Search

Jumat, 01 Februari 2013

Nabi Palsu dan Kritik Keagamaan

Oleh Benni Setiawan


"Gagasan", Solopos, Jum'at, 1 Februari 2013, Halaman 4.

Harian Solopos, Rabu, 30 Januari 2013, memberitakan ihwal nabi palsu di Kabupaten Karanganyar. Kepolisian pun konon telah melaporkan hal ini kepada Bupati Karanganyar. Bahkan, Kantor Kementerian Agama Karanganyar juga telah menurunkan tim untuk mengintensifkan penelitian ajaran yang dikaji oleh oknum yang diduga meneruskan ajaran nabi palsu di Matesih.

Beberapa penyuluh agama pun diterjunkan guna mengikuti pengajian yang digelar di sebuah masjid di sana. Berdasarkan berita yang disajikan media massa, aktivitas pengajian biasanya dilakukan di sebuah masjid di Kecamatan Matesih. Peserta pengajian sekitar 50 orang yang berasal dari berbagai daerah di Karanganyar.

Masyarakat sekitar mengaku sulit mengetahui isi pengajian karena kelompok tersebut sangat tertutup terhadap orang luar. Kemunculan seseorang yang mengaku nabi bukan hal baru di Indonesia. Diantaranya, Lia Eden, Yusman Roy, Ahmad Musadeq, dan lainnya. Mereka pun akhirnya mendekam di penjara karena pasal penistaan agama.
Apakah kasus di Matesih ini akan berunjung di meja hijau juga? Mengapa Nabi palsu senantiasa ada di setiap zaman? Muhammad Sofyan (1999) menyebut pada umumnya kemunculan aliran sempalan termasuk di dalamnya orang yang mengaku dirinya Nabi, bersifat resisten terhadap agama formal dan baku.

Artinya, ada semacam kritik terhadap agama mapan yang selama ini cenderung kaku dan baku dan antikritik. Lebih dari itu agama baku biasanya hanya menjalankan rutinitas keagamaan dan kurang dapat menyentuh persoalan (substansi) agama itu sendiri. Lebih lanjut, Muhammad Sofyan menyatakan bahwa agama yang terjebak dalam erat formalisme, dipolitisasi dan ditunggangi oleh pemimpin-pemimpin yang korup. Ini perlu dimurnikan kembali sebagai sebuah ajaran pembawa damai.

Menyimpang
Melalui serangkaian aktivitas yang konon “menyimpang” mereka ingin melakukan kritik. Kritik terhadap kemapanan, rutinitas keagamaan yang cenderung mengabaikan aspek-aspek kemanusiaan. Mereka tampil mengingatkan sekaligus menjadi semacam tonggak perlawanan terhadap gaung keagamaan yang semakin loyo di tengah modernitas.

Dalam kasus nabi palsu, sudah selayaknya kita kembali mempertanyakan aspek keimanan berdimensi sosiologis. Artinya, keimanan dan keberagamaan yang seringkali mengabaikan realitas sosial akan menjadi masalah dalam sistem keagamaan. Tentunya kita sepakat bahwa agama diturunkan bukan untuk saling menyesatkan. Agama merupakan modal sosial umat untuk menyapa yang lemah dan mengurai berbagai masalah kekinian yang muncul.
Guna sampai pada maksud tersebut, meminjam istilah Mohammed Arkoun, umat muslim sudah selayaknya kembali mengkaji hal “yang terpikirkan”. Hal yang terpikirkan bagi Arkoun telah lama tertutup—kalau tidak mau disebut ditutupi—oleh ulama-ulama klasik. Oleh karena itu, kerak-kerak bumi yang menutupi "hal lain" dalam agama harus segera dibongkar.

Umat kini lebih banyak disibukkan oleh ajaran yang melangit. Persoalan bumi seringkali terabaikan atau bahkan dianggap tidak penting di era kekinian. Padahal bumi/dunia merupakan sawah ladang akherat. Di sinilah kita menanam kebajikan sehingga menjadi bekal kita hidup kelak di akherat.

Umat, sampai hari ini pun masih gagap dalam mengurai persoalan korupsi, kerusakan lingkungan, dan juga Narkoba yang kini sedang menjadi perbincangan hangat. Agama yang kita yakini kebenarannya sepertinya kehilangan elan vital dalam merampungan persoalan kekinian. Sehingga umat menjadi limbung dan tidak memiliki pegangan dalam berkeluh kesah.

Dimensi “Humanis
Kembali pada persoalan nabi palsu, menurut M. Amin Abdullah, pluralitas agama yang hidup di Indonesia termasuk di dalamnya keanekaragaman paham keagamaan yang ada di dalam tubuh inheren umat beragama adalah kenyataan historis yang tidak dapat dibantahkan oleh siapapun.

Jika kini kembali muncul seseorang atau sekelompok orang yang mendaku nabi atau apapun namanya, pada dasarnya itu hal yang wajar dan lumrah. Kita sebagai pemeluk agama tidak perlu resah menghadapi hal terbut. Pasalnya, keberagamaan tidak menafikan adanya perbedaan-perbedaan dalam hal peribadatan.

Hal-hal tersebut pun tidak perlu kita perdebatan. Ada baiknya, kita mendiskusikan bagaimana agar agama yang kita yakini kebenarannya ini mampu bertahan di tengah gempuran modernisme dan globalisasi. Tantangan umat hari ini tidak hanya berkutat masalah teologis, namun juga persoalan sosial berdimensi sosio-historis.

Kemunculan nabi palsu di Matesih, Karanganyar sudah selayaknya kita pahami dalam dimensi yang lebih “humanis”, tidak lagi dengan modal kaca mata kuda. Selayaknya semua pihak menahan diri dan kalau perlu duduk satu meja mendiskusikan dengan kepala dingin permasalah ini. Penangkapan dan pelarangan serta proses hukum hanya akan menimbulkan masalah di kemudian hari.

Pimpinan umat pun sudah selayaknya menjadikan masalah ini sebagai kritik terhadap model dakwah yang selama ini telah dijalankan. Kritik untuk semakin dekat dengan warga masyarakat dan mengembangkan Islam (keberagamaan) yang menyentuh persoalan sosial. Tanpa hal yang demikian, kita akan senantiasa menyaksikan pengadilan atas keagamaan. Sebuah potret karut marutnya sistem keberagamaan di Republik ini. Wallahu a’lam.