Search

Kamis, 19 Januari 2012

Membangun Teologi Lingkungan



Merapi, Kamis Pahing, 19 Januari 2012

Bencana alam sepertinya tidak pernah berhenti meluluhlantakkan bumi Indonesia. Banjir bandang dan tanah longsor kembali menerpa semesta alam Indonesia. Seperti di Bandung Jawa Barat, Wonosobo Jawa Tengah dan Pasuruan Jawa Timur. Hingga kini pun banjir masih senang menyapa masyarakat Indonesia di Serang Banten, Bojonegoro, Jawa Timur. Bahkan, awal tahun lalu wilayah DI Yogyakarta dan Solo Raya pun tak luput dari luapan air. Tidak terelakkan lagi kerugian materiil dan immaterial. Beberapa pengamat lingkungan dan pejabat menengarahi bencana alam banjr dan tanah lonsor yang ada di Indonesia dikarenakan rusaknya hutan akibat pembalakan liar (illegal logging).

Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), laju penghancuran (deforestasi) hutan di Indonesia tahun 2002-2005 merupakan yang terbesar dan terparah di dunia. Setiap tahun, menurut FAO, rata-rata 1,871 juta hektar hutan Indonesia hancur atau 2 persen dari luas hutan yang tersisa pada tahun 2005, yakni 88,495 juta hektar. Lebih lanjut, luas hutan Indonesia semakin menyusut dari tahun ke tahun. Pada tahun 1990 luas hutan Indonesia 116.567.000 ha, berkurang menjadi 97.852.000 ha pada tahun 2000 dan tinggal 88.496.000 ha pada tahun 2005.

Kerusakan alam yang begitu hebat tentunya membawa dampak buruk bagi kehidupan makhluk hidup. Ekosistem alam terganggu. Alam adalah tempat dimana makhluk hidup berlindung. Dengannya makhluk bertahan hidup dan berlindung. Alam telah menyediakan berbagai kebutuhan manusia. Seperti, buah-buahan, sayuran, daging hewan dan seterusnya. Jika alam rusak, manusia tidak dapat lagi menikmati hasil alam tersebut.
Keadaan ini tentunya tidak boleh dibiarkan begitu saja. Diperlukan cara yang jitu guna mencegahnya. Pendek kata, diperlukan teologi lingkungan yang dapat menyadarkan manusia akan arti penting alam bagi kehidupannya.

Teologi lingkungan adalah upaya nyata menyadarkan manusia untuk kembali membuka teks-teks suci sebagai acuan dalam hidupnya. Teologi lingkungan juga berarti, manusia adalah bagian dari alam, dan alam telah menyediakan kebutuhan manusia dalam jumlah terbatas. Oleh karena itu, kewajiban manusia untuk melestarikannya demi kehidupan yang lebih baik.

Teologi lingkungan ini dapat diajarkan kepada peserta didik sejak dini, yaitu dimulai dari lingkungan keluarga. Orang tua mempunyai kewajiban untuk mendidik anak-anaknya agar mengerti akan eksistensi dirinya dan alam. Artinya, anak perlu dikenalkan bagaimana cara menjaga ekosistem alam. Ambil contoh, anak dikenalkan bagaimana merawat tumbuhan dan melakukan penghijaun lingkungan (menanam minimal satu pohon) di sekitar rumah. Orang tua juga dapat mengajarkan kepada anak jika menebang (mengambil) manfaat dari tumbuhan, maka kewajibannya untuk menumbuhkan yang baru sebagai persediaan di hari esok.

Setelah anak mengerti dan dididik secara langsung (praksis) oleh orang tua, maka kewajiban lembaga pendidikan (sekolah) untuk mendidiknya secara teoritis. Artinya, peserta didik diajak untuk berfikir secara logis berdasarkan teori-teori yang telah ada. Ketika, alam rusak, maka akan terjadi ketimpangan ekosistem. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya bencana alam.

Pelajaran pendidikan agama Islam (khususnya) di sekolah sudah saatnya diajarkan secara sederhana dan menyentuh substansi (persoalan masyarakat). Artinya, pelajaran agama yang selama ini bersifat hafalan dan dalil yang ndakik-ndakik sudah saatnya diarahkan kepada bagaimana peserta didik dapat mengambil pelajaran dari apa yang telah dituliskan dalam al-Qur'an dan Hadis.

Ambil contoh, mengajarkan ayat-ayat tentang etika lingkungan. Peserta didik diharapkan tidak hanya hafal, melainkan dapat mengambil pelajaran dari apa yang telah dihafalnya. Yaitu, dengan menghubungkan secara langsung dengan realitas sosial yang terjadi dan teori-teori yang telah dikembangkan oleh ilmuan.

Dengan demikian, mengutip pendapat, Nurcholish Madjid, kegagalan pendidikan agama disebabkan pendidikan agama Islam lebih menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat formal dan hafalan, bukan pada pemaknaannya, tidak akan pernah terjadi lagi.

Teologi lingkungan pada dasarnya adalah kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial. Artinya, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, termasuk di dalamnya dengan alam. Meminjam istilah A. Sonny Keraf (2002), teologi lingkungan juga berhubungan erat dengan moral. Alam telah memberikan manfaat lebih bagi manusia, maka kewajibannya adalah melestarikan dan tidak menjadi frointer.

Manusia frointer (manusia pembuka jalan atau pendobrak) menurut Daniel D. Chiras, Environmental Science A Framework for Decision Making sebagaimana dikutip oleh Mafutucah Yusuf (2000) yaitu manusia yang berpandangan, pertama, bahwa alam adalah pemberian sumber bahan kehidupan yang tidak terbatas, dengan keyakinan bahwa "selalu akan ada sesuatu lagi". Kedua, memandang manusia sebagai makhluk hidup di luar alam bukan bagian dari alam. Dan ketiga, menganggap alam sebagai yang perlu dikuasai.

Pada akhirnya, teologi lingkungan hanya merupakan salah satu cara untuk mencegah bencana. Konsepsi ini tidak akan mampu menyelesaikan persoalan bencana alam yang pelik, tanpa adanya kesadaran dan langkah nyata manusia untuk menjaga keseimbangan ekosistem alam.

Benni Setiawan, Peneliti, Pemerhati Masalah Sosial.

Minggu, 15 Januari 2012

Keaksaraan Berbasis Masjid



Majalah MATAN, edisi Januari 2012

Masjid tidak hanya rumah ibadat bagi umat muslim. Masjid juga merupakan sarana pengenalan budaya. Budaya membaca misalnya. Budaya ini masih menjadi pekerjaan rumah di Indonesia. Pasalnya, saat ini Indonesia masih berkutat dengan persoalan buta aksara. Setidaknya masih ada sekitar 8,3 juta jiwa atau 4,79 persen penduduk Indonesia berusia 15-45 tahun dalam kategori ini.

Ironisnya, angka tersebut sama persis seperti tahun lalu. Bedanya, tahun lalu data yang disampaikan Kementerian Pendidikan Nasional itu sekitar 80 persen berusia 40 tahun ke atas. Tahun ini oleh institusi yang sama disampaikan sekitar 70 persen berusia di atas 40 tahun.

Masih tingginya tingka buta aksara ini diperparah oleh rendahnya minat baca masyarakat melek huruf. Menilik data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2009, baru sebanyak 18,94 persen kelompok usia di atas 10 tahun yang membaca surat kabar/majalah. Tahun sebelumnya berada di kisaran 23 persen. Sebaliknya, jumlah penduduk yang menonton televisi terus meningkat. Pada 2009, jumlahnya mencapai 90,27 persen. Tahun sebelumnya 85,86 persen.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana masjid berperan serta meningkatkan minat baca masyarakat?

Fitrah Kemanusiaan
Keaksaraan berbasis masjid didasarkan pada realitas sosio-historis umat muslim. Membaca (iqra’) merupakan perintah pertama Allah bagi umat Islam (Q.S. al-Alaq, 96: 1-5). Jadi membaca merupakan kewajiban alami manusia sebagai ciptaan Tuhan. Manusia akan mengetahui esensi penciptaan diri dan Tuhannya adalah melalui membaca. Dengan demikian membaca merupakan fitrah kemanusiaan yang utama.

Dengan membaca manusia akan mempunyai cakrawala yang luas. Ia tidak mudah diperdaya oleh orang lain. Ia akan menjadi individu mandiri dan berkepribadian.

Membaca juga menyegarkan pikiran. Membuat setiap kata yang terucap menjadi petuah bijak yang bermakna lagi bernilai. Pendek kata membaca akan mampu mengangkat derajat manusia ke taraf insan—meminjam istilah Driyarkara.

Budaya Tandingan
Di sinilah peran penting masjid. Masjid merupakan pusat peradaban umat Islam. Selama ini di dalam masjid, ceramah hanya angin lalu. Setelah ceramah usai semua lupa dan hilang. Membaca akan mampu merubah tradisi ini.

Membaca dapat diterapkan ketika da’i atau mubaligh mewartakan ayat-ayat Tuhan. Sebagai da’i tentunya mereka akan mempersiapkan ceramah dengan baik, yaitu dengan membaca literatur yang terkait dengan tema. Ada baiknya, ceramah tidak hanya dilakukan secara lisan, namun juga dengan tulisan. Setiap materi ceramah ditulis/diketik dan dibagikan kepada jamaah. Lembaran-lembaran kertas ini akan menjadi budaya baru di dalam masjid.

Kegiatan ini mempunyai dua manfaat sekaligus. Pertama, menggairahkan kembali minat baca masyarakat yang telah melek huruf. Masyarakat akan mendapat hal baru yang menyegarkan pikiran dan seluruh organ tubuh dengan mendengarkan ceramah yang didukung oleh kegiatan membaca.

Kedua, merangsang masyarakat yang belum dapat membaca untuk senang dengan kegiatan ini. Dengan lembaran-lembaran kertas, masyarakat yang sudah dapat membaca dapat mendidik orang lain yang belum bisa membaca. Kegiatan ini pun akan semakin merekatkan hubungan emosional antara satu jamaah dengan jamaah lainnya.

Lebih lanjut, “budaya baru” ini juga menjadi semacam budaya tandingan. Artinya, budaya membaca merupakan bentuk perlawanan masyarakat atas budaya nonton televisi. Sebagaimana kita ketahui bersama, televisi telah menjadi “Tuhan” baru di tengah masyarakat modern.

Televisi menurut Pierre Bourdieu, seorang pemikiran Perancis sebagaimana dikutip oleh B. Herry-Priyono, SJ (2010) mungkin telah memberi sumbangan, sebesar seperti suap (bribery), bagi kehancuran etos serta keutamaan publik. Televisi semakin gandrung menampilkan di panggung tipe-tipe orang yang gila nama dan popularitas, yang kepedulian utamanya adalah ditonton dan diberi tepuk tangan panjang; semua itu berbalikan dengan nilai-nilai komitmen yang penuh ketekunan dan tersembunyi pada kepentingan publik.

Mungkin Bourdieu mengajukan sengatan yang tajam itu dalam konteks televisi Perancis. Akan tetapi, rupanya pokok yang sama juga tidak terlalu meleset untuk dibidikkan pada corak televisi Indonesia dewasa ini. Televisi Indonesia dipenuhi oleh ajang pencarian bakat, yang selalu dipenuhi sorak-sorai dan tepuk tangan meriah, kehidupan yang hedonis, dan permusuhan.

Lebih lanjut, ketika masyarakat Indonesia terlena oleh buaian televisi dan melupakan komitmen moral dan intelektual, maka benarlah apa yang dikatakan dalam sebuah Hadis, “Di akhir zaman, akan banyak umat muslim, namun mereka seperti buih di tengah lautan”.

Maka dengan budaya membaca ini, diharapkan masyarakat akan tercerahkan. Lebih dari itu, budaya membaca dan menulis merupakan inti program keaksaraan yang telah diagendakan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Dan Masjidlah tempat yang tepat untuk merealisasikan program ini. Mengingat 80 persen penduduk Indonesia adalah muslim.

*)Benni Setiawan, Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Majalah MATAN, edisi Januari 2012

Selasa, 10 Januari 2012

“Berperang” Atas Nama Agama



Ruang Putih, Jawa Pos, Minggu, 08 Januari 2012

Institusi negara tercatat menjadi pelaku pelanggaran kebebasan beragama yang paling banyak.


Kasus pembakaran pesantren di Sampang, Madura, seakan menambah daftar panjang kekerasan atas nama agama dan intoleransi. The Wahid Institute, mencatat selama 2011 terjadi 92 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jumlah itu meningkat 18 persen dari tahun sebelumnya, 62 kasus. Pelarangan dan pembatasan aktivitas keagamaan atau kegiatan ibadah tercatat 49 kasus.

Disusul tindakan intimidasi dan ancaman kekerasan oleh aparat negara (20 kasus), pembiaran kekerasan (11 kasus), kekerasan dan pemaksaan keyakinan serta penyegelan dan pelarangan rumah ibadah (masing-masing 9 kasus). Pelanggaran lain adalah kriminalisasi atau viktimisasi keyakinan (4 kasus).

Institusi negara tercatat menjadi pelaku pelanggaran kebebasan beragama yang paling banyak. Polisi menempati posisi pertama yakni 32 kali, disusul bupati, wali kota, atau pejabat di lingkungan pemerintah daerah sebanyak 28 kali. Pelaku pelanggaran kebebasan beragama lainnya adalah tentara (16), satuan polisi pamong praja (10), pemerintah provinsi (8), serta Kantor Kementerian Agama dan Kantor Urusan Agama (8).
Jawa Barat merupakan daerah dengan jumlah sebaran wilayah pelanggaran tertinggi (55 kasus), diikuti Banten (9 kasus), Aceh (5 kasus), serta Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan masing-masing 4 kasus.

Tindakan intoleransi dalam beragama dan berkeyakinan tahun 2011 naik menjadi 184 kasus (16 persen) dibandingkan tahun lalu (134 kasus). Kategori tindakan intoleransi yang paling tinggi adalah intimidasi dan ancaman kekerasan atas nama agama (48 kasus). Tindakan intoleransi yang tercatat tinggi adalah penyebaran kebencian terhadap kelompok lain (27 kasus), kasus pembakaran dan perusakan properti (26 kasus), serta diskriminasi atas dasar agama (26 kasus).

Seperti kasus pelanggaran kebebasan beragama, Jawa Barat juga tercatat menjadi wilayah dengan tingkat intoleransi paling tinggi di indonesia (105 kasus), Jawa Timur (17 kasus), Jawa Tengah (15 kasus), Jakarta (13 kasus), dan Riau (9 kasus).
Mengapa tindak kekerasan atas nama agama dan intoleransi masih tinggi di Indonesia. Padahal bangsa Indonesia terkenal dengan keragaman agama dan kebudayaan serta saling hormat menghormati antar sesama.

Banalitas Kekerasan
Hannah Arendt menyebut kekerasan adalah bukti adanya “komunikasi bisu paling nyata,” Semua terdiam dan termanggu. Semua seperti mengamini apa yang terjadi. Negara yang mendapat amanat mengatur tata kelola bangsa seakan tidak mampu menyelesaikan persoalan ini. Bahkan, ia menjadi bagian dari praktik yang melanggar hak asasi manusia (HAM) ini.

Negara sepertinya hanya akan bersuara lantang ketika kepentingan-kepentingan sang pemangku terancam. Mereka akan menjadi seperti corong yang berkoar-koar bahwa apa yang memcuat dipublik, seperti terbongkarnya mega skandar korupsi Bank Century, korupsi Muhammad Nazaruddin, dan seterusnya akan menganggu stabilitas negara.
Mereka sepertinya lupa bahwa kasus penyerangan rumah ibadat dan melarang seseorang untuk menjalankan ibadahnya merupakan ancaman serius stabilitas negara karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

Kekerasan pun, meminjam istilah Anthony Giddens, distrukturasikan. Kekerasan diproduksi terus-menerus. Ia menjadi sesuatu yang biasa saja. Ada banalitas kekerasan. Tidak jarang kekerasan dilegitimasi oleh agama dan dibiarkan oleh aparat.
Giddens menyebut situasi di atas sebagai “Runaway World”. Dunia yang berlarian tunggang langgang tanpa arah, kacau balau. Dalam bukunya The Consequences of Modernity (1990), Giddens memakai metafor  “Juggernaut” (sebuah truk besar) yang lepas kendali. Situasi lepas kendali yang terjadi di tengah bangsa ini adalah seperti kegelapan yang memunculkan kekacauan (Albertus Patty: 2011).

Merendahkan Martabat
Bangsa ini memang diselubungi kegelapan. Pasalnya, manusia Indonesia sepertinya sulit membedakan antara yang benar (haq) dan yang salah (bathil). Sebuah kondisi yang teramat parah, meminjam istilah Franz Magnis-Suseno. Pasalnya, garis jelas antara kemanusiaan yang wajar dan sikap penjahat menjadi kabur.

Ketika hal ini terjadi maka kekacauan merupakan sebuah keniscayaan. Ironisnya, agama sebagai sebuah kebenaran yang diyakini menjadi tameng atas apa yang dilakukan. Agama tidak menjadi spirit bagi terciptanya kedamaian dan keadilan, namun menjadi pembenar atas tindakan barbar.

Sudah saatnya semua menyadari bahwa tindakan kekerasan dan intoleransi atas nama apapun merupakan tindakan sia-sia. Tindakan ini hanya akan merendahkan martabat manusia sebagai makhluk berakal dan bernurani.

Toleransi
Manusia akan sama saja dengan makhluk lain yang tidak dianugerahi Tuhan dengan akal. Akal manusia sudah saatnya terus mendapat persemaian semangat toleransi.
Toleransi menurut Irwan Masduqi (2011) adalah rasa hormat, penerimaan dan apresiasi terhadap keragaman budaya dan ekspresi kita. Toleransi adalah harmoni dalam perbedaaan, yang membuat perdamaian menjadi mungkin. Toleransi mempunyai batas, yakni toleransi tidak bisa menoleransi tindakan-tindakan intoleran.

Toleransi dalam Islam sering dihubungkan dengan ayat, “Tidak ada paksaan dalam agama” (Q.S. al-Baqarah (2): 256). Firman Allah ini menurut Ibn ‘Abbas turun sehubungan dengan kasus seorang Anshar bernama Husayn yang memaksa kedua anaknya yang memeluk Kristen agar pindah ke agama Islam. Namun, kedua anaknya menolak paksaan itu. Kemudian, ayat ini turun merespon secara eksplesit bahwa pemaksaan keyakinan adalah tindakan terlarang.

Semangat toleransi Islam yang menolak paksaan juga dikukuhkan oleh firman Allah dalam Surat Yunus (10: 99). Toleransi Islam dibangun di atas alasan-alasan menghormati kebebasan berpendapat dan berkeyakinan (hurriyyah al-ra’yi wa al-i’tiqad) dan komitmen untuk hidup berdampingan secara damai (ta’ayusy/coexistence).

Pada akhirnya, peristiwa intoleransi tidak boleh terulang di kemudian hari. Sudah saatnya semua pihak sadar bahwa kerukunan umat beragama merupakan modal sosial bangsa Indonesia. Jika hal ini terciderai oleh kelompok-kelompok yang mengaku beragama, maka perlu dipertanyakan komitmennya terhadap agama yang diyakininya. Dan jika pemerintah membiarkan hal ini tetap terjadi maka kondisi kebangsaan Indonesia akan runtuh karena sikap pemerintah yang tidak tegas dan membiarkan masyarakatnya “berperang” atas nama agama.

*)Benni Setiawan, Alumnus Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Menyoal Kekerasan Karena Agama



Gagasan, Solo Pos, Jum'at, 06 Januari 2012

Kekerasan dan intoleransi atas nama agama tampaknya masih menjadi ancaman di tahun 2012. The Wahid Institute mencatat selama 2011 terjadi 92 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jumlah itu meningkat 18 persen dari tahun sebelumnya, 62 kasus. Pelarangan dan pembatasan aktivitas keagamaan atau kegiatan ibadah tercatat 49 kasus.

Disusul tindakan intimidasi dan ancaman kekerasan oleh aparat negara (20 kasus), pembiaran kekerasan (11 kasus), kekerasan dan pemaksaan keyakinan serta penyegelan dan pelarangan rumah ibadah (masing-masing 9 kasus). Pelanggaran lain adalah kriminalisasi atau viktimisasi keyakinan (4 kasus).

Institusi negara tercatat menjadi pelaku pelanggaran kebebasan beragama paling banyak. Polisi menempati posisi pertama yakni 32 kali, disusul bupati, wali kota, atau pejabat di lingkungan pemerintah daerah sebanyak 28 kali. Pelaku pelanggaran kebebasan beragama lainnya adalah tentara (16), satuan polisi pamong praja (10), pemerintah provinsi (8) serta Kantor Kementerian Agama dan Kantor Urusan Agama (8).

Jawa Barat merupakan daerah dengan jumlah sebaran wilayah pelanggaran tertinggi (55 kasus), diikuti Banten (9 kasus), Aceh (5 kasus), serta Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan masing-masing 4 kasus.

Tindakan intoleransi dalam beragama dan berkeyakinan tahun 2011 naik menjadi 184 kasus (16 persen) dibandingkan tahun lalu (134 kasus). Kategori tindakan intoleransi yang paling tinggi adalah intimidasi dan ancaman kekerasan atas nama agama (48 kasus). Tindakan intoleransi yang tercatat tinggi adalah penyebaran kebencian terhadap kelompok lain (27 kasus), kasus pembakaran dan perusakan property (26 kasus), serta diskriminasi atas dasar agama (26 kasus).

Seperti kasus pelanggaran kebebasan beragama, Jawa Barat juga tercatat sebagai wilayah dengan tingkat intoleransi paling tinggi di Indonesia (105 kasus), Jawa Timur (17 kasus), Jawa Tengah (15 kasus), Jakarta (13 kasus) dan Riau (9 kasus). Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa kekerasan dan intoleransi masih saja ada di negeri ini bahkan senantiasa meningkat dari tahun ke tahun?

Tidak puas
Kekerasan dan intoleransi yang terjadi di Indonesia mengindikasikan adanya hal yang keliru dalam kehidupan keberagamaan negeri ini. Masyarakat Indonesia masih terjebak sekat-sekat primordial agama yang menjadikan dirinya menutup diri kepada orang lain. Banyak penganut agama menganggap orang lain sebagi orang lain (liyan), mereka masuk neraka dan hanya golongannya saja yang masuk surga.

Menilik kondisi yang demikian, Djohan Effendi (1978) menyebut, hubungan antara umat beragama di Indonesia tidak bisa lepas dari problem mayoritas dan minoritas. Di kalangan mayoritas timbul perasaan tidak puas karena merasa terdesak posisi dan perannya. Sedangkan di kalangan minoritas timbul ketakutan karena merasa terancam eksistensi dan hak-haknya.
Problem di atas, yakni perasaan terdesak di satu pihak dan perasaan terancam di pihak lain, membawa implikasi dalam hubungan antar umat pelbagai agama dan pergaulan masyarakat dan bisa menggejala dalam pelbagai bentuk ketegangan.

Hal-hal di atas berjalan berkelindan satu sama lain dan menimbulkan problem-problem lain. Ditambah lagi oleh kurang adanya pergaulan yang erat antara pemuka pelbagai agama. Maka ancaman terhadap kehidupan rukun cukup besar (Greg Barton, 1999).

Maka tidak aneh jika tindakan kekerasan dan intoleransi selalu saja didasarkan atas keyakinan yang mereka yakini kebenarannya. Sehingga apa yang dilakukan walaupun melanggar norma-norma sosial tetap menjadi keyakinan yang bakal dibalas dengan surga. Sikap toleran (tasamuh) kepada sesama telah hilang. Yang ada hanyalah benih-benih kebencian dan kekerasan jika ada momentum yang tepat.

Padahal dalam Hadis, Nabi Muhammad SAW, menyatakan bahwa mukmin sejati adalah yang bisa menjadi keselamatan darah dan harta orang lain (HR al-Timidzi dan an-Nasa’i). Hadis ini menunjukkan kepada kita betapa menjaga keselamatan orang lain merupakan hal utama dalam Islam. Untuk meyakinkan bahwa ajaran Islam akomodatif terhadap kemaslahatan manusia, Imam al-Ghazali (w. 1111 M) mencoba merumuskan tujuan dasar syariat Islam (maqashid al-syariah) yakni pertama, Islam menjamin hak kelangsungan hidup (hifz al-nafs).

Kedua, Islam menjamin hak kebebasan beropini dan berekspresi (hifz al-aql). Ketiga, Islam menjamin hak kebebasan beragama (hifz al-din). Keempat, Islam menjamin hak dan kesehatan reproduksi (hifz an-nasl) untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Kelima, Islam menjamin hak properti (hifz al-maal), yakni hak mendapat pekerjaan dan upah yang layak, serta hak memperoleh jaminan perlindungan dan kesejahteraan.

Dengan pemahaman ini sudah saatnya umat Islam memelopori gerakan berbasis penghormatan terhadap kemaslahatan umat manusia. Tanpa hal yang demikian akan terus ada rasa saling curiga antar sesama umat beragama.
Sikap curiga tersebut hanya akan semakin menyuburkan benih-benih kekerasan dan intoleransi yang akan menganggu hubungan antar agama dan stabilitas nasional. Wallahu a’lam.