Search

Minggu, 08 Desember 2013

Menyoal Kekerasan Perempuan

Oleh Benni Setiawan*)


Satu dari tiga perempuan di dunia mengalami kekerasan atau pelecehan seksual. Demikian menurut laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Laporan yang dirilis WHO, London School of Hygiene and Tropical Medicine (LSHTM), serta South African Medical Research Council (SAMRC), menjadi laporan sistematis pertama secara global yang merinci dampak pelecehan terhadap fisik dan mental perempuan.

Beberapa data yang ditemukan antara lain: kekerasan yang dilakukan pasangan merupakan kasus pelecehan yang paling umum terjadi, mempengaruhi 30% perempuan di dunia; 38% pembunuhan perempuan, dilakukan oleh pasangannya; korban serangan seksual dan kekerasan (yang dilakukan bukan oleh pasangan) akan mengalami depresi dan kegelisahan 2,6 kali lebih besar dibandingkan dengan perempuan yang tidak mengalami kekerasan; korban pelecehan (dengan pelaku pasangan sendiri) mengalami depresi dan kegelisahan dua kali lebih besar; korban cenderung memiliki masalah dengan alkohol, aborsi, dan penyakit yang dibawa dalam hubungan seksual, dan HIV (Kompas, 21 Juni 2013).

Mengutip data kekerasan dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, angka Kekerasan terhadap perempuan (KtP) terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Data Komnas Perempuan menyebutkan pada 2011 terdapat 19.107 ribu kasus dan meningkat menjadi 216.156 ribu pada 2012.

Dari data Legal Resource Keadilan Jender dan Hak Asasi Maunusia (LRC KJHAM) Semarang, tercatat kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah hingga medio November 2013 sudah mencapai 454 kasus, jumlah kasus itu mengalami peningkatan jika dibandingkan pada 2012 yang hanya mencapai 408 kasus (Suara Merdeka, 20 November 2013).

Data tersebut tentu sangat meresahkan. Perempuan masih saja dijadikan “alat pemuas nafsu” laki-laki. Perempuan-perempuan pun masih saja dianggap lemah. Bahkan, perempuan adalah the second sex (seks kedua) yang mempunyai banyak kelemahan. Perempuan pun masih dianggap sebagai hiasan. Masyarakat masih memandang perempuan dari kemolekan tubuh yang dapat setiap saat dijamah. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana mengurai masalah ini?

Payudara
Tubuh perempuan memang senantiasa menjadi hal yang menjadi perdebatan. Tubuh perempuan menjadi harga tersendiri bagi kaum hawa. Tubuh molek nan seksi senantiasa menjadi pergunjingan kaum adam. Jika seorang perempuan mempunyai hal yang demikian ia dianggap “mahal”.

Bagian kemolekan dari tubuh itu pun biasanya hanya dilihat dari payudara. Menurut, Freud, payudara itu tak ubahnya penis pada laki-laki. Keduanya—payudara dan penis—bersifat libidis, yaitu membangkitkan nafsu birahi secara instinktif. Kedunya adalah sumber kenikmatan seksual yang bisa dinikmati secara oral.

Lebih lanjut, Germaine Greer menyebut tubuh yang indah dan seksi, wajah jelita, kulut cemerlang, payudara montok adalah paket yang dikejar hampir setiap kaum perempuan agar kecantikannya menyamai para dewi yang hidup dalam dongeng. Mengapa harus menjadi seorang dewi, jika tubuhnya hanya menjadi objek permainan kaum laki-laki? Sementara itu, ada peran lain yang lebih penting menanti.

Menurut Betty Freidan, tokoh feminis yang menulis buku The Feminine Mystique, para perempuan yang terjerumus ke dalam gelapnya gua-gua masochism bukanlah atas kehendaknya. Melainkan karena kaum laki-laki hanya menghargai feminitas sebagai objek seksual belaka.

Jika kaum lelaki menghargai feminitas secara keseluruhan, yang terjadi tidak akan demikian, sehingga kaum perempuan punya peran lebih luas seperti peran kaum lelaki di masyarakat. Ini yang mendorong kaum feminis liberal berjuang keras untuk punya hak yang sama di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, dan lingkungan hidup seperti halnya kaum laki-laki (Naning Pranoto, 2010).

Dengan demikian, tubuh tidak hanya menjadi indah dengan atribut keindahan seperti di atas. Perempuan sudah selayaknya menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia dapat lebih berperan dalam banyak hal.

Simone de Beauvoir dalam The Second Sex merekomendasikan kemandirian perempuan. Ia tampak membela perempuan apa yang ditempatkannya lain, ditentukan oleh laki-laki yang dinamakan sebuah insistensi pada semacam subjektivitas laki-laki yang dicapai perempuan sendiri. Perempuan bebas dari laki-laki sebagaimana banyak yang membacanya, sejumlah perempuan mengambil milik dan kekuatan yang ditujukkan laki-laki, melakukan apa yang dilakukan laki-laki.

Apa yang diperlukan, beberapa orang memberi alasan, adalah bukan perempuan yang menjadi seperti laki-laki tetapi bahwa manusia, secara umum harus mengubah asal muasal dunia yang didominasi oleh laki-laki sedemikian rupa caranya sehingga perempuan bebas menjadi perempuan, tidak sekadar perempuan yang bertindak seperti apa yang dilakukan oleh laki-laki. Apa yang keliru dengan banyak keterangan, adalah androsentivitas dan solusinya tidaklah melihat otentisitas sebagai hidup maskulin, tetapi menyangkut hidup individual apa pun jenis kelaminnya (James Garvey, 2010).

Memiliki Jiwa
Di zaman serba cepat sekarang ini, perempuan mempunyai peran lebih dalam turut serta membangun peradaban. Kekaryaan perempuan ditunggu di era sekarang ini. Perempuan-perempuan yang masih terjebak pada rutinitas dan kemolekan diri hanya akan menjadi “masalah” di era kekinian.

Tubuh perempuan adalah modal untuk bergerak. Tubuh tidak hanya untuk dipercantik, namun sikap juga perlu untuk diperbaiki. Kemolekan tubuh tanpa kekuatan pribadi yang membudaya hanya akan semakin mengerdilkan peran perempuan.

Padahal laki-laki dan perempuan adalah setara. Kesetaraan itu berpangkal pada asal penciptaan manusia yang diciptakan dari satu jiwa (an-Nisa’, 4:1). Hadis-hadis yang menyatakan bahwa perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk laki-laki merupakan pernyataan yang perlu dipahami maknanya secara simbolik. Dengan pernyataan itu, Rasulullah (juga para pencipta tradisi Perjanjian Lama) tidak bermaksud untuk menunjukkan bahwa perempuan itu merupakan second creature, tapi untuk menunjukkan pandangan bahwa perempuan itu merupakan manusia yang memiliki jiwa.

Karena merupakan makhluk yang berjiwa, maka perempuan, memiliki otonomi. Di dunia ini, sebagaimana laki-laki, dia juga merupakan khalifah dan kehambaan itu merupakan sesuatu yang melekat padanya sesuai dengan kemanusiaannya. Keduanya tidak akan terlepas darinya selama dia masih menjadi manusia.

Kemudian, karena sama-sama memiliki otonomi, maka relasi laki-laki dan perempuan harus didasarkan pada prinsip-prinsip kesetaraan (al-Isra’, 17:70), keadilan (al-Maidah, 5:8), dan saling menghormati (an-Nisa’, 4:86). (Hamim Ilyas, 2001).

Menilik argumentasi di atas, selayaknya laki-laki tidak memperlakukan perempuan bak hiasan. Laki-laki dan perempuan punyak hak yang sama membangun peradaban.
Lebih lanjut, tingginya angka kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan hanya akan semakin memperlambat laju pembangunan. Perempuan akan menderita. Padahal mereka adalah ibu dari generasi yang akan datang.

Kekerasan terhadap perempuan atas nama apapun merupakan perbuatan biadab. Kekerasan terhadap perempuan pun mencerminkan betapa masih banyak laki-laki yang hanya menikmati kemolekan tubuh, tanpa mengajak mereka untuk bersama-sama membangun keadaban publik.
Pada akhirnya, kekerasan terhadap perempuan sudah selayaknya diakhiri. Pasalnya, laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam membangun kebangsaan dan keindonesiaan. (Harian Joglosemar, Kamis, 5 Desember 2013)


Jumat, 06 Desember 2013

Membangun Semangat Kebangsaan

Oleh Benni Setiawan*)


Setiap tanggal 16 November, dunia memperingati Hari Internasional untuk Toleransi. Meskipun lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Unesco sudah mengadopsi peringatan tersebut sejak 1995, Indonesia baru memperingatinya pada tahun 2008.

Kekerasan atas nama agama masih saja mewarnai kehidupan bangsa ini. Berdasarkan catatan Setara Institute selama periode Januari hingga November 2013, angka kekerasan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan masih sangat tinggi.

Pemantauan di 23 provinsi selama ini menunjukkan, masih terjadi 213 peristiwa dengan 243 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Umumnya praktik intoleransi, kekerasan, dan diskriminasi terjadi karena ketidaktegasan negara dalam menghadapi praktik-praktik tersebut.

Dalam kasus penyelenggelan masjid Al-Muslih, tempat ibadah jemaah Ahmadiyah di Sumedang, Jawa Barat, pada 26 Oktober 2013 lalu, misalnya, pihak aparat keamanan seolah diam saja.

Lalu, pertanyaannya, mengapa hal seperti itu masih selalu saja berulang? Mengapa bangsa Indonesia seakan tidak pernah belajar untuk menghormati keyakinan orang lain?

Bertentangan dengan Konstitusi Padahal, UUD 1945 telah menjamin kemerdekaan beragama dan berkeyakinan. Bahkan UUD mengamanatkan negara menjadi benteng bagi terciptanya kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jaminan UUD ini ternyata belum mampu dibaca secara baik oleh warga negara. UUD seakan menjadi pembenar kebijakan yang menguntungkan saja. UUD tidak terpakai jika hal itu merugikan kepentingan pribadi dan kelompok.

Potret nyata inilah yang seringkali menggusur kearifan. Kearifan sebagai penanda kemanusiaan telah luntur dan pudar. Kearifan dalam beragama pun tertutupi oleh kerak kebencian. Kebencian dan menganggap orang lain liyan telah mengenyahkan pandangan teologis yang inklusif.

Teologi inklusif berubah menjadi eksklusif. Seseorang menganggap apa yang diyakini paling benar dan menyalahkan pandangan keagamaan orang lain. Ketika hal tersebut telah merasuk dalam kehidupan seseorang, maka tidak aneh jika kekerasan menjadi hal yang lumrah.

Kekerasan tersebut digerakkan oleh kesadaran teologis yang menjadikan seseorang bergerak atas nama Tuhan. Apa yang mereka lakukan adalah benar dan bahkan diperintahkan oleh Tuhan.

Padahal, dalam agama (Islam), sudah dijelaskan secara gamblang bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (2: 256). Bahkan, dalam Surat al-Kahfi (18: 29) dijelaskan bahwa “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.”

Dengan demikian, pemaksaan pindah keyakinan dari “Ahmadiyah ke Islam yang diakui oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)” itu bertentangan dengan akal sehat (aqli) dan ketentuan Allah (naql). Keyakinan merupakan pilihan historis seseorang.

Ia lahir dari sebuah kesadaran akal sehat dan ketenteraman batin yang tidak seorangpun kuasa untuk menyalahkan pilihan itu. Keyakinan beragama pun seakan menjadi bukti bahwa proses pencarian unsur-unsur ketuhanan (lahut) bersinergi dengan unsur-unsur kemanusiaan (nasut).

Azyumardi Azra (2012), dengan mengutip Ali Syariati, pemikir terkemuka Iran, mengemukakan tarik menarik antara unsur-unsur lahut dan nasut dalam diri manusia merupakan pergulatan perennial, abadi. Jika manusia beragama memenangkan pergulatan itu dan, dengan demikian, berhasil mengembangkan unsur-unsur lahut-nya, maka ia tidak hanya dapat kembali kepada fitrahnya tetapi juga sekaligus dapat mengangkat harkatnya lebih mulia daripada malaikat sekalipun. Tetapi, sebaliknya, jika manusia kalah dalam pergumulan itu dan lebih dikuasai unsur-unsur nasut-nya, maka ia akan dan dapat terjerumus ke dalam abyss, lubang kenistaan terdalam tanpa dasar.

Keberagamaan yang Sakit
Lebih lanjut, ketika terjadi pemaksaan terhadap keyakinan dan keagamaan pun seakan membenarkan apa yang pernah diungkapkan oleh William James. Kira-kira satu abad yang lalu, William James dalam The Varienties of Religions Experience: A Study in Human Nature membuat kategorisasi keberagamaan. Ada keberagamaan yang sehat (healthy minded) dan keberagamaan yang sakit (sick soul).

Tanda-tanda keberagamaan yang “sehat” antara lain adanya sikap dan pandangan dunia (world view) yang optimistik, ekstrovert, dan gradual. Mereka adalah orang-orang yang memiliki harapan, terbuka, dan menekankan proses berkesinambungan dalam mencapai cita-cita.

Ciri-ciri keberagamaan yang “sakit” adalah world view yang bercorak pesimistik, introvert dan non-gradual. Orang yang masuk dalam kategori ini senantiasa putus asa dan berwajah murung. Pergaulan dibatasi dalam internal kelompoknya saja, namun jika memiliki keinginan, mereka tidak memerhatikan proses panjang yang harus dilalui.

Keberagamaan yang sakit atau bersifat ekstrinsik sangat mudah menjadi target bidik para “provokator” yang dengan kepentingannya ingin mengail di air keruh. Masyarakat akan menjadi sangat rentan, rapuh, frigile, mudah pecah, dan mudah terpancing oleh isu. Mereka bagaikan rumput kering yang mudah dibakar (suggestibility). Keberagamaan yang bercorak ekstrinsik memang sangat rentan (M. Amin Abdullah, 2012).

Kerentanan tersebut terbukti dengan tidak kunjung kondusifnya hubungan antar warga terkait Jemaat Ahmadiyah. Sebagian masyarakat masih menganggap Ahmadiyah bukan bagian dari keberagamaan di Indonesia. Kondisi yang demikian kemudian menimbulkan ketakutan bagi Jemaat Ahmadiyah. Penyegelan rumah ibadat merupakan teror psikis dan fisik yang paling nyata.

Kondisi tersebut selayaknya disudahi. Melalui semangat kebangsaan dan keindonesiaan selayaknya kita menjadi penyokong keberagamaan yang sehat. Keberagamaan yang menekankan prinsip-prinsip keterbukaan dan toleransi, menghargai keyakinan dan pilihan hidup seseorang sebagai insan merdeka. Insan yang senantiasa gandrung pada kedamaian, hidup berdampingan, dan menghormati keragaman dalam perbedaan.

Masyarakat Indonesia selayaknya mempraktikkan keberagamaan yang sehat, yaitu dengan menggelorakan dialog yang didasarkan ilmu pengetahuan, bukan saling memaksakan. Melalui dialog ini harapan dan keterbukaan akan menjadi hal lumrah, sehingga semua pihak mempunyai harapan besar membangun kesinambungan dan menegakkan nalar kebebasan beragama dan keyakinan.

Melalui proses kebangsaan dan keberagamaan, seluruh komponen bangsa ini mampu bersinergi dalam gerak langkah membangun keadaban publik. Keberagamaan kemudian menjadi perekat kebangsaan yang menjadi ruh bangsa.

Pada akhirnya, selayaknya kebangsaan dan keberagamaan bukan hanya seruan dalam teks UUD 1945 dan teks suci keagamaan. Namun, hal itu harus mewujud dalam keseharian dengan sikap menghormati dan hidup berdampingan dan bekerja sama walaupun berbeda dalam keyakinan dan keagamaan. Semoga. Wallahu a’lam. (ID, 16 November 2013)

Benni Setiawan
Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta
(UNY), peneliti Maarif Institute for
Culture and Humanity

Intoleransi Mengusik Kebangsaan (Catatan Hari Toleransi Internasinal 16 November 2013)

Oleh Benni Setiawan*)


Kebangsaan dan keindonesiaan hari ini mulai terkikis. Salah satu indikasinya adalah semakin masifnya intoleransi, tindak kekerasan, permusuhan, dan perilaku menyimpang lainnya. Seperti “gugatan” sebagian orang kepada Lurah Susan. Lurah Susah yang memimpin Lenteng Agung disoal oleh sebagian masyarakat. penolakan ini bukan berdasarkan kinerja, namun berdasarkan agama. Sungguh ironis. Bangsa dengan pluralitas agama ini masih bersitegang dan memandang pemimpin yang berbeda agama dari komunitas utama.

Bangsa Indonesia seakan tidak pernah mau belajar mengenai perbedaan. Padahal sejak era kemerdekaan para foundhing fathers mengajarkan hal ini kepada bangsa. Penyoalan keberadaan seseorang pemimpin berdasarkan agama sungguh mengusik akal sehat. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa keberagamaan belum mampu menjadi perekat kebangsaan dan keindonesiaan?

Makhluk Terbaik
Emha Ainun Nadjib, dalam Markesot Bertutur (2012) menyebut manusia itu rata-rata adalah tukang dusta! Mereka pura-pura menyembah Tuhan, padahal setiap saat mereka tidak menomorsatukan Tuhan. Mereka merusak alam. Mereka rakus dan serakah. Mereka hanya tahu kepentingan diri sendiri. Mereka itu pencuri-pencuri yang mengaku alim!

Manusia senantiasa bernafsu untuk menumpuk harta walaupun dengan cara yang haram. Korupsi, kolusi, nepotisme manjadi hal biasa. Korupsi pun dilakukan serempak dan saling menutupi kesalahan kawan. Maka, tidak heran jika kelak di alam kubur ketika ditanya, “Man Rabbuka?” (Siapa Tuhanmu), manusia banyak yang menjawab, “Mercy, Rabbi” (Mercy Tuhanku).

Saat itu mulut tidak kuasa menjawab, melainkan realitas sejarah kita selama hidup di dunia. Jadi, Tuhan kita atau apa saja yang kita nomorsatukan dalam hidup, mungkin harta benda, hedonisme, popularitas, karier pribadi, egoisme, Mercy, Tiger, atau apa saja yang memang kita sembah, kita utamakan dari lain-lainnya dalam kehidupan. Nafsu dan kekhilafan hidup itu sekadar menjadi rumbai atau “hiasan dinding jiwanya”—namun hakikatnya tetaplah apa yang dia nomorsatukan.

Menilik betapa durhakanya manusia, maka tidak mengherankan jika bumi, gunung dan laut geram. Mereka pun berdoa kepada Tuhan untuk menghancurkan makhluk berakal ini. Bumi, gunung, dan laut, beralasan, manusia itu rata-rata adalah tukang dusta! Mereka pura-pura menyembah Tuhan, padahal setiap saat mereka tidak menomorsatukan Tuhan. Mereka merusak alam, mereka rakus dan serakah, mereka hanya tahu kepentingan diri mereka sendiri. Mereka itu pencuri-pencuri yang mengaku alim!

Namun, Tuhan Maha Penyayang. Dengan bijak Tuhan berseru kepada bumi, gunung, dan laut. “Wahai gunung, laut, dan bumi, tenanglah! Tingkat kemakhlukan kalian lebih rendah daripada manusia. Jadi, kalian tidak akan sanggup menghayati betapa Aku amat mencintai manusia. Manusia adalah masterpiece ciptaan-Ku. Mereka itu ahsanu taqwim. Tenanglah kalian. Aku Maha Mengerti apa yang Aku kehendaki. Dan ketahuilah, seandainya engkau yang menciptakan manusia, akan demikian juga cintamu kepada manusia…” (Emha Ainun Nadjib: 2012).

Peradaban Utama
Kecintaan Allah terhadap manusia ini selayaknya menjadikan manusia selalu semangat untuk melakukan kebaikan. Pasalnya, keimanan tanpa amal saleh hanya akan menjadikan diri kita menjadi manusia tuna sosial. Sebaliknya, amal saleh tanpa keimanan akan menyeret manusia pada keangkuhan, riya, dan melalaikan Allah, sebagai Dzat Yang Maha Berkehendak.
Melalui konsepsi tersebut, tatanan kebangsaan selayaknya terbangun atas dua dasar utama, yaitu iman dan amal saleh (perbuatan baik). Dua hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dua hal tersebut selayaknya mewujud dalam satu langkah dan tindakan.
Sayangnya dua hal tersebut belum menjadi kesatuan langkah bagi bangsa Indonesia. Maka tidak aneh jika kebangsaan semakin rapuh dan cenderung mendistorsi makna kemanusiaan.
Proses keberagamaan dalam kehidupan sosial selayaknya menjadi spirit kebangsaan. Bangsa Indonesia selayaknya terus membangun etos kerja peradaban. Artinya, umat selayaknya tersadarkan dan segera bergegas untuk membina dan memperbaiki keadaan.
Umat selayaknya menjadi pelopor dalam kehidupan sosial. Umat menjadi pemimpin masyarakat berperadaban dengan cara giat bekerja. Segera menyelesaikan satu pekerjaan dengan kesungguhan jiwa dan keimanan dan bergegas melangkah menuju kerja selanjutnya.
Spirit ini tertuang jelas dalam al-Qur’an. “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap (Q.S. Alam Nasrah, 94: 7-8).
Ayat tersebut mengajarkan kepada umat Islam, khususnya, untuk senantiasa memiliki etos kerja membangun peradaban dalam bingkai ihsan (berbuat baik). Ihsan yang mewujud dalam kehidupan sosial dan membingkai keadaban bangsa menuju peradaban utama (baldatun thoyyibatun wa rabbun qhafur).
Kerja-kerja ini tidaklah ringan namun juga tidak berat. Berbekal tekad dan potensi yang ada, bangsa Indonesia akan mampu terlepas dari jerat disintegrasi.
Ketika bangsa ini tidak berlomba dalam kebaikan, dan malah terseret dalam disintegrasi dan intoleransi maka, kebangsaan akan hancur. Apalagi jika kepemimpinan diukur dari agama seseorang, bukan karena prestasi.
Pada akhirnya, sikap penolakan berdasarkan agama yang dialami oleh Lurah Susan, seakan mengusik kebangsaan kita. Kebangsaan yang dibangun dari jerih payah, kerja keras, dan prestasi, dikotori oleh perilaku sebagian orang yang masih memandang sempit berdasarkan agama. Padahal keberagamaan mengajarkan untuk senantiasa berbuat baik dan giat bekerja untuk kehidupan tanpa memandang agama.(Opini Sinar Harapan, Sabtu, 16 November 2013)


*)Benni Setiawan, Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity.




Muhammadiyah dan Tantangan Zaman

Oleh Benni Setiawan*)


Sejak Muktamar ke-46 di Yogyakarta, Muhammadiyah telah menyatakan diri berumur satu abad. Kini di usia 104 H/101 M, tantangan menghadapi perubahan zaman semakin nyata. Oleh karena itu, sebagai organisasi modern terbesar amal usahanya sedunia, Muhammadiyah selayaknya terus berkhidmat dalam pembangunan manusia.

Pembangunan manusia adalah serangkaian upaya membangun keunggulan dalam setiap amal usaha. Sebagaimana tema Milad tahun ini, “Meraih Keunggulan untuk Kemajuan Bangsa”. Keunggulan itulah yang selayaknya menjadi semangat ber-Muhammadiyah. Pasalnya, Muhammadiyah adalah gerakan tajdid. Keunggulan merupakan manifestasi dari tajdid itu sendiri. Melalui pembaruan dan inovasi maka keunggulan menjadi sebuah keniscayaan.

Lebih lanjut, dalam meraih keunggulan, Muhammadiyah selayaknya terus berkhidmat dalam bidang pendidikan dan ekonomi kreatif. Sebagai pelopor bidang pendidikan dan ekonomi kreatif, Muhammadiyah perlu terus mengkaji dan menggali kearifan lokal sebagai basis penguatan menghadapi tantangan global.

Kearifan lokal dalam bidang pendidikan misalnya, Muhammadiyah perlu untuk menjadikan lembaga sekolah sebagai tempat persemaian yang menyenangkan bagi peserta didik. Sekolah Muhammadiyah merupakan pendulum terciptanya himpunan manusia yang menghargai ragam budaya Nusantara. Di sekolah-sekolah Muhammadiyah selayaknya mengembangkan permainan-permainan tradisional yang sekarang sudah semakin punah. Melalui hal tersebut, keunggulan bangsa yang diancang Muhammadiyah tersemai atas realitas kebangsaan. Muhammadiyah pun tetap menjadi aset kebangsaan.

Demikian pula dengan ekonomi kreatif. Dalam struktur organisasi Muhammadiyah setidaknya ada dua Majelis yang bersentuhan langsung dengan hal tersebut. Yaitu Majelis Ekonomi (ME) dan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM). ME dan MPM merupakan dua kepanjangan tangan Muhammadiyah dalam menggelorakan semangat wirausaha mandiri. Melalui dua majelis ini, Muhammadiyah terus mengembangkan potensi masyarakat dalam menghadapi tantangan zaman. Selamat Milad Muhammadiyah, 18 November 2013.(Radar Surabaya, 18 November 2013)

*)Benni Setiawan, Kontributor buku, Satu Abad Muhammadiyah, Mengkaji Ulang Arah Pembaruan (2010).

Golkar (Bukan) Partai Karbitan

Oleh Benni Setiawan*)


Sejarah bangsa Indonesia mencatat, Partai Golkar—dahulu Golkar—merupakan kekuatan nyata dalam menyokong lajunya pemerintahan Orde Baru. Terlepas dari plus-minusnya, Partai Golkar, merupakan partai politik yang paling siap dalam melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa. Hal ini karena, Partai Golkar mempunyai sumber daya manusia yang telah dididik lama dalam hal politik. Politisi Partai Golkar bukanlah aktor karbitan. Ia mempunyai pengetahuan dan jam terbang tinggi dalam mengecap sistem demokrasi di Indonesia.

Dalam sejarah panjang sistem politik Indonesia, hanya Partai Golkar yang tidak menggunakan patron dalam setiap pemilu. Hampir tidak ada gambar foto ”penggede” partai bersanding dengan calon legislatif dari Partai Golkar. Hal ini tentunya berbeda dengan partai lama maupun baru yang bangga menjual sesepuh partai untuk mendulang suara.
Pencapaian suara Partai Golkar yang stabil sejak pemilu 1999 menunjukkan konsolidasi internal yang cukup baik. Bahkan dimasa sulit sekalipun (pemilu 1999), Partai Golkar masih mampu meraih dua besar parpol pemenang pemilu. Perolehan kursi di Senayan pun selalu di atas 100 kursi. Hal ini menunjukkan, kepercayaan (trust) rakyat Indonesia terhadap Partai Golkar masih tinggi.

Tingginya kepercayaan rakyat Indonesia terhadap Partai Golkar sudah saatnya dipelihara dan dibina. Artinya, pimpinan Partai Golkar harus menghormati dan menghargai suara rakyat ini dengan sebaik-baiknya. Memajukan kader sendiri dalam pilpres nanti menjadi salah satu upaya nyata menyelamatkan suara Partai Golkar.

Partai Golkar adalah partai masa depan. Jika Partai Golkar masih saja belum percaya diri dengan sumber dayanya, maka partai ini hanya akan ada dalam sejarah. Dikenang melalui pelajaran sejarah yang dihafal oleh peserta didik tanpa mengetahui hakikat dan maknanya.

Pada akhirnya, merupakan sebuah kewajiban bagi Partai Golkar ikut mewarnai dan mengisi sistem demokrasi di Indonesia. Sistem demokrasi presidensial yang tidak hanya hitam, putih, dan abu-abu yang penuh dengan kepura-puraan, namun sebuah sistem demokrasi kebangsaan yang penuh makna.(Radar Surabaya, Senin, 21 Oktober 2013)

*)Benni Setiawan, Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity.

Minggu, 15 September 2013

Cara Bijak Mengurai Aksi Teror


Aksi teror terhadap aparat kepolisian terus terjadi. Adalah Bripka Sukardi, anggota Kesatuan Provos Mabes Polri yang tengah mengawal truk bermuatan bahan konstruksi, ditembak oleh orang yang tak dikenal. Bripka Sukardi tertembak di empat bagian di dadanya.

Insiden 10 September tersebut seakan menambah panjang daftar teror terhadap aparat keamanan. Pada 27 Juli 2013, anggota Satlantas Polres Jakar ta Pusat Aipda Fatah Saktiyono ditembak di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Lantas, pada 7 Agustus 2013, anggota Polsek Cilandak Aiptu Dwiyatno meregang nyawa ditembus peluru panas, juga di kawasan Ciputat. Teror pun terjadi pada 16 Agustus 2013. Dua anggota Polsek Pondok Aren, Tangerang Selatan, yakni Aiptu Koeshendratna dan Bripka Ahmad Maulana meninggal di tempat akibat berondongan senjata api.

Teror terhadap aparat keamanan ini tentunya meresahkan dan menimbulkan tanda tanya besar. Jika polisi saja yang mendapat amanat dari negara menjadi korban teror, bagaimana dengan masyarakat sipil? Mengapa pelaku begitu nekat melakukan hal ini?

Pendekatan Kemanusiaan
Beberapa pengamat menyatakan bahwa aksi ini merupakan serangkaian balas dendam kelompok teroris. Kelompok-kelompok teroris yang kini mulai bangkit melalui jaringan sel kecil, ingin menyatakan diri bahwa mereka masih ada (eksis). Mereka pun siap melakukan serangkaian aksi untuk membalas dendam rekan-rekannya yang telah duluan “syahid” di tangan polisi.

Walaupun pendapat tersebut masih perlu diuji kesahihannya, mengaitkan teror terhadap polisi dengan aksi terorisme mungkin ada benarnya. Selama ini kita menyaksikan bahwa penumpasan terorisme dilakukan oleh kepolisian, dalam hal ini Densus Antiteror 88. Densus seringkali melakukan tindakan tegas dengan menembak mati terduga teroris. Aksi ini menimbulkan kecaman dari penggiat hak asasi manusia (HAM) dan juga kelompok-kelompok yang bersimpati terhadap gerakan itu. Bahkan, dalam sebuah wawancara di televisi, peneliti dan pengamat intelejen,

Wawan H Purwanto, menyatakan pascapenembakan terduga teroris di Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu, ia didatangi beberapa orang yang siap “syahid” untuk membalaskan dendam saudara sesame muslim. Jika itu benar, berarti kini Indonesia tengah dalam kepungan teror. Polisi meneror masyarakat (baca: kelompok masyarakat) dan sebaliknya, masyarakat meneror polisi. Sebuah kondisi yang sangat meresahkan.

Guna mengurangi konflik atau keteganggan itu, semua pihak selayaknya mampu mawas diri. Artinya, pihak berwajib (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, BNPT dan Densus 88) selayaknya mengubah cara penumpasan teroris. Penangkapan teroris dengan mengacungkan senjata tidak akan pernah efektif. Penumpasan dengan senjata hanya akan semakin menyuburkan kekerasan baru. Kelompok- kelompok yang tidak terima dengan perlakuan itu akan dengan sekuat tenaga melakukan balas dendam.

Karena itulah pendekatan (approach) yang lebih manusiawi diperlukan dalam memutus mata rantai kekerasan ini. Penangkapan terduga teroris dengan jalan damai tanpa senjata akan lebih efektif dalam melumpuhkan jaringan ini. Mereka dapat dibina dan “mendapat” pemahaman serta pandangan yang lebih inklusif, sehingga dapat membantu kepolisian guna mengetahui jaringan-jaringan baru yang terus hidup.

Peran Pemuka Agama
Scott Appleby, dalam The Ambivalance of the Second (2000) menyebutkan, kekerasan keagamaan terjadi ketika para pemimpin ekstremis agama tertentu, dalam reaksi mereka terhadap apa yang mereka pandang sebagai ketidakadilan dalam sebuah lingkungan struktural suatu masyarakat, berhasil memanfaatkan argumenargumen keagamaan (atau etniskeagamaan) untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok lain.

Penolakan keagamaan terhadap berbagai kekuatan ekstremis dimungkinkan jika para pemimpin agama berhasil menumbuhkan militansi anti-kekerasan (non-violent militancy), baik sebagai norma agama maupun sebagai strategi untuk menentang dan mengatasi ketidakadilan dalam sebuah lingkungan struktural masyarakat.

Upaya-upaya perdamaian oleh agama terjadi ketika para pemeluk agama yang militan mau mendedikasikan diri mereka kepada sikap dan aksi-aksi tanpa kekerasan, memiliki kemampuan teknis dan professional untuk mencegah, memberi sinyal awal, memerantai dan melakukan unsur-unsur lain ke arah transformasi konflik dan kekerasan (Rizal Panggaben dan Ihsan Ali- Fauzi, 2011).

Di sinilah peran penting pemuka agama dalam membina umatnya. Pemuka agama yang dalam pandangan pemerintah dianggap militan selayaknya dirangkul dan diajak berdialog. Menjauhi mereka atau menegasikan mereka dalam sistem berbangsa dan bernegara hanya akan menimbulkan kebencian baru yang dapat menyulut konflik dan kekerasan.

Pemerintah selayaknya memberikan pemahaman dan membekali mereka kemampuan teknis dan nonteknis untuk dapat meredam amarah umatnya. Pembinaan ini tentu bukan bermaksud menggurui dan atau menjadikan mereka sebagai objek proyek kenegaraan. Mereka selayaknya ditempatkan sebagai subjek (pelaku aktif) dalam membina kedamaian.

Teror yang beberapa bulan ini menghantui pihak kepolisian sudah selayaknya dijadikan momentum bagi pihak terkait untuk mengoreksi apa yang kurang pas dengan program deradikalisasi hari ini. Tanpa mau mengoreksi dan malah meningkatkan serangkaian sweeping dengan moncong senjata, maka teror akan terus terjadi.

Semakin tinggi intensitas teror di Republik ini menjadi penanda bahwa bangsa ini jauh dari sikap beradab. Sebuah sikap yang menjadi amanat Pancasila dan UUD 1945. Hal ini juga menunjukkan betapa manusia Indonesia masih terbelenggu dalam sekat primordialisme. Mereka masih suka mengagungkan kelompok dan mengenyahkan kelompok lain yang berada di sekitar kita.

Pada akhirnya, selama penanganan terorisme di Indonesia masih menggunakan kekerasan dan senjata, teror akan terus ada dan semakin masif. Mengubah strategi dan memutar arah kepada haluan yang lebih manusiawi akan mengantarkan bangsa Indonesia menuju keadilan sosial dan keadaban publik (ID.14-15/09/2013).

Benni Setiawan, dosen pada Universitas Negeri Yogyakarta, peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity

Kamis, 29 Agustus 2013

Gagasan Kemanusiaan Cak Nur

Oleh Benni Setiawan
Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity


Gagasan, Solo Pos, Kamis, 29 Agustus 2013

Hari ini, 29 Agustus 2013, genap delapan tahun bangsa Indonesia kehilangan tokoh besar pembaru pemikiran Islam, Nurcholish Madjid. Cak Nur, begitu ia biasa disapa, senantiasa menyerukan pentingnya kemanusiaan dalam keberagamaan.

Bagi Cak Nur, kemanusiaan tidak hanya berkepentingan pada pengembangan-pengembangan kekuatan produktif dan teknologi, tetapi juga pada makna hubungan-hubungan sosial manusia dan budi pekerti. Dengan demikian, mengutip Ahmad Syafii Maarif, Islam harus fleksibel atas perubahan yang terjadi.

Kitab suci tidak boleh tersubordinasi oleh kekuasaan yang mengatasnamakan semangat Islam, dan selanjutnya malah melakukan tirani atas nama Islam. Buya Syafii menekankan pentingnya dimensi etik dalam praktik kenegaraan ketimbang formalisme.

Dasar-dasar kenegaraan itu adalah keadilan untuk kemanusiaan, dan itulah yang menurutnya dituntut Alquran, bukan bentuk formal negara Islam (Budhy Munawar-Rachman: 2010). Apa yang dinyatakan Buya Syafii tersebut selaras dengan gagasan Nurcholish Madjid.

Cak Nur (1998) menyatakan dari tindakan yang lebih prinsipiil konsep ”negara Islam” itu adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara negara dan agama. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya adalah rasional dan kolektif.
Sedangkan agama adalah aspek kehidupan lain yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi. Agama dan negara memang tidak dapat dipisahkan. Namun, antara keduanya itu tetap harus dibedakan dalam dimensi dan cara pendekatannya.

Guna mengurus dan mengawasi motivasi atau sikap batin warga negara tak mungkin pula memberi predikat keagamaan kepada negara karena suatu negara tak mungkin menempuh dimensi spiritual. Sedangkan dalam Islam dinyatakan tidak dibenarkannya suatu lembaga kekuasaan rohani atau rabbaniyah.

Setiap tindakan yang mengarah ke kekuasaan rohani atas orang lain (hal ini tak mungkin terjadi) adalah tindakan yang mengarah ke sifat ketuhanan. Jadi, ini merupakan tindakan menyaingi Tuhan (musyrik).

Kehidupan kebangsaan dan keindonesiaan selayaknya tersemai secara inklusif (terbuka). Keterbukaan ini ditandai dengan rasionalitas. Rasionalitas adalah menggunakan akal pikiran guna menemukan kebenaran-kebenaran. Akan tetapi, kebenaran-kebenaran yang ditemukan itu adalah kebenaran insani, dan karena itu terkena sifat relatifnya manusia.
Menurut Islam, rasio dapat menemukan kebenaran-kebenaran. Namun, kebenaran-kebenaran itu relatif, sedangkan kebenaran yang mutlak hanya dapat diketahui oleh manusia melalui sesuatu yang lain yang lebih tinggi daripada rasio, yaitu wahyu (revelation) yang melahirkan agama-agama Tuhan melalui para nabi.

Lebih lanjut, cendekiawan yang lahir pada 17 Maret 1939 di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur ini menegaskan cita-cita keislaman dan cita-cita keindonesiaan bertemu dalam Pancasila sebagai ideologi terbuka yang harus ditafsirkan secara ”proaktif”.
Dengan semangat Sumpah Pemuda dan nilai-nilai luhur Pancasila maka dimensi negatif politik identitas yang bermuatan agama, etnisitas, dan ideologi, akan dikawal dan diarahkan demi memperkokoh semangat integrasi nasional, sesuatu yang mutlak bagi masa depan Indonesia sebagai bangsa dan negara (Ihsan Ali Fauzi dan Samsul Riza Panggabean: 2010).

Kini bangsa Indonesia menghadapi gelombong politik identitas berbalut baju agama (Islam). Gejala sosial ini selayaknya menjadi perhatian utama semua pihak.

Teks Dalam Konteks

Pemaknaan teks dalam konteks keagamaan dan kemanusiaan selayaknya terus digelorakan dalam setiap kajian. Ide kebangsaan dan kemanusiaan sering kali masih dipahami dalam platform yang sempit yaitu pluralisme, sekularisme, dan liberalisme.

Penolakan sebagian orang kepada tiga konsepsi tersebut tidak lepas dari kurangnya sosialisasi dan pemahaman yang baik mengenai konsepsi itu. Pengenalan dan pengejawantahan konsepsi pluralisme, sekularisme, dan liberalisme dalam proses pembaruan pemikiran Islam selayaknya menjadi perhatian khusus.

Kita mempunyai tanggung jawab moral guna ”menyadarkan” masyarakat akan arti penting tiga konsepsi tersebut dalam bingkai kebangsaan dan kenegaraan. Agama tentunya tidak akan tinggal diam dalam memahami gejolak pemikiran dan kedewasaan masyarakat.

Agama menjadi rujukan utama dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul di tengah perubahan masyarakat itu sendiri. Namun, sering kali agama belum mampu memberi jawaban atas persoalan yang timbul. Wajah agama seakan baku, kaku, dan tunggal. Padahal agama mempunyai banyak wajah dan penafsiran.

Agama sangat menekankan arti penting persatuan, persaudaraan, dan tidak membeda-bedakan masyarakat. Islam, misalnya, secara tegas menyatakan yang membedakan hanyalah ketakwaan seseorang. Ketakwaaan akan membebaskan umat dari belenggu ketidakadilan.

Ketidakadilan yang muncul mengiringi perjalanan proses keagamaan dapat kita lihat dengan banyaknya peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan agama. Agama dijadikan legitimasi oleh seseorang untuk menghakimi dan menyerang kelompok lain yang tidak sepaham. Mereka sering kali mengerahkan masa dengan bertindak anarkistis, bahkan brutal.

Cak Nur (1998) menyebut nilai-nilai keagamaan hendaknya diwujudkan menjadi kemanusiaan yang aktif, menjiwai kegiatan-kegiatan praktis manusia, guna mewujudkan apa yang sering kita sebut masyarakat adil dan makmur (dunia [sekuler] dan ilmiah) yang mendapat rida Tuhan Yang Maha Esa (ukhrawi atau religius dan spiritual).

Esensi kemanusiaan tidak terbatas pada pertumbuhan material semata-mata, melainkan meliputi pengembangan sepenuhnya diri manusia itu sendiri dan pembebasannya, sehingga manusia akan dapat menumbuhkan cipta-rasanya, mengembangkan bakat-bakat dan kecerdasan untuk menghayati kekayaan dan keindahan dunia.

Pada akhirnya, gagasan kemanusian ala Cak Nur selayaknya kembali digelorakan di tengah semakin menjauhnya bangsa dari keadaban publik. Kemanusiaan dalam bingkai keberagamaan menjadi mantra kehidupan yang dapat mewujudkan rasa aman, tenteram, adil, dan makmur (baldatun thoyibatun wa rabbun ghofur).

Selasa, 30 Juli 2013

Pemimpin Harus Mampu Memberi Inspirasi

Oleh Benni Setiawan


30 Juli 2013 | Bali Post, Opini

Hannah Arendt (1906-1975), filsuf Jerman keturunan Yahudi, warga negara Amerika Serikat, mengingatkan praktik demokrasi liberal menyisakan masalah. Salah satunya adalah menempatkan kekuasaan bukan sebagai ruang artikulasi kebebasan warga, melainkan sebagai ruang birokratisasi dan administrasi segi-segi kehidupan. Arendt pun menyebut demokrasi modern, lebih menonjolkan prosedur, struktur, dan sistem; bukan subjek politik yang autentik. Demikian pula prasangka-prasangka telah mendegradasi politik sebagai medium dominasi, bukan medium pembebasan (Agus Sudibyo, 2012).

Apa yang diretas Arendt tersebut seakan mewujud dalam sistem demokrasi di Nusantara. Kita secara gamblang melihat banyak kepala daerah terseret masalah korupsi. Tidak jarang mereka harus bermalam di hotel prodeo dalam beberapa tahun. Namun, wajah demokrasi Indonesia tidak sebopeng itu. Masih ada kepala daerah (bupati, wali kota, gubernur) melakukan upaya ''menghidupkan'' demokrasi autentik. Demokrasi autentik adalah upaya seseorang atau sekelompok orang menggerakkan politik memiliki makna kebebasan, penghargaan terhadap keberagamaan, dan solidaritas antarwarga masyarakat.

Mereka mempunyai keunikan dalam membangun daerah. Berbekal potensi diri dan lingkungan mereka tampil menyapa masyarakat. Mereka menggerakkan seluruh potensi masyarakat dan sumber daya alam guna kemakmuran bersama.



Kemanusiaan

Mengubah wajah birokrasi yang rumit menjadi birokrasi berbasis kemanusiaan. Artinya, birokrasi selayaknya seperti menara air yang menghadirkan manfaat bagi rakyat kebanyakan. Birokrasi yang nyata hadir dan omni present menjawab permasalahan rakyat akan memantik harapan dan memupus segala antipati yang ada terhadap pemerintahan.

Seorang pemimpin selayaknya mengejawantahkan pengabdian kepada masyarakat dengan semangat pamong (pelayan, pengurus pemerintahan). Pamong pun bermakna seorang pemimpin bukanlah penguasa. Namun, dia adalah pelayan yang menyenangkan untuk rakyatnya. Manifestasi dari sikap melayani adalah program kerja pro-rakyat. Program kerja tersebut pun lahir dari keresahan masyarakat, bukan dari nafsu atau keinginan seorang pemimpin. Dengan demikian, langkah kerja seorang pemimpin tertata dan benar dibutuhkan oleh masyarakat, bukan program penuh kemunafikan (pencitraan).

Selain itu, pemimpin harus menjadi penjaga moral dan memimpin dengan etika. Tindakan korupsi dalam birokrasi bisa terjadi karena nilai-nilai etika tidak lagi dipakai. Nilai-nilai yang bersifat preventif itu sengaja dilanggar, sehingga pelaku korupsi tidak merasa malu bertindak seperti itu.

Etika itu pun telah mendorong kesadaran baru birokrasi yang humanis. Birokrasi yang mendorong aparatur pemerintah bertindak atas nama kemanusiaan, mendorong meritokrasi (penghargaan atas prestasi), dan akuntabilitas pelayanan publik.

Lebih lanjut, pemimpin selayaknya melakukan inovasi dan terobosan-terobosan dalam membangun sebuah wilayah. Melalui inovasi, sikap keterbukaan, kerendahan hati, dan gagasan membangun yang bersinergi dengan kekuatan masyarakat.



Cinta Kasih

Pemimpin pun merupakan pembelajar sejati. Belajar sepanjang hayat merupakan modal utama yang harus dimiliki oleh setiap individu yang menghendaki masa depan hidupnya cerah benderah. Sekolah yang paling nyata adalah kehidupan itu sendiri yang dapat diperoleh dengan merefleksikan pengalaman.

Hal-hal tersebut menjadikan seorang pemimpin mampu menginspirasi bagi orang banyak. Inspirasi yang melecut semangat bagi orang banyak dalam mengarungi kehidupan yang penuh dengan tantangan ini. Melalui hal itu, pemimpin pun selalu memotivasi rakyatnya untuk bangkit dari keterpurukan kemalasan dan kebodohan. Hingga akhirnya rakyat perlahan bangkit menatap masa depan cerah.

Keberhasilan ini tak lepas dari sentuhan cinta kasih tanpa batas. Ia senantiasa menyapa warga dan memompa semangat untuk bangkit. Sentuhan tanpa menggurui berbekal pengalaman hidup inilah yang kemudian mengantarkan menjadi pemimpin masyarakat. Pemimpin yang melayani dengan keserhanaan dan cinta.

Kemajuan dan kemunduran daerah mau tidak mau bergantung pada visi, misi, dan strategi seorang pemimpinnya. Jika yang dimiliki suatu daerah adalah pemimpin yang visioner, maka harapan untuk mengejar kemajuan akan lebih mudah tercapai. Karena hanya dengan pemimpin yang visionerlah daerah mampu merumuskan visi yang jelas, rasional, dan berorientasi ke masa depan sehingga bisa mengantisipasi dan mentransformasikan tuntutan zaman serta mampu mengarahkan daerahnya untuk mencapai tujuan.

Seakan menjawab kritik Arendt di atas, pemimpin daerah harus gagah berani melawan arus demokrasi liberal yang tak tentu arah. Mereka membuka ruang publik masyarakat untuk berkontribusi terhadap pembanguan daerah. Mereka juga membuka diri terhadap partisipasi publik dalam membangun relasi kuasa yang berperikemanusiaan.

Medium pembebasan politik ala Arendt pun mewujud melalui gerak tanggap kepala daerah membangun sistem berkeadaban. Salah satunya melalui penciptaan sistem birokrasi yang melayani serta membuka artikulasi warga masyarakat.

Perwujudan sistem birokrasi berkeadaban pun muncul berbarengan dengan sinergi program kerja berbasis kearifan lokal. Kearifan lokal menjadi warna yang makin menghiasai keadaban publik. Kearifan lokal pun tidak hanya menjadi bumbu penyedap namun menjadi roh dalam setiap gerak dan langkah.

Kerja keras kepala daerah memantik harapan bahwa semangat demokrasi dan politik berkeadaban masih ada di Nusantara. Berbekal potensi diri dan bersinergi dengan kekuatan alam dan kesadaran masyarakat.

Sabtu, 20 Juli 2013

Menyoal Konsumerisme Ramadan

Oleh Benni Setiawan


Sudah menjadi tren, bulan suci Ramadan seakan menjadi pestanya para pemuja belanja. Pada bulan suci ini Masyarakat dijejali tawaran berbagai produk yang konon mendukung kelancaran dan kekhusukan dalam menjalan ibadah puasa.

Mental konsumtif rupanya telah merasuki relung bulan Ramadan hingga ke sendi-sendi terkecil. Hal ini dapat kita lihat dari keseharian masyarakat. Lihat saja, masyarakat yang dimanjakan dengan layanan kartu telepon seluler yang menyediakan layanan surat-surat al-Qur’an, Hadis Nabi, tausiyah Ramahan, hiburan lagu-lagu Islami, dan konten Islami lainnya. Layanan tersebut berbiaya murah bahkan gratis.

Belum puas dengan hal tersebut, produsen kartu seluler memanjakan pelanggannya dengan layanan gratis sampai tiga hari tiga malam dengan membayar harga yang murah. Belum lagi para perancang busana yang menjajakan pakaian khusus di bulan penuh berkah ini.

Seorang perancang busana kenamaan, misalnya, mengaku hanya menjual produknya di bulan Ramadan. Ia juga mengaku meraih keuntungan berlipat dari berjualan pakaian dengan harga antara Rp 80.000 sampai Rp 260.000. Bahkan ada seorang ibu rumah rangga yang membeli produk pakaian untuk Lebaran hingga satu lusin potong. Iklan besar di pelbagai media cetak maupun elektronik yang memajang harga diskon pun seakan melengkapi pesta tahun ini.

Pesta tampaknya terus berlanjut meski di tengah melambungnya harga pangan. Pemerintah pun sigap dengan mengambil langkah praktis, yakni mengimpor bahan pangan. Konon, impor dilakukan untuk menekan tingginya harga di pasar Indonesia. Rakyat pun dipaksa membeli bahan makanan yang tidak dipanen di kebunnya sendiri. Tentu, dengan harga yang cukup tinggi. Namun, ironisnya, mereka acuh terhadap realitas ini.

Mereka tetap saja doyan berbelanja dan tanpa sadar kocek terkuras untuk memuaskan nafsu raga. Tidak kalah dengan hal itu, tayangan televisi pun disulap menjadi bergenre Ramadan. Acara hiburan, lawak, kuis, dan sejuta polah tingkah seleb senantiasa menjadi teman dalam mengisi bulan Ramadan ini. Ada kesan seolah puasa menjadi sesuatu yang menyusahkan sehingga pemilik media berlomba “menghibur dengan kegembiraan”. Namun, semua itu sesungguhnya semu, tanpa makna.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa bulan Ramadan menjadi ajang unjuk diri dengan mengonsumsi seluruh produk “islami” daripada berderma kepada orang-orang lemah (mustadh’afin)?

Menggusur Local Wisdom
Dalam The Consumer Society: Myths & Structures, Jean Baudrillard menganologikan konsumsi pada masyarakat masa kini dengan bahasa dan sistem tanda dalam masyarakat primitif. Manusia sepanjang masa membutuhkan suatu simbol yang dipuja dan disembah. Jika dahulu ada pohon, patung hingga muncul cargo myth, masyarakat masa kini pun punya kultuskultus sendiri seperti terhadap kemasan benda-benda, citra (image), televisi, serta terhadap konsep kemajuan (progress) dan pertumbuhan (growth).

Baudrillard menyatakan sistem tanda baru dewasa ini adalah objek konsumsi, bukan sebagai benda itu sendiri sesuai daya gunanya. Masyarakat masa kini menempatkan apa yang dikonsumsinya sebagai symbol status, identitas, dan pengangkat rasa percaya diri. Makanya, isu dasar konsumerisme adalah kepemilikan status, kenyamanan, dan percaya diri (Herry-Priyono: 2003).

Dengan demikian, konsumerisme sudah menjadi ’tuhan’ baru dalam masyarakat modern. Kemodernan masyarakat ini belum lengkap tanpa membeli produk yang disesuaikan dengan momentummomentum tertentu. Mereka tidak memedulikan lagi berapa banyak rupiah yang harus dikeluarkan.

Perilaku masyarakat seperti ini telah menggusur dasar lokalitas adiluhur – nilai-nilai lokal (local wisdom) — seperti gotong royong, berderma kepada sesama, dan turut merasa prihatin terhadap kondisi tetangganya yang menderita.

Ironisnya, hilangnya local wisdom tersebut justru terjadi saat bulan Ramadan, di mana umat Islam justru diperintahkan untuk memperbanyak derma, berlatih disiplin, dan berperilaku hemat. Bulan Ramadan yang mulia malah dijadikan ajang memupuk rasa keakuan yang jauh dari spirit kebersamaan.

Mereka bangga makan di restoran dan berbelanja produk terbaru serta semakin menikmati indahnya hidup. Sedangkan orang miskin akan tetap bergelimangan dengan kesedihan dan ketidakberdayaan. Dengan demikian, sistem sosial masyarakat kian timpang.

Punya Visi Pembebasan
Makna puasa untuk pembebasan manusia dari keterkungkungan hawa nafsu pun telah hilang. Yang ada hanyalah manusia semakin bernafsu untuk berbelanja di mall dan menghabiskan uangnya untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Misi sosial puasa hanya menjadi bahan ceramah di mimbar masjid tanpa arti.

Puasa sudah seharusnya mempunyai visi pembebasan, yaitu pembebasan manusia dari keterkungkungan nafsu, sehingga manusia dapat saling berbagi, member maaf dan mendermakan sebagian harta yang dimiliki. Hal ini karena, di dalam harta kekayaan seseorang terdapat atau melekat hak orang miskin.

Puasa bukanlah ritual tahunan yang selalu diwarnai dengan aneka ragam hal instan berbau Islami. Lebih dari itu, puasa sudah saatnya dijadikan momentum bersama untuk merasakan penderitaan orang miskin, sehingga kita dapat berbagi dan saling memberi.

Ketika puasa hanya dimaknai dalam hal-hal konsumtif dan menjadikan manusia semakin boros, maka fungsi keadilan agama yang diperoleh melalui ibadah puasa akan hilang. Oleh sebab itu, masyarakat harus disadarkan bahwa puasa bukan momentum untuk semakin boros dan mengumbar hawa nafsu dengan belanja.

Pada akhirnya, mental konsumtif saat Ramadan sudah saatnya dihentikan. Jika tidak, Ramadhan hanya akan menjadi bulan pestanya kaum borjuis (kaya dan bermodal) di tengah penderitaan kaum proletar (miskin dan terlantar) yang makan sekali dalam sehari saja sudah sangat bersyukur.

Benni Setiawan, dosen pada Universitas Negeri Yogyakarta, peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity (ID.20/07/2013)

Jumat, 05 Juli 2013

Bijak Menyikapi Beda Awal Puasa

Oleh Benni Setiawan
Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta
Pengurus Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah.


Solo Pos, Jum'at Kliwon, 5 Juli 2013

Penetapan 1 Ramadan tahun ini mungkin terjadi perbedaan. Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid menetapkan ijtimak jelang Ramadan 1434 H terjadi pada hari Senin Pon, 8 Juli 2013 M pukul 14:15:55 WIB. Tinggi bulan pada saat terbenam matahari di Yogyakarta adalah +0044’59’’ (hilal sudah wujud). Pada saat Matahari terbenam tanggal 8 Juli 2013 M (hari Senin), di sebagian wilayah barat Indonesia, hilal sudah wujud dan di sebagian wilayah timur Indonesia belum wujud.

Dengan demikian, garis batas wujudul hilal melewati wilayah Indonesia dan membagi wilayah Indonesia menjadi dua bagian. Berdasarkan hal tersebut, PP Muhammadiyah menetapkan 1 Ramadan 1434 H jatuh pada hari Selasa Wage, 9 Juli 2013 M.

Sebelumnya, Badan Hisab Rukyat Provinsi Sumatra Utara telah memutuskan awal Ramadan 1434 Hijriyah/2013 Masehi jatuh pada Rabu, 10 Juli 2013 dan 1 Syawal 1434 H/2013 M jatuh pada Kamis, 8 Agustus 2013.

Namun, pemerintah dan ormas lain masih menunggu hasil rukyah dan isbat (sidang penetapan) pada Senin (8/7) sore yang mungkin akan menetapkan awal puasa pada Rabu Kliwon, 10 Juli 2013 M.



Mengenal Hisab Rukyah

Penentuan awal dan akhir bulan Ramadan didasarkan pada Hadis “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Apabila tertutup awan maka sempurnakanlah (30 hari)”.

Berdasarkan Hadis ini muncul cara pandang atau cara menentukan awal dan akhir bulan. Secara garis besar ada dua aliran, yakni aliran rukyah dan aliran hisab.

Bahkan di Indonesia, karena kebersingungan Islam sebagai great tradition dan budaya lokal sebagai little tradition melahirkan banyak corak dalam permasalahan hisab rukyah. Setidaknya ada tujuh cara penentuan awal bulan dan akhir bulan Ramadan.

Pertama, aliran aboge, yakni aliran yang berpedoman pada tahun Jawa lama dengan ketetapan tahun alif jatuh pada hari Rabu Wage sebagaimana diikuti oleh masyarakat muslim di dusun Golak, Ambarawa, Jawa Tengah.

Kedua, aliran asapon, yakni aliran yang berpedoman pada kalender Jawa Islam yang sudah diperbarui dengan ketetapan tahun alif jatuh pada hari Selasa Pon, sebagaimana diikuti lingkungan Keraton Yogyakarta.

Ketiga, aliran rukyah dalam satu negara (rukyatulhilal fi wilayatihukmi). Aliran ini berpedoman pada hasil rukyah yang dilakukan pada setiap akhir bulan (tanggal 29), jika berhasil merukyah, esok harinya sudah masuk tanggal satu, sedangkan jika tidak berhasil maka harus diistikmalkan (disempurnakan 30 hari), dan hisab hanya sebagai alat bantu dalam melakukan rukyah. Aliran ini yang selama ini dipegangi Nahdlatul Ulama (NU).

Keempat, aliran hisab wujudulhilal, prinsipnya jika menurut perhitungan (hisab) hilal sudah dinyatakan di atas ufuk, maka esok harinya sudah dapat ditetapkan sebagai tanggal satu tanpa harus menunggu rukyah. Aliran ini yang dipakai Muhammadiyah.

Kelima, aliran rukyah internasional (rukyah global). Aliran ini berprinsip, di mana pun tempat di muka bumi ini, jika ada yang menyatakan berhasil melihat hilal, waktu itu pula mulai tanggal satu dengan tanpa mempertimbangkan jarak geografisnya. Aliran ini dipedomani oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Keenam, aliran hisab imkanurrukyah, yakni penentuan awal bulan berdasarkan hisab yang memungkinkan untuk dilakukan rukyah. Aliran inilah yang dipegangi oleh pemerintah. Ketujuh, aliran mengikuti Mekkah, di mana penetapannya atas dasar kapan Mekkah menetapkannya (Ahmad Izzuddin, 2006).

Beragam corak pemikiran di atas memungkinkan terjadinya perbedaan penetapan awal dan akhir Ramadan. Banyaknya ragam tersebut selayaknya menjadikan pemerintah lebih dewasa untuk tidak “memaksakan” penentuan awal puasa (1 Ramadan).



Persoalan Ijtihadiyah

Dengan demikian, penetapan tanggal satu Ramadhan dan atau satu Syawal sudah saatnya tidak dijadikan ajang perdebatan. Lebih lanjut, pemerintah tidak perlu bersusah payah menyatukan persoalan ijtihadiyah ini.

Penentuan awal bulan Qomariyah adalah persoalan ijitihadiyah (pemahaman) bukan masalah yang qath’yah (pasti). Maka dari itu, biarkanlah masyarakat memilih sesuai dengan kemampuan dan cara pandang masing masing. Jika masyarakat, berpandangan bahwa tanggal satu Ramadan jatuh pada hari Selasa, wajib baginya untuk berpuasa. Jika masyarakat meyakini bahwa satu Ramadan jatuh pada hari Rabu, masyarakat berkewajiban menghormati warga masyarakat lain yang mulai berpuasa sehari sebelumnya.

Sikap toleransi inilah yang akan menjadikan bangsa Indonesia semakin dewasa. Kedewasaan bangsa pun terkait erat dengan stateman pakar atau tokoh bangsa. Seorang pakar atau tokoh tidak perlu menyebut Muhammadiyah tafarruq (memisahkan) diri dari umat. Penyebutan ini hanya akan membuat kegaduhan dan melukai hati umat. Seorang tokoh selayaknya mewartakan cara pandang dan pilihan metode yang digunakan oleh setiap ormas, tanpa harus menghakimi kebenaran atau kesalahanya.

Persoalan ijtihadiyah sudah saatnya diselesaikan oleh intern umat Islam. Masih banyak persoalan yang lebih penting dan mendesak untuk segera diselesaikan daripada sekadar membahas persoalan penentuan awal bulan Ramadan dan satu Syawal.

Ketika pemimpin umat masih saja disibukkan oleh persoalan ijtihadiyah dan melupakan persoalan qath’yah yang dihadapi masyarakat, seperti kemiskinan, korupsi, ketimpangan sosial, dan seterusnya, maka akan banyak masyarakat meninggalkan agamanya karena “perilaku menyimpang” pemimpinnya. Pemimpin agama akan kehilangan legitimasi dari masyarakat, karena terlalu sibuk dengan urusan yang tidak penting dan tidak mendesak.

Pada akhirnya, mari kita sikapi persoalan ijtihadiyah (penetapan 1 Ramadan) ini dengan sikap bijak, legawa dan sportif. Bukan dengan saling mencela yang malah memperkeruh suasana kebangsaan. Wallahu a’alam.

Sabtu, 22 Juni 2013

Onthel

Oleh Benni Setiawan*)


Radar Surabaya, Sabtu, 22 Juni 2013

KENAIKAN harga BBM tentu meresahkan. Kita harus pandai dalam mencari celah dana atau alternatif dalam menekan pengeluaran di tengah pendapatan yang stagnan.

Salah satunya menekan pengeluaran konsumsi BBM alat transportasi. Jika kita sering menggunakan sepeda motor sebagai alat transportasi setiap hari, maka kenaikan harga akan begitu terasa. Jika setiap hari menghabiskan satu liter premium dengan harga Rp 4.500 sebelum kenaikan. Maka kini pengeluaran menjadi Rp 6.500. Maka, pengeluaran tambahan yang harus kita tanggung adalah Rp 2.000 per hari.

Mungkin uang itu tidak berharga bagi orang kaya. Namun, bagi buruh atau pekerja rendahan, uang itu sangat berharga. Mengingat hal tersebut, selayaknya kita mencari alternatif agar roda kehidupan tetap berjalan di tengah gaji yang tidak naik.

Bangsa Indonesia mempunyai kekhasan dalam berkendaraan, yaitu sepeda onthel. Onthel dapat kita jadi-kan alternatif transportasi yang ramah lingkungan dan tanpa BBM. Onthel juga terjangkau harganya. Perawatannya pun cukup sederhana jika dibandingkan dengan sepeda motor.
Onthel telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Ia sering digunakan pejabat tempo doeloe untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Mereka merasa bangga dapat mengendarai sepede onthel. Hal ini dikarenakan, onthel tanpa BBM, mudah dikendarai, membuat sehat dan yang lebih utama adalah onthel menyimpan khasanah budaya yang adi luhung. (*)

*)Benni Setiawan, Pemerhati masalah sosial.

Jumat, 14 Juni 2013

Partai Politik di Persimpangan Jalan

Oleh Benni Setiawan


"Opini", Sinar Harapan, Jum’at, 14 Juni 2013

Partai politik bungker koruptor. Kalimat tersebut kembali nyaring terdengar akhir-akhir ini. Hal ini terbukti dengan semakin banyak kader parpol terseret kasus korupsi. Tidak hanya dari parpol nasionalis, namun juga parpol berlabel Islam.

Perilaku korup tersebut menimbulkan sikap apatis masyarakat. masyarakat seakan sudah bosan dan enggan berurusan dengan parpol. Maka tidak aneh jika dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) golput seringkali memenangkan hajatan lima tahunan itu. Teranyar adalah hasil pilkada Jateng yang memenangkan Golput daripada pasangan Ganjar Pramono-Heru Sudjatmoko yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Tingginya angka golongan putih ini selayaknya menjadi catatan bagi perjalanan parpol. Artinya, menghadapi pemilu 2014, parpol harus berubah dan benar menjadi alat penyambung aspirasi rakyat.

Parpol bukan hanya menjelma menjadi “malaikat” yang siap menolong rakyat disaat jelang pemilu atau pilkada. Semua parpol mengklaim sebagai parpol yang bersih, jauh dari korupsi, dan memperjuangkan nasib rakyat. Namun, setelah pemilu atau pilkada usai parpol secepat kilat berubah menjadi Butho Cakil, yang siap mempecundangi rakyat dengan janji-janji palsu.

Mungkin benar apa yang pernah dikatakan oleh Jason Jones dan Shân Wareing, “Bagaimana caranya agar kita tahu kapan politisi berbohong? Jawabnya setiap kali mereka berbohong, mereka selalu menggerakkan bibir mereka”. Artinya, politisi tidak pernah berhenti berbohong dan selalu berbohong.

Persoalan-persoalan tersebut di atas nampaknya telah mendarah-daging dalam diri parpol. Mereka tidak lagi peduli dengan konstituen (rakyat), ketika mereka sudah berada pada posisi yang menguntungkan, dan sebaliknya "menyembah-nyembah" rakyat ketika posisinya terjepit.

Kharisma
Lebih dari itu, parpol yang telah memenangkan kursi di dewan dan Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II) tidak bisa lepas dari kekuatan pendahulunya. Artinya, mereka masih menggunakan kharisma pendahulunya untuk mempertahankan (mendulang) suara.

Ambil contoh, PDI Perjuangan, yang masih menjual kharisma dan kepemimpinan Megawati (Soekarno) dan ajaran Marhaennya. Partai Golkar dengan kejayaan masa silam Orde Baru, yang mampu membuat rakyat hidup dengan harga-harga murah. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang tidak dapat dilepaskan dari kharisma para kiai dan NU. Partai Amanat Nasioanal (PAN) yang tergila-gila dengan H.M. Amien Rais, dan Partai Demokrat dengan SBY.

Kita dapat melihat dengan jelas betapa kepemimpinan baru pun tidak mampu lepas dari pendiri atau “orang besar” yang telah berjasa kepada parpol. Gambar-gambar berukuran besar terpampang di setiap sudut kantor DPP hingga ranting.

Hal yang lebih menggelikan adalah ketika pemilihan kepala daerah (pilkada). Calon-calon kepala daerah merasa belum "PD" dengan programnya. Ia masih memasang gambar, petuah dan sebagainya untuk melancarkan aktivitasnya menuju kemenangan.

Fenomena tersebut di atas tentunya tidak dapat terpisahkan pada kondisi bangsa Indonesia. Keadaan seperti ini mengutip pendapat Kuntowijoyo termasuk dalam masyarakat tradisionalis yang masing mengagungkan mitos (kharisma).

Pengagungan mitos ini tentunya sangat membelenggu. Artinya, masyarakat akan semakin dibuat bodoh dan tidak berdaya dengan pilihannya kelak.

Parpol sebagai salah satu organisasi yang diharapkan mampu mencerdaskan masyarakat, ternyata menjadi organisasi yang menyesatkan dengan kepalsuan. Mereka dengan bangga menyesatkan rakyat dengan cara-cara yang tak lazim. Parpol tidak menjual program-program pencerahan bangsa, melainkan menjual kharisma seseorang yang belum tentu terbukti kebenarannya.

Keadaan yang demikian sudah saatnya disadari oleh masyarakat. Artinya, ketika parpol masih belum mampu menjual program kerjanya, maka kewajiban rakyat untuk menjauhinya dan tidak memilihnya. Memilih parpol yang demikian, sama artinya membeli “keledai dunggu” yang tidak dapat memberikan manfaat lebih.

Masyarakat Terdidik
Rakyat sudah saatnya keluar dan menjadi masyarakat terdidik. Artinya, peran serta kaum cendekiawan sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan persoalan ini.

Beberapa pihak yang berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pertama, mahasiswa dan kaum intelektual (terdidik) sebagai agent of change dapat melakukan proses pendampingan ini ketika mereka kembali ke kampung halaman. Warga desa yang mudah dibodohi oleh parpol korup tentunya menjadi garapan bagi mahasiswa dan kaum intelektual (terdidik). Mahasiswa dan kaum intelektual (terdidik) dapat memberikan pengarahan dan pendidikan bagi pemilih pemula maupun pemilih lama dengan jalan, menjelaskan latar belakang, program kerja dan seterusnya.

Kedua, lembaga sosial keagamaan. Walaupun lembaga ini tidak dapat dilepaskan secara langsung dari parpol, mereka mempunyai kewajiban untuk membina warganya agar tetap kritis terhadap pilihannya. Ormas tentunya tidak menginginkan warganya dibodohi oleh kepentingan sesaat.

Ketiga, kesadaran rakyat sendiri. Artinya, mereka berkewajiban untuk keluar dan mencari informasi sebanyak mungkin, agar mereka tidak terjebak oleh tipu daya parpol.
Keempat, adalah peran serta media massa. Media massa cetak maupun elektronik sudah saatnya menyajikan berita dan fakta secara aktual dan dapat dipertanggung jawabkan. Independensi media massa saat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Jangan sampai media massa dibeli oleh kepentingan parpol yang tidak “PD” dengan apa yang telah mereka programkan.

Semoga pemilu 2014 nanti rakyat mampu memilih parpol yang dapat memperjuangkan nasib dan masa depannya. Tak terkecuali, rakyat mampu memilih parpol yang tidak hanya menjual kharisma pendahulunya melaikan program pencerahan dan pendidikan bagi rakyat.

Penulis adalah Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity

Teologi Welas Asih untuk Semua

Oleh Benni Setiawan


"Gagasan", Solo Pos, Jum’at, 14 Juni 2013

Karen Armstrong, penulis buku kenamaan hadir di Indonesia, Jum’at-Sabtu, (14-15/06). Kehadiran Armstrong ini dalam rangka menyebarkan semangat welas asih (Compassion). Acara yang digagas Penerbit Mizan ini tentu semakin mengukuhkan peran agama dalam ranah kemanusiaan.

Charter for Compassion (Piagam Belas Kasih) bertujuan mengembalikan belas kasih (welas asih) sebagai inti kehidupan religius dan moral. Prinsip belas kasih yang bersemayam di dalam jantung seluruh agama, etika, tradisi spiritual, mengimbau kita untuk selalu memperlakukan semua orang lain sebagaimana kita sendiri ingin diperlakukan.

Belas kasi mendorong kita untuk bekerja tanpa lelah menghapuskan penderitaan sesame manusia, melengserkan diri kita sendiri dari pusat dunia kita dan meletakkan orang lain di sana, serta menghormati kesucian setiap manusia lain, memperlakukan setiap orang, tanpa kecuali, dengan keadilan, kesetaraan, dan kehormatan mutlak.

Dalam kehidupan publik maupun pribadi pun penting untuk secara konsisten dan empatik mencegah apa-apa yang mengakibatkan penderitaan. Bertindak atau berbicara secara kasar karena kebencian, chauvinism atau kepentingan sendiri, untuk memiskinkan, mengeksploitasi atau mencabut hak-hak dasar siapapun, dan menghasut kebencian dengan merendahkan orang lain—musuh kita sekalipun—merupakan penyangkalan kemanusiaan kita bersama.

Namun, seringkali, agama belum mampu memberi jawaban atas persoalan yang timbul. Wajah agama seakan baku, kaku, dan tunggal. Padahal, agama mempunyai banyak wajah dan penafsiran. Islam, misalnya, mengajarkan kepada umatnya untuk sedikit-demi sedikit dalam menjalankan perintah Allah. Agama Islam sangat menekankan arti penting persatuan, persaudaraan dan tidak membeda-bedakan masyarakat. Islam secara tegas menyatakan yang membedakan hanyalah ketakwaan seseorang. Ketakwaaan akan membebaskan umat dari belenggu ketidakadilan.

Ketidakadilan yang muncul mengiringi perjalanan proses keagamaan dapat kita lihat dengan banyaknya peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan agama. Agama dijadikan legitimasi oleh seseorang untuk menghakimi dan menyerang kelompok lain yang tidak sepaham. Mereka seringkali mengerahkan masa dengan bertindak anarkitis bahkan brutal.
Meminjam bahasa Paulo Freire, kesadaran mereka masih berada pada taraf kesadaran magis bahkan naïf. Mereka belum mampu berfikir kritis tentang apa yang telah mereka perbuat. Keadaan ini semakin berkembang dan terus meluas ke daerah-daerah. Maka tidak aneh jika sekarang, banyak umat Islam yang menjadi "polisi".

Artinya, mereka bebas dan berhak untuk bertindak atas nama agama. Hal yang melekat dalam dirinya adalah apa yang telah mereka kerjakan adalah benar. Kebenaran ini akan mendapatkan balasan dari Tuhan berupa pahala yang melimpah dan gelar syahid (kemuliaan).

Contoh di atas dengan jelas menggambarkan bahwa agama telah menjadi ortodoksi-ideologis (meminjam bahasa Mohammed Arkoun, filsof dari Aljazair). Dengan demikian, agama menjadi sangat kaku dalam memandang sebuah persoalan. Lebih dari itu, agama kembali dikuasai oleh sebagian pemilik otoritas menafsir yang diangkat dan dipilih oleh kaumnya sendiri.

Visi Kemanusiaan
Keadaan yang demikian menjadikan agama semakin jauh dari realitas sosial. Artinya, manifestasi agama sebagai rahmatan lil alamin telah hilang. Agama telah menjadi rahmatan lil qoumiy (rahmatan untuk jamaahku). Agama telah kehilangan daya dobraknya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial yang timbul. Agama hanya berkutat pada hal yang melangit (eskatologi) dan kurang menyentuh persoalan bumi. Terjebaknya agama pada persoalan langit yang kaku telah menjadikan agama mapan. Artinya, agama ya agama. "Agama itu ibadah kepada Tuhan dan menjunjung panji-paji Tuhan, menegakkan agama adalah jihad akbar".

Pemahaman seperti ini akan menghilangankan visi agama kemanusiaan. Agama diturunkan bukan untuk Tuhan. Pada dasarnya agama diturunkan untuk manusia itu sendiri. Dengan adanya agama manusia mampu mengetahui baik dan buruk, halal haram dan seterusnya. Ketika agama lebih mengedepankan aspek-aspek hablu mina Allah (hubungan dengan Allah, vertikal) dan mengerdilkan aspek hablul minan nass (hubungan dengan sesama manusia, horizontal), maka tatanan kehidupan manusia akan hancur.

Artinya, agama hanya dijadikan sebagai alat legitimasi untuk menyerang kelompok-kelompok yang tidak sepaham. Maka guna menghindari hal-hal di atas, maka agama perlu mengubah wujudnya dalam bingkai kemanusiaan. Pendek kata, agama mempunyai visi kemanusiaan yang berpihak.

Teks-teks suci bervisi keumatan inilah yang akan mendorong agama menjadi sesuatu yang inhern dalam kehidupan umat manusia. Agama tidak hanya menjadi milik sebagain orang saja atau bahkan menjadi milik Tuhan. Agama akan menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari dan amat dekat dengan umatnya.

Kedekatan agama dengan umatnya akan menjadi sebuah kekuatan baru dalam memaknai kehidupan beragama. Artinya, agama adalah teman atau bahkan sahabat yang selalu dapat membantu dan menyelesaikan setiap persoalan yang timbul di tengah masyarakat.
Dengan demikian agama mempunyai visi kemanusiaan. Artinya, agama tidak melulu bersentuhan dengan Tuhan dalam artian ibadah, melainkan agama adalah teks terbuka yang wajib ditafsirkan guna menyelesaikan persoalan keumatan. Guna mendapatkan pemahaman keagamaan yang demikian tentunya diperlukan adanya sekian teori yang dapat dijadikan sebagai sebuah rujukan.

Pertama, agama adalah milik bersama. Otoritas pemegang teks-teks agama tidak boleh dimiliki oleh satu orang atau kelompok orang. Umat beragama diberikan kebebasan untuk dapat memilih dan memahami setiap ajaran yang diturunkan dalam bingkai kemanusiaan itu tadi. Dengan demikian, sakralitas teks dan otoritas penafsir menjadi hal yang boleh ada dalam pemahaman keagamaan sekarang.

Kedua, agama harus memiliki keberpihakan. Artinya, pemahaman konsepsi keagamaan yang cenderung kaku dan banyak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sudah saatnya ditiadakan. Agama sudah saatnya memaknai kehidupan dan zaman. Konsepsi keagamaan yang selama ini cenderung bersifat eskatologis menuju sikap keagamaan yang membumi. Yaitu sikap agama yang dapat menyelesaikan persoalan keumatan yang semakin kompleks.

Semoga spirit teologi welas asih yang ditularkan oleh Armstrong di Indonesia mampu membuka mata dan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya spirit kemanusiaan dalam keberagamaan. Keberagamaan yang saling menyapa antar umat dan menjadi motor perubahan sosial menuju pemanusiaan dan keadilan yang beradab.

*)Benni Setiawan, Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity

Selasa, 14 Mei 2013

World Stateman Award Vs HRW

Oleh Benni Setiawan



Gagasan, Koran Jakarta, 13 Mei 2013

Appeal of Conscience Foundation (ACF), sebuah lembaga yang mempromosikan perdamaian, toleransi, dan resolusi konflik etnis, memberikan World Stateman Award kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Lembaga yang didirikan Rabbi Arthur Schneier pada tahun 1965 itu menilai baik kinerja SBY terkait isu toleransi dan kebebasan berkeyakinan.

Penghargaan tersebut bertolak belakang dengan temuan Human Right Watch (HRW), lembaga internasional pemerhati hak asasi manusia (HAM). HRW menyebut pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan SBY lembek menghadapi gerombolan militan antipluralisme.

Kelompok-kelompok itu mengintimidasi dan menyerang rumah-rumah ibadah serta anggota minoritas agama. Temuan HRW menyebut gerombolan militan itu makin lama tambah agresif. Sasaran mereka termasuk Ahmadiyah, Kristen, maupun muslim Syiah.

Tidak aneh jika penghargaan tersebut dipertanyakan. Salah satunya disuarakan Aliansi Sumut Bersatu (ASB). LSM yang peduli pada isu kebebasan beragama, khususnya di Sumatra, itu menilai bahwa pemberian penghargaan kepada Presiden SBY tidak tepat. Berdasarkan pantauan ASB melalui lima media lokal di Sumatra Utara tentang situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan pada tahun 2011, terjadi 63 kasus.

Kemudian, tahun 2012, meningkat menjadi 75 kasus. Selain itu, sejak tahun 2009 sampai sekarang, ASB membantu advokasi berbagai persoalan rumah ibadah di beberapa wilayah, seperti ancaman pembongkaran patung Budha Amitabha di Vihara Tri Ratna Kota Tanjung Balai, Sumatra Utara, pembakaran Gereja HKBP dan Gereja Pentakosta di Sibuhuan, Kabupaten Padang Lawas, Sumut, serta penyerangan dan penolakan pembangunan Gereja HKBP di Kota Binjai.

Ada lagi penyerangan terhadap masjid Ahmadiyah di Kota Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumut. Demikian juga dengan penyegelan 16 gereja dan 1 rumah ibadah lokal (penghayat kepercayaaan) di Kabupaten Aceh Singkil, NAD, penutupan 9 gereja dan 5 wihara di Kota Banda Aceh, NAD, serta penolakan dan pemberhentian pembangunan Masjid Al Munawar Sarulla, Desa Mahornop Marsada, Kecamaten Pahae Jae, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumut.

Menilik data tadi, ASB menilai penghargaan yang akan diberikan Appeal of Conscience Foundation kepada SBY bukan hanya tidak tepat, tetapi jauh dari itu, telah melukai para korban intoleransi di Indonesia.

Ketakutan

Kekerasan dan intoleransi yang terjadi di Indonesia mengindikasikan ada yang keliru dalam kehidupan keberagamaan negeri ini. Masyarakat masih terjebak sekat-sekat primordial agama yang menjadikan dirinya menutup diri kepada orang lain. Banyak penganut agama menganggap sesama sebagai orang lain (liyan). Mereka masuk neraka. Hanya golongannya yang masuk surga.

Menilik kondisi yang demikian, Djohan Effendi (1978) menyebut hubungan antarumat beragama di Indonesia tidak bisa lepas dari problem mayoritas dan minoritas. Di kalangan mayoritas, timbul perasaan tidak puas karena merasa terdesak posisi dan perannya. Sedangkan di kalangan minoritas timbul ketakutan karena merasa terancam eksistensi dan hak-haknya.

Problem tadi, yakni perasaan terdesak di satu pihak dan terancam di pihak lain, membawa implikasi dalam hubungan antarumat agama, pergaulan masyarakat, dan bisa menggejala dalam berbagai bentuk ketegangan.

Hal-hal tersebut berjalan berkelindan satu sama lain dan menimbulkan problem-problem lain. Ditambah lagi kurang adanya pergaulan yang erat antara pemuka agama. Maka, ancaman terhadap kehidupan rukun cukup besar (Greg Barton, 1999).

Gamang

Kondisi itu tidak lepas dari gamangnya pemerintah dalam mengelola keberagamaan di Tanah Air. Pemerintah masih saja berdiri atas nama mayoritas dan menindas minoritas. Gambaran paling nyata dalam hal itu dengan diberlakukannya SKB Tiga Menteri No 9 dan 8/2006. Peraturan ini seakan menjadi senjata legal kelompok mayoritas untuk mempersulit, bahkan melarang, upaya pembangunan rumah ibadah oleh kelompok agama lain yang secara politik dan sosial pada posisi minoritas.

Gejala politik saling menyandera atas nama kuasa mayoritas-minoritas ini sangat ironis mengingat tujuan awal SKB untuk meminimalkan konflik rumah ibadah yang dapat merusak hubungan antarumat beragama. Pada kenyataannya, SKB Tiga Menteri menjadi salah satu faktor pemicu eskalasi konflik pendirian rumah ibadah di banyak tempat.

Pembiaran upaya penyesatan ajaran aliran keagamaan dan konflik pendirian rumah ibadah akan berpengaruh pada tingkat instabilitas politik dan kerentanan konflik di ranah domestik (Fajar Riza ul Haq, 2013).

Ironisnya, pemerintah seperti sengaja membiarkan konflik. Pemerintah bahkan menggunakan instrumen "konflik" ini untuk menutupi ketidakmampuan melindungi segenap tumpah darah Indonesia yang merupakan amanat UUD 1945, sumber peraturan tertinggi negara.

Sikap toleran kepada sesama telah hilang. Yang ada hanyalah benih-benih kebencian dan kekerasan. Sikap tersebut akan semakin menyuburkan intoleransi yang akan mengganggu hubungan antaragama dan stabilitas nasional.

Lebih lanjut, pemerintah masih abai terhadap keselamatan (kemaslahatan) bangsa. Padahal kemaslahatan menjadi pokok kehidupan. Meminjam istilah Imam al-Ghazali, ketentuan hukum, undang-undang, dan sikap pemerintah seharusnya mampu menjamin kelangsungan hidup (hifz al-nafs), kebebasan beropini dan berekspresi (hifz al-aql), kebebasan beragama (hifz al-din), hak dan kesehatan reproduksi (hifz an-nasl) untuk menjaga kelangsungan hidup manusia dan hak properti (hifz al-maal), hak mendapat pekerjaan atau upah layak, serta hak memperoleh jaminan perlindungan dan kesejahteraan.

Kelangsungan hidup belum terjamin. Kebebasan beropini, berekspresi, dan beragama pun menjadi barang langka. Minoritas dipaksa mengikuti aturan main mayoritas. Jika tidak mau, tempat ibadat mereka dibakar, bahkan dirobohkan.

Kaum minoritas pun semakin tersandera, baik secara fisik maupun psikis, oleh aturan yang ndakik-ndakik (canggih). Mereka senantiasa dalam tekanan dan intimidasi dalam setiap menjalankan peribadatan karena kampung dan tempat ibadatnya sewaktu-waktu dapat diserang kelompok yang mengaku menegakkan peraturan.

Seperti yang terjadi di Kampung Wanisagara, Desa Tejowaringin, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Minggu, 5 Mei 2013 pukul 01.00 WIB dini hari. Kampung Jemaah Ahmadiyah di Tasikmalaya itu diserang oleh kelompok yang tak dikenal. Beberapa pelaku berteriak takbir saat menyerang. Pelaku penyerangan diperkirakan sekitar 100–200 orang.

Penyerangan kampung Jemaat Ahmadiyah itu bukanlah yang pertama kali. Menurut data LBH Bandung, sejak bulan Januari hingga April 2013, tercatat tidak kurang 18 peristiwa penyerangan mengatasnamakan agama.

Data tersebut semakin mengukuhkan betapa kemerdekaan memeluk dan beribadat sesuai dengan agama dan/atau kepercayaan masing-masing berlum terjamin. Pemerintah masih saja membiarkan kebengisan kelompok intoleran dalam membangun keadaban bangsa. Padahal keadaban bangsa tidak akan pernah terbangun dari tindak kekerasan dan intoleransi. Bahkan bangsa ini dapat roboh akibat perbuatan aniaya (untuk tidak menyebut biadab) tersebut.

Menilik hal tersebut, apakah Presiden SBY atas nama bangsa Indonesia berhak mendapat penghargaan tersebut? Tampaknya perlu ditinjau ulang sebab pemerintah masih gagal menegakkan toleransi berbasis kemanusiaan. Pemerintah masih tersandera kelompok antipluralisme yang senantiasa merasa berlindung di bawah payung hukum setiap bertindak merusak.


Oleh Benni Setiawan
Penulis adalah dosen Universitas Negeri Yogyakarta,
peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity

Ironi Penghargaan di Tengah Realitas

oleh Benni Setiawan,
Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity



Solopos, Sabtu, 11 Mei 2013

Setelah mendapatkan gelar doktor honoraris causa dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali mendapat penghargaan. Kali ini berasal dari Yayasan Appeal of Conscience. Yayasan yang bermarkas di New York, Amerika Serikat, itu memberikan penghargaan World Stateman untuk SBY.

Yayasan yang didirikan Rabbi Arthur Schneier pada 1965 itu menilai Presiden SBY berkontribusi besar terhadap resolusi konflik, baik sipil maupun agama, di Indonesia. Penghargaan yang berkorelasi dengan prestasi bidang resolusi konflik ini mendapat protes dari berbagai kalangan. Mereka menyatakan bahwa Presiden SBY tidak layak mendapatkan penghargaan tersebut. Mereka beralasan Presiden SBY gagal melindungi kaum minoritas di negeri ini.

Data Setara Institute menyatakan pada 2012 di negeri ini telah terjadi 317 tindakan dan 264 peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kekerasan atas nama agama bukan hanya dilakukan masyarakat, melainkan juga lembaga peradilan dan institusi negara. Senada dengan Setara Institute, secara lebih tegas, lembaga pemerhati HAM internasional, Human Rights Watch (HRW), menyoroti kegagalan pemerintah Indonesia dalam melindungi kelompok beragama yang minoritas.

Laporan setebal 120 halaman berjudul Atas Nama Agama: Pelanggaran Terhadap Minoritas Agama di Indonesia itu merekam kegagalan pemerintah dalam mengatasi kelompok-kelompok militan yang melakukan intimidasi dan serangan ke rumah-rumah ibadah serta anggota-anggota jemaah agama yang minoritas penganutnya. Sasaran mereka adalah Jemaat Ahmadiyah, Kristen dan Syiah.

Kedua laporan tersebut bukan sekadar data mati. Hingga kini kekerasan terhadap kelompok minoritas masih saja berlangsung. Terbaru adalah penyerangan Jemaat Ahmadiyah di Kampung Wanisagara, Desa Tejowaringin, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat pada Minggu (5/5). Penyerangan serupa pernah terjadi di Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten. Saat itu tiga orang anggota Jemaat Ahmadiyah menjadi korban keganasan massa dengan kondisi mengenaskan.

Tindak intoleransi terhadap Jemaat Ahmadiyah terus berulang. Namun, pemerintah sepertinya tidak merasa bersalah dan risih melihat peristiwa biadab itu. Pemerintah seakan menikmati kesangsaraan Jemaat Ahmadiyah dan membenarkan perilaku barbar kelompok penyerang. Hal ini tampak jelas dari catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung. Lembaga ini mencatat pada Januari-April 2013 tercatat tidak kurang 18 peristiwa penyerangan mengatasnamakan agama.

Berarti dalam satu bulan terjadi rata-rata empat peristiwa intoleransi atau sepekan sekali ada penyerangan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tak bertanggung jawab. Hidup di bumi Nusantara ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Kelompok minoritas hidup dalam tekanan dan penuh ketidakpastian. Mereka menderita secara fisik maupun psikis.

Secara fisik mereka harus ”bertarung” dengan kekuatan yang lebih banyak jumlahnya guna mempertahankan hidup. Secara psikis, mereka terus dihantui rasa takut dan waswas. Sewaktu-waktu keselamatan jiwa mereka terancam. Mereka tidak hidup tenang dan nyaman di negeru ini.

Kondisi demikian tidak hanya menimpa Jemaat Ahmadiyah. Umat Kristiani pun mendapat perlakuan yang sama. Rumah ibadah mereka disegel, bahkan dihancurkan, atas nama peraturan perundangan-undangan. Seperti yang dialami Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor dan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Bekasi, Jawa Barat.

Beberapa contoh di atas menjadi bukti otentik bahwa pemerintah, dalam hal ini Presiden SBY, belum mampu menjamin kemerdekaan dan kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana amanat UUD 1945. Presiden SBY masih berlindung di bawah bayang-bayang kelompok antipluralisme. Bahkan, kelompok-kelompok ini menjadikan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintahan SBY sebagai tameng sekaligus pelindung untuk melancarkan aksi-aksi intoleransi.



Fanatisme

Aksi-aksi kekerasan atas nama agama dan produk hukum ini pun terjadi merata di seluruh wilayah Indonesia. Ironisnya, pemerintah hanya duduk termangu menonton tindak kekerasan itu. Pemerintah seakan tak berdaya melindungi warga negara. Pemerintah menyerah, pasrah dan tunduk pada desakan massa yang tak banyak jumlahnya. Padahal pemerintah mempunyai aparat negara yang terdidik dan terlatih. Mereka dapat diperintahkan menangkap kelompok-kelompok yang mengganggu ketertiban umum itu.

Sekiranya pemerintah konsisten melindungi kelompok minoritas, mempromosikan perdamaian, toleransi dan resolusi konflik etnis, pemerintah harus berani menindak tegas kelompok-kelompok yang menjadi ”polisi” yang bertindak anarkistis atas nama agama. Membiarkan mereka tumbuh subur pada dasarnya membiarkan negara menyerah tanpa syarat kepada kelompok protindakan barbar.

Selain itu, pemerintah, sekali lagi dalam hal ini Presiden SBY, selayaknya meninjau ulang Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri No 9/2006 dan No 8/2006 tentang pendirian rumah ibadat. SKB Tiga Menteri itu sering kali dijadikan dasar senjata legal untuk menghancurkan kelompok minoritas. SKB Tiga Menteri itu pada dasarnya telah menyuburkan fanatisme terhadap agama.

Fanatisme terjadi karena kecenderungan pemutlakan yang mengarah pada dogmatisasi. Sikap fanatisme ini akhirnya melahirkan tindakan-tindakan intoleran (Karlina Supeli, Dari Kosmologi ke Dialog: Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme, 2011). Menindak tegas tindakan intoleran menjadi agenda penting kebangsaan. Ketika pemerintah tidak mampu melakukan hal tersebut, berarti pemeirntah telah gagal menjaga keutuhan (baca: kedaulatan bangsa).

Nah, apakah Presiden SBY beserta jajarannya telah melakukan hal tersebut? Tampaknya belum. Artinya, Presiden SBY tidak patut menerima penghargaan itu. Sebagai pemimpin, ia selayaknya menolak penghargaan prestisius tersebut karena terbukti gagal melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Wallahu a’lam. (manifesto_06@yahoo.com)

Kamis, 25 April 2013

Apa kabar Reformasi Politik?

Oleh Benni Setiawan



Opini, Sinar Harapan, Rabu, 24 April 2013

Dengan sistem demokrasi negara yang lebih banyak dikuasi oleh borjuasi domestik melahirkan otoriterisme yang menyengsarakan dan menindas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, politik merupakan pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan seperti sistem pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan. Segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat), mengenai pemerintahan negara terhadap negara lain. Kebijakan cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah.

Dengan demikian, politik dapat diartikan sebagai cara mengatur kehidupan kenegaraan.
Kehidupan yang diharapkan adalah kehidupan kenegaraan yang penuh dengan kedamaian, ketentraman dan keteraturan. Negara tidak boleh semena-mena memaksakan kehendaknya kepada masyarakat, sehingga masyarakat menjadi tentram dan nyaman hidup dalam kekuasaan negara dan juga sebaliknya. Akan tetapi, yang terjadi, sistem politik di Indonesia belum dapat menjadikan rakyat nyaman dan tentram serta dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara.

Betapa tidak, hari kita menyaksikan secara gamblang betapa manusia Indonesia semakin buas. Manusia Indonesia sudah kehilangan akal sehatnya. Mereka dengan sengaja merampok uang negara, membakar fasilitas publik ketika calon yang diusung kalah, saling serang dan membunuh karakter lawan politik, hingga pembunuhan atas nama korp.

Kepemimpinan
Ironisnya, seakan negara (baca: sistem politik) tidak mampu mencegah perbuatan tercela tersebut. Negara hanya termangu dan tidak mampu melakukan apapun kecuali pidato di atas mimbar kenegaraan.

Padahal kita ketahui bersama bahwa reformasi politik yang kita inginkan adalah memberikan kehidupan demokrasi bagi seluruh rakyat Indonesia yang ditandai dengan pemimpin yang bersih, jujur, berintegritas, tegas, dan mampu secara cepat dan tepat mengambil keputusan strategis.

Tanpa hal tersebut, cita-cita reformasi, bidang politik seperti, kebebasan pers, berpendapat dan berbicara, mengekspresikan pendapat kebebasan dari rasa takut tidak akan pernah terwujud.

Kekhawatiran tidak terwujudnya cita mulia reformasi pun semakin diperparah oleh pemerintahan tidak sigap dan bijaksana dalam setiap pengambilan keputusan. Keputusan pemerintah cenderung serampangan dan menuruti nafsunya. Seperti rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Sebelum rencana kenaikan pun masyarakat sudah dipusingkan dengan kelangkaan solar.

Apa yang terjadi hari ini mengisyaratkan bahwa keputusan yang diambil pemerintah belum mencerminkan aspirasi rakyat. Pemerintah masih saja menuruti aspirasi pribadi dan golongan. Bagaimana menjadi pemimpin bangsa, jika mereka belum jujur terhadap dirinya sendiri?

Maka dari itu, kontrol rakyat untuk mengawasi jalannya suatu pemerintahan mutlak diperlukan. Rakyat menentukan peran yang signifikan dalam suatu negara apalagi dalam sistem pemilihan presiden langsung ini. Rakyat adalah icon terpenting dalam pengambilan kebijakan dan keputusan. Selama rakyat masih mudah dibohongi, nasibnya tidak akan pernah berubah menjadi korban penghisapan dan penindasan oleh rezim demi rezim penguasa. Rakyat harus banyak belajar berdemokrasi, karena dengannya rakyat akan menjadi tambah dewasa dengan perbedaan pendapat.

Transformasi
Menurut Robert A. Dhal sebagaimana dikutip oleh Aribowo (1996), menyatakan bahwa gagasan, nilai dan ide tentang hak masyarakat dalam proses pembuatan keputusan negera dalam negera kota Yunani kuno telah ditransformasikan ke dalam tatanan sosial-politik dalam nation-state yang modern. Transformasi tersebut telah menyebabkan timbulnya seperangkat lembaga politik baru. Artinya, dalam proses politik transformasi ide ke dalam suatu bentuk tatanan politik mengikuti apa yang dikatakan Mark N Hagopian memerlukan proses institusionalisasi perilaku politik. Dalam konteks hubungan antara pemilu dan demokrasi biasanya para teoritis pluralisasi-klasik tentang demokrasi menganggap partai politik memegang peranan penting.

Hal itu berarti secara teoritis-klasik parpol merupakan instrumen penting bagi berlansungnya sistem politik demokrasi. Sebab hak-hak politik politik masyarakat untuk ikut mempengarhui policy (kebijakan) negara, khususnya dalam penyusunan dan perubahan pejabat negara, secara historis dan politis dimanifestasikan dalam pemilu. Dan instrumen parpol itu sendiri, untuk mentrasformasikan hak politik rakyat ke dalam jaringan mekanisme politik negara dalah parpol (partai politik).

Persoalan yang muncul kemudian adalah parpol seringkali mengingkari janji-janji politiknya. Mereka seringkali lepas tangan dalam tanggung jawab turut serta dalam mencerdaskan anak bangsa. Artinya, mereka dengan sadar melepaskan sekian kepentingan umum (masyarakat) guna mendapatkan sekian kepentingan untuk pribadi dan golongan.
Lihat saja, betapa hiruk pikuk urusan ”rumah tangga” parpol hari ini telah menyita dan menggerus agenda rakyat. Pasalnya, pemimpin bangsa lebih disibukkan dengan urusan parpol daripada mengurusi rakyat.

Lebih lanjut, parpol pun hari ini tidak menjadi tempat persemaian kader-kader calon pemimpin bangsa. Namun, hanya menjadi ”tempat mangkal” seseorang. Mereka pun menganggap parpol tidak lebih seperti pakaian. Jika sudah lusuh dan tidak memberikan kenyamanan, mereka tinggalkan dan berganti dengan parpol lain.

Parpol yang termanifestasi dalam sebuah lembaga negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seringkali meninggalkan sekian kepentingan masyarakat. Pejabat parpol yang telah mendaptakan kursi empuk di kabinet, anggota dewan atau bahkan bupati dan wakil bupati, seringkali berdiri di atas penderitaan orang lain.

Benarlah kata Vedi R. Hadiz (Indonesianis, Profesor Asia Research Center Murdoch University, Western Australia), dengan sistem demokrasi negara yang lebih banyak dikuasi oleh borjuasi domestik melahirkan otoriterisme yang menyengsarakan dan menindas. Kekuasaan negara yang lahir dari sistem partai politik lebih banyak menguntungkan kaum borjuasi domestik dan mengekang sekian kepetingan kaum proletar dalam sistem kenegaraan.
Pada akhirnya, reformasi politik yang diancang sejak 15 tahun lalu ternyata menyisakan persoalan pelik. Reformasi politik belum menjadi ruh kebangsaan malah melahirkan kekuasaan korup yang menyengsarakan rakyat.

*)Benni Setiawan, Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity.