Search

Selasa, 10 Januari 2012

“Berperang” Atas Nama Agama



Ruang Putih, Jawa Pos, Minggu, 08 Januari 2012

Institusi negara tercatat menjadi pelaku pelanggaran kebebasan beragama yang paling banyak.


Kasus pembakaran pesantren di Sampang, Madura, seakan menambah daftar panjang kekerasan atas nama agama dan intoleransi. The Wahid Institute, mencatat selama 2011 terjadi 92 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jumlah itu meningkat 18 persen dari tahun sebelumnya, 62 kasus. Pelarangan dan pembatasan aktivitas keagamaan atau kegiatan ibadah tercatat 49 kasus.

Disusul tindakan intimidasi dan ancaman kekerasan oleh aparat negara (20 kasus), pembiaran kekerasan (11 kasus), kekerasan dan pemaksaan keyakinan serta penyegelan dan pelarangan rumah ibadah (masing-masing 9 kasus). Pelanggaran lain adalah kriminalisasi atau viktimisasi keyakinan (4 kasus).

Institusi negara tercatat menjadi pelaku pelanggaran kebebasan beragama yang paling banyak. Polisi menempati posisi pertama yakni 32 kali, disusul bupati, wali kota, atau pejabat di lingkungan pemerintah daerah sebanyak 28 kali. Pelaku pelanggaran kebebasan beragama lainnya adalah tentara (16), satuan polisi pamong praja (10), pemerintah provinsi (8), serta Kantor Kementerian Agama dan Kantor Urusan Agama (8).
Jawa Barat merupakan daerah dengan jumlah sebaran wilayah pelanggaran tertinggi (55 kasus), diikuti Banten (9 kasus), Aceh (5 kasus), serta Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan masing-masing 4 kasus.

Tindakan intoleransi dalam beragama dan berkeyakinan tahun 2011 naik menjadi 184 kasus (16 persen) dibandingkan tahun lalu (134 kasus). Kategori tindakan intoleransi yang paling tinggi adalah intimidasi dan ancaman kekerasan atas nama agama (48 kasus). Tindakan intoleransi yang tercatat tinggi adalah penyebaran kebencian terhadap kelompok lain (27 kasus), kasus pembakaran dan perusakan properti (26 kasus), serta diskriminasi atas dasar agama (26 kasus).

Seperti kasus pelanggaran kebebasan beragama, Jawa Barat juga tercatat menjadi wilayah dengan tingkat intoleransi paling tinggi di indonesia (105 kasus), Jawa Timur (17 kasus), Jawa Tengah (15 kasus), Jakarta (13 kasus), dan Riau (9 kasus).
Mengapa tindak kekerasan atas nama agama dan intoleransi masih tinggi di Indonesia. Padahal bangsa Indonesia terkenal dengan keragaman agama dan kebudayaan serta saling hormat menghormati antar sesama.

Banalitas Kekerasan
Hannah Arendt menyebut kekerasan adalah bukti adanya “komunikasi bisu paling nyata,” Semua terdiam dan termanggu. Semua seperti mengamini apa yang terjadi. Negara yang mendapat amanat mengatur tata kelola bangsa seakan tidak mampu menyelesaikan persoalan ini. Bahkan, ia menjadi bagian dari praktik yang melanggar hak asasi manusia (HAM) ini.

Negara sepertinya hanya akan bersuara lantang ketika kepentingan-kepentingan sang pemangku terancam. Mereka akan menjadi seperti corong yang berkoar-koar bahwa apa yang memcuat dipublik, seperti terbongkarnya mega skandar korupsi Bank Century, korupsi Muhammad Nazaruddin, dan seterusnya akan menganggu stabilitas negara.
Mereka sepertinya lupa bahwa kasus penyerangan rumah ibadat dan melarang seseorang untuk menjalankan ibadahnya merupakan ancaman serius stabilitas negara karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

Kekerasan pun, meminjam istilah Anthony Giddens, distrukturasikan. Kekerasan diproduksi terus-menerus. Ia menjadi sesuatu yang biasa saja. Ada banalitas kekerasan. Tidak jarang kekerasan dilegitimasi oleh agama dan dibiarkan oleh aparat.
Giddens menyebut situasi di atas sebagai “Runaway World”. Dunia yang berlarian tunggang langgang tanpa arah, kacau balau. Dalam bukunya The Consequences of Modernity (1990), Giddens memakai metafor  “Juggernaut” (sebuah truk besar) yang lepas kendali. Situasi lepas kendali yang terjadi di tengah bangsa ini adalah seperti kegelapan yang memunculkan kekacauan (Albertus Patty: 2011).

Merendahkan Martabat
Bangsa ini memang diselubungi kegelapan. Pasalnya, manusia Indonesia sepertinya sulit membedakan antara yang benar (haq) dan yang salah (bathil). Sebuah kondisi yang teramat parah, meminjam istilah Franz Magnis-Suseno. Pasalnya, garis jelas antara kemanusiaan yang wajar dan sikap penjahat menjadi kabur.

Ketika hal ini terjadi maka kekacauan merupakan sebuah keniscayaan. Ironisnya, agama sebagai sebuah kebenaran yang diyakini menjadi tameng atas apa yang dilakukan. Agama tidak menjadi spirit bagi terciptanya kedamaian dan keadilan, namun menjadi pembenar atas tindakan barbar.

Sudah saatnya semua menyadari bahwa tindakan kekerasan dan intoleransi atas nama apapun merupakan tindakan sia-sia. Tindakan ini hanya akan merendahkan martabat manusia sebagai makhluk berakal dan bernurani.

Toleransi
Manusia akan sama saja dengan makhluk lain yang tidak dianugerahi Tuhan dengan akal. Akal manusia sudah saatnya terus mendapat persemaian semangat toleransi.
Toleransi menurut Irwan Masduqi (2011) adalah rasa hormat, penerimaan dan apresiasi terhadap keragaman budaya dan ekspresi kita. Toleransi adalah harmoni dalam perbedaaan, yang membuat perdamaian menjadi mungkin. Toleransi mempunyai batas, yakni toleransi tidak bisa menoleransi tindakan-tindakan intoleran.

Toleransi dalam Islam sering dihubungkan dengan ayat, “Tidak ada paksaan dalam agama” (Q.S. al-Baqarah (2): 256). Firman Allah ini menurut Ibn ‘Abbas turun sehubungan dengan kasus seorang Anshar bernama Husayn yang memaksa kedua anaknya yang memeluk Kristen agar pindah ke agama Islam. Namun, kedua anaknya menolak paksaan itu. Kemudian, ayat ini turun merespon secara eksplesit bahwa pemaksaan keyakinan adalah tindakan terlarang.

Semangat toleransi Islam yang menolak paksaan juga dikukuhkan oleh firman Allah dalam Surat Yunus (10: 99). Toleransi Islam dibangun di atas alasan-alasan menghormati kebebasan berpendapat dan berkeyakinan (hurriyyah al-ra’yi wa al-i’tiqad) dan komitmen untuk hidup berdampingan secara damai (ta’ayusy/coexistence).

Pada akhirnya, peristiwa intoleransi tidak boleh terulang di kemudian hari. Sudah saatnya semua pihak sadar bahwa kerukunan umat beragama merupakan modal sosial bangsa Indonesia. Jika hal ini terciderai oleh kelompok-kelompok yang mengaku beragama, maka perlu dipertanyakan komitmennya terhadap agama yang diyakininya. Dan jika pemerintah membiarkan hal ini tetap terjadi maka kondisi kebangsaan Indonesia akan runtuh karena sikap pemerintah yang tidak tegas dan membiarkan masyarakatnya “berperang” atas nama agama.

*)Benni Setiawan, Alumnus Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar