Search

Minggu, 29 Agustus 2010

Anomali Pilkada

Jurnal Nasional, Opini, Rabu, 25 Aug 2010

SEJAK 2005 nyaris tiada hari tanpa pemilihan kepala daerah (pilkada). Selama 2005-2008 telah digelar 484 pilkada. Tahun ini diperkirakan ada 244 pilkada. Rinciannya, tujuh pilkada provinsi, 202 kabupaten, dan 35 kota. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghitung, biaya pilkada 2010-2014 mencapai Rp15 triliun.

Fenomena mahalnya biaya politik pilkada ini memperlihatkan demokrasi di Indonesia masih materialistis, belum substansial. KPU kabupaten/kota tahun 2010 menganggarkan Rp7 miliar sampai Rp10 miliar, KPU provinsi menganggarkan Rp50 miliar sampai Rp70 miliar. Dari sisi Panwas, dana yang dibutuhkan Rp3 miliar untuk kabupaten/kota dan Rp20 miliar untuk provinsi.

Selain biaya oleh pemerintah, calon pun harus menguras pundi-pundi kekayaan. Setidaknya setiap calon bupati harus mengeluarkan uang Rp5 miliar-Rp10 miliar. Bagi yang tidak berkantong tebal, disarankan tidak maju atau berlaga di pilkada.

Fenomena mahalnya biaya politik pilkada sebelumnya dikemukakan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Dia melontarkan, adanya paradoks antara biaya pilkada mahal dan tuntutan pemerintahan bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mendagri mengungkapkan, menjadi seorang gubernur, dibutuhkan dana Rp100 miliar, gaji gubernur Rp8,7 juta per bulan.

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa sistem dalam rintisan demokrasi Indonesia seperti pilkada berbiaya besar? Apakah sistem ini perlu diganti?

Kualitas Rendah

Pilkada yang menguras pundi-pundi kekayaan calon mengindikasikan pemilihan langsung di Indonesia berkualitas rendah--untuk tidak menyebut buruk. Belum ada kesadaran mendasar bahwa pilihan demokrasi ini untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ironisnya, ini berlaku di seluruh level. Di level masyarakat, biasa pilkada menjadi ajang mengajukan berbagai macam proposal untuk kepentingan umum/masyarakat maupun pribadi. Mereka tidak pernah berpikir uang yang dikeluarkan calon berasal dari mana atau bagaimana nanti cara mengembalikan jika itu uang pinjaman/utang. Ini diperparah perilaku broker politik yang selalu menunggu momentum menguras harta calon pemimpin.

Di level calon pemimpin daerah pun terjebak dalam kubangan ini. Pemimpin yang seharusnya mampu memberikan teladan, malah menjadi bagian terbesar dalam menyalurkan hasrat membagikan uang demi sebuah kemenangan. Banyak pemimpin berpandangan, uang akan mampu mengalahkan segalanya, termasuk idealisme dalam menentukan pilihan. Calon pemimpin daerah pun terlalu berlebihan dalam sosialasi kepada masyarakat. Ini dapat dilihat dari pemasangan baliho hingga pelosok kampung. Pemasangan baliho secara berlebihan membutuhkan banyak biaya, padahal manfaat sangat sedikit atau tidak signifikan. Belum lagi membayar biaya kampanye di berbagai media massa, cetak dan noncetak.

Ruang Publik Politik

Jika demikian, apakah sistem ini perlu diganti? Tentu tidak. Sistem ini hanya butuh dibenahi. Beberapa hal yang perlu diagendakan, pertama, menciptakan ruang publik politis. Habermas menyatakan, ruang publik politis tidak lain hakikat kondisi-kondisi komunikasi yang dengan sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif publik yang terdiri dari warga negara.

Ruang publik politis itu memungkinkan para warga menggunakan kekuatan argumen. Ruang publik politis itu--sebagai kondisi komunikasi--bukanlah institusi juga organisasi dengan keanggotaan tertentu dan aturan-aturan yang mengikat. Ia adalah momen politis atau keadaan yang dapat diakses oleh semua orang--ruang otonom yang berbeda dengan negara dan pasar. Dalam kerangka ruang publik inilah, Habermas membayangkan ada proses komunikasi yang menumbuhkan kekuatan solidaritas. Yang mengutuhkan sebuah masyarakat dalam perlawanan terhadap sumber-sumber lain, yaitu uang (pasar kapitalis) dan kuasa (birokrasi negara), agar tercapai sebuah keseimbangan (F Budi Hardiman: 2010).

Kedua, kesadaran calon tidak menjadikan uang sebagai senjata andalan. Menjadikan uang sebagai senjata andalan mencerminkan calon tidak memiliki basis massa jelas. Dia adalah calon pemimpin instan. Jika berniat mencalonkan diri, ada baiknya jauh-jauh hari telah mempersiapkan diri atau melakukan investasi yang baik bagi masyarakat. Banyak calon terpilih di masyarakat, sebagaimana di sebuah Kabupaten di Padang Sumatera Barat tahun 2005, hanya berbekal uang jutaan rupiah mampu meraih kemenangan. Ini karena calon bupati terpilih lama dikenal baik masyarakat. Bahkan sang bupati maju didorong masyarakat itu sendiri.

Pendek kata, menjadi pemimpin berkualitas membutuhkan investasi lama. Tidak sekadar satu atau dua bulan dengan money politics atau serangan fajar.

Calon pemimpin harus tahu posisi dan manfaat bagi daerah. Dia adalah pengemban amanat rakyat dan konstitusi. Jadi setiap langkah harus mencerminkan kepribadian dan cita-cita luhur bangsa Indonesia. Dengan ini menjadi pemimpin tidaklah gampang.

Ketiga, kesadaran masyarakat. Momentum pilkada merupakan saat sebagian besar masa depan daerah dipertaruhkan. Maka jika orientasi hanya mengeruk kekayaan calon atau bahkan nek ora ono duit ora milih, sama artinya menjual daerah dengan harga sangat murah. Lebih dari itu, jika paradigma masyarakat masih berorientasi uang, rintisan demokrasi Indonesia akan berubah menjadi anarki dan petaka. Sebagaimana pengalaman hari ini, banyak pilkada berujung amuk massa, dan meninggalnya lingkaran dalam calon akibat stres berkepanjangan.

Pada akhirnya, pilkada adalah momentum memilih calon berdasarkan kebutuhan daerah. Juga visi misi yang diusung calon pemimpin guna kemajuan daerah. Jika pilkada masih penuh politik uang, harapan menjadikan daerah terdepan dalam inovasi dan mampu bersaing di pasar bebas akan sirna. Lebih jauh, rintisan demokrasi Indonesia dan cita-cita luhur akan rusak.



Benni Setiawan

Peneliti, Penulis Buku Pilkada dan Investasi Demokrasi (2006)