Search

Jumat, 21 Desember 2007

Menunggu bukti kerja nyata KPK jilid II

Menunggu bukti kerja nyata KPK jilid II
Solo Pos, Edisi : Rabu, 19 Desember 2007 , Hal.4



- Terpilihnya Antasari Azhar menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)—menggantikan Taufiequrrachman Ruki—menurut beberapa pihak adalah lonceng kematian bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hal ini dikarenakan, Antasari diduga kuat terkait dengan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang hingga kini tidak jelas rimbanya.
Terpilihnya Antasari juga karena adanya lobi antaranggota Komisi III DPR. Lobi politik inilah yang sering dijadikan alasan adanya ”permainan” dan ”rekayasa” di balik terpilihnya Antasari.
Terlepas dari itu semua, setidaknya Antasari adalah “yang terbaik” dari 546 calon pimpinan KPK diumumkan ke publik pada 11 Juli 2007. Antasari telah menyisihkan calon pimpinan KPK lainnya dari berbagai latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja.
Berdasarkan bidang keahlian, calon pimpinan KPK didominasi oleh calon dengan latar belakang hukum sebanyak 333 orang (61%), bidang ekonomi 77 orang (14,1%), bidang keuangan 58 orang (10,6%), perbankan 16 orang (2,9%), dan bidang lainnya sebanyak 62 orang (11,4%).
Dengan terpilihnya pimpinan KPK periode 2007-2012 itu pula, tentunya masyarakat Indonesia menantikan gebrakan nyata dalam hal pemberantasan korupsi. Dengan demikian bisa dikatakan pimpinan KPK jilid II mempunyai tugas yang lebih berat. Hal itu dikarenakan, beban tugas yang belum tuntas oleh KPK jilid I masih sangat banyak.
Menurut data, hingga Juni 2007, KPK mendapatkan 19.901 laporan masyarakat, 6.213 berindikasi korupsi. Selain itu, tugas berat KPK jilid II adalah membongkar kasus BLBI yang secara tidak langsung sebagai ajang pembuktian bahwa pimpinan KPK sekarang benar-benar merupakan yang terbaik.
Butuh keberanian
Lebih lanjut, KPK sebagai lembaga yang menangani kasus korupsi saat ini telah diisi oleh orang-orang mumpuni di bidangnya dan yang lebih penting adalah orang-orang yang mempunyai keberanian. Artinya, pimpinan KPK adalah orang-orang yang mempunyai nyali berhadapan dengan penegak hukum, koruptor dan orang-orang yang ada di belakang para koruptor.
Pimpinan KPK saat ini sudah saatnya meneladani Zhu Rongji, Perdana Menteri China (1998-2002). Zhu Rongji pernah menyatakan “Sediakan 100 peti mati. 99 Untuk para koruptor dan satu untuk saya sendiri jika saya korupsi”. Sebuah pernyataan berani dari seorang pemimpin yang memerintah sekitar 1,4 miliar penduduk. Adakah pimpinan KPK berani seperti itu?
Keberanian untuk membuat pernyataan seperti itu merupakan bukti pemihakan kepada seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bersama, penderitaan dan kemiskinan yang mencapai 42,9 juta penduduk (versi Tim Indonesia Bangkit) Indonesia salah satunya disebabkan oleh tindakan korupsi.
Oleh sebab itu, pemberantasan korupsi adalah amanat kemanusiaan yang sudah saatnya ditunaikan. Salah satunya oleh KPK. Menurut Huther dan Sah (2000), sebagaimana dikutip Teten Masduki (Kompas, 12/7/2007), ada empat hal yang direkomendasikan untuk mengatasi korupsi di Indonesia, yang ditandai lemahnya kemauan politik dan rendahnya keinginan memperbaiki diri. Empat hal itu adalah (1) perubahan kebijakan ekonomi. (2) penyederhanaan birokrasi. (3) penegakan hukum, dan (4) perluasan partisipasi masyarakat.
Malu berkorupsi
Perubahan kebijakan ekonomi menjadi sangat penting dikarenakan investor akan banyak menanamkan sahamnya di Indonesia didorong oleh sedikit banyaknya pengusaha nakal. Artinya, investor akan berpikir ulang jika pengusaha Indonesia banyak terjerat masalah korupsi. Yang pada akhirnya akan merugikan sang investor.
Ambil contoh, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Ekonom Faisal Basri, mengenai masalah Daftar Negatif Investasi (DNI). Pemerintah harus tetap teguh, dengan menjelaskan Perpres No 76/2007 dan Perpres No 77/2007 dengan aturan yang lebih gamblang. Hal ini akan lebih memudahkan aparat penegak hukum dalam hal ini KPK dalam menjerat dan memperkarakan pengusaha nakal.
Penyederhanaan birokrasi pun demikian. Semakin sedikit meja yang harus dilalui seseorang dalam mengurus surat izin misalnya, akan dapat menekan tingkat korupsi.
Hal ini dikarenakan, jika setiap meja yang dilalui harus membayar ”uang jasa” Rp 10.000, maka jika ada 12 meja, seseorang akan menghabiskan dana Rp 120.000 hanya untuk mengurus surat izin. Perampingan birokrasi ini juga pernah diusahakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kasus urusan paspor dan visa tenaga kerja Indonesia (TKI) dari 48 meja menjadi 12 meja.
Penyederhanaan birokrasi pun dapat dilakukan dengan membuat pelayanan dalam satu atap. Pelayanan ini selain dapat menekan biaya bulanan juga dapat memudahkan auditor untuk melaksanakan tugasnya.
Penegakan hukum menjadi hal yang tak kalah penting. Setiap pimpinan KPK juga harus berani menindak perangkat hukum yang selama ini belum tersentuh tangan KPK. Bagaimana mau membersihkan korupsi, jika sapunya (penegak hukumnya) kotor.
Keberanian menindak aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan dan kehakiman menjadi nilai tersendiri bagi pimpinan KPK baru. Terlebih dengan hasil temuan terbaru tim Transperancy Internasional (TI) Indonesia bahwa kepolisian menempati urutan teratas korupsi dengan indeks 4,2 disusul partai politik dan anggota DPR.
Keberanian mengungkap jaringan mafia peradilan, tim penyidik dan penyelidik oleh KPK adalah gebrakan positif yang perlu didukung oleh seluruh elemen masyarakat.
Terakhir adalah peran serta masyarakat. Kritik yang pernah dikemukakan oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif (mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah), bahwa perilaku masyarakat Indonesia yang sudah tidak sesuai antara laku dan kata, sudah saatnya diakhiri.
Pimpinan KPK yang berapi-api dalam menyampaikan padangannya mengenai korupsi saat fit and proper test sudah saatnya dinyatakan dalam laku. Artinya, Indonesia saat ini membutuhkan orang yang banyak bergerak dan melakukan gebrakan nyata dengan tindakan dan aksi daripada orang-orang yang banyak bicara.
Lebih lanjut, sebagai umat beragama, masyarakat Indonesia harus merasa malu melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini dikarenakan, korupsi telah merampas hak orang lain secara lalim. Korupsi juga telah membuat bangsa ini terpuruk. Korupsi telah menjadikan anak-anak Indonesia kurang cerdas dan terhimpit persoalan ekonomi.
Oleh karena itu, sudah saatnya masyarakat turut serta dalam Koalisi Anti-Korupsi yang digagas oleh ormas Islam beberapa waktu lalu. Pada akhirnya, taring (nyali) pimpinan KPK jilid II sangat ditunggu oleh masyarakat luas. Semoga pimpinan KPK jilid II ini mampu meneladani keberanian Zhu Rongji.

”Saatnya pimpinan KPK meneladani Zhu Rongji, Perdana Menteri China dengan ucapan sediakan 100 peti mati, 99 untuk para koruptor dan satu untuk saya sendiri jika saya
korupsi—nya yang melegenda.”
- Benni Setiawan, Peneliti pada Yayasan Nuansa Sejahtera

Kamis, 13 Desember 2007

Meruwat Bumi untuk Manusia

Meruwat Bumi untuk Manusia
Jakarta
Sabtu, 28 April 2007

Bumi adalah tempat kita hidup dan berpijak. Darinyalah kita dapat mempertahankan hidup. Sebab, dari perut bumi kita mendapatkan segala hal yang kita butuhkan.

Ambil contoh, dari bumi padi bisa tumbuh dan menghasilkan beras. Dari bumi muncul minyak bumi, timah, tembaga emas dan seterusnya. Hal ini menjadikan bangsa Indonesia kaya akan barang tambang. Dan benarlah renungan Ignas Kleden (1986), bahwa segala sesuatu bertumbuh dari bawah. Bangunan yang kokoh nan indah berasal dari fondasi yang kuat. Bunga yang menawan tumbuh dari biji dan perawatan yang baik.

Namun, apa yang terjadi dengan bumi Indonesia? Bencana alam sepertinya tidak mau berhenti menerpa semesta alam Indonesia. Masih segar dalam ingatan kita tsunami di Aceh, gempa bumi di Yogyakarta, gempa dan tsunami di Pangandaran, dan banjir bandang serta tanah longsor yang melanda dari Sabang hingga Merauke. Tidak dapat dihitung lagi kerugian materiil dan imaterial.

Bumi Indonesia sudah rusak. Itulah kesimpulan sementara. Hutan alam dibabat habis untuk kepentingan ekspor cukong nakal. Kayu Indonesia di jual ke Malaysia secara illegal. Sehingga Malaysia dijuluki sebagai egara terbesar dalam ekspor kayu. Dari mana asalnya? Tentunya dari hutan alam Indonesia.

Kerusakan hutan di Indonesia menurut Menteri Kehutanan M.S. Ka'ban telah mencapai 59,1 juta hektar. Sedangkan laju percepatan kerusakan hutan mencapai mencapai 2,8 juta hektar per tahun (Kompas, 02/05/2006).

Demikian pula pasir di Kepulauan Riau. Pasir-pasir tersebut dijual kalau tidak mau disebut diselundupkan secara illegal ke Singapura. Singapura telah berhasil mengembangkan wilayah daratannya dan mampu mereklamasi beberapa pantai menjadi daratan. Itu semua pasir dari Indonesia. Bangsa Indonesia tampaknya kurang bersyukur dengan anugerah Tuhan ini. Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan untuk mencegah kesurakan alam Indonesia?

Ruwat

Ruwat dalam kosmologi Jawa berari, membenahi, melestarikan, membuang sial, dan melakukan pembaruan. Ruwatan biasanya dilakukan untuk orang yang sering sakit-sakitan. Mereka diruwat agar dapat hidup sehat. Salah satu ritual ruwat yang biasa dilakukan adalah dengan jalan mengganti nama, memandikannya dengan kembang tujuh rupa dan melarangnya untuk berpergian dalam beberapa hari atau hari-hari tertentu.

Alam Indonesia tampaknya juga perlu diruwat. Hal ini dikarenakan, murkanya alam telah banyak membuat manusia mati sia-sia, habisnya harta bendanya, dan tidak seimbangnya makrokosmos bumi.

Tidak seimbangnya makrokosmos bumi akan berakibat fatal. Akibat kerusakan hutan dan pemakaian bahan bakar fosil misalnya, menurut Lester R Brown (1987), telah meningkatkan kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer. Dengan pemakaian bahan bakar fosil sebanyak empat persen pertahun (1900-1980), maka pada 2030 kadar CO2 di udara diperkirakan meningkat dua kali lipat. Suhu rata-rata akan naik tiga derajat Celcius dalam masa 45 tahun berikutnya. Peningkatan suhu bumi membawa bermacam pengaruh, di antaranya adalah kenaikan permukaan laut setinggi 5-7 meter. Maka diperkirakan dataran Jakarta akan tenggelam pada tahun 2050.

Maka salah satu jalan untuk mengantisipasi hal tersebut di atas adalah dengan jalan meruwat bumi Indonesia. Yaitu, pertama, menghentikan pembalakan liar. Pembalakan liar tidak hanya akan merugikan negara tetapi juga, merugikan bangsa Indonesia. Karena pembalakan liar negara tidak mendapatkan income (pendapatan). Lebih lanjut, manusia Indonesia akan mendapatkan petaka akibat banjir dan tanah longsor. Penegakan hukum menjadi kunci utamanya. Hukum harus adil. Tidak tebang pilih.

Kedua, menghemat pemakaian bahan bakar fosil. Sumber daya alam tidak dapat diperbarui ini sudah saatnya dihemat. Tidak hanya untuk keberlangsungan hidup anak cucu kita. Lebih dari itu, untuk mengurangi kadar polusi udara dan pemanasan global.

Salah satunya adalah dengan kembali menggunakan sepeda onthel. Sepeda onthel dapat digunakan untuk menempuh perjalanan jarak dekat. Onthel dapat menghemat bahan bakar fosil (minyak). Dan dapat membuat hidup kita lebih sehat.

Ketiga, memulai menanam satu pohon mulai dari sekarang. Menanam satu pohon akan dapat memperlambat laju pencemaran udara. Meningkatkan kadar O2 (oksigen) yang penting bagi kehidupan.

Gerakan menanam satu pohon dapat dilakukan di sekitar rumah. Sisa lahan pembangunan rumah dapat dimanfaatkan dengan baik. Menanam satu pohon juga perlu dilakukan oleh pihak pengembang perumahan. Menyediakan lahan serapan air dengan menanam satu pohon akan sangat berarti di hari depan. Selain mencegah bencana banjir, dengan banyak pohon, maka rumah akan kelihatan lebih asri.

Alam menjadi amanah manusia untuk terus dilestarikan. Jika alam dirusak maka manusia akan mendapatkan kerusakan pula. Dan sebaliknya, jika manusia bersahabat dengan alam, maka alam akan memberikan banyak manfaat.

(Benni Setiawan)

Ketidakadilan dalam Ujian Nasional

Ketidakadilan dalam Ujian Nasional
Sindo, 19/03/2007
Ujian Nasional (UN),menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 20 Tahun 2005 Pasal 4,dijadikan pertimbangan untuk a) penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan,b) seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya,c) pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan,d) akreditasi satuan pendidikan,dan e) pembinaan dan pemberian bantuan pada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.Sebuah hal yang ideal dalam dunia pendidikan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah UN yang dilakukan tidak lebih dari tiga hari,dengan tiga mata pelajaran (Matematika,Bahasa Indonesia,dan Bahasa Inggris) dapat dijadikan standar mutu pendidikan Indonesia? UN ternyata menyisakan sejumlah permasalahan.Tahun lalu,seorang guru di sebuah SMK di Cilegon harus berbuat hal yang sebaiknya tidak perlu dilakukan.Yaitu,memukul peserta didik hingga babak belur.Hal itu dilakukan karena rasa jengkel sang guru terhadap peserta didiknya.Sudah dibantu menyelesaikan soal ujian, malah tidak menunjukkan niat yang baik (terima kasih).
Seorang guru di Cilegon tersebut membantu peserta didiknya agar dapat lulus dengan nilai baik.Akan tetapi, cara yang dilakukan keliru.Dia mengirimkan sejumlah jawaban soal via SMS atau potongan kertas kecil yang dibagikan kepada peserta didik. Mengapa pahlawan tanpa tanda jasa tersebut melakukan hal demikian? Hal ini disebabkan ketakutan sang guru ketika banyak peserta didiknya tidak lulus ujian.Seorang guru dituntut sedemikian rupa agar seluruh peserta didiknya lulus 100%.Ketika banyak peserta didik yang tidak lulus,dia akan merasa malu.
Pada akhirnya,reputasi sekolah menurun dan tahun depan sekolah tidak akan mendapatkan peserta didik baru. Kelulusan 100% menjadi patokan baku bagi setiap sekolah.Bahkan,isu pemutasian guru dan kepala sekolah mengiringi peristiwa ini. UN juga meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi peserta didik. Beberapa tahun yang lalu di sebuah sekolah dasar,di Kebumen,Jawa Tengah,hanya mampu meluluskan enam orang peserta didiknya dari 38 peserta didik.Tahun berikutnya, sekolah tersebut tidak mampu meluluskan satu pun peserta didik.Apa yang terjadi?
Banyak anak-anak usia produktif sekolah terpaksa tidak dapat melanjutkan pendidikannya.Mereka banyak memilih sawah sebagai ladang belajarnya. Bahkan,dalam sebuah buku kenangkenangan, seorang peserta didik menuliskan cita-citanya ingin menjadi ’‘tukang mencari rumput yang andal’’. Sungguh menyedihkan. Sistem pendidikan Indonesia ternyata masih mengunggulkan kecerdasan intelektual (IQ).Tidak ada sedikit pun tempat (ruang) untuk kecerdasan-kecerdasan yang lain, untuk menjadi penentu kelulusan seseorang.
Karena itu,tidak aneh jika sekarang banyak peserta didik yang depresi berat.Hal itu disebabkan mereka dianggap bodoh dan tidak mampu lagi melanjutkan sekolahnya ke jenjang berikutnya. Akibat memikirkan UN dan persiapan menghadapi UN,seorang peserta didik sekolah menengah atas (SMA) di Kabupaten Sukoharjo,Jawa Tengah,depresi.Dia sudah hampir tiga minggu tidak masuk sekolah.Ketika masuk sekolah,dia hanya menyalami beberapa guru dan teman-teman sekelasnya,kemudian pulang. Betapa tidak,mulai awal tahun ini, sekolahnya mengadakan jam tambahan belajar.Setiap hari Selasa dan Sabtu diadakan simulasi menghadapi UN (baca: try out).Bahkan,mulai awal April 2007,peserta didik kelas XII (III SMA) diwajibkan mengikuti jam tambahan belajar di sekolah.Penuh selama dua minggu.Tidak diperkenankan pulang. Setelah itu,mereka akan menghadapi UN sesungguhnya pada pertengahan April 2006.Rasanya, belum lepas rasa penat,mereka diwajibkan mengikuti ujian sekolah (praktik dan teori) hingga Mei 2007. Pemerintah dengan telah sengaja membiarkan generasi muda produktif bangsa Indonesia menjadi layu sebelum berkembang.Cita-cita besar membangun bangsa Indonesia kandas karena sistem UN yang tidak memihak.
Kedaulatan Guru
UN juga telah mencabut kedaulatan guru.Artinya,guru sebagai orang yang mendidik selama sekian tahun tidak diberi kekuasaan untuk menilai peserta didiknya.Kekuasaan dan kewenangan menyatakan peserta didik lulus atau tidak berada di tangan pemerintah.Seorang guru yang telah bergelut lama dengan peserta didik hanya dapat menahan kesedihan melihat banyak peserta didiknya tidak lulus sekolah. Guru tidak lebih seperti pekerja kasar
.Mereka dipekerjakan tanpa memedulikan hak-haknya.Jerih payah (pendidikan) yang dilakukan selama ini ditentukan dalam tiga hari.Ketika banyak peserta didik yang tidak lulus, mereka akan divonis tidak mampu mengantarkan peserta didiknya menjadi insan cerdas. Ketidakadilan UN semakin menambah deretan persoalan pendidikan Indonesia.Kebijakan pendidikan yang selalu berubah ketika para pemimpinnya ganti.Sekolahsekolah yang rusak dan hampir roboh, kesejahteraan guru yang memprihatinkan,dan seterusnya.
Sudah selayaknya UN dijadikan evaluasi bagi sekolah.Artinya, kewenangan untuk meluluskan atau tidak meluluskan peserta didik diserahkan sepenuhnya kepada guru sekolah yang ada.Hal ini disebabkan gurulah yang paling mengetahui tingkat kecerdasan seorang peserta didik.Mereka tidak hanya mengukur tingkat kecerdasan IQ belaka, melainkan kecerdasan-kecerdasan yang lain. Pemerintah sudah saatnya memikirkan hal lain yang lebih bermakna.Yaitu, bagaimana meningkatkan kesejahteraan dan mutu guru,memperbaiki sekolah rusak,dan menjadikan pendidikan Indonesia lebih bermakna dari sekadar mengukurnya dengan nilai-nilai dalam bentuk angka.(*) BENNI SETIAWAN Pendidik di Universitas Muhammadiyah Jember

Sinergi Gerakan Selamatkan Hutan

Sinergi Gerakan Selamatkan Hutan
oleh Benni Setiawan pada 12-12-2007, Jogjosemar

Hutan Indonesia dalam ancaman kerusakan. Hutan dibabat untuk memenuhi “kerakusan” dan “ketamakan” manusia. Pengelola hutan dengan HPH atau surat izin lainnya menggunakan dalih pemanfaatan hutan untuk merusak ekosistem bumi. Bumi menjadi panas. Bencana alam silih berganti. Nyawa melayang dengan sia-sia, menjadi pemandangan setiap hari.
Kerusakan bumi akibat rusaknya hutan Indonesia di atas diakibatkan oleh tidak tegasnya hukum di negeri seribu satu pesona ini. Ambil contoh, bebasnya tersangka pembalakan liar (illegal logging) di Sumatera Utara, Adelin Lis. Adelin Lis tidak terbukti membabat hutan dan merugikan keuangan negara.
Keadaan ini memunculkan pertanyaan, mengapa hukum di negeri ini masih saja belum mampu menegakkan keadilan di Indonesia. Pembalak liar kelas kakap dapat bebas tanpa syarat di negeri yang konon menyatakan perang terhadap pembalakan liar.
Padahal dengan rusaknya hutan, banjir, tanah longsor dan kekeringan mengancam kehidupan penduduk bumi. Kerusakan hutan pun mengancam ekosistem bumi. Seperti pemanasan global, rusaknya makrokosmos bumi dan ketimpangan sistem kehidupan makhluk bumi.

Hukum, Pemerintah dan Pers
Mengapa hukum tidak berdaya menjerat pembalak liar ini? Menurut George Junus Aditjondro (2003), kegagalan pemerintah dalam menegakkan hukum ini karena pemerintah hanya mengunakan retorika belaka dalam membela kebijakan yang dinilai sudah final. Retorika ini mengambil bentuk yang legalistik, saintifik ataupun primordialistik.
Retorika sebagai keterangan resmi pemerintah yang dimuat pada media massa, tidaklah bebas nilai. Hal ini membutuhkan kecermatan dan kejelian kita dalam menerima informasi tersebut. Untuk kepentingan ini, maka dibutuhkan perangkat analisis media yang lazim disebut analisis framming. Hal ini bertujuan agar kita tidak mudah dibohongi mentah-mentah oleh pemerintah.
Lebih lanjut, George Junus Aditjondro, menyatakan bahwa pers yang terkooptasi (atau dikooptasi) tidak akan pernah menyoroti pihak yang kontra terhadap pemerintah. Kalaupun pers mengkritisi langkah-langkah kebijakan yang diambil, itu pun hanya berhenti pada domain tehnis belaka dan tidak lebih dari itu. Sehingga kritik tersebut tidak menyentuh akar tunggang permasalahan yang sebenarnya.
Pers sebenarnya berposisi dualistis. Di satu sisi pers berkewajiban menyampaikan informasi yang obyektif dan akurat kepada masyarakat, sedangkan pada titik tertentu pers juga memainkan peran propagandanya untuk kepentingan penguasa.
Pernyataan tersebut di atas mengisyaratkan betapa hukum masih saja menjadi “mainan” penguasa dan orang-orang berduit. Hukum masih pandang bulu. Dalam kasus Adelin Lis misalnya, pemerintah dalam hal ini Menteri Kehutanan sepertinya ada di belakang atau membela Adelin. Menteri Kehutan dengan dalih pemberantasan illegal logging kebablasan membela Adelin Lis yang mempunyai izin usaha untuk memanfaatkan hutan, bukan membalak atau membabat hutan.
Jika keadaannya demikian, mungkin bebar temuan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau FAO. FAO menyebutkan bahwa laju penghancuran (deforestasi) hutan di Indonesia tahun 2002-2005 merupakan terbesar dan terparah di dunia. Setiap tahun menurut FAO rata-rata 1,871 juta hektar hutan Indonesia hancur atau 2% dari luas hutan yang tersisa pada tahun 2005, yakni 88,495 juta hektar.
Padahal emisi karbondioksida paling besar disumbangkan oleh sektor kehutanan. Sebesar 75 persen dari konversi lahan dan deforestasi, 23 persen dari penggunaan energi sektor kehutanan, dan dua persen dari proses industri sektor kehutanan.
Maka guna mengakhiri periode kerusakan lingkungan hidup, beberapa langkah perlu dilakukan. Pertama. menjadikan pers netral. Netralitas pers menjadi kunci kemajuan sebuah bangsa. Hal ini dikarenakan pers merupakan salah satu pilar demokrasi. Ketika pers hanya memberitakan kebaikan pemerintah dan membohongi rakyat dengan data-data fiktif, maka pers akan ditinggalkan oleh masyarakat. Lebih lanjut, pers hanya akan menjadi hantu bagi terciptanya demokrasi di Indonesia.

Sinergi gerakan
Kedua, adanya sinergi gerakan antar aktivis gerakan lingkungan. Selama ini para aktivis yang tergabung dalam kelompok aksi dan advokasi yang juga concern terhadap persoalan kerusakan lingkungan seakan terjebak pula dalam kritik artifisal pada lanskap mikro (teknis), sebagaimana yang diberitakan pers. Parahnya mereka tidak mampu menjalin sinergitas antara sesama organ pergerakan. Sehingga menjadikan masing-masingnya bergerak sendiri.
Maka pembangunan networking atau kerjasama dan koeksistensi sesama organ baik yang mempunyai bidang gerak yang sama maupun yang berbeda sekalipun menjadi penting. Ambil contoh, organ lingkungan harus memiliki pengetahuan dasar mengenai hukum lingkungan dengan jalan kerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang ada.
Kekerasan fisik yang sering dilakukan oleh aparat pemerintah, yang oleh George Junus Aditjondro disebut ekofasisme, menjadi halangan tersendiri bagi para aktivis dalam menjalankan advokasi. Untuk itu dibutuhkan tidak hanya sekadar nyali atau keberanian konyol saja. Lebih dari itu adalah pengetahuan dasar tentang hukum dan kondisi faktual di lapangan.
Pemerintah sudah saatnya bangun dari tidur lelap mengenai kerusakan lingkungan. Sebagai pemegang otoritas kenegaraan, pemerintah tentunya tidak mau melihat rakyatnya menderita akibat rusaknya lingkungan. Lebih lanjut, pemerintah sudah saatnya berani mengambil langkah tegas menghentikan pembalakan liar dengan menghukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kelalaian pemerintah dalam mengurus dan memelihara lingkungan hidup menjadi pertanda kiamat bagi bangsa ini. Artinya, tidak seimbangnya makarokosmos bumi Indonesia akan mengakibatkan bencana, yang pada akhirnya merugikan rakyat.


Peneliti pada Yayasan Nuasa Sejahtera.

Rabu, 12 Desember 2007

Dari Cultural Broker Menuju Political Broker

Dari Cultural Broker Menuju Political Broker

Benni Setiawan*0 (Jurnalnet,10/12/2007 - 17:30 WIB)



Jurnalnet.com (Jogja): Seiring perkembangan zaman, peran kiai dalam membangun peradaban bangsa semakin berkembang. Jika di massa penjajahan kiai bersama rakyat Indonesia mengangkat senjata berperang melawan penjajahan dengan tetap mempertahankan pesantren sebagai basis gerakan (pendidikan), di massa kemerdekaan ini kiprah kiai seakan tidak dapat dipisahkan dari “perebutan” kekuasaan melalui partai politik.

Apalagi setelah keran kebebasan demokrasi dibuka seluas-luasnya. Peran kiai dalam kancah politik tidak hanya dalam satu wadah dalam hal ini Partai Persatuan Pembangunan (PPP), akan tetapi, kiai sudah masuk di berbagai partai politik yang ada di tanah air.

Peran ganda kiai sebagai pendidik (guru pesantren) inilah yang mampu dibaca oleh Achmad Patoni. Dalam penelitiannya yang semula disertasi pada Program Pasca Sarjana Universitas Merdeka Malang ini mampu menemukan setidaknya dua sudut pandang baru. Yaitu kiai yang berperan di bidang agama dan bidang politik.

Peran kiai dalam bidang agama adalah membimbing dan menjadi panutan santri. Sehingga santri dapat mandiri dan mengamalkan ilmunya ketika ia pulang nanti. Sedangkan peran kiai di dalam kancah politik adalah memperjuangkan kepentingan dan sebagai kemaslahatan umat melalui kekuasaan atau sebagai agent of social change menuju tegakkanya amar ma’ruf nahi munkar.

Ahmad Patoni yang juga Rektor STAIN Tulungagung ini juga membagi keterlibatan kiai dalam kancah politik menjadi tiga bagian. Yaitu kiai sebagai aktor, kiai sebagai partisipan, dan kiai sebagai pendukung partai politik (hlm. 181).

Sebagai aktor, kiai menjadi anggota tim sukses sekaligus juru kampanye calon tertentu. Sebagai pendukung, kiai mendukung terhadap calon tertentu, namun tidak berada pada garis depan dalam memperjuangkan keberhasilan calon yang didukungnya. Sebagai partisipan, kiai memberikan restu terhadap calon tertentu, dan tidak terlibat dalam aksi dukungan, atau menjadi tim sukses.

Dengan demikian, sebagaimana dalam catatan buku ini, di era reformasi, tesis Clifford Geertz yang menyatakan bahwa kiai adalah pialang budaya (cultural broker) tampaknya perlu direvisi. Kiai yang dahulu secara massif adalah pialang bagi transformasi ilmu pengetahuan dan kebudayaan keislaman dari Mekkah ke Indonesia, kini mengalami transformasi peran yang juga tidak kalah massif, yakni banyaknya kiai yang terjun kedunia politik melalui partai. Dalam pandangan kiai, politik merupakan bagian tak terpisahkan dari basis ajaran amar ma’ruf nahi munkar dan tentu saja merupakan bagian ibadah kepada Allah.

Sampai disini, dapat dilihat bahwa kiai memegang dua peranan kunci, agama di satu sisi, dan politik di sisi lainnya. Sebagaimana dalam banyak kasus, perselingkuhan politik dan agama menghasilkan sesuatu yang heboh. Contohnya adalah legitimasi teks agama dalam mengegolkan pencalonan presiden perempuan, dan penggalangan basis massa melalui massa yang dimiliki para kiai. Dalam kondisi seperti inilah kemudian kiai juga berperan sebagai political broker (pialang politik).

Terlepas dari itu semua, tampaknya buku ini perlu dibaca oleh siapa saja yang ingin mengetahui perkembangan dunia pesantren (kiai) di era reformasi. Buku ini juga merupakan kelanjutan dari penelitian terdahulu sebagaimana yang dilakukan Zamakhsari Dhafir, “Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai” (1982), sehingga layak untuk dibaca dan dijadikan referensi lanjutan.

*) Pembaca dan Penulis Beberapa Buku.

Sabtu, 08 Desember 2007

Buta Aksara dan Anggaran Pendidikan 2008

Buta Aksara dan Anggaran Pendidikan 2008


Surya, Tuesday, 11 September 2007
Pemerintah daerah sudah saatnya mengambil peran penting dalam mencerdaskan kehidupan warganya. Salah satunya adalah dengan mengalokasikan anggaran pendidikan 20 persen dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Anggaran 20 persen dari APBD juga merupakan kewajiban pemerintah daerah untuk mewujudkannya.

Persoalan buta aksara bagi negara berkembang seperti Indonesia masih saja menjadi isu sentral. Buta aksara adalah keadaan dimana seseorang tidak dapat membaca dan menulis. Padahal membaca dan menulis merupakan salah satu kunci menguasai ilmu pengetahuan dan tehnologi.

Ironisnya angka tertinggi tingkat buta aksara ada di pulau Jawa. Yaitu, secara berurutan, Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah lalu Jawa Barat. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2005, untuk umur di atas 15 tahun menyebutkan setidaknya ada 14,59 juta orang buta aksara. Ditargetkan 7,7 juta atau sekitar 50 persen, penduduk Indonesia bebas buta aksara pada tahun 2009 nanti.

Guna merealisasikan target di atas pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) telah menggandeng sedikitnya 30 perguruan tinggi negeri dan swasta.

Bahkan menurut Ace Suryadi (Direktur Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas), pemerintah berencana melibatkan 36 perusahaan untuk berpartisipasi. Ke-36 perusahaan tersebut terdiri dari perusahaan rokok, media, dan makanan yang punya kepedulian terhadap tingginya angka buta aksara di Indonesia.

Tingginya angka buta aksara di Indonesia salah satu penyebabnya adalah faktor kemiskinan. Kemiskinan telah banyak merenggut hak manusia. Artinya, karena kemiskinan seseorang tidak dapat menikmati haknya sebagai warga negara. Mereka hanya dijadikan komoditas politik untuk dapat mengucurkan dana dari pemerintah dalam negeri maupun luar negeri. Tetapi, dana-dana itu tidak pernah sampai ke tangan mereka.

Kemiskinan pula yang menjadikan seseorang enggan menyekolahkan anaknya. Hal ini disebabkan sekolah ialah sesuatu yang mahal. Alih- alih untuk sekolah, buat makan saja susah.
Angka kemiskinan di Indonesia tahun 2005 tercatat sebanyak 35,1 juta jiwa dan penduduk hampir miskin 26,2 juta jiwa. Sedangkan jumlah pengangguran mencapai 10,8 juta orang. Sedangkan pengangguran setengah terbuka mencapai 29,6 juta orang. Jadi jumlah penganggur mencapai 40,4 juta orang.

Pada tahun 2007 ini, BPS beberapa bulan lalu mengeluarkan data yang cukup kontroversial mengenai kemiskinan. Menurut BPS, jumlah penduduk miskin berkurang dari 39,30 juta pada tahun 2006 menjadi 37,17 juta pada tahun 2007.

Artinya terjadi pengurangan 2,13 juta penduduk miskin atau satu persen dari total penduduk Indonesia selama satu tahun. Sedangkan angka pengangguran menurut BPS turun 384.000 orang, dari 10,93 juta orang pada Agustus 2006 menjadi 10,55 juta orang pada Februari 2007.

Padahal, menurut tim Indonesia bangkit (TIB) dengan indikator yang sama kemiskinan di Indonesia mencapai 42, 1 juta orang.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah bangsa Indonesia dapat menekan angka kemiskinan sebagai salah satu penyebab tingginya angka buta aksara, di tengah tantangan atau target millenium development goal (MDGs) yang salah satu tujuannya adalah menghapus tingkat kemiskinan dan kelaparan serta mencapai pendidikan dasar secara universal pada tahun 2015? Persoalan lain yang muncul adalah minimnya anggaran pendidikan untuk tahun 2008.

Pada pidato Presiden di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 2007 lalu, disebutkan anggaran untuk Departemen Pendidikan Nasional pada tahun anggaran 2008 ditetapkan Rp 48,3 triliun, atau 5,7 persen dari total belanja pemerintah yang sebesar Rp 836 triliun.

Pemerintah Lalai
Anggaran pendidikan yang menyusut ini tentunya akan menyulitkan komponen pendidikan untuk dapat meraih target 50 persen bebas buta aksara pada tahun 2009. Minimnya anggaran pendidikan pada tahun 2008 ini juga merupakan pukulan telak bagi rakyat indonesia.

Rakyat Indonesia harus menahan keinginan untuk mendapatkan sekolah gratis yang berkualitas. Pendidik (guru-guru) juga harus bersabar lagi untuk mendapatkan tunjangan lebih sebagai timbal balik dari kebijakan sertifikasi guru. Pendek kata, pemerintah telah melalaikan amanah UUD 1945 mengenai anggaran pendidikan 20 persen.

Kelalaian pemerintah ini tentunya perlu kita ingatan. Entah itu dengan melakukan demo atau pun gugatan class action. Akan tetapi, apakah perjuangan penuntasan buta aksara akan berhenti ketika minimnya anggaran pendidikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2008?

Perjuangan untuk menuntaskan penduduk dari kebodohan (buta aksara) yang dekat dengan kemiskinan ini harus kita teruskan. Artinya, walaupun anggaran dari pemerintah pusat minim, pemerintah daerah, dan masyarakat harus bahu membahu agar Indonesia dapat terbebas dari buta aksara.

Pemerintah daerah sudah saatnya mengambil peran penting dalam mencerdaskan kehidupan warganya. Salah satunya adalah dengan mengalokasikan anggaran pendidikan 20 persen dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Anggaran 20 persen dari APBD juga merupakan kewajiban pemerintah daerah untuk mewujudkannya.

Dengan anggaran 20 persen dalam APBD pemerintah daerah dapat menekan angka buta aksara yang pada akhirnya dapat memaksimalkan potensi sumber daya manusia (SDM). Dengan SDA yang mumpuni akan tercipta pertumbuhan sosial dan ekonomi yang sehat di daerah.

Belajar dari Kabupaten Jembrana
Akan tetapi, jika pemerintah daerah belum mampu mengalokasikan dana 20 persen dalam APBD, mereka tentunya perlu belajar dari Kabupaten Jembrana Bali. Meskipun pendapatan asli daerah (PAD) Jembrana saat ini masih tergolong kecil yaitu Rp 14 miliar dan APDB sebesar Rp 400 miliar, namun pemerintah daerah mampu memberikan pelayanan maksimal kepada warganya berupa pendidikan gratis hingga sekolah menengah atas (SMA). Masyarakat pun juga mendapatkan asuransi kesehatan untuk rawat jalan.

Salah satu kunci keberhasilan Pemerintah Daerah Jembrana adalah dengan memangkas anggaran mobil dinas anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Setiap anggota DPRD yang ingin menggunakan alat transportasi darat ini harus menyewa. Hal ini dikarenakan, banyak mobil dinas yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat seringkali digunakan secara pribadi oleh anggota DPRD.

Mereka pun tidak segan untuk meminta uang bensin dan perawatan mobil dinas ke kas daerah. Ironisnya, seringkali mobil dinas pada masa akhir jabatan tidak dikembali kepada kas daerah, melainkan menjadi hak milik pribadi anggota DPRD. Atas dasar itulah, Bupati Jembrana Prof Dr drg I Gede Winasa mencabut anggaran mobil dinas untuk dialihkan pada sektor pendidikan.

Selain perhatian pemerintah daerah untuk mengalokasikan dana 20 persen dalam APBD, masyarakat pun mempunyai tanggung jawab dalam memberantas buta aksara.
Masyarakat melalui organisasi sosial keagamaan dapat berperan serta dalam menuntaskan program bebas buta aksara.

NU dan Muhammadiyah misalnya, mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia yang mempunyai andil di dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ormas ini dapat melakukan program kerjanya melalui pimpinan ranting dan pimpinan cabang. Kelompok-kelompok pengajian yang selama ini ada dapat dijadikan modal untuk pendidikan membaca dan menulis.

Pada akhirnya, di tengah tingginya angka buta aksara dan ketidakmampuan pemerintah pusat mengalokasikan dana pendidikan 20 persen dalam APBN, seluruh elemen bangsa harus merasa terpanggil untuk melakukan perubahan, yaitu dengan aksi nyata membebaskan manusia Indonesia dari kebodohan. Hal ini dikarenakan, karena kebodohan dan kemiskinan bangsa ini seringkali dihina dan lecehkan oleh bangsa lain. Sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini, bangsa Indonesia dianggap kecil oleh Singapura dan Malaysia.

Benni Setiawan
Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia.

Kamis, 06 Desember 2007

Saatnya Kaum Muda Memimpin

Saatnya Kaum Muda Memimpin
KPO Bali, 1-15 Desember 2007.
Oleh Benni Setiawan*)


Pemuda adalah tulang punggung bangsa. Pemuda adalah generasi penerus cita-cita perjuangan dan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Di tangan pemudalah bangsa dan negara dipertaruhkan. Maka tidak salah jika ada adagium, “ketika pemuda rusak moralnya maka robohnya bangsa ini”
Mengingat keutamaan pemuda di atas, sudah sewajarnya jika pemuda mempunyai tanggung jawab mempertahankan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang baik. Salah satunya dengan melanjutnya estafet kepemimpinan nasional yang saatnya ini dikuasai oleh kaum tua.
Sejarah mencacat bahwa kemerdekaan yang selama ini kita nikmati adalah jerih payah kaum muda. Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari mendirikan Muhammadiyah dan NU saat usia mereka masih relatif muda. Demikian pula dengan Budi Oetomo, WR Supratman, Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka dan lainya adalah tokoh muda yang berada dalam garis terdepan kemerdekaan bangsa ini.
Usia mereka tidak lebih dari 40 tahun. Mereka mempunyai semangat juang dalam memerdekaan bangsa dan negara dari penjajah. Ketika mereka di penjara pun, aktivitas kepemudaan seperti menulis dan diskusi menjadi hal yang biasa. Maka tidak aneh jika Soekarno, Hatta, Tan Malaka dan Pram menulis buku-buku yang menjadi sejarah di balik jeruji besi.
Ketika mereka menjadi pemimpin pun, semangat kebangsaan pun selalu menjadi panglima. Ketika kedaulatan bangsa mulai dilecehkan, maka Soekarno dengan lantang menyerukan “Ganyang Malaysia”. Hal ini tentunya berbeda dengan pemimpin Indonesia saat ini. Mereka tidak mempunyai nyali untuk menyatakan perang melawan kesewenang-wenangan Malaysia, walaupun sudah banyak korban berjatuhan di sana.
Pemimpin tua Indonesia saat ini sudah saatnya lengser keprabon (turun tahta). Sudah saatnya estafet kepemimpinan bangsa ini diserahkan kepada kaum muda yang mumpuni. Artinya, kaum muda yang benar mempunyai semangat untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dan negaranya.
Pemuda yang mempunyai “ilmu linuwih” (ilmu pengetahuan tinggi) ini sudah saatnya tampil kemuka memperkenalkan dirinya. Jangan sampai kesempatan langka ini hilang begitu saja. Semangat kebangsaan kaum muda harus mulai ditumbuhkan untuk dapat memimpin bangsa besar ini. Soekarno dan Hatta adalah tokoh muda yang telah mempersiapkan diri untuk memimpin bangsa ini. Yaitu dengan pendidikan, perjuangan dan kerja keras.
Ketika pemuda tidak mempersiapkan dirinya dengan baik, maka tampuk kekuasaan sampai kapan pun akan menjadi milik kaum tua. Pertanyaannya bagaimana pemuda mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik?

Kesadaran untuk belajar

Pertama, kesadaran pemuda untuk mau belajar. Belajar adalah aktivitas sepanjang masa. Belajar tidak mesti dalam bentuk formal di sekolah maupun perguruan tinggi. Belajar dapat dilakukan di luar sekolah, seperti orang lain, lingkungan dan alam. Hal ini sesuai dengan petuah Bapak pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara. “Jadikanlah semua tempat sekolah dan semua orang guru”. Petuah sederhana dengan penuh makna.
Belajar tidak mesti diformalkan dalam bentuk gedung-gedung sekolah. Kita dapat berlajar dimana saja dan kapan saja. Kita dapat belajar dari alam yang banyak mengajarkan arti kearifan, dan orang lain yang mengajarkan arti pengalaman hidup.



Gemar membaca dan menulis

Selanjutnya adalah aktivitas membaca dan menulis. Aktivitas membaca akan membuat pemuda menjadi cerdas. Membaca adalah jendela dunia. Dengan membaca pemuda akan mampu menangkap dan menganalisis apa yang terjadi. Tanpa membaca seseorang akan menjadi buta realitas. Yang pada akhirnya, ia akan mudah untuk dijajah oleh kepentingan asing.
Selain membaca pemuda Indonesia harus bisa menulis. Menulis adalah aktivitas yang melibatkan banyak indera. Indera mata untuk melihat, tangan untuk menggerakkan, otak untuk berfikir dan seterusnya. Dengan menulis seseorang akan terhindar dari kepikunan. Hal ini dikarenakan menulis akan dapat meningkatkan daya ingat dan memori yang ada di dalam otak.
Aktivitas menulis juga dapat digunakan untuk melakukan advokasi terhadap masyarakat. Menulis juga sebagai “protes” terhadap kemapanan dan penindasan yang dilakukan secara sistematis oleh sistem negara (pemerintah). Dengan menulis seseorang akan dapat dikenal dan ide-idenya akan menjadi acuan gerak bagi orang lain. Dan inilah yang dilakukan oleh pemuda di era tahun 1930an.

Tidak apriori

Kedua, tidak apriori terhadap partai politik. Sebagaimana mencuat dalam diskusi “Ancaman Grontokrasi dan Proses Kepemimpinan Muda” di Gedung Pers (2/8/2007). Menurut Lili Romli, kalangan muda diminta tidak meninggalkan atau menjauhi partai politik karena walau bagaimana pun elemen itu adalah elemen terpenting dalam demokrasi.
Sayangnya, katanya lebih lanjut, banyak anggapan untuk meninggalkan parpol sehingga malah memberi kesempatan bagi orang-orang yang tidak berkualitas, seperti para “preman politik” untuk masuk (Kompas, 4/08/2007).
Ketika telah ada kesadaran pemuda untuk tidak apriori terhadap parpol, harus ada pembenahan yang memadai dalam tubuh parpol. Diantaranya pentinya regenerasi. Menurut Kholis Malik dalam Imam Subhan (2003), strategi revitalisasi kaderisasi partai politik dapat dilakukan dengan cara: pertama, merubah karakter relasi internal partai menjadi lebih demokratis. Pada pengorganisasian partai yang kompleks, kewenangan dan struktur pengambilan keputusan semakin memusat pada petinggi-petinggi partai. Ini berarti bahwa dalam partai politik sendiri partisipasi para aktivis level bawah, apalagi para anggota sangatlah kecil.
Langkah demokratisasi internal partai ini pada dasarnya akan memberikan penguatan pada ”fungsi” partai politik. Bila ini telah ditempuh barulah partai politik dapat memulai langkah pendidikan politik ke sektor yang lebih luas, misalnya kepada para simpatisan dan akhirnya rakyat umum.
Kedua, mengorientasikan diri menjadi partai dengan program bersifat terbuka. Konsekuensi logisnya, partai politik dituntut untuk lebih banyak menawarkan program dibanding sekadar sentimen ideologi. Kompleksitas problem yang dialami masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan lingkungan sangat tidak mungkin disekat ke dalam faksi-faksi ideologis karena seluruh masyarakat mengalaminya. Kepentingam program riil ini bukanlah diorientasikan untuk menomorsatukan fakta-fakta nyata (empirik) dibandingkan aspek nilai dan moral, melainkan untuk memberikan ruang masyarakat agar dapat mengkritisi secara langsung kebijakan parpol. Hal ini memungkinkan masyarakat lebih otonom dan partisipatif. Bagi parpol langkah ini bermanfaat untuk memperkuat ”peran” di tengah-tengah masyarakat.
Ketiga, menghentikan kebijakan reaksioner yang menghalangi partisipasi rakyat secara langsung. Berbagai kecenderungan partai sentris yang melalaikan kepentingan rakyat muncul pada beberapa agenda utama reformasi, seperti dalam amandemen UUD 1945 dan penyusunan UU Pemilu dan Sistem Kepartaian, menunjukkan adanya gejala reaksioner pada partai-partai politik utama. Ketakutan memberikan lebih banyak kewenangan pada masyarakat bersumber dari rasa kurang percaya diri kalangan parpol.
Karenanya kebijakan reaksioner ini mestinya dievalusi atau malah dihentikan sama sekali. Partai-partai poltik harus berani membuka diri pada kemungkinan membesarnya kesempatan partisipasi rakyat secara langsung dalam pengambilan keputusan maupun kontrol politik.
Dengan berbekal kemampuan yang selalu diasah dengan belajar, kaum muda harus menjadi pioner parpol yang masih dikuasai oleh kaum tua. Proses regenerasi parpol harus diisi oleh pemuda yang mempunyai semangat dan kelebihan untuk mau selalu belajar.
Regenerasi parpol juga berarti regenerasi kepemimpinan bangsa. Kepemimpinan bangsa yang diisi oleh kaum muda akan membawa perubahan yang berarti. Dengan dipegangnya estafet kepemimpinan oleh anak-anak muda maka bangsa ini akan siap bersaing dengan bangsa lain sebagaimana terjadi pada masa kepemimpian Soekarno, Hatta, dan Syahrir.



*)Benni Setiawan, Peneliti pada Yayasan Nuansa Sejahtera.

Sabtu, 01 Desember 2007

Mencermati peraturan daerah tentang ketertiban umum

Mencermati peraturan daerah tentang ketertiban umum
Koran Internet, Jumat, 30 Nopember 07

Pemerintah provinsi (Pemprov) DKI Jakarta akan segera mengeluarkan peraturan daerah (Perda) mengenai Ketertiban Umum. Salah satu isi perda tersebut adalah larangan memberi uang kepada pengemis dan pengamen serta larangan membeli makanan dari pedagang kaki lima (PKL). Jika peraturan tersebut dilanggar, pemerintah akan memberikan sanksi hukuman kurungan maksimal enam bulan atau denda minimal Rp 100.000 (seratus ribu rupiah) hingga Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah).

Perda ini memunculkan tanggapan berimbang dari masyarakat. Ada yang menganggapnya sebagai hal yang baik dari Pemprov DKI Jakarta yang ingin mengatur dan menata pedagang kaki lima (PKL), pengemis dan pengamen. Mereka juga menganggap ketertiban dan kebersihan kota Jakarta sebagai Ibu Kota negara Indonesia adalah hal yang mutlak. Akan tetapi, pemerintah perlu menata dan membina mereka agar tidak menimbulkan gejolak sosial.

Ada juga tanggapan bahwa munculnya perda ketertiban umum hanya akal-akalan Pemprov DKI Jakarta. Perda ini tak ubahnya menggusur kaum miskin kota dari Ibu Kota. Lebih lanjut, Perda ini hanya menguntungkan pengusaha-pengusaha kelas menengah dan atas yang mampu membangun restoran atau rumah makan yang rapi tanpa menganggu pemadangan atau keasrian wilayah Ibu Kota.

Munculnya pro dan kontra ini adalah hal yang wajar. Kedua pandangan tersebut di atas ada benarnya. Di satu sisi pemprov DKI Jakarta ingin menata wilayahnya agar lebih baik. Di sisi yang lain, banyak orang menggantungkan nasib dan cita-citanya di Jakarta. Jika mereka digusur dan dilarang berjualan dari mana mereka akan menghidupi diri dan keluarganya?

Perda Ketertiban Umum yang telah final di tingkatan DPRD Jakarta adalah cerminan betapa rumitnya mengatur masyarakat dan menata Jakarta. Pemprov dengan susah payah mengeluarkan kebijakan demi ketertiban dan kenyamanan warga di Jakarta, walaupun pada saat yang sama banyak kepentingan yang tergusur dan tergadaikan.

Persoalan di Jakarta memang kompleks. Tidak hanya kemacetan, banjir, perkampungan kumuh, maraknya PKL dan seterusnya. Persoalan seperti banyaknya gelandangan atau kaum gepeng (gelandangan dan pengemis) yang mangkal di pinggir jalan semakin menambah deretan panjang persoalan kota terpadat di Indonesia ini.

Dengan dikeluarkannya Perda Ketertiban Umum ini, diharapkan angka kemacetan yang disebabkan oleh banyaknya PKL yang memenuhi badan jalan bias ditekan. Lebih lanjut, Perda ini bisa memperbaiki tata kehidupan di Jakarta. Pada dasarnya, masyarakat Jakarta ingin ditata dan diatur agar terhindar dari aksi kejahatan yang banyak disebabkan oleh aksi nekat pengamen dan pengemis.

Aksi nekat akibat beban penderitaan yang begitu berat memang kerap kali terjadi di kota yang dipimpin oleh pasangan Fauzi Bowo-Prijanto. Para penjahat jalanan biasanya tidak segan menciderai atau bahkan membunuh korbannya untuk mendapatkan uang.

Akan tetapi, ini adalah sedikit dari efek positif munculnya Perda ini. Masih banyak efek negatif yang muncul jika pemprov Jakarta tidak memikirkannya dengan saksama. Seperti semakin banyaknya pengangguran di kota Jakarta dan timbulnya penolakan dan gejolak sosial yang dahsyat.

Dilarangnya PKL mengadu nasib di Ibu Kota adalah cerminan semakin tergusurnya kaum miskin kota. Kaum miskin yang hanya mengandalkan hidupnya dari apa yang ia peroleh hari ini. Ia tidak mempunyai sawah ataupun ladang. Ia hanya mampu menyewa rumah reot di perkampungan kumuh dengan harga ratusan ribu rupiah. Bahkan banyak diantara mereka yang tidur di kolong jembatan dan terpaksa membangun rumah dengan peralatan sederhana di bantaran kali.

Melihat kondisi yang demikian, pemprov DKI Jakarta sudah saatnya melakukan langkah taktis untuk hal tersebut. Misalnya berkaitan dengan dilarangnya PKL berjualan di sembarang tempat. Pemda Jakarta harus mulai memikirkan dimana mereka harus berdagang (relokalisasi). Syaratnya, lokasi atau tempatnya tidak jauh dari tempat dimana PKL mengadu nasib, lokasi yang strategis dan mudah dijangkau oleh pelanggan tentunya.

Jika hal ini tidak dapat dipenuhi, maka boleh dikata pemprov DKI Jakarta mulai menampakkan kegarangannya kepada rakyat kecil. Pendek kata, Pemda Jakarta bisa dicap anti orang miskin, karena orang miskin seolah-olah dilarang hidup di Jakarta.

Demikian pula dengan kaum gepeng. Mereka perlu dibina dan dididik menjadi insan mandiri. Pemprov DKI Jakarta harus menampung dan memberikan pendidikan yang layak kepada mereka. Mereka semua tentunya memiliki potensi yang perlu diolah agar tidak kembali lagi menjadi gepeng.

Ditampungnya mereka di panti-panti asuhan tidak menjamin mereka betah. Mereka bahkan akan kembali lagi ke jalan dengan segala aksi nekat akibat stress dan frustasi.

Selain ditampung di panti dan pusat pendidikan kewirausahaan, sudah saatnya mereka dibekali dengan modal. Baik modal keterampilan dan modal uang. Pemberian modal ini dapat diawasi secara baik oleh sebuah lembaga yang mempunyai kewenangan tertentu atau melalui Departemen Sosial. Dengan demikian, modal ini tidak akan disalahgunakan untuk kepentingan yang tidak bermanfaat.

Menata Jakarta memang pekerjaan yang teramat sulit. Akan tetapi, menata Jakarta dengan mengorbankan sekian kepentingan orang miskin adalah tindakan yang tidak bijak dan tidak berperikemanusiaan.

Sudah saatnya kemunculan Perda Ketertiban Umum ini tidak ditanggapi secara emosional oleh masyarakat. Pemerintah dan masyarakat sudah saatnya duduk satu meja untuk membahas masalah ini, agar keinginan pemerintah benar-bebar dimengerti oleh masyarakat. Masyarakat tidak merasa dirugikan.
_____________

Benni Setiawan
Peneliti pada Yayasan Nuansa Sejahtera

Selamatkan Hutan Indonesia

Selamatkan Hutan Indonesia
Surya, Saturday, 01 December 2007
Persoalan yang dihadapi masyarakat sekarang adalah akibat rusaknya hutan, banjir dan tanah longsor menjadi menu harian masyarakat yang harus dihadapi. Harta benda hilang dalam waktu singkat akibat bencana alam ini.

Kerusakan hutan di Indonesia sudah saatnya dipandang jernih oleh semua pihak. Artinya, masyarakat harus sadar bahwa hutan Indonesia sudah rusak. Maka dari itu harus ada upaya nyata dalam menyelamatkannya. Jika tidak, kehancuran hutan akan mengancam ekosistem alam lain.

Hutan adalah paru-paru dunia. Terdapat banyak makhluk hidup, makan, minum dan mempertahankan keturunannya di dalamnya. Hutan juga sangat bermanfaat untuk menahan laju air hujan. Air hujan di simpan dalam akar dan tanah oleh pohon yang ada di dalam hutan. Ketika hutan gundul, maka tak pelak lagi bencana mengancam. Sebagaimana terjadi di Indonesia saat ini. Bencana alam mulai dari banjir, tanah longsor masih saja terjadi hingga saat ini.

Pertanyaannya, benarkan hutan Indonesia sudah rusak? Menurut data dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau FAO menyebutkan bahwa laju penghancuran (deforestasi) hutan di Indonesia tahun 2002-2005 merupakan terbesar dan terparah di dunia. Setiap tahun menurut FAO rata-rata 1,871 juta hektar hutan Indonesia hancur atau 2 persen dari luas hutan yang tersisa pada tahun 2005, yakni 88,495 juta hektar.
Pernyataan FAO tersebut di atas sempat membuat Departemen Luar Negeri gerah. Deplu mensinyalir ada kesengajaan berdasarkan data tersebut, Indonesia di pojokkan dalam percaturan atau hubungan internasional.

Data yang dikeluarkan oleh FAO menurut Kepala Pusat Perpetaan Departemen Kehutan, Hernawan Indra tidak valid. Menurutnya, data yang dimiliki FAO adalah data tahun 1985-1997.
Adapun berdasarkan periode pemetaan hutan tahun 2000-2005 angka deforestasi hutan Indonesia sudah turun menjadi 1,18 juta hektar.

Sedangkan pada tahun 1997-2000, angka deforestasi meningkat 2,83 juta hektar karena euforia reformasi yang menyebabkan pembabatan hutan secara besar-besaran. Lebih lanjut, luas hutan Indonesia adalah 120 juta hektar bukan 88,495 juta hektar. Dengan demikian, laju kerusakan hutan adalah 0,9 persen bukan dua persen.

Berangkat dari kedua data tersebut nampaknya kita tidak boleh larut terjebak pada hitung-hitungan angka. Hitung-hitungan angka hanya akan menjadi wacana yang melangit tanpa mampu menyentuh atmosfer bumi (persoalan yang dihadapi masyarakat sekarang).

Persoalan yang dihadapi masyarakat sekarang adalah akibat rusaknya hutan, banjir dan tanah longsor menjadi menu harian masyarakat yang harus dihadapi. Harta benda hilang dalam waktu singkat akibat bencana alam ini.

Kerusakan hutan di Indonesia sudah saatnya dipandang jernih oleh semua pihak. Artinya, masyarakat harus sadar bahwa hutan Indonesia sudah rusak. Maka dari itu harus ada upaya nyata dalam menyelamatkannya. Jika tidak, kehancuran hutan akan mengancam ekosistem alam lain.

Kerusakan hutan akibat pembakaran juga pernah dilansir oleh www.wikipedia.org. Menurut data dari www.wikipedia.org, menyebutkan bahwa pada 1982 dan 1983: 3,6 juta hektar ( 36.000 km², 8,9 juta acres, 13.900 mile²). 1987: 49.323 hektar ( 492 km², 121.880 acres, 190 mile²). 1991: 118.881 hektar (1.189 km², 293.761 acres, 459 mile²). 1994: 161.798 hektar (1.618 km², 399.812 acres, 625 mile²). 1997 dan 1998: 9,8 juta hektar (97.550 km², 24,1 juta acres, 37.664 mile²). Sumber data dari ADB. 1999: 44.090 hektar (441 km², 108.989 acres, 170 mile² ). 2000: 8.255 hektar (83 km², 20.399 acres, 32 mile²). 2001: 14.351 hektar (144 km², 35.462 acres, 55 mile²). 2002: 36.691 hektar (367 km², 90.665 acres, 142 mile²). 2003: 3.745 hektar ( 37 km², 9.254 acres, 14 mile²). 2004: 13.991 hektar (140 km², 34.573 acres, 54 mile²). 2005: 13.328 hektar (133 km², 32.934 acres, 51 mile²). (Sumber data sebelum 1997 dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) dan Canadian International Development Agency (CIDA) - Collaborative Environmental Project in Indonesia (CEPI). Data 1997/1998 dari Asian Development Bank (ADB). Data 1999-2005 berasal dari Departemen Kehutanan Indonesia].

Berbagai data dan fenomena alam tersebut sudah saatnya dijadikan acuan bagi masyarakat untuk bergerak. Artinya, masyarakat sudah saatnya menyingsingkan lengan baju guna menyelamatkan hutan Indonesia.

Daniel D Chiras (1985), menyatakan bahwa mentalitas frontier sebagai penyebab utama rusaknya alam, hilangnya sinergi dalam masyarakat, merajalelanya korupsi dan nepotisme.
Mentalitas frontier ini dicirikan dengan tiga persepsi utama. Pertama, bumi adalah sumber alam yang tidak terbatas untuk digunakan oleh manusia, dengan premis dasar bahwa selalu ada yang lebih. Kedua, menganggap bahwa manusia bukan bagian dari alam. Ketiga, bahwa alam harus dikuasai.
Mentalitas frontiers sudah saatnya dihentikan. Salah satunya adalah dengan melakukan proses penyadaran, bahwa sumber daya alam bumi terbatas, manusia adalah bagian dari alam dan manusia mempunyai kewajiban untuk melestarikan alam.

Guna mewujudkan hal tersebut di atas beberapa hal yang perlu dilakukan adalah pertama, mengajarkan pendidikan etika lingkungan kepada masyarakat. Pendidikan etika lingkungan adalah upaya nyata manusia untuk sadar bahwa persediaan sumberdaya alam yang dimiliki planet bumi terbatas. Manusia adalah bagian dari alam dan manusia tidak superior terhadap alam. (Maftuchah Yusuf: 2000).

Pengertian tersebut setidaknya memberikan informasi kepada kita, bahwa alam adalah sebuah hal yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari manusia. Artinya, jika alam rusak maka manusia akan binasa. Oleh karena itu, manusia tidak boleh serakah mengeksploitasi alam demi kepentingan sesaat. Alam wajib dilestarikan sebagai sumber penghidupan makhluk hidup lain, termasuk manusia.
Pendidikan etika lingkungan ini harus ditanamkan sejak dini. Artinya, anak usia TK sudah harus diperkenalkan dengan etika lingkungan. Ambil contoh, ketika menebang pohon maka kewajiban manusia adalah menumbuhkan tumbuhan baru. Hal ini guna tetap menjaga ekosistem yang telah ada. Menebang pohon pun harus mendahulukan asas manfaat. Artinya, sekiranya pohon tersebut tidak mengganggu, maka biarkanlah ia hidup

Kedua, peran serta pemerintah dalam menegakkan hukum. Menghukum seberat-beratnya cukong kayu yang menjual hasil hutan Indonesia keluar negeri adalah agenda nyata. Anggapan masyarakat bahwa cukong kayu dilindungi oleh pejabat pemerintah sudah saatnya dibuktikan ketidakbenarannya oleh aparat penegak hukum. Hukum harus tajam kepada siapun. Hukum harus adil. Hal ini dikarenakan salah satu asas hukum adalah keadilan untuk semua. Hukum tidak boleh hanya tajam kepada orang-orang kecil dan tumpul kepada pejabat negara.

Pada akhirnya, peran serta semua pihak untuk menyelamatkan hutan Indonesia adalah kunci utamanya. Tanpa adanya kesadaran arti penting hutan bagi kehidupan makhluk bumi, maka kerusakan bumi akan menjadi hal nyata. Pada akhirnya, manusialah yang paling merugi akibat kerusakan alam.

Benni Setiawan
Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia.