Search

Minggu, 04 Februari 2007

· Hentikan Tindak Kekerasan terhadap Anak

· Anak yang dibesarkan dari berbagai konflik biasanya akan lebih agresif dalam artian negatif.

  • · Mereka sering bertindak brutal dan kurang mampu mengendalikan diri dengan baik. Hal ini tentunya berbeda dengan anak-anak yang dibesarkan dalam situasi yang aman dan jauh dari konflik
  • Tidak kekerasan terhadap anak tampaknya tidak ada habisnya. Baru-baru ini seorang anak di Malang Jawa Timur, disiram air panas oleh ibunya sendiri. Alasannya cukup sepela, sang anak sering buang air besar disembarang tempat dan membuat marah sang ibu. Kasus tersebut tampaknya menambah deretan kasus kekerasan terhadap anak yang terbongkar.
  • Kekerasan terhadap anak pun kian tahun kian meningkat. Data menunjukkan, pada tahun 2003 tindak kekerasan terhadap anak mencapai 481 kasus. Tahun 2004 meningkat 547 kasus dengan rincian 221 kasus kekerasan seksual, 140 kekerasan fisik, 80 kekerasan psikis dan 106 kasus lainnya.
  • Pada tahun 2005, jumlahnya meningkat lagi menjadi 766 kasus, dengan rincian 327 kasus kekerasan seksual, 233 kasus kekerasan fisik, 176 kekerasan psikis dan 130 kasus lainnya. Sedangkan pada semester pertama tahun 2006 terdapat 460 kasus.
  • Child abuse merupakan bentuk perlakuan kekerasan terhadap anak-anak. Terry E. Lawson, psikiater internasional yang merumuskan definisi tentang kekerasan terhadap anak, menyebut ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse.
  • Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terus-menerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu.
  • Verbal abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak, setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk diam atau jangan menangis. Jika si anak mulai berbicara, ibu terus-menerus menggunakan kekerasan verbal seperti, "kamu bodoh", "kamu cerewet", dsb. Anak akan mengingat semua kekerasan verbal jika semua kekerasan verbal itu berlangsung dalam satu periode.
  • Physical abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu.
  • Sexual abuse biasanya tidak terjadi selama delapan belas bulan pertama dalam kehidupan anak.
  • Pelaku tindak kekerasan terhadap anak biasanya dilakukan oleh orangtua atau keluarga si anak. Sangat sedikit perilaku kekerasan terhadap anak dilakukan oleh orang di luar hubungan kekeluargaan. Sebuah data menunjukkan bahwa tindak kekersan terhadap anak (child abuse) 69 persen dilakukan oleh orang yang dikenal dan 31 persen tidak dikenal anak. Hal ini dikarenakan anak selalu berada dalam lingkungan keluarga besar maupun kecil. Dengan demikian, mereka akan tumbuh dan berkembang bersama keluarganya.
  • Keluarga yang harmonis biasanya akan dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan anak. Sebaliknya keluarga yang sering ada masalah baik dari dalam maupun dari luar akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Di sinilah peran serta orangtua dalam membimbing dan mengarahkan anak-anaknya menjadi insan cerdas dan mandiri.
  • Maka tidak aneh jika, dalam peringatan Hari Anak Nasional beberapa waktu yang lalu, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo menyatakan akan menggalakkan pendidikan anak usia dini (PAUD). PAUD merupakan hal terpenting dalam hidup. Pada usia dini itulah seluruh potensi anak dapat ditumbuhkembangkan secara maksimal.
  • PAUD menurut Slamet Suyanto (2005) adalah investasi yang sangat besar bagi kehidupan keluarga dan bangsa. Dengan demikian, anak adalah aset bangsa yang harus dipelihara dan dilestarikan. Artinya, anak harus dididik agar nantinya mampu menyambung estafet perjalanan bangsa.
  • Mendidik anak agar tidak terjerumus kepada obat-obatan terlarang, pergaulan bebas dan seterusnya salah satu contohnya. Mendidik anak agar dapat menjadi insan cerdas dan mandiri membutuhkan peranserta banyak pihak. Pertama, keluarga. Keluarga adalah pendidik utama.
  • Artinya, dari keluarganya anak pertama kali belajar mengenai berbagai hal, entah itu bahasa, perilaku, sopan santun dan adat istiadat. Maka tak heran jika keluarga adalah tulang punggung negara. Keluarga yang kuat dan harmonis serta mampu mendidik anak-anaknya dengan baik akan dapat menguatkan stabilitas negara.
  • Keluarga Harmonis
  • Sebaliknya, keluarga yang tidak harmonis dan tidak mampu mendidik anak-anaknya menjadi insan cerdas dan mandiri, hanya akan menambah permasalahan bangsa dan merobohkan kedaulatan negara. Maka dari itu, disetiap keluarga harus mampu menciptakan situasi yang menyenangkan. Sehingga anak dan seluruh anggota keluarga betah dan mampu saling ingat mengingatkan dalam hal kebaikan.
  • Lebih lanjut, keluarga yang tertata dengan baik juga akan menjauhkan dari tindak kekerasan terhadap anak. Kekerasan terhadap anak secara psikis mungkin lebih banyak terjadi daripada kekerasan seksual atau yang nampak lainnya.
  • Ketika orangtua cekcok dan diketahui oleh seorang anak, maka hal tersebut dapat membuat anak tertekan secara psikis. Anak akan mudah merenung (murung) dan sedikit tidak terbuka kepada orang tuanya dalam banyak hal. Maka dari itu, ketika orangtua sedang bertengkar dan ada anak di sampingnya, hendaklah orangtua menghentikan sementara perkelahiannya demi perkembangan dan pertumbuhan seorang anak.
  • Kedua, adalah lingkungan masyarakat. Lingkungan masyarakat adalah keluarga kedua bagi anak. Di sinilah anak banyak berinteraksi selain dari lingkungan keluarga. Menciptakan tatanan masyarakat yang damai adalah kunci utamanya. Artinya, seorang anak akan tumbuh kembang dengan baik apabila masyarakat jauh dari konflik sosial.
  • Anak yang dibesarkan dari berbagai konflik biasanya akan lebih agresif dalam artian negatif. Mereka sering bertindak brutal dan kurang mampu mengendalikan diri dengan baik. Hal ini tentunya berbeda dengan anak-anak yang dibesarkan dalam situasi yang aman dan jauh dari konflik. Mereka dapat tumbuh kembang dan belajar dengan baik.
  • Orangtau dan anggota masyarakat harus mampu membangaun kemitraan yang baik dengan lembaga-lembaga yang ada di lingkungannya. Seperti Dasawisma dan PKK. Hal ini dilakukan untuk mencegah sedini mungkin kekerasan terhadap. Dan mendidik orangtau agar sadar arti penting anak bagi masa depan yang lebih baik.
  • Ketiga, adalah peranserta pemerintah. Artinya, pemerintah sebagai pemegang otoritas kekuasan negara harus mampu memberikan pelayanan prima terhadap anak-anak Indonesia. Hak-hak atas anak seperti pendidikan, kesehatan dan hak asasi manusia lainnya menjadi tanggung jawab negara (pemerintah).
  • Memberikan hak pendidikan misalnya, pemerintah harus konsisten dengan produk perundang-undangan yang telah dibuatnya sendiri. Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945, anggaran pendidikan nasional adalah sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN. Maka kewajiban pemerintah melaksanakan dan menunaikannya demi kepentingan bangsa dan negara. Tentunya pemerintah tidak ingin generasi penerusnya lemah dan tidak terdidik.
  • Perangkat hukum yang melindungi anak-anak dari tindak kekerasan sebagaimana telah diundangkan dalam UU N0 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak, sudah saatnya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Tanpa perhatian semua pihak, tentunya nasib generasi muda bangsa Indonesia akan terpuruk, dan hal ini bukanlah sebuah kebaikan. Maka menyelamatkan aset bangsa dari keterpurukan adalah kunci keberhasilan bangsa Indonesia.
  • Oleh Benni Setiawan
  • Staf Pengajar Universitas Muhammadiyah Jember