Search

Rabu, 31 Desember 2008

Selamat Jalan 2008 Selamat Datang 2009

Berat rasanya meninggalkan tahun 2008, namun kita tetap harus meninggalkannya.
2008 telah menjadi sejarah bagi kita
Maka, marilah kita ucapkan Selamat Jalan 2008 Selamat Datang 2009
Semoga Terang Cahaya Ilahi Selalu Menyertai Kita di tahun 2009 ini

Berikut saya lampirkan beberapa karikatur sebagai penggambaran sejarah tahun 2008


























Selasa, 23 Desember 2008

Memulihkan Martabat Guru



WACANA, Suara Merdeka, Senin, 22 Desember 2008

BARU-baru ini media massa cetak dan elektronik menyoroti perilaku menyimpang oknum guru Erwin Ronaldo di Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Guru sekolah dasar (SD) itu tega melakukan pelecehan seksual terhadap peserta didiknya.

Dua orang peserta didik dipaksa untuk melakukan oral seks di depan teman-temannya yang lain. Karena perbuatan oknum guru ini, sebuah media cetak memasang judul ”Guru Cabuli Siswi di Depan Kelas”, ”Guru Oral Seks di Depan Kelas”, dan sebagainya.

Berita-berita lain yang mendiskreditkan guru dan lebih ”sadis” lainnya sangat banyak. Seperti guru memukuli muridnya hingga pingsan, guru bercinta dengan murid di kantor, pelecehan seksual seorang kepala sekolah, guru menghamili siswinya, dan masih banyak lagi.

Ketika mendengar dan membaca liputan berita tersebut, hati saya langsung berontak. Apakah tidak ada bahasa yang lebih santun untuk menyampaikan sesuatu.

Apalagi peristiwa tersebut menimpa seorang guru, yang secara langsung maupun tidak langsung telah mengajarkan baca tulis bagi seorang jurnalis.

Lebih dari itu, mengapa media massa lebih senang menyoroti perilaku menyimpang oknum guru daripada meliput pemberitaan mengenai perjuangan seorang guru untuk bertahan hidup dan menghidupi keluarganya dengan gaji yang tidak memadai.

Seperti Preman

Guru dalam pemberitaan tak ubahnya seperti preman yang melakukan kejahatan. Martabat mereka sama, sebagai komoditas berita yang layak jual. Lebih dari itu, guru dan preman dianggap sama seperti penjahat, yang wajib dihukum sesuai dengan produk perundang-undangan yang berlaku.

Jika demikian adanya, betapa malang nasib ”pahlawan tanpa tanda jasa” ini. Kebaikan mereka dalam mendidik bangsa Indonesia dikalahkan oleh kesalahan kecil yang tidak dilakukan oleh semua guru.

Padahal sebagaimana kita ketahui, bangsa ini didirikan oleh para guru. Sebut saja, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’arie, Ki Hajar Dewantara, Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Natsir, dan seterusnya. ”Kemarau satu tahun kalah dari hujan sehari”, kira-kira demikian bunyi peribahasanya.

Guru yang harus berjuang di tengah penatnya hidup dan minimnya gaji seakan hilang begitu saja dengan ulah oknum guru. Guru yang harus mengayuh sepeda tuanya agar dapat bertemu dengan peserta didiknya tak pernah dihargai. Namun, berita kecil mengenai perilaku menyimpang oknum guru dibesar-besarkan.

Mungkin media massa saat ini masih menganut falsafat good news no news, bad news is news. Ketika falsafah ini masih mendominasi cara kerja jurnalis kita, dan yang ditulis mengenai perilaku oknum guru, maka martabat guru sebagai seorang pendidik akan hilang.

Guru tidak lebih sebagai komoditas berita yang sama ”harganya” dengan selebritis, anggota DPR, koruptor, dan seterusnya. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah seperti ini balasan seorang murid (peserta didik) kepada gurunya (pendidik).

Tentunya seorang jurnalis yang pernah dididik oleh guru akan menyatakan protes terhadap pemberitaan yang dibesar-besarkan ini. Pemberitaan yang negatif tentang guru sepertinya tidak berimbang dengan perjuangan guru yang maha berat.

Guru-guru yang baik dan dapat memberi inspirasi bagi orang lain luput dari pemberitaan. Seperti bagaimana seorang guru yang juga kepala SD di Jakarta harus menjadi pemulung guna mencukupi kebutuhan sehari-harinya; guru di pedalaman Kalimantan Barat yang rela gajinya dipotong untuk membangun sekolah layak huni; dan guru di Papua yang harus berjalan puluhan kilometer untuk memenuhi dahaga ilmu anak-anak usia produktif.

Ada lagi guru dan kepala SD berstatus pegawai negeri sipil (PNS) yang menjadi tukang becak, sebagaimana penulis temui sekian bulan lalu di Solo. Ketika guru yang berstatus PNS saja harus mencari uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bagaimana dengan guru non-PNS?

Genit

Media massa kita kelihatannya ”genit” dalam menyikapi perilaku menyimpang oknum guru, yang mestinya mampu menjadi teladan (digugu) bagi orang lain. Lebih dari itu, media massa sepertinya ingin ”menghukum” guru, tanpa pernah berfikir bahwa karena didikan gurulah mereka dapat membaca dan menulis (membuat berita).

Maka dari itu, sudah saatnya media (baca: jurnalis) sadar bahwa apa yang mereka lakukan saat ini sangat menyakitkan —kalau tidak mau disebut merongrong (meminjam istilah Soeharto dengan Orde Barunya) wibawa guru.
Media massa sudah saatnya tidak genit dan menyamakan guru dengan profesi lain dalam pemberitaan.

Guru adalah pendidik bangsa. Mereka juga manusia biasa yang tak luput dari khilaf. Namun demikian, tidaklah pantas pelaku media menurunkan berita-berita yang mendiskreditkan guru.

Sekiranya ingin ”mendidik” masyarakat, alangkah baiknya pemberitaan mengenai guru berimbang. Tidak hanya yang ”jelek-jelek” saja yang diliput, tetapi juga mengangkat prestasi guru. Sehingga guru tidak hanya menjadi komoditas pasar dalam pemberitaan yang negatif.

Guru juga perlu dipulihkan martabatnya dengan banyaknya pemberitaan mengenai ketulusan seorang guru yang bekerja tanpa digaji, sebagaimana teman penulis di Lamongan Jawa Timur yang rela digaji dengan ayam kampung oleh orangtua peserta didik setiap enam bulan sekali.

Masih banyak guru yang hidup di bawah garis kemiskinan, gaji guru yang masih di bawah upah minimum kabupaten/kota (UMK), dan seterusnya. Dengan demikian, guru tidak hanya dilukiskan dengan ”tinta merah”, namun guru juga perlu dilukiskan dengan ”tinta emas”. Selamat berjuang guruku. (32)

—Benni Setiawan, pemerhati pendidikan, penulis buku ”Manifesto Pendidikan Indonesia” (2006) dan ”Agenda Pendidikan Nasional” (2008).

Wajah Lain Muhammadiyah



Resensi, Seputar Indonesia, Minggu, 20 December 2008

Pada usianya yang semakin senja,99 tahun (8 Dzulhijjah 1330 H–8 Dzulhijjah 1429 H), Muhammadiyah dihadapkan pada berbagai persoalan yang muncul di tengah warganya.

Persoalan seperti mulai terkikisnya ideologi Muhammadiyah karena telah disusupi paham atau ideologi lain,seperti Ikhwanul Muslimin (PKS) dan HTI,pernah menjadi perbincangan hangat pada awal 2006 hingga awal 2008.

Kini persoalan Muhammadiyah semakin berkembang dengan semakin kuatnya paham fundamentalisme-konservatif di tubuh organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan ini. Paham fundamentalisme konservatif telah menggusur tokoh-tokoh pemikir beraliran progresif-liberal dalam tubuh Muhammadiyah.

Sebut saja Ahmad Syafi’i Ma’arif, Abdul Munir Mulkhan,dan M Amin Abdullah.Paman SAM, begitu mereka sering disebut, tidak dipakai lagi––kalau tidak mau disebut disingkirkan–– dalam tubuh Muhammadiyah. Mereka dianggap sebagai ikon paham pluralisme, sekularisme, dan liberalisme. Selain itu,pahampaham mereka yang cenderung ìliberalî diharamkan. Bahkan, para ìpengikutnyaî pun harus menerima perlakuan yang tidak mengenakkan dari Muhammadiyah.Sebut saja Moh Shofan.

Shofan dipecat dari kedudukannya sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG) karena ia mengucapkan selamat Natal melalui sebuah artikel di harian Surya, Jawa Timur, dan Indo Pos, Jakarta, pada bulan Desember 2006.

Shofan dianggap menyebarkan paham pluralisme yang diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui musyawarah nasional pada 26–29 Juli 2005 yang juga diamini Muhammadiyah. Pluralisme bagi Muhammadiyah merupakan kata ìangkerî yang perlu dijauhi dan diperangi.

Penganjur pluralisme dalam Muhammadiyah menjadi pihak tertuduh yang harus hengkang dari tubuh Muhammadiyah. Muhammadiyah sekarang mungkin sangat berbeda dengan Muhammadiyah di masa awal kelahirannya.

Di masa awal,KH AhmadDahlan,berani menafsirkan surat Al- Ma’un dengan mendirikan sekolahan, panti asuhan,dan rumah sakit dan itu merupakan tafsiran yang melampaui zamannya. Namun,Muhammadiyah kini begitu garang terhadap pemikiran-pemikiran nyleneh. Bahkan, tanpa membuka ruang dialog, Muhammadiyah mampu menjadi hakim di dunia dalam proses keberagamaan seseorang.

Maka,tidak aneh jika M Dawam Rahardjo, mantan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, harus ìdipecatî dari keanggotaan organisasi yang didirikanolehKH AhmadDahlanini walaupun sampai sekarang suratpemecatannya belumjuga ada.

Namun,dalamkatapengantarnya, Dawam, tetap beriktikad, sekali Muhammadiyah tetapMuhammadiyah. Muhammadiyah tidak lagi menampakkan wajah humanis dan modernis lagi. Hal ini dikarenakan ruang dialog dan tukar pikiran tidak lagi menjadi tradisi.Tradisi yang berkembang adalah saling menyalahkan dan menghukum seseorang yang belum tentu benar.

Melalui buku ini, Moh Shofan, sebagai seorang kader muda Muhammadiyah, sepertinya ingin menegaskan bahwa paham pluralisme harus terus diperjuangkan. Dengan paham ini,seseorang akan mampu melihat realitas secara lebih nyata dan indah.

Pluralisme yang dirancang oleh Shofan dan kawan-kawan dalam buku ini menjadi semacam resistensi terhadap kekuasaan pimpinan Muhammadiyah periode 2005–2010. Pimpinan Pusat MuhammadiyahsaatiniyangmenurutPradana Boy lebih dekat dengan paham fundamentalismekonservatif seakan dikritik secaraapikdankonstruktifoleh kader-kader mudanya.

Melalui buku ini juga,Moh Shofan yang sekarang aktif di Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) ingin menegaskan bahwa keragaman berpikir di Muhammadiyah tidak tunggal dan tidak menjadi hegemoni kaum tua. Shofan sepertinya ingin membangun sebuah tradisi berpikir yang berbeda dengan arus utama yang ada selama ini.

Walaupun tidak banyak yang baru––untuk tidak menyebut tidak ada sama sekali–– dari apa yang diulas Moh Shofan dan kawan-kawan dalam memandang pluralisme dalam beragama dan bermasyarakat, buku ini merupakan bentuk ìpemberontakanî terhadap fundamentalismekonservatifdidalamtubuhMuhammadiyah.

Lebih dari itu, buku ini menjadi menarik untuk diperbincangkan karena arus utama pemikiran di tubuh Muhammadiyah tidak mengakomodasi hal-hal seperti ini. Selain beberapa kelebihan di atas,buku ini juga memiliki kelemahan. Di antaranya masih banyaknya salah ketik seperti kata ìpluralismeî yang ditulis ìpruralisme” di bagian belakang buku ini dan penempatan nama penulis yang tidak konsisten seperti bergaris dan tidak bergaris.

Meski demikian, buku ini semakin menguatkan apa yang dikatakan A Mukti Ali dalam kata pengantar buku karya Mitsuo Nakamura berjudul The Cresent Arises Over the Banyan Tree.A Mukti Ali menandaskan bahwa ”Muhammadiyah is multi-faced movement”,Muhammadiyah adalahgerakanyangmemiliki banyak wajah.

Muhammadiyah kini memiliki wajah fundamentalis-konservatif, progresif-liberal,dan sebagainya. Inilah wajah-wajah Muhammadiyah yang senantiasa menghiasi proses sejarah organisasi yang kini dipimpin oleh Din Syamsuddin ini.

Benni Setiawan,
Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).

Jumat, 12 Desember 2008

Turunkan Bendera Parpol di Lokasi Bencana!



Oleh Benni Setiawan
Pikiran Rakyat, Jum'at, 12 desember 2008

Bencana alam sepertinya tidak bosan melanda negeri ini. Setelah serangkaian bencana alam yang menghancurkan semesta alam Aceh (2005), Jember dan Banjarnegara (2006), Yogyakarta dan Jawa Tengah (Mei 2006), Jakarta (Februari 2007), kini banjir dan tanah longsor menerpa semesta alam Jawa Barat. Seperti tanah longsor di Cianjur yang menewaskan belasan jiwa dan banjir yang melanda wilayah Bandung dan sekitarnya.

Banjir dan tanah longsor di Cianjur dan Bandung Jawa Barat ini menambah deret panjang data bencana alam di Indonesia. Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), banjir dan tanah longsor mendominasi bencana 2006-2007, khususnya di Pulau Jawa. Bencana itu terjadi di lebih dari 2.850 desa pada 61 kabupaten/kota. Jumlah bencana itu meningkat jika dibandingkan dengan periode tahun 2000-2003, yakni 1.288 desa.

Banyaknya bencana alam di Indonesia ini tentunya selalu meninggalkan duka yang mendalam bagi korban. Mereka ada yang kehilangan sanak keluarga, harta benda, dan cita-cita yang diimpikan sejak lama. Akan tetapi, ada yang bertepuk tangan dengan senyum riang gembira ketika musibah tahunan ini melanda beberapa daerah. Mereka adalah partai politik.

Arena bermain

Partai politik sepertinya menemukan gelanggang atau arena bermainnya. Dengan adanya bencana alam, mereka beralasan inilah saat yang tepat mendekatkan diri dengan konstituen. Kehadiran mereka pun dapat berguna bagi masyarakat yang sedang membutuhkan dan mencitrakan diri sebagai partai politik yang dekat dan peduli kepada rakyat.

Partai politik berebut simpati dengan menampung dan menyalurkan bantuan, mendirikan banyak posko, memberikan layanan kesehatan dan pertolongan cepat tanggap selama 24 jam. Di balik "misi mulia" tersebut mereka juga tidak lupa melakukan aksi pemasangan seribu satu bendera di berbagai sudut lokasi bencana alam. Dengan telah tertancapnya bendera-bendera tersebut mereka merasa telah memerhatikan korban bencana alam dan turut serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ironisnya, banyak di antara mereka yang tidak mengeluarkan keringat sedikit pun.

Keadaan ini dapat kita jumpai pada banjir dan tanah longsor yang meluluhlantakkan bumi Cianjur Jabar, beberapa waktu lalu. Di sepanjang jalan, di pojok kampung selalu ada bendera parpol yang berkibar sepanjang hari. Bahkan, pemasangan bendera parpol di berbagai tempat strategis menjadi rebutan kader-kader partai.

Lebih lanjut, partai politik tidak hanya mengibarkan bendera di berbagai lokasi bencana. Sebagai aksi simpatik dan pernyataan bahwa daerah ini "telah dikuasai" parpol tertentu, kader partai ada yang kerjaannya berkeliling lokasi bencana menggunakan mobil yang dipenuhi atribut parpol. Ironis memang, di tengah penderitaan yang tak kunjung usai, ada sebagian masyarakat lain yang merasa diuntungkan atas peristiwa ini.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah yang dikerjakan oleh partai politik tersebut sebagai bukti pemihakan dan perhatiannya kepada wong cilik?

Pemihakan semu

Kehadiran parpol dengan misi pemasangan seribu bendera di lokasi bencana alam hanyalah bentuk pemihakan semu. Mereka tampaknya ingin cuci tangan terhadap dosa-dosa politik yang telah mereka lakukan.

Parpol ingin mengembalikan kepercayaan masyarakat bahwa dirinya adalah lembaga yang patut untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Hal ini ditunjukkan dengan model pemasangan bendera di lokasi bencana alam. Akan tetapi, mereka melupakan satu hal, bahwa rakyat sekarang tidak mudah dibohongi dengan janji-janji politik yang muluk-muluk.

Rakyat sekarang sudah dapat menilai perilaku anggota dewan, sebagai representasi parpol. Berkat kehadiran media elektronik (televisi) dan media cetak (koran) rakyat mengetahui wakil-wakil rakyat di Senayan.

Betapa tidak, di tengah semakin banyaknya sekolah roboh akibat dimakan usia, gedung DPR RI yang masih megah dan kokoh dibiayai dengan anggaran APBN sebesar Rp 32 miliar. Belum lagi uang tunjangan yang diberikan kepada anggota dewan yang terhormat sebagai ganti uang sewa rumah dinas yang sedang direnovasi dan kunjungan kerja ke luar negeri yang tidak ada manfaatnya. Hal tersebut dilakukan anggota dewan di tengah penderitaan 49,5 persen penduduk miskin di Indonesia (versi Bank Dunia, dengan indikator penghasilan di bawah 2 dolar Amerika Serikat per hari).

Mereka menutup mata atas penderitaan dan rintihan rakyat. Rakyat hanya berarti bagi mereka ketika musim pemilihan umum datang. Setelah itu, rakyat adalah rakyat dengan penderitaan, dan anggota dewan adalah "putra terbaik bangsa" yang patut menikmati berbagai fasilitas dan tunjangan.

Kehadiran parpol di lokasi bencana dengan pemihakan semu pada dasarnya semakin menyayat hati rakyat. Rakyat dibuat bingung oleh rekayasa politik yang "menjijikkan".

Bendera Merah Putih

Sudah selayaknya semua pihak sadar mengenai hal ini. Bendera parpol di lokasi bencana alam saatnya diturunkan dan diganti dengan bendera Merah Putih. Kehadiran bendera parpol di lokasi bencana hanya akan semakin mengerdilkan peran dan fungsi partai politik. Lebih dari itu, kehadirannya hanya akan meninggalkan konflik di tengah masyarakat.

Hal ini tentunya berbeda jika yang ada di tengah lokasi bencana alam adalah bendera Merah Putih. Bendera ini sebagai pengikat bahwa kita merasakan penderitaan dan beban berat korban bencana alam. Dengan hadirnya bendera Merah Putih diharapkan mampu memupuk rasa nasionalisme dan rasa memiliki bangsa Indonesia yang akhir-akhir ini mulai luntur. ***

Penulis, peneliti sosial pada Lentera Institute.

Rabu, 10 Desember 2008

Revitalisasi Plus di Tengah Kejumudan Berpikir



Koran Tempo, Selasa, 09 Desember 2008.
Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Artikel Asep Purnama Bahtiar berjudul "Muhammadiyah dan Revitalisasi Plus" (Koran Tempo, 30 November 2008) sangatlah ideal. Asep mengancang dalam tubuh Muhammadiyah tumbuh apa yang dinamakan manajemen rasional. Dengan manajemen rasional, Asep mengimpikan peneguhan ideologi dan konsolidasi kader dan warga Muhammadiyah akan semakin kukuh. Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya, bagaimana revitalisasi plus dalam bentuk manajemen rasional tersebut dapat diterapkan di tengah semakin kuatnya pendulum fundamentalisme-konservatif di dalam tubuh Muhammadiyah?

Terpilihnya Din Syamsuddin dalam Muktamar ke-45 di Malang pada 2005, menurut Pradana Boy dalam tesisnya In Defence of Pure Islam: the Conservative-Progressive Debate within Muhammadiyah yang ia pertahankan di Australian National University (ANU), menjadi bukti nyata dominasi kelompok fundamentalisme-konservatif di dalam tubuh Muhammadiyah. Dominannya kelompok ini dengan nyata telah menggusur pemikir-pemikir Islam dalam Muhammadiyah, seperti Ahmad Syafi'i Ma'arif, Abdul Munir Mulkhan, dan M. Amin Abdullah (atau Paman SAM). Tradisi pemikiran yang digagas oleh Paman SAM sekarang hilang entah ke mana. Kelompok-kelompok pendukung mereka seperti Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) dikafirkan dan dianggap bukan bagian dari Muhammadiyah.

Bukti nyata semakin kuatnya kelompok fundamentalisme di Muhammadiyah adalah dipecatnya M. Dawam Rahardjo dari keanggotaan Muhammadiyah dan M. Shofwan dari Universitas Muhammadiyah Gresik. Tradisi berpikir di dalam Muhammadiyah menjadi homogen. Tradisi pemikiran yang "nyeleneh" tidak lagi mendapat tempat dalam tubuh Muhammadiyah. Homogenitas tradisi berpikir inilah yang kemudian meninggalkan kejumudan dalam tubuh Muhammadiyah. Muhammadiyah sepertinya kehilangan progresivitas dalam berpikir. Lebih dari itu, Muhammadiyah sekarang lebih tradisionalis daripada saudara tua NU. Hal ini dikarenakan, di tengah dinamisnya gerakan pemikiran NU yang dipelopori oleh Gus Dur dkk, Muhammadiyah sepertinya ingin memposisikan diri dalam status quo pemikiran Islam. Gerakan modernis yang dicita-citakan oleh KH Ahmad Dahlan tidak lagi menjadi spirit gerak Muhammadiyah.

Jika yang terjadi demikian, apakah manajemen rasional yang dicoba ditawarkan oleh Asep dapat diterapkan di Muhammadiyah? Dalam pandangan saya, amat sulit--kalau tidak mau disebut tidak bisa--manajemen rasional diterapkan dalam tubuh Muhammadiyah, jika tidak dibarengi dengan keterbukaan berpikir dengan mengakomodasi "suara-suara lain" dalam tubuh Muhammadiyah. Bagaimana mungkin manajemen rasional diterapkan jika cara pandang terhadap persoalan sosial hanya dijelaskan dengan nash-nash normatif tanpa historisitas--meminjam istilah M. Amin Abdullah. Yang ada hanyalah manajemen rasional yang telah direduksi sedemikian rupa, sehingga menjadi alat untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan.

Manajemen rasional harus didukung oleh semakin banyaknya ragam berpikir dan cara pandang dalam tubuh Muhammadiyah. Dengan demikian, pluralisme dalam tubuh Muhammadiyah menjadi hal yang niscaya. Karena dengan semakin banyak ragam berpikir, akan semakin banyak pula cara menyelesaikan masalah. Warga Muhammadiyah mempunyai banyak pilihan untuk menyelesaikan masalahnya. Ia tidak lagi fanatik terhadap produk pemikiran yang dikeluarkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Namun, jika pendulum Muhammadiyah semakin ke kanan dan bahkan mengharamkan pluralisme, sekularisme, dan liberalisme sebagaimana dalam keputusan MUI dalam Musyawarah Nasional pada 26-29 Juli 2005, tamatlah riwayat Muhammadiyah. Dan ancangan manajemen rasional pun hanya tinggal dalam angan-angan. Lebih dari itu, semangat "liberalisme" ala KH Ahmad Dahlan akan hilang.

KH Ahmad Dahlan di masa awal menempatkan diri sebagai seorang tokoh yang berani keluar dari norma-norma yang ada di tengah masyarakat. Kiai Dahlan berani mengubah arah kiblat di Masjid Gede, Yogyakarta. Kiai Dahlan juga berani menafsirkan surat Al-Maun dengan mendirikan sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan. Keberanian berpikir yang berbeda dengan tradisi masyarakat kala itu menjadikan (baca: menempatkan) Muhammadiyah sebagai gerakan modernis yang mampu memecahkan kebuntuan cara berpikir masyarakat.

Alangkah naifnya jika pendiri Muhammadiyah saja berani keluar dari tradisi masyarakat kala itu dan menjadi ikon baru dalam tradisi pemikiran Islam, Muhammadiyah sekarang di bawah komando Din Syamsuddin mengajarkan fundamentalisme-konservatif yang mengedepankan emosi daripada rasionalitas. Jika Muhammadiyah sekarang ingin membangun manajemen rasional, Muhammadiyah harus berani keluar dari kubangan fundamentalisme-konservatif yang membelenggu. Muhammadiyah harus mengakomodasi tradisi pemikiran yang agak "nyeleneh" sebagaimana telah digawangi oleh Paman SAM. Artinya, tradisi pemikiran yang berangkat dari pendekatan filosofis, historis, dan sosiologis harus ditempatkan dalam kerangka berpikir rasional dan mengalahkan kerangka berpikir yang didasarkan pada emosi.

Warga (pimpinan) Muhammadiyah tampaknya harus kembali membuka lembaran sejarah (risalah) awal berdirinya Muhammadiyah sebagai pendobrak kebuntuan berpikir masyarakat kala itu. Masyarakat yang irasional diajak menuju cara berpikir yang rasional. Cara berpikir rasional adalah menempatkan ilmu pengetahuan dan teori-teori secara arif dan bijaksana. Maka dari itu, di tengah semakin kuatnya desakan sistem keberagamaan yang bercorak fundamentalisme-konservatif, Muhammadiyah harus berani keluar dan menyatakan diri sebagai gerakan modernis. Gerakan modernis merupakan gerakan yang tidak sektarian, mampu mengakomodasi ragam pemikiran yang berkembang, dan menjadi pelopor bagi kesejahteraan umat. Tanpa hal ini, revitalisasi plus yang diancang dengan manajemen rasional hanyalah mimpi di siang bolong. *

Senin, 01 Desember 2008

Memanusiakan Guru Honorer



WACANA Suara Merdeka, 01 Desember 2008

Persoalan guru honorer yang digaji di bawah rata-rata pada dasarnya merupakan kesalahan sistem pendidikan Indonesia. Guru honorer nrimo dengan gaji yang tidak seberapa itu bukan karena mereka memiliki etos kerja rendah. Mereka mempunyai potensi yang luar biasa.
Oleh Benni Setiawan

”Bangsa ini tinggal menunggu hancurnya. Karena bangsa ini ini diatur oleh sistem birokrasi yang rusak dan tidak kapabel”.

KALIMAT di atas meluncur dari seorang teman yang masih kuliah di Program Pascasarjana Administrasi Publik UGM Yogyakarta. Dengan panjang lebar, dia bercerita mengenai kondisi pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia. Ia juga menyinggung masalah guru honorer yang akhir-akhir ini kembali muncul dalam liputan media massa akibat demonstrasi di sejumlah kota.

Sang teman beranggapan, pengangangkatan guru honorer menjadi PNS (guru berstatus negeri) juga akan makin menambah beban bangsa. Sejenak saya terdiam, sembari membuka beberapa kliping artikel opini. Setidaknya saya menemukan dua tulisan yang menyatakan hal yang senada.

Namun, saya tidak begitu puas dengan sejumlah keterangan yang disampaikan di dalam artikel tersebut dan argumentasi teman di atas. Dalam artikel ini, saya ingin berusaha menjelaskan bahwa guru honorer bukanlah orang yang akan makin menambah beban bangsa.

Beberapa orang berpandangan bahwa pengangkatan guru honorer menjadi PNS akan menutup kemungkinan untuk mendapat guru dengan kualitas terbaik. Logikanya, orang-orang yang mau bekerja dengan gaji murah (ada yang hanya Rp 50.000 per bulan) selama puluhan tahun adalah mereka yang kemampuan dan etos kerjanya rendah. Benarkah anggapan ini?

Semoga ini bukan sentimen dalam memandang rendah guru honorer. Saya berpandangan, semoga ini merupakan kritikan bagi pembuat kebijakan yang sampai saat ini tidak pernah berpihak kepada sistem pendidikan (guru honorer).

Sistem pendidikan inilah yang senantiasa dipinggirkan oleh pemerintah sampai saat ini. Pemerintah berlomba menaikkan anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), namun tidak pernah membangun sistem pendidikan, sebagaimana kritik yang dilontarkan Daoed Joesoef, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan.

Maka, tidak aneh apabila berapa pun jumlah anggaran pendidikan dalam APBN, dunia pendidikan di Indonesia akan tetap sama seperti sekarang, jika tidak dilakukan perbaikan sistem. Bahkan, anggaran pendidikan akan diperebutkan atau dijadikan ”bancakan” bagi pemegang proyek pendidikan.

Persoalan guru honorer yang digaji di bawah rata-rata pada dasarnya merupakan kesalahan sistem pendidikan Indonesia. Guru honorer nrimo dengan gaji yang tidak seberapa itu bukan karena mereka memiliki etos kerja rendah, sebagaimana dituduhkan beberapa pengamat pendidikan dan kebijakan publik.

Mereka mempunyai potensi yang luar biasa. Sungguh tidak bijak jika mereka disebut akan makin menyulitkan proses belajar mengajar jika diangkat menjadi PNS.

Kita tentu dapat membandingkan dengan politikus atau calon anggota legislatif yang mendaftar untuk Pemilu 2009. Banyak di antara mereka (sependek yang saya ketahui) tidak mempunyai visi hidup yang jelas. Mereka mendaftar hanya didasari semangat untuk mendapatkan pekerjaan dan mendapat gaji layak.
Kemampuan atau kualitas mereka sama sekali belum teruji. Bahkan mereka yang kini mendatar kembali menjadi anggota dewan, dengan dalih ingin melanjutkan program kerja yang belum usai, tidak lebih baik dari pendaftar (politisi) pemula.

Hal ini tentunya berbeda dengan guru honorer. Mereka telah teruji dan tahan banting mengemban amanah kemanusiaan untuk mendidik anak bangsa. Seorang teman alumnus perguruan tinggi ternama di Yogyakarta, rela mengajar di taman kanak-kanak (TK) tanpa mendapat gaji.

Keikhlasan dia mengajar TK dikarenakan tidak ada guru yang mau mendidik anak-anak. Dia lulusan terbaik di angkatannya. Dia hanya ingin mendarmabhaktikan ilmu dan hidupnya untuk pendidikan anak-anak di pedesaan.

Dengan demikian, jangan anggap enteng guru honorer. Siapa yang dapat mengukur tinggi rendahnya etos kerja? Apakah tinggi rendahnya etos kerja hanya diukur dari nrimo digaji rendah? Etos kerja tidak mudah diukur dengan angka-angka statistik, apalagi hanya dilihat dari sekilas saja.

Lebih lanjut, apakah pemerintah hanya akan mencari tenaga beretos kerja tinggi melalui sistem seleksi CPNS yang sarat dengan kecurangan. Apakah sistem seleksi semacam ini yang diinginkan oleh mereka yang memandang guru honorer dengan sebelah mata, mencari orang-orang yang belum jelas latar belakang dan belum teruji kredibilitasnya?

Jika memang demikian, betapa sistem pendidikan Indonesia akan semakin tidak karuan, kalau tidak mau disebut amburadul. Mengangkat orang-orang yang belum berpengalaman dan menafikan orang-orang yang telah rela mendarmabaktikan ilmunya untuk mendidik anak bangsa.

Maka, yang kita butuhkan sekarang adalah bagaimana membangun sistem pendidikan di negeri ini. Sistem pendidikan yang memihak. Sistem pendidikan yang tidak hanya berorientasi uang. Sistem pendidikan yang mementingkan meningkatkan kualitas para guru dan tenaga administrasinya daripada membuat sekolah-sekolah berstandar internasional yang tidak jelas juntrungan-nya.

Sistem ini dapat dimulai dengan segera mengangkat guru honorer yang telah mengabdi lebih dari 10 tahun. Atau mengangkat mereka yang telah memenuhi standar kualifikasi tanpa harus mengerdilkan fungsi dan peran guru honorer lainnya.

Guru honorer juga manusia biasa yang butuh kelayakan sandang, pangan dan papan. Guru honorer bukanlah seseorang yang beretos kerja rendah. Mereka bukan pegawai biasa. Mereka bagaikan malaikat yang selalu patuh dan taat atas perintah Tuhan.

Sudah saatnya martabat guru honorer diangkat ke taraf insani —meminjam istilah Driyarkara. Mereka tidak hanya diperas tenaganya untuk memenuhi dahaga penguasa dan demi kepentingan politik praktis.

Namun, mereka juga perlu diperhatikan hak-haknya sebagai manusia. Manusia yang bermartabat, sebagaimana tenaga-tenaga kependidikan lain yang akan digaji minimal Rp 2 juta per bulan pada tahun 2009. Semoga! (32)

–– Benni Setiawan, pemerhati pendidikan, penulis buku ”Manifesto Pendidikan Indonesia” (2006) dan ”Agenda Pendidikan Nasional” (2008).

Persoalan guru honorer yang digaji di bawah rata-rata pada dasarnya merupakan kesalahan sistem pendidikan Indonesia. Guru honorer nrimo dengan gaji yang tidak seberapa itu bukan karena mereka memiliki etos kerja rendah. Mereka mempunyai potensi yang luar biasa.

Rabu, 26 November 2008

Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga (?)



PEREMPUAN, Suara Merdeka, 26 November 2008

DALAM sebuah perkenalan kelas dengan dosen di Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga sekian bulan lalu, Prof Akh Minhaji, PhD, alumnus McGill University, Kanada, menanyakan, ”Apa pekerjaan Anda?”, kepada seorang teman perempuan. Dengan agak malu, dia menjawab, ”Ibu Rumah Tangga”.

Dengan nada yang agak sedikit kecewa, Minhaji, berkata: ”Pekerjaan Anda itu mulia, mengapa Anda tidak percaya diri (PD)?”. Kemudian Minhaji bercerita panjang lebar mengenai peran atau partisipasi perempuan di Barat. Ia mencontohkan di Kanada dan Amerika Serikat. Di sana perempuan lebih PD menjadi Ibu Rumah Tangga. Ibu Rumah Tangga menjadi pekerjaan yang mulia di Barat sekarang ini.

Hal ini tentunya sangat paradoks dengan di Indonesia. Perempuan-perempuan di Indonesia lebih PD menjadi perempuan karier yang bekerja di luar rumah daripada menjadi Ibu Rumah Tangga. Ibu Rumah Tangga dan Bapak Rumah Tangga kini lebih disibukkan oleh urusan bisnis, sedangkan anak-anak mereka diserahkan sepenuhnya kepada pembantu rumah tangga.

Maka tidak aneh, jika sekarang ini banyak anak-anak sekolah menjadi agak kurang terkendali dan melakukan hal-hal yang aneh diluar kewajaran sebagai seorang peserta didik.

Sebagaimana kita ketahui bersama, beberapa peristiwa yang melibatkan peserta didik seperti Geng Motor di Bandung Jawa Barat, Geng Nero di Pati Jawa Tengah, dan baru-baru ini tindak kekerasan di SMA 70 Jakarta, menunjukkan betapa generasi penerus bangsa ini begitu buas dan bengis. Ia tidak segan untuk menampar, memukul, bahkan meraba alat-alat vital atas nama senioritas. Mereka bak seorang ”komandan” yang tak pernah salah dan dipersalahkan.

Peristiwa-peristiwa tersebut sudah saatnya diselesaikan atau dicarikan jalan keluar dengan baik dan bijak. Salah satunya adalah mengubah pola pengasuhan yang selama ini diserahkan kepada pembantu rumah tangga kepada Ibu dan masyarakat.

Sebuah data menunjukkan, pergeseran pola pengasuhan dan pendidikan sudah terjadi di Indonesia. Jika pada dekade tahun 1970 hingga medio 1990-an pola pendidikan diasuh 60 persen oleh Ibu dan keluarga dan 40 persen di sekolah dan masyarakat, kini sudah terbalik. 70 persen lebih dilakukan di sekolah dan masyarakat dan 30 persen dilakukan di rumah. Maka tidak aneh, jika sekarang ini slogan ”rumahku surgaku” tidak begitu populer. Yang ada kebalikan dari itu semua, ”rumahku nerakaku”.

Mengapa demikian, banyak orangtua di kota-kota besar seperti di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan, berangkat kerja sebelum anak-anak mereka bangun pagi, karena faktor kemacetan yang tidak kunjung dapat diselesaikan, sedangkan ketika mereka pulang anak-anak mereka sudah tertidur lelap. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah kapan mereka dapat mendidik anak-anaknya. Alih-alih untuk mendidik anak-anaknya, untuk sekadar tegur sapa saja, orangtua zaman sekarang sudah sangat sulit.

Sekali lagi, mereka lebih memercayakan pendidikan tumbuh kembang anak-anaknya kepada pembantu rumah tangga dan guru di sekolah. Maka tidak aneh, jika kualitas intelektual anak-anak kita sekarang sama dengan ótanpa mengecilkan peran pembantu— kualitas intelektual pekerja yang dibayar setiap bulannya. Sangat langka dan jarang, anak-anak zaman sekarang mempunyai kualitas intelektual atau kemampuan kepribadian seperti Ayah dan Ibunya yang telah meraih gelar Master atau bahkan Doktor.

Kembali ke rumah

Guna menyelesaikan persoalan tersebut di atas, sudah saatnya keluarga atau dalam hal ini Ibu Rumah Tangga kembali ke rumah. Mereka harus mendidik anak-anaknya menjadi insan mandiri yang berkepribadian. Namun, sebelum mereka harus mendidik generasi penerus bangsa ini, Ibu Rumah Tangga harus dibekali ilmu pengetahuan dan keterampilan yang cukup.

Perempuan harus diberi pendidikan lebih. Hal ini dikarenakan, merekalah yang akan melahirkan generasi-generasi penerus bangsa yang tangguh. Bagaimana mungkin bangsa ini mampu melahirkan generasi yang cerdas dan tangguh jika perempuan yang nantinya menjadi Ibu Rumah Tangga lemah dan tidak berdaya.

Maka, meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan bagi perempuan menjadi sebuah keniscayaan. Perempuan perlu terus didorong untuk melanjutkan studi mereka. Perubahan paradigma yang selama ini mengerdilkan peran perempuan sudah saatnya diubah.

Perempuan yang nantinya menjadi Ibu Rumah Tangga bukanlah pekerjaan ringan, sebagaimana ada di dalam masyarakat selama ini. Mereka adalah ujung tombak masa depan bangsa ini. Dari rahim merekalah akan lahir generasi muda yang akan memimpin bangsa ini.

Dengan semakin banyaknya perempuan menempuh pendidikan tinggi, maka, akan lahir generasi muda yang berkepribadian, cerdas, dan mandiri. Generasi muda ini tidak akan mudah terpengaruh oleh pergaulan bebas yang akan mengantarkan mereka ke jurang kehinaan. Hal ini dikarenakan, generasi muda ini dididik dengan kasih sayang dan kelembutan orangtua. Pendidikan dengan kasih sayang inilah yang akan menghasilkan generasi muda yang bertanggung jawab.

Pada akhirnya, perempuan adalah pendidik utama. Dari rahim merekalah akan lahir generasi muda penerus bangsa. Maka, membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang layak menjadi kata kunci. Tanpa pendidikan yang memadai bagi kaum perempuan, bangsa ini akan terus melahirkan generasi muda yang lemah dan tidak berdaya.

Maka, berbahagia dan banggalah menjadi Ibu Rumah Tangga yang senantiasa dapat mendidik dan mengawasi tumbuh kembang anak dari detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, hari ke hari dan seterusnya, karena masa depan bangsa ini ditanganmu. Wallahu a’lam. (Benni Setiawan, penulis buku Manifesto Pendidikan Indonesia (2006), Agenda Pendidikan Nasional (2008), dan mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta- 80)

Rabu, 19 November 2008

Kepemimpinan Profetik Muhammadiyah




WACANA Suara Merdeka, Rabu, 19 November 2008
MUNCULNYA nama Dien Syamsuddin dalam bursa Calon Presiden (Capres) 2009-2014 mendapat tanggapan beragam dari warga Muhammadiyah. Ada yang menyatakan bahwa biarkan Bang Dien (begitu dia disapa) maju sebagai capres, itu hak politiknya. Ada juga yang menyayangkan pencalonan itu.

Mereka berpandangan bahwa amanat muktamar di Malang pada 2005 akan tercederai jika ada pimpinan Muhammadiyah maju sebagai presiden pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Dien yang kini resmi diusung oleh Partai Matahari Bangsa (PMB), sebuah partai yang konon lahir dari rahim Muhammadiyah, akan semakin meramaikan perebutan suara warga Muhammadiyah di Pemilu 2009.

Cita-cita warga Muhammadiyah, bahwa kepemimpinan era Dien dapat menjaga jarak dengan partai politik (parpol) atau politik praktis berkesan tinggal gaungnya saja. Hal itu dikarenakan oleh karena —selaian PMB— sudah ada partai yang lebih dulu ada di hati warga Muhammadiyah, sebut saja PAN dan PKS.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah kepemimpian Muhammadiyah ke depan cukup mampu menjaga jarak dengan parpol atau politik praktis? Memasuki usia yang semakin senja (96 tahun, 18 November 1912-18 November 2008) Muhammadiyah tampaknya tidak cukup memiliki pemimpinan yang mampu menjaga jarak dengan politik praktis. Pemimpin Muhammadiyah ke depan setidaknya mempunyai jiwa profetis.

Kepemimpinan profetik Muhammadiyah tersebut sebagaimana telah disampaikan oleh Kuntowijoyo (2001) dalam memahami Surat al- Imron: 110. Misi profetik pertama adalah ta’muruna bil ma’ruf, yang diartikan sebagai proses humanisasi. Humanisasi berarti memanusiakan manusia, mengangkat harkat hidup manusia, dan menjadikan manusia bertanggung jawab atas apa yang telah dikerjakannya.

Dalam konteks kepemimpinan sekarang, seorang pemimpin dituntut untuk mampu mendayagunakan atau mengoptimalkan potensi yang telah dimiliki oleh kader dengan baik. Potensi kader yang berbeda-beda seharusnya dapat dijadikan modal utama dalam setiap pengambilan program kerja selama lima tahun ke depan.

Humanisasi juga dapat diartikan sebagai proses peremajaan dalam tubuh Muhammadiyah. Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) sebagai pengayom pimpian daerah (PD), pimpinan cabang (PC), dan pimpinan ranting (PR), selayaknya memperhatikan (menempatkan) kader-kader muda dalam jajarannya.

Peremajaan itu diperlukan sebagai proses aktualisasi dan regenerasi dalam setiap kepemimpinan. Ketika kader-kader muda sudah tidak lagi mendapatkan penghargaan diri guna mengembangkan potensinya di PWM, maka akan terjadi stagnasi gerakan yang berakibat menghambat laju gerak persyarikatan.

Kedua, tanhauna ’anil munkar. Misi liberasi, yaitu membebaskan manusia dari belenggu keterpurukan dan ketertindasan tersistem. Artinya, kepemimpinan Muhammadiyah ke depan harus mampu menjadi garda depan pencerahan kehidupan bangsa dan bernegara.

Kembangkan Dakwah
Persoalan bangsa dan negara yang semakin rumit menjadi tantangan berarti bagi Muhammadiyah. Ambil contoh, persoalan korupsi yang semakin menggurita. Pemimpin Muhammadiyah mempunyai kewajiban turut serta mengembangkan dakwah nahi munkar dengan mengatakan tidak untuk korupsi.

Korupsi adalah perbuatan yang dapat merugikan orang banyak. Perilaku korupsi hanya akan membawa kepada kesengsaraan dan ketidakadilan yang pada ujungnya membuka kembali strata sosial yang telah ditutup rapat.

Ketiga adalah tu’minuna billah. Misi transendensi, yaitu manifestasi dari misi humanisasi dan liberasi. Artinya, transendensi adalah kegiatan sadar bahwa manusia adalah hamba Tuhan yang harus beribadah secara vertikal maupun horizontal. Transendensi juga berarti sebagai kesadaran ilahiyah yang mampu menggerakkan hati bersikap ikhlas terhadap segala yang telah dilakukan. Semua hal yang kita lakukan adalah sebagai penghambaan diri kepada Tuhan, dan manusia hanya mengharap rido-Nya terhadap apa yang telah dilakukan.

Tiga misi profetik tersebut merupakan kunci keberhasilan dalam menjalankan amanah. Pada akhirnya, kepemimpinan Muhammadiyah ke depan —meminjam bahasa Abdul Munir Mulkhan— bukan hanya inklusif atau ekslusif, liberal atau konserfatif, berpolitik atau kukuh kepada khitah sosial, melainkan juga yang berfungsi profetik.

Sosok pemimpin profetis itu memiliki kekayaan spiritual di dalam kesediaanya mendengar dan menghargai sesama, memiliki pergaulan luas sesama golongan, berempati kemanusiaan disertai kesadaran kritis kepada tradisinya sendiri, selalu bersifat terbuka, dan dinamis serta mampu membangkitkan partisipasi publik.

Semoga, dengan kemunculan banyak partai yang mengklaim lahir dari Muhammadiyah dan pencalonan Dien Syamsuddin sebagai Capres 2009-2014, Muhammadiyah tidak terjebak dalam politik praktis yang menyesatkan. Organisasi itu sudah saatnya memikirkan bagaimana dapat lepas dari belenggu parpol. Hal itu dikarenakan, sangat disayangkan jika organisasi besar tersebut hanya dijadikan batu loncatan untuk kepentingan politik praktis.

Meminjam istilah Mohammad Sobary, memisahkan Muhammadiyah dari kepentingan politik praktis tidak akan menjadikan Muhammadiyah kudisan. Artinya, Muhammadiyah akan tetap besar dan menjadi organisasi sosial kemasyarakat yang diperhitungkan oleh masyarakat dalam negeri maupun internasional.

Pada akhirnya, semoga dengan milad kali ini, Muhammadiyah benar-benar mendapatkan pemimpin yang memiliki jiwa profetis. Yaitu, seseorang yang tidak haus kekuasaan. Hal itu sangat diperlukan karena tantangan Muhammadiyah ke depan tidak hanya berkutat kepada tahayul, bidah dan churofat (TBC), demokratisasi bangsa, moralitas, dan pentingnya dialog antaragama, melainkan bagaimana dapat bertahan dan mempunyai spirit al-maun dalam usianya yang semakin senja. Wallahu aílam. (68)

–– Benni Setiawan, aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).

Selasa, 18 November 2008

96 Tahun Muhammadiyah Rekonsiliasi pemikiran kaum tua-muda




Solo Pos, Selasa, 18 November 2008 , Hal.4
Perkembangan pemikiran Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid pada awal dekade ini mengalami kemajuan yang cukup signifikan.
Hal ini tampak sejak kepemimpinan KH Azhar Basyir, Amien Rais hingga Ahmad Syafi’i Maarif. Kemajuan ini ditandai oleh banyaknya generasi yang digawangi kaum muda, seperti Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP), al-Maun Institute, Ma’arif Institute dan sebagainya berkembang di komunitas matahari terbit itu.
Kemunculan lembaga-lembaga tersebut dilatarbelakangi oleh kegelisahan kaum muda Muhammadiyah sebagai generasi penerus bangsa dan perserikatan. Kaum muda dituntut lebih berani menyuarakan aspirasi dan kepentingan rakyat demi perubahan dan pemihakan.
Adanya keterbatasan wadah dalam menyalurkan berbagai potensi, mendorong kaum muda Muhammadiyah melakukan perubahan. Mengubah citra yang selama ini terkesan ”manja” menjadi generasi yang mandiri dan siap berperan dalam banyak hal.
Corak pemikiran dan perkembangan yang dibawa oleh kaum muda tentu akan berbeda dengan pemikiran golongan tua. Gesekan antargenerasi dan perbedaan cara pandang seharusnya menjadi energi bagi Muhammadiyah untuk selalu eksis di tengah masyarakat yang plural.
Corak pemikiran
Yang termasuk golongan tua sering kebanyakan menafsirkan teks yang terdapat di dalam Alquran dan hadis dengan metode penafsiran yang tekstual (saklek, taken for granted), sehingga terkesan kaku dan kurang sesuai dengan perkembangan zaman.
Produk pemikiran yang dihasilkan dalam ranah gerakan tajdid akan terasa literer atau terpaku pada teks suci. Teks suci adalah sebagai pegangan utama yang kebenarannya mutlak sehingga dianggap sebagai satu-satunya jalan keluar untuk memecahkan segala permasalahan yang timbul. Keterpakuan kepada teks ini seharusnya diimbangi dengan kontekstualisasi produk pemikiran.
Teks suci harus mulai diinterpretasikan agar mendapat sebuah produk pemikiran baru yang dapat menjawab permasalahan yang timbul. Teks suci harus berani dikontekstualisasikan dengan keadaan sekarang dengan mempertimbangkan pluralitas keberagamaan dan maslahat bagi umat. Ketika hal ini tidak dilakukan, akan terjadi jurang pemisah produk pemikiran yang dihasilkan oleh kaum tua dan muda.
Kaum muda Muhammadiyah yang sudah menampakkan geliat dalam kancah pemikiran. Kaum muda juga harus memulai mengkaji hal-hal yang sebenarnya telah tersirat maupun tersurat dalam teks suci. Yaitu dengan upaya perbandingan antara produk pemikiran pribadi dengan ulama terdahulu maupun kontemporer dalam membedah kandungan teks Alquran. Kaum muda jangan hanya mengadopsi pemikiran kontemporer tanpa memahami substansi teks Alquran. Hal ini bertujuan untuk menghindari stigma masyarakat bahwa kaum muda latah dalam menyikapi sebuah persoalan baru.
Kaum muda dengan semangat mudanya seharusnya mulai memformulasikan pemikiran yang khas di tengah banyaknya ragam atau corak pemikiran yang berkembang. Dengan demikian, diharapkan masyarakat mendapatkan pemahaman baru yang benar-benar segar. Keberpihakan kaum muda harus mulai ditampakkan dengan tidak hanya pandai dalam memproduksi wacana tetapi juga dalam dataran praksis. Idealnya, kedua hal tersebut berada dalam diri kaum muda sebagai generasi penerus bangsa.
Kaum muda Muhammadiyah jangan hanya pandai mengkritik dan mencoba mendekonstruksi pemikiran tanpa membangun konstruksi dan melakukan rekonstruksi. Mencoba memproduksi pemikiran baru dalam dunia intelektual sah-sah saja, akan tetapi, bagaimana proses pembentukan pemikiran itu tidak melalui jalan menghujat dan menyalahkan aliran pemikiran lain.
Muhammadiyah harus dapat bekerja sama dengan siapa saja. Demikian pesan Ahmad Syafi’i Maarif dalam Halaqah Tarjih III di Solo pada tahun 2004.
Buya Syafi’i juga menandaskan arti penting diskusi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang berbeda pendapat dalam internal Muhammadiyah. Sehingga gagasan yang nantinya dikonsumsi oleh masyarakat tidak menjadi tanggung jawab pribadi melainkan menjadi tanggung jawab kelembagaan.
Dengan demikian, penting kiranya pesan-pesan moral yang disampaikan oleh Syafi’i Ma’arif ini dijadikan sebuah pelajaran bagi siapa pun (golongan tua maupun muda) untuk melakukan perdamaian (rekonsiliasi). Pesan moral ini juga berlaku bagi siapa saja yang mengharapkan serta mencita-citakan terciptanya sebuah bangsa yang damai.
Seluruh elemen Muhammadiyah, mulai dari pusat hingga ranting, organisasi otonom (Ortom), seyogianya dapat memanfaatkan dan mengoptimalkan forum diskusi untuk merumuskan dan menghasilkan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara kelembagaan. Forum diskusi juga dapat menjembatani perbedaan pendapat antara golongan tua dan golongan muda.
Maka, saat usia Muhammadiyah 96 tahun (18 November 1912-18 November 2008), rekonsiliasi produk pemikiran menjadi hal yang penting. Hal ini dikarenakan, tantangan Muhammadiyah hari ini bukan hanya masalah internal, melainkan persoalan kebangsaan dan internasional yang semakin kompleks. -

Oleh : Benni Setiawan, Kader Muhammadiyah, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selasa, 21 Oktober 2008

Hutan Adalah Nenek Moyang Kita



Pikiran Rakyat, Selasa, 21 Oktober 2008

Rencana Pemerintah Kota Bandung membangun rumah makan di Babakan Siliwangi menuai protres. Aktivis lingkungan yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Bandung, intelektual, dan seniman Bandung menolak rencana ini. Mereka beranggapan pembangunan rumah makan di Babakan Siliwangi, akan menghancurkan hutan alam kota. Hancurnya hutan alam kota ini akan semakin memperburuk kondisi Kota Bandung. Hal ini, disebabkan bencana banjir, tanah longsor, dan kekeringan akan menjadi ancaman nyata bagi penduduk Kota Bandung.

Hutan alam merupakan anugerah Tuhan yang tak ternilai harganya. Dengan demikian, pemandangan kota menjadi asri, hijau, teduh, dan nyaman. Namun, jika hutan alam dirusak, maka malapetaka besar akan datang. Maka tidak aneh jika dalam kosmologi masyarakat Baduy Dalam Jawa Barat, ada istilah hutan adalah nenek moyang kita. Falsafah hidup ini juga ada dalam masyarakat Papua yang menyatakan bahwa hutan adalah ibu kita.

Tidak aneh jika masyarakat Baduy Dalam masih memercayai bahwa masih ada hutan yang pantang untuk dijarah (dimasuki) manusia. Mereka menganggap bahwa di dalam hutan tersebut ada kuburan nenek moyang yang tidak boleh dirusak. Jika hutan dirusak, maka akan mengakibatkan malapetaka (pamali).

Lebih dari itu, hutan tidak hanya terdiri dari pepohonan yang rindang. Namun, di dalam hutan ada tatanan kosmologi antara manusia dengan alam. Hutan mengandung sejuta manfaat bagi manusia. Hutan menyediakan air jernih murni, untuk memenuhi kebutuhan minum manusia dan makhluk lain. Hutan juga menyediakan kayu sebagai salah satu bahan untuk membuat rumah dan alat memasak bagi manusia.

Hutan tidak hanya benda "mati". Ia adalah benda hidup yang selalu memayungi kehidupan umat manusia. Betapa sudah banyak manusia mati akibat merusak hutan.

Sebagai nenek moyang, hutan merupakan sejarah luhur umat manusia. Ia adalah tempat bergantung dan berlindung. Hutan merupakan alam manusia yang selalu hidup dalam setiap kehidupan. Ketika hutan sebagai nenek moyang dirusak umat manusia, berarti manusia kehilangan arti kesejarahan hidup. Proses kesejarahan hidup umat manusia akan terputus. Dan pada akhirnya manusia akan menjadi makhluk terasing di bumi ini.

Dalam kasus Babakan Siliwangi, misalnya, pohon-pohon di sana akan ditebang dan dibakar di tempat. Betapa manusia melakukan kerusakan yang amat besar. Pohon-pohon di Babakan Siliwangi telah berumur puluhan bahkan ratusan tahun. Butuh dua generasi untuk menumbuhkan pepohonan tersebut.

Namun, pemerintah dan pengembang ternyata tidak pernah berpikir sampai di situ. Mereka hanya memikirkan keuntungan jangka pendek. Mereka tersesat dalam kubangan kapitalisme global yang membelenggu.

Pembangunan rumah makan tentunya tidak harus di Babakan Siliwangi, apalagi dengan merusak ekosistemnya. Masih banyak tempat lain, yang dapat dibangun rumah makan.

Babakan Siliwangi tidak hanya hutan alam kota saja. Babakan Siliwangi merupakan pertautan kosmologi masyarakat Sunda di Bandung Jabar dan alam. Hal ini disebabkan, Babakan Siliwangi merupakan bagian dari kawasan Bandung Utara dan ekor dari lembah Cikapundung, yang berfungsi sebagai daerah penampungan air hujan. Kondisi daerah Cikapundung telah rusak, daerah Pluncut dan Dago Pakar sebagian besar telah beralih fungsi menjadi permukiman dan komersial, tinggal Babakan Siliwangi yang diandalkan untuk menangkal banjir.

Menurut Sobirin, anggota dewan pakar dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), selama tiga tahun terakhir setiap musim hujan Sungai Cipaganti yang berada di bawah Punclut meluap. Ratusan rumah di Kelurahan Hegarmanah, Kecamatan Cidadap, terendam air dan lumpur. Jika Babakan Siliwangi dirusak, daerah genangan banjir akan lebih luas. Sebaliknya, pada musim kemarau, warga makin kesulitan air bersih. Suhu udara di Bandung juga meningkat. Jika 15 tahun lalu suhu di Bandung maksimal 17 derajat Celcius, kini mencapai 34 derajat Celcius.

Dengan demikian, merusak Babakan Siliwangi selain mengakibatkan rusaknya tatanan makro dan mikrokosmos bumi Bandung, masyarakat Bandung (Sunda) akan kehilangan hubungan simbolik dengan nenek moyangnya (hutan). Masyarakat Bandung dan sekitarnya akan menerima "buah" dari apa yang telah mereka kerjakan, berupa banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Lebih dari itu, masyarakat Bandung telah melupakan proses kesejarahan hidupnya dan meninggalkan falsafah kehidupannya sebagai ciri masyarakat Sunda yang beradab.***

Penulis, peneliti sosial.

Senin, 20 Oktober 2008

Guru Swasta Juga Manusia




WACANA Suara Merdeka, 20 Oktober 2008

KABAR duka datang dari nasib guru swasta Indonesia. Kenaikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di bidang pendidikan hingga 20 persen (Rp 248 miliar) ternyata tidak membuat guru swasta sejahtera. Mereka harus menunggu sampai menjadi guru negeri atau berstatus pegawai negeri sipil (PNS).

Hal ini dikarenakan, guru dengan status PNS akan mendapatkan gaji minimal Rp 2 juta per bulan mulai tahun 2009. Sedangkan guru swasta, sebagaimana biasanya, hanya mendapatkan gaji sesuai dengan jumlah murid yang diajar dan seberapa banyak jam mengampu mata pelajaran.

Kenaikan gaji guru berstatus PNS ini sungguh timpang. Guru PNS sepertinya dimanjakan oleh pemerintah. Sedangkan guru swasta dianggap bukan guru, sehingga tidak perlu disejahterakan. Hal ini tampak pada sistem pengajian. Belum lagi masalah kuota sertifikasi guru yang diskriminatif (75 persen untuk guru PNS dan 25 persen untuk guru swasta). Padahal, di negeri ini masih banyak guru berstatus honorer, bahkan tanpa digaji, yang mendidik anak bangsa agar dapat mandiri.

Guru swasta juga merupakan cikal bakal adanya guru negeri. Di masa awal kebangkitan nasional (1908), KH Ahmad Dahlan adalah seorang guru swasta yang mendidik masyarakatnya, tanpa digaji pemerintah. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah dengan sistem modern yang meniru kaum kolonial, ini merupakan bukti ketangguhan guru swasta. Guru swasta adalah pahlawan sejak ada sekolah di republik ini.

Namun, apakah nasib guru swasta hanya sebagai pahlawan saja, padahal mereka juga butuh hidup, menghidupi keluarganya, dan membayar pajak kepada pemerintah, di tengah gaji yang minim? Tidak adilnya sistem penggajian yang dilakukan pemerintah hanya akan makin mengerdilkan fungsi dan peran guru swasta dalam mendidik bangsa Indonesia. Guru swasta dianggap sebagai orang biasa yang tidak membutuhkan gaji, dan cukup dihibur dengan gelar pahlawan.

Gelar pahlawan tanpa tanda jasa bagi guru swasta hanyalah hiburan di tengah ketidakberdayaan. Sebutan ini juga sepertinya digunakan (alat) oleh pemerintah agar guru tidak banyak bersuara dan melakukan protes. Sebutan ini sepertinya dikonstruksi sedemikian rupa agar tugas guru adalah mendidik tanpa mendapatkan gaji yang layak. Dan yang patut mendapatkan kenaikan gaji hanyalah guru yang mengabdikan diri sebagai ‘’hamba negara’’ (PNS).
Kampanye Gratis
Guru PNS dianggap sebagai orang yang patut dikasihi dan digaji secara layak. Hal ini dikarenakan dengan penggajian yang layak suara mereka akan dengan mudah dimobilisasi untuk kepentingan Pemilu 2009. Lebih dari itu, dengan sistem komando sebagaimana Orde Baru ketika gaji guru dinaikkan, maka akan makin banyak guru yang simpati dengan pemerintahan. Pada akhirnya mereka akan dipilih kembali karena telah membawa aspirasi guru (PNS).
‘’Kampanye gratis’’ menggunakan uang negara, dengan kedok kenaikan gaji guru, untuk Pemilu 2009 sangatlah kentara. Salah satu indikatornya adalah pemerintah berusaha menaikkan anggaran pendidikan 20 persen menjelang akhir massa jabatan.

Sebelumnya pemerintah selalu berkelit ketika dimintai keterangan mengenai anggaran pendidikan minimal 20 persen. Anggaran 20 persen akhirnya dipenuhi pemerintahan SBY-JK menjelang Pemilu 2009, walaupun pemerintah harus kembali berutang kepada lembaga donor atau memangkas anggaran bidang lain.

Hal lain yang menjadi indikatornya adalah kenaikan anggaran pendidikan 20 persen tidak serta merta menjadikan sekolah gratis. Pemerintah berkelit tidak akan menggratiskan sekolah. Pemerintah hanya akan ingin meningkatkan mutu pendidikan. Pendidikan tetap saja harus bayar. Tidak ada yang gratis di negeri ini (no free lunch).

Maka tidak aneh jika sekarang marak demonstrasi yang dilakukan oleh guru swasta agar hak-hak mereka disamakan. Mereka menuntut kenaikan gaji. Mereka juga menuntut segera di-PNS-kan, jika pemerintah tetap tidak mau menyejahterakan guru swasta. Guru swasta memang harus tetap bersabar dan terus menunggu kehadirian ’’Semar’’: pemimpin bijaksana yang mau melihat realitas dengan nyata.

Guru swasta juga harus terus berpuasa dan menahan keinginan (kebutuhan) hidup yang mendesak. Kemiskinan akan terus menghantui setiap tidur mereka. Anak-anak mereka akan tetap menangis karena kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi. Guru swasta juga manusia. Mereka butuh kesejahteraan dengan gaji yang layak. Hal ini dikarenakan mereka juga pendidik bangsa. Bahkan keberadaan mereka lebih tua daripada usia negeri ini.

Pemerintah harus berperilaku adil terhadap guru. Tidak membedakan guru swasta dan guru negeri. Jika pemerintah masih saja berpegang teguh pada pendiriannya, bahwa guru PNS harus sejahtera dan guru swasta dimiskinkan, maka kehancuan negeri ini akan semakin dekat. Hal ini dikarenakan pemimpin negeri ini lalim dan menyia-nyiakan guru swasta yang notabene adalah pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia. Wallahu aílam. (32)

—Benni Setiawan, pemerhati pendidikan, penulis buku ’’Manifesto Pendidikan Indonesia’’ dan ’’Agenda Pendidikan Nasional’’.

Minggu, 19 Oktober 2008

Ketika Wong Cilik Jadi Dermawan




Kompas edisi Jatim, Jum'at, 17 Oktober 2008.

Penyaluran dana bantuan tunai langsung (BLT) yang menuai protes dari sejumlah kalangan ternyata menyisakan pelajaran berharga. Sebuah pelajaran (pendidikan) yang diajarkan secara langsung oleh orang miskin (wong cilik) kepada siapa saja yang ingin belajar dan mengambil hikmahnya. Pelajaran tersebut adalah solidaritas.

Solidaritas
Di tengah keadaan yang semakin susah, solidaritas biasanya akan pudar. Hal ini dikarenakan, ego pribadi akan muncul karena banyak tekanan baik dari intern maupun ekstern setiap manusia. Solidaritas biasanya muncul karena ada faktor kepentingan bersama.
Namun, wong cilik mengajarkan kepada kita semua arti penting saling berbagi. Mereka memberikan rizki yang telah diberikan Tuhan kepada sesamanya. Uang BLT yang sedianya Rp. 400.000,- tidak mereka terima secara penuh. Artinya, uang tersebut disisihkan sebagian dan disetor kepada Ketua RT atau Kepala Dusun (Kadus) untuk diberikan kepada sesama warga miskin yang tidak mendapat jatah BLT.
Mereka menyadari bahwa penderitaan yang mereka alami juga dialami oleh orang lain. Maka rizki sedikit dari program BLT juga harus dirasakan oleh sesamanya. Sebagaimana terjadi di berbagai daerah, seperti di Jember, Probolinggo, Surabaya dan daerah-daerah lain di Jawa Timur.
Warga di Surabaya, misalnya, dengan tulus ikhlas menyumbangkan Rp. 75.000,- kepada Kadus untuk dibagikan kepada warga lain yang tidak mendapat jatah BLT. Mereka berujar, “kulo niki tiyang mlarat. Namung, kulo tasih saget (gadah) pidamelan lan tasih gadah arto kagem dhahar. Kulo mboten kuwowo manawi mirsani sederek kulo ingkang langkung mlarat ketimbang kulo”. Saya ini orang miskin. Namun, saya masih dapat bekerja dan masih punya uang untuk makan. Saya tidak kuat kalu melihat saudara saya yang lebih miskin daripada saya.

Welas asih
Ketika saya mendengarkan perkataan tulus warga desa yang notabene adalah tetangga, saya langsung merinding. Betapa orang miskin di desa, masih mempunyai rasa welas asih kepada sesamanya. Mereka tidak pernah meng-aku-kan dirinya. Mereka lebih menekankan bagaimana ke-kita-an.
Ke-aku-an hanya akan meninggalkan kesombongan. Sedangkan ke-kita-an akan meninggalkan meminjam istilah A. Munir Mulkhan teologi welas asih.
Teologi welas asih adalah perwujudun cinta tulus ikhlas manusia kepada sesamanya. Manusia menyadari bahwa dirinya tidaknya berarti tanpa adanya orang lain. Manusia menyadari bahwa orang lain di sana lebih membutuhkan daripada dirinya.
Dengan demikian, apa yang mereka kerjakan senantiasa hanya mengharap ridho dari Tuhan Yang Maha Kasih. Ketulusan dan keikhlasan dalam memberi barang yang berharga muncul dengan sendirinya tanpa ada paksaan dari orang lain.
Orang-orang yang demikian mungkin adalah manusia pilihan Tuhan. Manusia yang sempurna dalam ibadahnya.
Sebagaimana dalam filsafat, Tzu Chi (sebuah gerakan yang dipelopori oleh biksuni Cheng Yen di Taiwan). Jika ingin berhasil mencapai suatu tingkatan dalam ibadah, jangan tinggal di atas gunung yang sepi atau dalam ruangan tertutup sambil membaca Parita untuk diri sendiri. Pencapaian tingkatan dalam melatih diri itu hanya dapat didapat di masyarakat. Master Cheng Yen, tak menekankan berapa banyak uang yang disumbangkan, melainkan seberapa besar niat baik dalam menyumbang (Intisari, April 2008).
Wong cilik, telah mempraktekan teori-teori di atas. Mungkin, mereka juga tidak tahu teori tentang welas asih. Namun, dalam jiwanya ada hati yang selalu mendorong untuk berbuat baik, tanpa harus ada yang memerintah.
Wong cilik—yang notabene mereka tidak berpendidikan tinggi--telah mengajarkan kepada kita semua tentang arti penting hidup berdampingan. Saling merasakan penderitaan orang lain di tengah himpitan ekonomi yang sebenarnya mendera dirinya sendiri.
Wong cilik, sepertinya sejenak melupakan kepenatan dalam hidupnya. Ia masih bisa tersenyum melihat secercah cahaya hidup. Ia sering kali “menundukkan kepala” guna melihat orang-orang yang hidup lebih menderita jika dibandingkan dengan dirinya.
Perilaku dan keteladanan wong cilik ini patut kita tiru. Kesederhanaan, ketabahan, dan sikap welas asih kepada orang lain disaat senang. Kesenangan atau kegembiraan dalam pandangan wong cilik harus dibagi. Karena mereka menyadari, bahwa hidup ini tidak akan bermanfaat tanpa melakukan derma (amal). Beramal dalam waktu lapang dan sempit selalu diajarkan oleh tuntunan keyakinan dan keagamaan apapun.
Dengan demikian, patutlah kita, sebagai orang yang mempunyai kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, mempunyai jabatan, pangkat dan kedudukan, serta rizki yang melimpah malu kepada wong cilik, jika kita tidak pernah berempati dan berderma kepada sesama.
Jabatan, pangkat, dan kedudukan tidaklah langgeng. Ia sewaktu-waktu hilang ditelan massa.
Jika disaat diberi rizki lebih oleh Tuhan Yang Maha Kaya, tidak pernah berempati dan berderma kepada sesama, maka, suatu saat ketika kita jatuh miskin, tidak mempunyai jabatan, pangkat dan kedudukan, kita akan dinistakan oleh Tuhan dan masyarakat.
Maka, pada dasarnya, saat ini kita telah “ditertawakan” kalau tidak mau disebut “dipermalukan” oleh wong cilik (orang miskin). Karena disaat himpitan ekonomi dan kerasnya hidup, mereka masih menyisakan ruang untuk berderma dan merasakan penderitaan orang lain. Bagaimana dengan diri Anda? Wallahu a’lam.

Benni Setiawan, Peneliti Lentera Institute.

Jumat, 10 Oktober 2008

Memotret Partisipasi dalam Pendidikan



Suara Merdeka, PEREMPUAN, 08 Oktober 2008

PARTISIPASI sejajar antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan publik merupakan salah satu prinsip mendasar yang diamanatkan di dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau CEDAW).

Ada data dari Susenas dalam Draf Ringkasan-Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia Per 25 Agustus 2005. Untuk jenjang SD/ MI rasio Angka Partisipasi Murni (APM) perempuan terhadap laki-laki selalu di sekitar angka 100.

Namun demikian rasio APM perempuan terhadap laki-laki untuk jenjang SMP/ MTs sejak tahun 1994 selalu lebih dari 100 persen, dan pada tahun 2004 sebesar 103,4.

Adanya rasio Angka Partisipasi Kasar (APK) perempuan terhadap laki-laki tampak, partisipasi perempuan pada jenjang SMP/ MTs lebih tinggi dibanding laki-laki dengan rasio sebesar 103,1 pada tahun 2003. Hal tersebut menunjukkan partisipasi penduduk perempuan lebih tinggi dibanding penduduk laki-laki.

Analisis lebih lanjut menemukan bahwa partisipasi penduduk perempuan pada kelompok miskin cenderung lebih tinggi dibanding penduduk laki-laki.

Rasio APM perempuan terhadap laki-laki pada jenjang pendidikan menengah menunjukkan fluktuasi yang cukup besar dari 95,2 (1994) menjadi 103,7 (2000) dan menjadi 98,7 (2004).

Peningkatan yang tajam pada tahun 1998-2000 diduga karena pengaruh menurunnya taraf ekonomi masyarakat yang menyebabkan banyaknya anak laki-laki yang putus sekolah karena harus bekerja.

Di tingkat perguruan tinggi, rasio angka partisipasi perempuan terhadap laki-laki meningkat dari 85,1 persen pada tahun 1992 menjadi 94,3 persen pada tahun 2003, dan sedikit menurun menjadi 93,2 persen pada tahun 2004.

Masih Rendah

Meskipun rasio APM tersebut cukup tinggi, jika dilihat nilai absolutnya tampak bahwa partisipasi pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi masih sangat rendah baik untuk laki-laki maupun perempuan.

Pada tahun 2004 APM jenjang pendidikan menengah mencapai 43,0 persen dan APM jenjang pendidikan tinggi sebesar 8,6 persen. Sementara itu, APK jenjang pendidikan menengah mencapai 54,4 persen dan APK jenjang pendidikan tinggi mencapai 10,8 persen.

Faktor yang menghambat di antaranya adalah aksesibilitas yang masih terbatas, seperti jumlah sekolah dan perguruan tinggi yang terbatas dan jarak tempuh yang jauh sehingga membatasi anak untuk bersekolah.

Lebih lanjut, pada tahun ajaran 2000/2001, persentase siswa perempuan yang bersekolah di SMK program studi teknologi industri baru mencapai 18,5 persen, program studi pertanian dan kehutanan 29,7 persen, sementara untuk bidang studi bisnis dan manajemen 64,6 persen.

Cukup tingginya tingkat partisipasi perempuan dalam dunia pendidikan setidaknya mendorong terjadinya perbaikan tingkat kemampuan keaksaraan.

Rasio APM Perempuan terhadap Laki-laki menurut Jenjang Pendidikan dan Tipe Daerah penduduk yang diukur dengan angka melek aksara, menunjukkan adanya peningkatan tingkat melek aksara penduduk usia 15-24 tahun ke atas. Dari 96,2 persen pada 1990 menjadi 98,7 persen pada tahun 2004.

Kesenjangan tingkat melek aksara laki-laki dan perempuan juga semakin kecil, yang ditunjukkan oleh meningkatnya rasio angka melek aksara penduduk perempuan terhadap penduduk laki-laki usia 15-24 tahun dari 97,9 persen pada tahun 1990 menjadi 99,7 persen pada tahun 2004.

Apabila kelompok penduduk usia diperluas menjadi 15 tahun ke atas, maka tingkat kesenjangan tingkat melek aksara penduduk laki-laki dan perempuan menjadi semakin lebar dengan rasio melek aksara perempuan terhadap laki-laki sebesar 92,3 persen.

Melek Aksara

Tingkat melek aksara penduduk perempuan naik secara berarti pada semua kelompok pengeluaran keluarga. Selain itu untuk kelompok usia 15-24 tahun tidak terdapat perbedaan tingkat melek aksara yang besar antara perempuan dan laki laki di semua kelompok.

Data tahun 2004 menunjukkan rasio angka melek aksara perempuan terhadap laki-laki sebesar 99,2 untuk kelompok termiskin dan sebesar 99,9 untuk kelompok terkaya.

Namun demikian jika rentang usia diperbesar menjadi 15 tahun ke atas, kesenjangan cukup nampak dengan rasio angka melek aksara perempuan terhadap laki-laki sebesar 89,1 untuk kelompok termiskin dan 96,4 untuk kelompok terkaya.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa tingkat melek aksara penduduk usia 15-24 tahun di pedesaan tidak memiliki perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan penduduk perkotaan.

Hal ini ditunjukkan oleh angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun yang hanya sedikit lebih tinggi di perkotaan dibanding perdesaan baik untuk laki-laki maupun perempuan.

Apabila kisaran usia diperlebar menjadi 15 tahun ke atas, tampak bahwa pada tahun 2004 kesenjangan tingkat melek aksara penduduk laki-laki dan perempuan di perdesaan (rasio 90,1) lebih besar dibanding penduduk perkotaan (rasio 94,9).

Tingkat keaksaraan penduduk usia 15-24 tahun pada tahun 2003 masih beragam antarprovinsi dengan kisaran angka melek aksara antara 94,2 persen sampai dengan 99,8 persen dengan rata-rata sebesar 98,6 persen.

Rasio angka melek aksara perempuan terhadap laki-laki secara rata-rata pada tahun 2003 sudah mencapai 100, namun demikian jika dipilah menurut provinsi kesenjangan masih nampak besar dengan kisaran rasio antara 89,6 (Papua) sampai dengan 103,1 (Gorontalo).

Apabila kisaran usia diperluas menjadi 15 tahun keatas, maka perbedaan antarprovinsi menjadi lebih nyata dengan rentang rasio melek aksara perempuan terhadap laki-laki antara 83,2 (NTB) dan 99,9 (Sulawesi Utara).

Pendidikan bagi perempuan bukan berarti mengerdilkan pendidikan bagi laki-laki. Pendidikan bagi perempuan pada dasarnya merupakan bukti nyata tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan untuk mendapat pengajaran yang layak di Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Wallahu a’lam.(Benni Setiawan, Penulis buku Agenda Pendidikan Nasional-80)

Sabtu, 30 Agustus 2008

Pendidikan Roboh, Bangsa Roboh



WACANA Suara Merdeka,30 Agustus 2008

Oleh Benni Setiawan

MENURUT UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (pasal 1).

Tetapi, apa yang terjadi sekarang di negara kita? Pendidikan dilakukan tidak secara mestinya. Ia seringkali berubah bentuk menjadi monster yang menakutkan. Ia bahkan antikritik dan tidak memedulikan masyarakat ekonomi bawah. Buktinya, pendidikan dalam wujud sekolah telah banyak merenggut ratusan korban jiwa.

Banyak peserta didik menjadi korban di ”lembaga mulia” bernama sekolah (pendidikan). Contohnya, antara lain, terjadi di Gunungkidul (DIY). Hanya karena orang tuanya tidak mampu menyediakan uang ekstrakulikuler sebesar Rp 2.500, seorang peserta didik nekat bunuh diri.

Sistem pendidikan Indonesia juga tidak beranjak dari sistem feodal yang membelenggu. Para pembuat kebijakan seakan telah menjadi dewa yang mampu mengubah, mencipta, dan memaksakan sebuah sistem kepada masyarakat.

Apa yang ada di otak pembuat kebijakan, maka itulah yang menjadi bahan acuan membuat kebijakan. Mereka seringkali melupakan eksistensi orang lain yang mempunyai pandangan (cara pandang) yang berbeda.

Suara-suara dari daerah hanya dianggap angin lalu. Semua kebijakan yang dihasilkan adalah cerminan keadaan Jakarta atau kota-kota besar lainnya. Maka tidak terlalu mengherankan kalau hasil kebijakan pendidikan nasional seringkali tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan daerah.

Pelaksana pendidikan di daerah (guru, kepala sekolah, dinas pendidikan) sering menjadi ”kelinci percobaan” pengambil kebijakan di Jakarta (pusat). Padahal pekerjaan guru di daerah sudah sangat banyak. Hal ini ditambah lagi oleh ruwetnya Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

BOS seringkali menjadi senjata pamungkas orangtua / wali murid dalam menuntut pihak sekolah. Sekolah harus gratis dan tidak diperkenankan meminta sumbangan dari orang tua wali murid. Itu pandangan masyarakat awam.

Maka tak aneh jika di beberapa daerah, banyak kepala sekolah didemo dan diturunkan secara paksa oleh masyarakat karena dana BOS. Dan masih banyak lagi kasus ketimpangan sistem pendidikan nasional.

Kepentingan Uang

Lebih dari itu, pendidikan di negara kita telah dijual atau digadaikan demi kepentingan uang. Pendidikan di Indonesia, tidak beranjak dari ideologi konservatif (liberal) menuju ideologi pendidikan yang humanis.

Pendidikan masih saja disibukkan oleh berapa biaya yang disumbangkan kepada negara, daripada berapa peserta didik yang mandiri dan mampu berkarya sesuai dengan potensi yang dimiliki sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.

Tidak aneh pula jika banyak anak usia produktif sekolah tidak mampu melanjutkan pendidikannya, akibat terbatasnya ketersediaan dana dan makin mahalnya biaya masuk sekolah.

Hal ini diperparah lagi oleh anggapan sebagian masyarakat, bahwa sekolah mahal dapat menjamin kualitas pendidikan. Sebuah pandangan yang menyakitkan bagi masyarakat miskin.

Lebih dari itu, imbas dari ideologi konservatif tersebut, pendidikan kita —terutama perguruan tinggi— menjadi penyumbang terbesar jumlah pengangguran. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), terjadi peningkatan jumlah pengangguran dari lulusan perguruan tinggi (sarjana).
Jika pengangguran sarjana pada Agustus 2006 berjumlah 183.628 orang, pada Februari 2007 mencapai 409.890 orang, atau meningkat 123,27 persen !

Demikian pula pengangguran lulusan diploma (D1,D2, D3). Pada Agustus 2006 ada sekitar 224.964 penganggur, kemudian meningkat menjadi 330.316 orang pada Februari 2007 (Benni Setiawan: 2008)
Pendidikan yang hanya diorientasikan menjadi kegiatan individual, mahal, dan jauh dari makna humanis sebagaimana telah diwacanakan para pendiri bangsa ini, hanya makin menambah beban persoalan bangsa. Lebih dari itu, hanya akan mempercepat robohnya bangsa ini.

Petuah Ki Hajar

Maka dari itu, sudah saatnya pendidikan di Indonesia mengubah orientasinya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ki Hajar Dewantara setidaknya meninggalkan dua petuah bijak bagi kita dalam membangun sistem pendidikan yang humanis. Pertama, ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Kedua, jadikanlah setiap orang guru dan setiap tempat sekolahan.
Dua hal tersebut sudah saatnya digali dan dikaji lebih lanjut sebagai bekal pengajaran bagi kita semua. Petuah bijak di atas juga mengajarkan kepada kita bahwa belajar (pendidikan) tidak hanya diajarkan dalam bentuk formal (sekolah).

Pendidikan dapat diajarkan oleh siapa saja dan kapan saja. Lebih dari itu, kita semua (masyarakat) merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional.

Seseorang tanpa harus berdiri di ruang kelas adalah seorang guru bagi orang lain. Demikian pula dengan sawah, ladang, laut, dan perkebunan. Ia adalah tempat yang baik untuk belajar.

Jika petuah bijak pendiri Tamansiswa ini dipraktikan oleh kompenen pendidikan, maka tidak akan ada lagi peserta didik yang mati akibat sistem pendidikan yang tidak memihak.

Lebih lanjut, setiap orang akan merasa bertanggung jawab terhadap masa depan anak bangsa dan bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan, setiap tingkah lakunya merupakan cerminan ”guru” yang patut digugu (dipatuhi) dan ditiru (diteladani).

Maka dibutuhkan keberanian semua pihak untuk sadar dan berubah. Menyadari bahwa kita adalah bagian dari pendidikan dan berubah menjadi teladan bagi generasi penerus bangsa.

Dengan demikian, cita-cita pendidikan dalam membentuk moral yang baik, memiliki kekuatan spiritual, dan sebagainya —sebagaimana disebutkan dalam UU Sisdiknas— bisa segera terwujud. Jika tidak, pendidikan hanya akan menjadi perbincangan setiap hari: tanpa makna! (32)

—Benni Setiawan, pemerhati pendidikan, penulis buku ”Manifesto Pendidikan Indonesia” (2008) dan ”Agenda Pendidikan Nasional” (2008).

Rabu, 20 Agustus 2008

“Melik Nggendong Lali”



Bernas Jogja, Rabu, 20 Agustus 2008

Tampaknya masyarakat Indonesia akan terus disuguhi fakta bahwa pemimpin bangsanya saat ini telah melakukan tindak pidana korupsi. Kasus korupsi berskala agak besar satu per satu mulai terkuak dan terungkap. Hampir tidak ada lembaga pemerintahan yang luput dari korupsi.

Mulai dari lembaga Yudikatif. Jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) tertangkap oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK) saat menerima suap Rp. 6 miliar dari Artalyta Suryani atau Ayin. Jaksa UTG tidak sendirian, setidaknya tiga nama juga terseret dalam kasus ini. Mereka adalah, Untung Udji Santoso, Kemas Yahya Rahman dan Wisnu Subroto.
Kasus yang sempat menyedot perhatian masyarakat ini seakan membuktikan dugaan bahwa mafia peradilan benar ada di Indonesia. Mafia peradilan telah mencoreng kewibawaan hukum di tengah masyarakat. hukum dalam pandangan masyarakat sudah tidak berharga, karena “harganya” sudah dibeli dan dibayar oleh uang.

Di lembaga Legislatif, Al Amin Nur Nasution, Sarjan Taher, Bulyan Royan, Yusuf Emir Faisal, juga diduga melakukan tindak pidana korupsi. Mereka menjadi “calo” dalam alih fungsi hutan lindung di Bintan Kepulauan Riau. Bahkan pengakuan mengejutkan datang dari Hamka Yandhu. Menurutnya, aliran dana bantuan likuiditas bank Indonesia (BLBI) dinikmati oleh seluruh anggota Komisi IX DPR RI periode 1999-2004.

Dana sebesar Rp. 31,5 miliar, dijadikan “bancaan” anggota dewan yang terhormat. Menurut Hamka Yandhu, Fraksi Partai Golkar (12 orang) mendapat jatah Rp. 3 miliar; Fraksi PDI Perjuangan (14 orang) mendapat jatah Rp. 3,55 miliar; Fraksi PPP (5 orang) mendapat jatah Rp. 1,5 miliar; Fraksi PKB (5 orang) mendapat Rp. 1,4 miliar; Fraksi Reformasi (5 orang) mendapat jatah Rp. 1,25 miliar; Fraksi TNI/Polri (4 orang) mendapat jatah Rp. 1 miliar; Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (1 orang) mendapat jatah Rp. 250 juta; Fraksi Bulan Bintang (1 orang) mendapat jatah Rp. 300 juta; dan Fraksi Daulat Umat (1 orang) mendapat jatah Rp. 250 juta.

Kasus aliran dana BLBI ini juga menyeret nama Paskah Suzetta Menteri Perencanaan Pembangunan dan Malem Sambat Ka’ban Menteri Kehutanan yang sebelumnya adalah anggota komisi IX DPR RI 1999-2004. Korupsi juga dilakukan oleh Direktur Utama PT Pos Indonesia, Hana Suryana, yang mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp. 40 miliar. Lengkap sudah korupsi di Indonesia, karena ketiga lembaga tinggi negara terjerat kasus tindak pidana ini.

Keadaan ini semakin membuktikan bahwa tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja. Tindak pidana korupsi juga erat hubungannya dengan kekuasaan. Kekuasaan amat dengan dengan korupsi.

Ketiga lembaga negara yang diharapkan dapat memimpin bangsa Indonesia dan membawa Indonesia keluar dari krisis multidimensional ini ternyata malah semakin memperkeruh kondisi bangsa. Lembaga peradilan yang seharusnya menegakkan hukum bermain mata dengan Ayin sahabat Syamsul Nursalim pengemplang dana BLBI sebesar Rp. 41 triliun.
Lembaga Legislatif yang seharusnya mendengar, membawa dan menyuarakan aspirasi rakyat yang sedang dibelit kemiskinan malah mengkorupsi dana kesejahteraan rakyat. Demikian pula dengan lembaga Eksekutif sebagai pemimpin dan pamong masyarakat. Seharusnya mereka sadar bahwa kedudukannya saat ini merupakan amanah kemanusiaan yang wajib ditunaikan. Mereka adalah panutan masyarakat. Segala tingkah lakunya selalu menjadi rujukan masyarakat.

Dalam kosmologi Jawa ada istilah melik nggendong lali yang artinya kurang lebih kekuasaan lebih dekat dengan korupsi. Berada dalam puncak kekuasaan, seseorang seringkali lupa asal muasalnya. Mereka lupa sedang menjalankan amanah mulia mengembang aspirasi masyarakat. Kekuasaan telah membutakan mata hati mereka untuk menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya.

Amanah Kemanusiaan
Hukum sebagai panglima menuju kesejahteraan dan keadilan masyarakat dilanggar oleh lembaga yang seharusnya menegakkannya. Amanah rakyat yang juga merupakan amanah Tuhan (vox populie vox die) ditukar dengan harta kekayaan yang menyilaukan.

Seringkali kekuasaan dimaknai secara sempit oleh pemimpin kita. Kekuasaan hanya dimaknai sebagai alat atau tempat untuk menumpuk kekayaan. Kekuasaan belum mampu dimaknai sebagai amanah kemanusiaan. Amanah kemanusiaan yang dapat menyelamatkan diri sendiri dan orang lain.

Mengemban amanah kemanusiaan akan dapat menyelamatkan seseorang dari godaan kekayaan atau dunia yang berat. Lebih dari itu, amanah kemanusiaan akan menuntun seseorang menjadi seorang pemimpin bukan seorang penguasa.

Pemimpin dan penguasa
Pemimpin adalah seseorang yang dengan sadar menjalankan amanah yang diemban untuk kepentingan bersama, bukan pribadi dan golongan. Sedangkan penguasa adalah seseorang yang menjalankan amanah untuk memuaskan nafsu pribadi dan golongannya.

Menjadi pemimpin berarti mampu memimpin diri sendiri dan menjadi panutan yang dipimpin. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menjalankan amanahnya dengan baik dan benar. Berbeda dengan penguasa. Penguasa cenderung korup, karena ia tidak tahu siapa yang memimpin dan dipimpin. Penguasa akan mempertahankan kedudukannya dan menguras pundit-pundi negara hingga habis. Mereka akan menghalalkan segala cara dalam mempertahankan dan memperoleh apa yang diinginkannya.

Kasus tertangkapnya tokoh-tokoh pemegang kekuasaan oleh KPK sudah saatnya dijadikan pelajaran berharga bagi pejabat lain. Artinya, ia harus mampu mawas diri bahwa kekuasaan bukanlah segala-galanya. Kekuasaan adalah amanah kemanusiaan yang harus diemban dengan baik dan benar. Kekuasaan bukanlah untuk untuk menjadi penguasa. Kekuasaan adalah tempat untuk memimpin dan menjadi pemimpin.

Benni Setiawan, Peneliti Lentera Institute.

Ke Mana Arah Pendidikan Indonesia?



Media Indonesia, Rabu, 20 Agustus 2008 08:51 WIB

Pendidikan Indonesia sudah kehilangan arah. Pendidikan di Indonesia dalam bentuk sekolah telah tercerabut dari akar kesejarahan sistem pendidikan nasional. Pendidikan di Indonesia sudah tidak lagi bertumpu pada nilai-nilai dasar pendidikan yang memerdekakan, pendidikan yang menyadarkan dan pendidikan yang memanusiakan manusia muda dan pengangkatan manusia muda ke taraf insani. Pendidikan di Indonesia hanya berorientasi pasar.

Buktinya, pemerintah sekarang sedang menggalakkan pendidikan tingkat satuan pendidikan menengah atas berbasis kerja, yaitu sekolah menengah kejuruan (SMK). Pemerintah berencana akan mengubah pola pendidikan Indonesia dengan perbandingan 70% untuk SMK dan 30% untuk sekolah menengah atas (SMA). Lulusan SMA dalam pandangan pemerintah hanya menghasilkan lulusan tidak siap kerja kalau tidak mau disebut pengangguran. Maka, guna mengurangi angka pengangguran, pemerintah melakukan 'terobosan' dengan menciptakan SMK. Lulusan SMK dalam pandangan pemerintah lebih siap untuk bekerja dan mengurangi pengangguran.

Bukan fase bekerja

Pendidikan di Indonesia hanya dimaknai sebagai salah satu untuk mendapatkan pekerjaan agar tidak menjadi pengangguran (link and match). Padahal, link and match pernah dikritik Soetandyo Wignyosoebroto, Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Menurut Pak Tandyo--begitu orang menyapanya--sekolah itu bekal untuk menata hidup yang lebih baik. Bukan fase yang harus dilalui sebelum bekerja. Kalau konsepnya seperti itu, betapa sempitnya dunia pendidikan (Agus Wahyudi: 2006).

Kritikan Pak Tandyo itu cukup beralasan. Pendidikan bukan salah satu fase untuk bekerja. Pendidikan adalah proses hidup. Jadi pendidikan dalam bentuk sekolah bukan untuk bekerja. Maka dari itu, konsep pemerintah membangun SMK secara besar-besaran itu pada dasarnya menunjukkan pemerintah saat ini sudah keblinger. Salah jalur. Tidak tahu filosofi pendidikan.

Lebih dari itu, penyiapan tenaga kerja siap pakai ala SMK juga tidak sesuai dengan iklim Indonesia. Indonesia bukan negara industri yang membutuhkan banyak tenaga kerja siap pakai seperti Jepang. Indonesia masih menjadi negara agraris. Kalau toh kita akan menjadi negara industri, Indonesia sudah tidak lagi mempunyai sumber daya alam sebagai modal. Sumber daya alam Indonesia sudah dikeruk dan dikuras habis oleh korporasi internasional. Masyarakat Indonesia sekarang tinggal menunggu kehancuran bumi Indonesia. Hal itu karena daya isap korporasi tidak akan menyisakan sedikit pun sumber daya alam untuk masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia akan menjadi asing dan miskin di negerinya sendiri.

Tenaga kerja instan

Pembangunan sumber daya manusia melalui SMK dengan mengabaikan filosofi pendidikan hanya akan menghasilkan buruh-buruh yang keringat mereka diperas untuk memuaskan nafsu serakah korporasi internasional. Mereka hanya akan dibayar dengan upah murah. Sewaktu-waktu mereka dapat diberhentikan dengan paksa.

Apakah pemerintah sekarang sempat berpikir seperti itu? Tampaknya, pemerintah tidak memedulikan hal tersebut. Yang ada dalam otak pembuat kebijakan yang keliru itu adalah bagaimana mempersiapkan tenaga kerja instan (siap) kerja dalam waktu cepat sehingga kinerja pemerintahan dapat dinilai dengan nilai A. Pemerintah pun dapat mengklaim telah berhasil mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan karena anak-anak orang miskin sekarang sudah sekolah di SMK dan siap bekerja dengan kemampuan dan keterampilan mereka.

Pemerintah lebih bangga melihat banyak masyarakat bekerja dengan ketidakberdayaan daripada melihat masyarakatnya mandiri karena mereka memiliki ilmu dan pengalaman yang memerdekakan.

Program pendidikan siap kerja melalui SMK merupakan program prestisius miskin strategi dan makna. Ia tidak ubahnya seperti program penggemukan sapi yang marak akhir-akhir ini di beberapa daerah. Sapi yang semula kecil diberi makan sebanyak mungkin, setelah itu sapi siap jual dengan harga tinggi.

Pemerintah dengan program itu hanya ingin menyombongkan diri dengan data statistik bawah periode pemerintahan kali ini telah berhasil membuat kebijakan yang dibutuhkan masyarakat, yaitu lulus langsung kerja. Padahal sebagaimana kita ketahui, data statistik selalu saja bisa 'diperjualbelikan' sesuai dengan keinginan penguasa.

Ketidakberdayaan pemerintah

Selanjutnya, proyek prestisius SMK juga tidak dibarengi kesiapan dana yang memadai oleh pemerintah. Pemerintah hingga kini belum dapat memenuhi amanat UUD 1945 tentang penyediaan anggaran pendidikan minimal 20%. Anggaran itu baru bisa dipenuhi pada APBN 2009.

Ketidakberdayaan pemerintah menyediakan dana anggaran minimal 20% dalam APBN jelas merugikan masyarakat Indonesia. Orang tua calon peserta didik gusar, karena biaya masuk SMK lebih mahal jika dibandingkan dengan SMA. Seorang orang tua peserta didik harus membayar biaya pangkal Rp2.500.000 untuk masuk SMK di wilayah Jawa Tengah. Biaya tersebut belum termasuk SPP Juli yang sudah harus dibayar sebesar Rp200 ribu. Tentunya hanya orang-orang kaya yang dapat masuk SMK.

Program prestisius itu hanya meninggalkan kedukaan bagi wong cilik (orang miskin). Lebih dari itu, program itu telah meninggalkan filosofi pendidikan yang telah diajarkan para foundhing fathers and mothers.

Bapak dan ibu bangsa telah mengajarkan bahwa pendidikan adalah usaha menyadarkan manusia (YB Mangunwijaya), memerdekakan dengan sistem among (Ki Hajar Dewantara) dan memanusiakan manusia muda dan mengangkat manusia muda ke taraf insani (Driyarkara). Bapak dan ibu bangsa tidak pernah mengajarkan bahwa sekolah adalah fase untuk bekerja. Sekolah atau berpendidikan bukan untuk bekerja. Pendidikan adalah bekal untuk hidup mandiri.

Pada akhirnya, program prestisius SMK sudah saatnya dikoreksi agar tidak kehilangan arah. Ketika tidak ada kemauan dari pemerintah untuk membenahi program itu, patutlah kita pertanyakan, mau ke mana pendidikan Indonesia? Wallahualam.

Oleh Benni Setiawan, Penulis Buku Agenda Pendidikan Nasional