

Pemantauan di 23 provinsi selama ini menunjukkan, masih terjadi 213 peristiwa dengan 243 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Umumnya praktik intoleransi, kekerasan, dan diskriminasi terjadi karena ketidaktegasan negara dalam menghadapi praktik-praktik tersebut.

Dalam kasus penyelenggelan masjid Al-Muslih, tempat ibadah jemaah Ahmadiyah di Sumedang, Jawa Barat, pada 26 Oktober 2013 lalu, misalnya, pihak aparat keamanan seolah diam saja.

Lalu, pertanyaannya, mengapa hal seperti itu masih selalu saja berulang? Mengapa bangsa Indonesia seakan tidak pernah belajar untuk menghormati keyakinan orang lain?

Bertentangan dengan Konstitusi Padahal, UUD 1945 telah menjamin kemerdekaan beragama dan berkeyakinan. Bahkan UUD mengamanatkan negara menjadi benteng bagi terciptanya kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jaminan UUD ini ternyata belum mampu dibaca secara baik oleh warga negara. UUD seakan menjadi pembenar kebijakan yang menguntungkan saja. UUD tidak terpakai jika hal itu merugikan kepentingan pribadi dan kelompok.

Potret nyata inilah yang seringkali menggusur kearifan. Kearifan sebagai penanda kemanusiaan telah luntur dan pudar. Kearifan dalam beragama pun tertutupi oleh kerak kebencian. Kebencian dan menganggap orang lain liyan telah mengenyahkan pandangan teologis yang inklusif.

Teologi inklusif berubah menjadi eksklusif. Seseorang menganggap apa yang diyakini paling benar dan menyalahkan pandangan keagamaan orang lain. Ketika hal tersebut telah merasuk dalam kehidupan seseorang, maka tidak aneh jika kekerasan menjadi hal yang lumrah.

Kekerasan tersebut digerakkan oleh kesadaran teologis yang menjadikan seseorang bergerak atas nama Tuhan. Apa yang mereka lakukan adalah benar dan bahkan diperintahkan oleh Tuhan.

Padahal, dalam agama (Islam), sudah dijelaskan secara gamblang bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (2: 256). Bahkan, dalam Surat al-Kahfi (18: 29) dijelaskan bahwa “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.”

Dengan demikian, pemaksaan pindah keyakinan dari “Ahmadiyah ke Islam yang diakui oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)” itu bertentangan dengan akal sehat (aqli) dan ketentuan Allah (naql). Keyakinan merupakan pilihan historis seseorang.

Ia lahir dari sebuah kesadaran akal sehat dan ketenteraman batin yang tidak seorangpun kuasa untuk menyalahkan pilihan itu. Keyakinan beragama pun seakan menjadi bukti bahwa proses pencarian unsur-unsur ketuhanan (lahut) bersinergi dengan unsur-unsur kemanusiaan (nasut).

Azyumardi Azra (2012), dengan mengutip Ali Syariati, pemikir terkemuka Iran, mengemukakan tarik menarik antara unsur-unsur lahut dan nasut dalam diri manusia merupakan pergulatan perennial, abadi. Jika manusia beragama memenangkan pergulatan itu dan, dengan demikian, berhasil mengembangkan unsur-unsur lahut-nya, maka ia tidak hanya dapat kembali kepada fitrahnya tetapi juga sekaligus dapat mengangkat harkatnya lebih mulia daripada malaikat sekalipun. Tetapi, sebaliknya, jika manusia kalah dalam pergumulan itu dan lebih dikuasai unsur-unsur nasut-nya, maka ia akan dan dapat terjerumus ke dalam abyss, lubang kenistaan terdalam tanpa dasar.

Keberagamaan yang Sakit
Lebih lanjut, ketika terjadi pemaksaan terhadap keyakinan dan keagamaan pun seakan membenarkan apa yang pernah diungkapkan oleh William James. Kira-kira satu abad yang lalu, William James dalam The Varienties of Religions Experience: A Study in Human Nature membuat kategorisasi keberagamaan. Ada keberagamaan yang sehat (healthy minded) dan keberagamaan yang sakit (sick soul).

Tanda-tanda keberagamaan yang “sehat” antara lain adanya sikap dan pandangan dunia (world view) yang optimistik, ekstrovert, dan gradual. Mereka adalah orang-orang yang memiliki harapan, terbuka, dan menekankan proses berkesinambungan dalam mencapai cita-cita.

Ciri-ciri keberagamaan yang “sakit” adalah world view yang bercorak pesimistik, introvert dan non-gradual. Orang yang masuk dalam kategori ini senantiasa putus asa dan berwajah murung. Pergaulan dibatasi dalam internal kelompoknya saja, namun jika memiliki keinginan, mereka tidak memerhatikan proses panjang yang harus dilalui.

Keberagamaan yang sakit atau bersifat ekstrinsik sangat mudah menjadi target bidik para “provokator” yang dengan kepentingannya ingin mengail di air keruh. Masyarakat akan menjadi sangat rentan, rapuh, frigile, mudah pecah, dan mudah terpancing oleh isu. Mereka bagaikan rumput kering yang mudah dibakar (suggestibility). Keberagamaan yang bercorak ekstrinsik memang sangat rentan (M. Amin Abdullah, 2012).

Kerentanan tersebut terbukti dengan tidak kunjung kondusifnya hubungan antar warga terkait Jemaat Ahmadiyah. Sebagian masyarakat masih menganggap Ahmadiyah bukan bagian dari keberagamaan di Indonesia. Kondisi yang demikian kemudian menimbulkan ketakutan bagi Jemaat Ahmadiyah. Penyegelan rumah ibadat merupakan teror psikis dan fisik yang paling nyata.

Kondisi tersebut selayaknya disudahi. Melalui semangat kebangsaan dan keindonesiaan selayaknya kita menjadi penyokong keberagamaan yang sehat. Keberagamaan yang menekankan prinsip-prinsip keterbukaan dan toleransi, menghargai keyakinan dan pilihan hidup seseorang sebagai insan merdeka. Insan yang senantiasa gandrung pada kedamaian, hidup berdampingan, dan menghormati keragaman dalam perbedaan.

Masyarakat Indonesia selayaknya mempraktikkan keberagamaan yang sehat, yaitu dengan menggelorakan dialog yang didasarkan ilmu pengetahuan, bukan saling memaksakan. Melalui dialog ini harapan dan keterbukaan akan menjadi hal lumrah, sehingga semua pihak mempunyai harapan besar membangun kesinambungan dan menegakkan nalar kebebasan beragama dan keyakinan.

Melalui proses kebangsaan dan keberagamaan, seluruh komponen bangsa ini mampu bersinergi dalam gerak langkah membangun keadaban publik. Keberagamaan kemudian menjadi perekat kebangsaan yang menjadi ruh bangsa.

Pada akhirnya, selayaknya kebangsaan dan keberagamaan bukan hanya seruan dalam teks UUD 1945 dan teks suci keagamaan. Namun, hal itu harus mewujud dalam keseharian dengan sikap menghormati dan hidup berdampingan dan bekerja sama walaupun berbeda dalam keyakinan dan keagamaan. Semoga. Wallahu a’lam. (ID, 16 November 2013)

Benni Setiawan
Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta
(UNY), peneliti Maarif Institute for
Culture and Humanity

Intoleransi Mengusik Kebangsaan (Catatan Hari Toleransi Internasinal 16 November 2013)

Oleh Benni Setiawan*)


Kebangsaan dan keindonesiaan hari ini mulai terkikis. Salah satu indikasinya adalah semakin masifnya intoleransi, tindak kekerasan, permusuhan, dan perilaku menyimpang lainnya. Seperti “gugatan” sebagian orang kepada Lurah Susan. Lurah Susah yang memimpin Lenteng Agung disoal oleh sebagian masyarakat. penolakan ini bukan berdasarkan kinerja, namun berdasarkan agama. Sungguh ironis. Bangsa dengan pluralitas agama ini masih bersitegang dan memandang pemimpin yang berbeda agama dari komunitas utama.

Bangsa Indonesia seakan tidak pernah mau belajar mengenai perbedaan. Padahal sejak era kemerdekaan para foundhing fathers mengajarkan hal ini kepada bangsa. Penyoalan keberadaan seseorang pemimpin berdasarkan agama sungguh mengusik akal sehat. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa keberagamaan belum mampu menjadi perekat kebangsaan dan keindonesiaan?

Makhluk Terbaik
Emha Ainun Nadjib, dalam Markesot Bertutur (2012) menyebut manusia itu rata-rata adalah tukang dusta! Mereka pura-pura menyembah Tuhan, padahal setiap saat mereka tidak menomorsatukan Tuhan. Mereka merusak alam. Mereka rakus dan serakah. Mereka hanya tahu kepentingan diri sendiri. Mereka itu pencuri-pencuri yang mengaku alim!

Manusia senantiasa bernafsu untuk menumpuk harta walaupun dengan cara yang haram. Korupsi, kolusi, nepotisme manjadi hal biasa. Korupsi pun dilakukan serempak dan saling menutupi kesalahan kawan. Maka, tidak heran jika kelak di alam kubur ketika ditanya, “Man Rabbuka?” (Siapa Tuhanmu), manusia banyak yang menjawab, “Mercy, Rabbi” (Mercy Tuhanku).

Saat itu mulut tidak kuasa menjawab, melainkan realitas sejarah kita selama hidup di dunia. Jadi, Tuhan kita atau apa saja yang kita nomorsatukan dalam hidup, mungkin harta benda, hedonisme, popularitas, karier pribadi, egoisme, Mercy, Tiger, atau apa saja yang memang kita sembah, kita utamakan dari lain-lainnya dalam kehidupan. Nafsu dan kekhilafan hidup itu sekadar menjadi rumbai atau “hiasan dinding jiwanya”—namun hakikatnya tetaplah apa yang dia nomorsatukan.

Menilik betapa durhakanya manusia, maka tidak mengherankan jika bumi, gunung dan laut geram. Mereka pun berdoa kepada Tuhan untuk menghancurkan makhluk berakal ini. Bumi, gunung, dan laut, beralasan, manusia itu rata-rata adalah tukang dusta! Mereka pura-pura menyembah Tuhan, padahal setiap saat mereka tidak menomorsatukan Tuhan. Mereka merusak alam, mereka rakus dan serakah, mereka hanya tahu kepentingan diri mereka sendiri. Mereka itu pencuri-pencuri yang mengaku alim!

Namun, Tuhan Maha Penyayang. Dengan bijak Tuhan berseru kepada bumi, gunung, dan laut. “Wahai gunung, laut, dan bumi, tenanglah! Tingkat kemakhlukan kalian lebih rendah daripada manusia. Jadi, kalian tidak akan sanggup menghayati betapa Aku amat mencintai manusia. Manusia adalah masterpiece ciptaan-Ku. Mereka itu ahsanu taqwim. Tenanglah kalian. Aku Maha Mengerti apa yang Aku kehendaki. Dan ketahuilah, seandainya engkau yang menciptakan manusia, akan demikian juga cintamu kepada manusia…” (Emha Ainun Nadjib: 2012).

Peradaban Utama
Kecintaan Allah terhadap manusia ini selayaknya menjadikan manusia selalu semangat untuk melakukan kebaikan. Pasalnya, keimanan tanpa amal saleh hanya akan menjadikan diri kita menjadi manusia tuna sosial. Sebaliknya, amal saleh tanpa keimanan akan menyeret manusia pada keangkuhan, riya, dan melalaikan Allah, sebagai Dzat Yang Maha Berkehendak.
Melalui konsepsi tersebut, tatanan kebangsaan selayaknya terbangun atas dua dasar utama, yaitu iman dan amal saleh (perbuatan baik). Dua hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dua hal tersebut selayaknya mewujud dalam satu langkah dan tindakan.
Sayangnya dua hal tersebut belum menjadi kesatuan langkah bagi bangsa Indonesia. Maka tidak aneh jika kebangsaan semakin rapuh dan cenderung mendistorsi makna kemanusiaan.
Proses keberagamaan dalam kehidupan sosial selayaknya menjadi spirit kebangsaan. Bangsa Indonesia selayaknya terus membangun etos kerja peradaban. Artinya, umat selayaknya tersadarkan dan segera bergegas untuk membina dan memperbaiki keadaan.
Umat selayaknya menjadi pelopor dalam kehidupan sosial. Umat menjadi pemimpin masyarakat berperadaban dengan cara giat bekerja. Segera menyelesaikan satu pekerjaan dengan kesungguhan jiwa dan keimanan dan bergegas melangkah menuju kerja selanjutnya.
Spirit ini tertuang jelas dalam al-Qur’an. “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap (Q.S. Alam Nasrah, 94: 7-8).
Ayat tersebut mengajarkan kepada umat Islam, khususnya, untuk senantiasa memiliki etos kerja membangun peradaban dalam bingkai ihsan (berbuat baik). Ihsan yang mewujud dalam kehidupan sosial dan membingkai keadaban bangsa menuju peradaban utama (baldatun thoyyibatun wa rabbun qhafur).
Kerja-kerja ini tidaklah ringan namun juga tidak berat. Berbekal tekad dan potensi yang ada, bangsa Indonesia akan mampu terlepas dari jerat disintegrasi.
Ketika bangsa ini tidak berlomba dalam kebaikan, dan malah terseret dalam disintegrasi dan intoleransi maka, kebangsaan akan hancur. Apalagi jika kepemimpinan diukur dari agama seseorang, bukan karena prestasi.
Pada akhirnya, sikap penolakan berdasarkan agama yang dialami oleh Lurah Susan, seakan mengusik kebangsaan kita. Kebangsaan yang dibangun dari jerih payah, kerja keras, dan prestasi, dikotori oleh perilaku sebagian orang yang masih memandang sempit berdasarkan agama. Padahal keberagamaan mengajarkan untuk senantiasa berbuat baik dan giat bekerja untuk kehidupan tanpa memandang agama.(Opini Sinar Harapan, Sabtu, 16 November 2013)


*)Benni Setiawan, Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity.




Muhammadiyah dan Tantangan Zaman

Oleh Benni Setiawan*)


Sejak Muktamar ke-46 di Yogyakarta, Muhammadiyah telah menyatakan diri berumur satu abad. Kini di usia 104 H/101 M, tantangan menghadapi perubahan zaman semakin nyata. Oleh karena itu, sebagai organisasi modern terbesar amal usahanya sedunia, Muhammadiyah selayaknya terus berkhidmat dalam pembangunan manusia.

Pembangunan manusia adalah serangkaian upaya membangun keunggulan dalam setiap amal usaha. Sebagaimana tema Milad tahun ini, “Meraih Keunggulan untuk Kemajuan Bangsa”. Keunggulan itulah yang selayaknya menjadi semangat ber-Muhammadiyah. Pasalnya, Muhammadiyah adalah gerakan tajdid. Keunggulan merupakan manifestasi dari tajdid itu sendiri. Melalui pembaruan dan inovasi maka keunggulan menjadi sebuah keniscayaan.

Lebih lanjut, dalam meraih keunggulan, Muhammadiyah selayaknya terus berkhidmat dalam bidang pendidikan dan ekonomi kreatif. Sebagai pelopor bidang pendidikan dan ekonomi kreatif, Muhammadiyah perlu terus mengkaji dan menggali kearifan lokal sebagai basis penguatan menghadapi tantangan global.

Kearifan lokal dalam bidang pendidikan misalnya, Muhammadiyah perlu untuk menjadikan lembaga sekolah sebagai tempat persemaian yang menyenangkan bagi peserta didik. Sekolah Muhammadiyah merupakan pendulum terciptanya himpunan manusia yang menghargai ragam budaya Nusantara. Di sekolah-sekolah Muhammadiyah selayaknya mengembangkan permainan-permainan tradisional yang sekarang sudah semakin punah. Melalui hal tersebut, keunggulan bangsa yang diancang Muhammadiyah tersemai atas realitas kebangsaan. Muhammadiyah pun tetap menjadi aset kebangsaan.

Demikian pula dengan ekonomi kreatif. Dalam struktur organisasi Muhammadiyah setidaknya ada dua Majelis yang bersentuhan langsung dengan hal tersebut. Yaitu Majelis Ekonomi (ME) dan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM). ME dan MPM merupakan dua kepanjangan tangan Muhammadiyah dalam menggelorakan semangat wirausaha mandiri. Melalui dua majelis ini, Muhammadiyah terus mengembangkan potensi masyarakat dalam menghadapi tantangan zaman. Selamat Milad Muhammadiyah, 18 November 2013.(Radar Surabaya, 18 November 2013)

*)Benni Setiawan, Kontributor buku, Satu Abad Muhammadiyah, Mengkaji Ulang Arah Pembaruan (2010).

Golkar (Bukan) Partai Karbitan

Oleh Benni Setiawan*)


Sejarah bangsa Indonesia mencatat, Partai Golkar—dahulu Golkar—merupakan kekuatan nyata dalam menyokong lajunya pemerintahan Orde Baru. Terlepas dari plus-minusnya, Partai Golkar, merupakan partai politik yang paling siap dalam melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa. Hal ini karena, Partai Golkar mempunyai sumber daya manusia yang telah dididik lama dalam hal politik. Politisi Partai Golkar bukanlah aktor karbitan. Ia mempunyai pengetahuan dan jam terbang tinggi dalam mengecap sistem demokrasi di Indonesia.

Dalam sejarah panjang sistem politik Indonesia, hanya Partai Golkar yang tidak menggunakan patron dalam setiap pemilu. Hampir tidak ada gambar foto ”penggede” partai bersanding dengan calon legislatif dari Partai Golkar. Hal ini tentunya berbeda dengan partai lama maupun baru yang bangga menjual sesepuh partai untuk mendulang suara.
Pencapaian suara Partai Golkar yang stabil sejak pemilu 1999 menunjukkan konsolidasi internal yang cukup baik. Bahkan dimasa sulit sekalipun (pemilu 1999), Partai Golkar masih mampu meraih dua besar parpol pemenang pemilu. Perolehan kursi di Senayan pun selalu di atas 100 kursi. Hal ini menunjukkan, kepercayaan (trust) rakyat Indonesia terhadap Partai Golkar masih tinggi.

Tingginya kepercayaan rakyat Indonesia terhadap Partai Golkar sudah saatnya dipelihara dan dibina. Artinya, pimpinan Partai Golkar harus menghormati dan menghargai suara rakyat ini dengan sebaik-baiknya. Memajukan kader sendiri dalam pilpres nanti menjadi salah satu upaya nyata menyelamatkan suara Partai Golkar.

Partai Golkar adalah partai masa depan. Jika Partai Golkar masih saja belum percaya diri dengan sumber dayanya, maka partai ini hanya akan ada dalam sejarah. Dikenang melalui pelajaran sejarah yang dihafal oleh peserta didik tanpa mengetahui hakikat dan maknanya.

Pada akhirnya, merupakan sebuah kewajiban bagi Partai Golkar ikut mewarnai dan mengisi sistem demokrasi di Indonesia. Sistem demokrasi presidensial yang tidak hanya hitam, putih, dan abu-abu yang penuh dengan kepura-puraan, namun sebuah sistem demokrasi kebangsaan yang penuh makna.(Radar Surabaya, Senin, 21 Oktober 2013)

*)Benni Setiawan, Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity.