Search

Rabu, 28 September 2011

Bangkitkan Kejayaan PT Pos



Opini, Harian Joglosemar, Senin, 26 September 2011

Persoalan persaingan usaha bukanlah halangan berarti bagi PT Pos, karena integritas dan integrasi jaringan online yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia merupakan potensi yang tidak dimiliki oleh perusahaan lain.

Menyebut pos, pasti angan-angan kita tertuju pada warna kuning dan tumpukan surat. Pos sebagai pusat transaksi surat menyurat kini terus berkembang. Namun, di tengah perkembangan zaman, PT Pos pun mempunyai tantangan yang tidak sedikit. Salah satu tantangan itu adalah kemajuan teknologi menggunakan internet dan short message service (sms). Namun, ke semuannya itu tidak menyurutkan PT Pos untuk mengembangkan diri, sejajar atau bahkan memiliki keunggulan produk. PT Pos kini telah terintegrasi dengan sambungan internet yang memungkinkan peningkatan kualitas dan ketepatan kiriman.
Dengan teknologi ini pun PT Pos kemudian juga mengembangkan kerja sama dengan beberapa perusahaan umum pemerintah seperti PT Kereta Api Indonesia (KAI) dalam menyediakan fasilitas pemesanan tiket kereta api kelas bisnis dan eksekutif. PT Pos pun mengembangkan jaringan perbankan, dengan sarana western union atau kiriman via internet yang dapat diambil tanpa harus memiliki buku tabungan atau rekening di bank.
Keberadaan layanan ini tentu sangat membantu meringankan beban masyarakat. Masyarakat tidak perlu jauh-jauh menuju bank atau terbebani biaya bulanan pembukaan rekening. Mereka cukup datang ke kantor pos terdekat. Apa yang dilakukan oleh PT Pos ini tentu menggembirakan. Artinya, perusahaan penyedia sarana surat-menyurat tertua yang telah menguasai hampir seluruh wilayah Indonesia itu, masih mempunyai harapan untuk terus maju dan berkembang.
Sejarah mencatat, keberadaan Pos Indonesia begitu panjang, kantor pos pertama didirikan di Batavia (sekarang Jakarta) oleh Gubernur Jendral G.W Baron van Imhoff pada tanggal 26 Agustus 1746 dengan tujuan untuk lebih menjamin keamanan surat-surat penduduk, terutama bagi mereka yang berdagang dari kantor-kantor di luar Jawa dan mereka yang datang dan pergi ke Belanda. Sejak itulah pelayanan pos telah lahir mengemban peran dan fungsi pelayanan kepada publik.
Setelah Kantor Pos Batavia didirikan, maka empat tahun kemudian didirikan Kantor pos Semarang untuk mengadakan perhubungan pos yang teratur antara kedua tempat itu dan untuk mempercepat pengirimannya. Rute perjalanan pos kala itu ialah melalui Karawang, Cirebon dan Pekalongan.
Pos Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan status mulai dari Jawatan Post, Telegraph dan Telephone(PTT). Badan usaha yang dipimpin oleh seorang Kepala Jawatan ini operasinya tidak bersifat komersial dan fungsinya lebih diarahkan untuk mengadakan pelayanan publik. Perkembangan terus terjadi hingga statusnya menjadi Perusahaan Negara Pos dan Telekomunikasi (PN Postel).
Mengamati perkembangan zaman dimana sektor pos dan telekomunikasi berkembang sangat pesat, maka pada tahun 1965 berganti menjadi Perusahaan Negara Pos dan Giro (PN Pos dan Giro), dan pada tahun 1978 berubah menjadi Perum Pos dan Giro yang sejak ini ditegaskan sebagai badan usaha tunggal dalam menyelenggarakan dinas pos dan giropos baik untuk hubungan dalam maupun luar negeri. Selama 17 tahun berstatus Perum, maka pada Juni 1995 berubah menjadi Perseroan Terbatas dengan nama PT Pos Indonesia (Persero).
Dengan berjalannya waktu, Pos Indonesia kini telah mampu menunjukkan kreatifitasnya dalam pengembangan bidang perposan Indonesia dengan memanfaatkan insfrastruktur jejaring yang dimilikinya yang mencapai sekitar 24 ribu titik layanan yang menjangkau 100 persen kota/kabupaten, hampir 100 persen kecamatan dan 42 persen kelurahan/desa, dan 940 lokasi transmigrasi terpencil di Indonesia.
Seiring dengan perkembangan informasi, komunikasi dan teknologi, jejaring Pos Indonesia sudah memiliki 3.700 Kantor pos online, serta dilengkapi elektronik mobile pos di beberapa kota besar. Semua titik merupakan rantai yang terhubung satu sama lain secara solid dan terintegrasi. Sistem Kode Pos diciptakan untuk mempermudah processing kiriman pos dimana tiap jengkal daerah di Indonesia mampu diidentifikasi dengan akurat (posindonesia.co.id).

Pojok Pos
Menilik sejarah panjang PT Pos ini, masyarakat masih berharap pada deru derap langkah pos Indonesia. Persoalan persaingan usaha bukanlah halangan berarti bagi PT Pos, karena integritas dan integrasi jaringan online yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia merupakan potensi yang tidak dimiliki oleh perusahaan lain.
Dengan jangkauan yang luas ini sudah saatnya PT Pos kembali memimpin sebagai perusahaan yang mampu melayani masyarakat dan mendedikasikan dirinya untuk kesejahteraan rakyat. Salah satu indikatornya adalah kepercayaan pemerintah pusat yang mempercayakan pembagian bantuan langsung tunai (BLT) yang diambil dari subsidi bahan bakar minyak beberapa waktu lalu. Kepercayaan pemerintah ini tentunya didasarkan pada kedekatan keberadaan kantor pos dengan masyarakat.
Kendati demikian, PT Pos pun perlu terus berinovasi, seperti menyediakan pojok pembelajaran. Pojok pembelajaran ini dapat berupa kumpulan koleksi prangko dari masa ke masa, buku-buku sejarah PT Pos, foto koleksi berupa bangunan, sepeda onthel sebagai sarana pengantar surat di masa lampau, dan foto-foto lainnya yang mempunyai nilai edukasi.
Dengan demikian, seseorang datang ke kantor pos tidak hanya bertransaksi atau berkirim surat saja, namun juga dapat belajar mengenai sejarah kebangsaan Indonesia melalui pos. Hal ini karena keberadaan PT Pos sejak abad ke-17 tentu mempunyai nilai sejarah yang panjang. Dan ini semua tentunya sangat penting bagi peningkatan kualitas pendidikan di tanah air yang sedang terseok.
Keberadan pojok pos pembelajaran ini dapat dimulai dengan kantor-kantor pos besar di tingkat kabupaten, propinsi, dan atau pusat. Keberadaan pojok pos ini dapat dimanfaatkan oleh pelajar dan mahasiswa yang ingin belajar dan meneliti tentang pos Indonesia.
Pada akhirnya, keberadaan PT Pos yang telah membudaya dan menyejarah ini sangat sayang jika tidak banyak diketahui oleh masyarakat. Kejayaan PT Pos merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dalam sejarah panjang bangsa Indonesia.

Benni Setiawan, Pemerhati Masalah Sosial, tinggal di Sukoharjo.

Bom bunuh diri & kesadaran naif



Gagasan, Solo Pos, Senin, 26 September 2011

Diperlukan usaha bersama guna menyadarkan atau mengangkat manusia ketaraf insani, meminjam istilah Driyarkara. Salah satunya dengan pendidikan kritis.


Belum hilang dari ingatan, peristiwa bom buku di Jakarta, bom bunuh diri di Masjid Al-Dzikra Kompleks Mapolresta Cirebon. Kini, masyarakat dihebohkan bom bunuh diri meledak di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo, Jawa Tengah. Hingga artikel ini ditulis setidaknya 11 orang luka dan satu meninggal dunia.
Peristiwa bom bunuh diri di gereja merupakan hal baru di Indonesia. Walaupun peristiwa serupa telah terjadi sejak tahun 2002. Terlepas dari sentimen politik dan siapa yang mendalangi bom bunuh diri ini, tulisan ini hanya akan mengulas sedikit mengenai kaitan antara bunuh diri dan kesadaran naïf ala Paulo Freire.
Freire mengklasifikasikan kesadaran dalam tiga hal. Pertama, kesadaran magis (magical conciousness) yaitu kesadaran yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan yang lainnya, dalam hal ini melihat faktor di luar manusia. Kedua, kesadaran naif (naival consciousness) yaitu manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Ketiga, kesadaran kritis (critical conciousness) yaitu sistem dan struktur sebagai sumber masalah.
Berdasarkan hal tersebut, pelaku bom bunuh diri dapat diklasifikasikan dalam kesadaran naïf. Mereka tidak memiliki kemampuan atau kemandirian untuk bertindak dan bergerak. Mereka hanya digerakkan oleh pemimpin dengan pemahaman yang menyesatkan. Mereka tidak mempunyai kemandirian dan kemerdekaan. Kemandirian dan kemerdekaan hanya milik sang pemimpin. Hal ini dikarenakan otoritas menafsir teks dan pemahaman kitab suci hanya dimiliki oleh seorang pemimpin yang diangkat dan dipatuhi.
Padahal dalam terma M Kaled Abou El Fadl, buku Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, and Woman, mengkritisi sikap otoriter sejumlah kalangan umat Islam yang merasa ‘paling benar’ dalam menafsirkan Teks Suci Alqur’an dan hadis. Mereka, seharusnya mengatakan bahwa tafsiran mereka hanya salah satu dari tafsir atas Kitab Suci selain ribuan tafsir yang berbeda di tengah umat Islam.
Dengan demikian, ”wewenang” seorang ulama adalah suatu wewenang yang tentatif dan tidak mutlak. Wewenang tersebut lahir dari besarnya tanggung jawab, metodologi, dan persyarat lainnya. Hasil pemikiran atau penafsiran seorang ulama atas maksud dan kehendak Allah di dalam kitab Suci-nya sangat ditentukan oleh ketekunan, ketelitian, kehati-hatiannya dan tentu saja manfaatnya bagi seluruh manusia.
Jika otoritas menafsir masih dikuasai oleh orang-orang tertentu hal ini akan menggerakkan seseorang untuk berbuat brutal. Seseorang tidak lagi mampu berfikir dengan jernih. Yang ada hanyalah kepatuhan kepada sang pemimpin.
Maka tidak aneh, jika seseorang yang berada dalam kategori kesadaran naïf adalah manusia perusak bumi dan tata makrokosmos bumi. Bumi rusak akibat perbuatan tangan manusia. Manusia yang tidak mandiri dan tidak memiliki kemerdekaan serta terkungkung dalam kesadaran naïf.

Pendidikan kritis
Diperlukan usaha bersama guna menyadarkan atau mengangkat manusia ketaraf insani, meminjam istilah Driyarkara. Salah satunya dengan pendidikan kritis. Pendidikan kritis adalah usaha sadar dan terencana mendidik, mengolah dan meningkatkan potensi yang telah diberikan Tuhan kepada setiap manusia.
Pendidikan kritis adalah pendidikan orang dewasa yang penuh dengan cinta kasih atau welas asih. Manusia diajak untuk berfikir dan sadar bahwa ia adalah bagian dari makrokosmos bumi. Bumi perlu diselamatkan dari kerusakan dan kepunahan.
Pendidikan kritis juga mengajarkan sebuah kenyataan tidak harus menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan menyimpang dari keharusan, maka tugas manusia untuk merubahnya, agar sesuai dengan apa yang seharusnya. Kenyataan tersebut sering disebut dengan fitrah. Fitrah manusia sejati adalah pelaku (subyek), bukan obyek atau penderita. Fitrah manusia adalah menjadi merdeka dan menjadi bebas. Kesemuanya itu sering disebut dengan tujuan humanisasi Freire.
Freire juga menyebutkan pendidikan seharusnya berorientasi kepada pengenalan realitas dari manusia dan dirinya. Hal itu berarti bahwa pendidikan bukan hanya sebagai ajang transfer of knowledge akan tetapi bagaimana ilmu pengetahuan dijadikan sarana untuk mendidik manusia agar mampu membaca realitas sosial. Hal ini juga didukung oleh Lodge yang menyatakan life is education, education is life (Benni Setiawan: 2006).

Fitrah manusia
Pada dasarnya manusia adalah manusia merdeka dan memiliki kemandirian. Maka guna mengakhiri periode atau rentetan tindak kejahatan kemanusiaan (genosida), lembaga pendidikan harus mampu melakukan penyadaran akan arti penting “pendidikan” sebagai sarana membebaskan manusia dari keterkungkungan dogma dan pemahaman sesat seorang pemimpin.
Perilaku mengakhiri hidup dengan jalan bom bunuh diri dengan alasan apapun adalah tindak biadab. Hal ini dikarenakan, bom bunuh diri atau penyerangan tempat-tempat umum dengan bom mengancam jiwa orang lain dan kehidupan orang lain. Padahal hak untuk hidup adalah pokok hak asasi manusia (HAM).
Pada akhirnya, melakukan proses pendidikan dan pencerahan kepada setiap manusia agar tidak terkungkung dalam kubangan kesadaran naïf adalah tugas atau misi kemanusiaan yang mulia. Hal ini dikarenakan, memerdekakan manusia dan menyelamatkan bumi dari kerusakan adalah fitrah manusia sebagai makhluk yang dibekali dengan hati untuk merasakan dan otak untuk berfikir.

Benni Setiawan, Penulis, tinggal di Sukoharjo.

Diperlukan usaha bersama guna menyadarkan atau mengangkat manusia ketaraf insani, meminjam istilah Driyarkara. Salah satunya dengan pendidikan kritis.