Search

Selasa, 21 Oktober 2008

Hutan Adalah Nenek Moyang Kita



Pikiran Rakyat, Selasa, 21 Oktober 2008

Rencana Pemerintah Kota Bandung membangun rumah makan di Babakan Siliwangi menuai protres. Aktivis lingkungan yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Bandung, intelektual, dan seniman Bandung menolak rencana ini. Mereka beranggapan pembangunan rumah makan di Babakan Siliwangi, akan menghancurkan hutan alam kota. Hancurnya hutan alam kota ini akan semakin memperburuk kondisi Kota Bandung. Hal ini, disebabkan bencana banjir, tanah longsor, dan kekeringan akan menjadi ancaman nyata bagi penduduk Kota Bandung.

Hutan alam merupakan anugerah Tuhan yang tak ternilai harganya. Dengan demikian, pemandangan kota menjadi asri, hijau, teduh, dan nyaman. Namun, jika hutan alam dirusak, maka malapetaka besar akan datang. Maka tidak aneh jika dalam kosmologi masyarakat Baduy Dalam Jawa Barat, ada istilah hutan adalah nenek moyang kita. Falsafah hidup ini juga ada dalam masyarakat Papua yang menyatakan bahwa hutan adalah ibu kita.

Tidak aneh jika masyarakat Baduy Dalam masih memercayai bahwa masih ada hutan yang pantang untuk dijarah (dimasuki) manusia. Mereka menganggap bahwa di dalam hutan tersebut ada kuburan nenek moyang yang tidak boleh dirusak. Jika hutan dirusak, maka akan mengakibatkan malapetaka (pamali).

Lebih dari itu, hutan tidak hanya terdiri dari pepohonan yang rindang. Namun, di dalam hutan ada tatanan kosmologi antara manusia dengan alam. Hutan mengandung sejuta manfaat bagi manusia. Hutan menyediakan air jernih murni, untuk memenuhi kebutuhan minum manusia dan makhluk lain. Hutan juga menyediakan kayu sebagai salah satu bahan untuk membuat rumah dan alat memasak bagi manusia.

Hutan tidak hanya benda "mati". Ia adalah benda hidup yang selalu memayungi kehidupan umat manusia. Betapa sudah banyak manusia mati akibat merusak hutan.

Sebagai nenek moyang, hutan merupakan sejarah luhur umat manusia. Ia adalah tempat bergantung dan berlindung. Hutan merupakan alam manusia yang selalu hidup dalam setiap kehidupan. Ketika hutan sebagai nenek moyang dirusak umat manusia, berarti manusia kehilangan arti kesejarahan hidup. Proses kesejarahan hidup umat manusia akan terputus. Dan pada akhirnya manusia akan menjadi makhluk terasing di bumi ini.

Dalam kasus Babakan Siliwangi, misalnya, pohon-pohon di sana akan ditebang dan dibakar di tempat. Betapa manusia melakukan kerusakan yang amat besar. Pohon-pohon di Babakan Siliwangi telah berumur puluhan bahkan ratusan tahun. Butuh dua generasi untuk menumbuhkan pepohonan tersebut.

Namun, pemerintah dan pengembang ternyata tidak pernah berpikir sampai di situ. Mereka hanya memikirkan keuntungan jangka pendek. Mereka tersesat dalam kubangan kapitalisme global yang membelenggu.

Pembangunan rumah makan tentunya tidak harus di Babakan Siliwangi, apalagi dengan merusak ekosistemnya. Masih banyak tempat lain, yang dapat dibangun rumah makan.

Babakan Siliwangi tidak hanya hutan alam kota saja. Babakan Siliwangi merupakan pertautan kosmologi masyarakat Sunda di Bandung Jabar dan alam. Hal ini disebabkan, Babakan Siliwangi merupakan bagian dari kawasan Bandung Utara dan ekor dari lembah Cikapundung, yang berfungsi sebagai daerah penampungan air hujan. Kondisi daerah Cikapundung telah rusak, daerah Pluncut dan Dago Pakar sebagian besar telah beralih fungsi menjadi permukiman dan komersial, tinggal Babakan Siliwangi yang diandalkan untuk menangkal banjir.

Menurut Sobirin, anggota dewan pakar dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), selama tiga tahun terakhir setiap musim hujan Sungai Cipaganti yang berada di bawah Punclut meluap. Ratusan rumah di Kelurahan Hegarmanah, Kecamatan Cidadap, terendam air dan lumpur. Jika Babakan Siliwangi dirusak, daerah genangan banjir akan lebih luas. Sebaliknya, pada musim kemarau, warga makin kesulitan air bersih. Suhu udara di Bandung juga meningkat. Jika 15 tahun lalu suhu di Bandung maksimal 17 derajat Celcius, kini mencapai 34 derajat Celcius.

Dengan demikian, merusak Babakan Siliwangi selain mengakibatkan rusaknya tatanan makro dan mikrokosmos bumi Bandung, masyarakat Bandung (Sunda) akan kehilangan hubungan simbolik dengan nenek moyangnya (hutan). Masyarakat Bandung dan sekitarnya akan menerima "buah" dari apa yang telah mereka kerjakan, berupa banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Lebih dari itu, masyarakat Bandung telah melupakan proses kesejarahan hidupnya dan meninggalkan falsafah kehidupannya sebagai ciri masyarakat Sunda yang beradab.***

Penulis, peneliti sosial.

Senin, 20 Oktober 2008

Guru Swasta Juga Manusia




WACANA Suara Merdeka, 20 Oktober 2008

KABAR duka datang dari nasib guru swasta Indonesia. Kenaikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di bidang pendidikan hingga 20 persen (Rp 248 miliar) ternyata tidak membuat guru swasta sejahtera. Mereka harus menunggu sampai menjadi guru negeri atau berstatus pegawai negeri sipil (PNS).

Hal ini dikarenakan, guru dengan status PNS akan mendapatkan gaji minimal Rp 2 juta per bulan mulai tahun 2009. Sedangkan guru swasta, sebagaimana biasanya, hanya mendapatkan gaji sesuai dengan jumlah murid yang diajar dan seberapa banyak jam mengampu mata pelajaran.

Kenaikan gaji guru berstatus PNS ini sungguh timpang. Guru PNS sepertinya dimanjakan oleh pemerintah. Sedangkan guru swasta dianggap bukan guru, sehingga tidak perlu disejahterakan. Hal ini tampak pada sistem pengajian. Belum lagi masalah kuota sertifikasi guru yang diskriminatif (75 persen untuk guru PNS dan 25 persen untuk guru swasta). Padahal, di negeri ini masih banyak guru berstatus honorer, bahkan tanpa digaji, yang mendidik anak bangsa agar dapat mandiri.

Guru swasta juga merupakan cikal bakal adanya guru negeri. Di masa awal kebangkitan nasional (1908), KH Ahmad Dahlan adalah seorang guru swasta yang mendidik masyarakatnya, tanpa digaji pemerintah. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah dengan sistem modern yang meniru kaum kolonial, ini merupakan bukti ketangguhan guru swasta. Guru swasta adalah pahlawan sejak ada sekolah di republik ini.

Namun, apakah nasib guru swasta hanya sebagai pahlawan saja, padahal mereka juga butuh hidup, menghidupi keluarganya, dan membayar pajak kepada pemerintah, di tengah gaji yang minim? Tidak adilnya sistem penggajian yang dilakukan pemerintah hanya akan makin mengerdilkan fungsi dan peran guru swasta dalam mendidik bangsa Indonesia. Guru swasta dianggap sebagai orang biasa yang tidak membutuhkan gaji, dan cukup dihibur dengan gelar pahlawan.

Gelar pahlawan tanpa tanda jasa bagi guru swasta hanyalah hiburan di tengah ketidakberdayaan. Sebutan ini juga sepertinya digunakan (alat) oleh pemerintah agar guru tidak banyak bersuara dan melakukan protes. Sebutan ini sepertinya dikonstruksi sedemikian rupa agar tugas guru adalah mendidik tanpa mendapatkan gaji yang layak. Dan yang patut mendapatkan kenaikan gaji hanyalah guru yang mengabdikan diri sebagai ‘’hamba negara’’ (PNS).
Kampanye Gratis
Guru PNS dianggap sebagai orang yang patut dikasihi dan digaji secara layak. Hal ini dikarenakan dengan penggajian yang layak suara mereka akan dengan mudah dimobilisasi untuk kepentingan Pemilu 2009. Lebih dari itu, dengan sistem komando sebagaimana Orde Baru ketika gaji guru dinaikkan, maka akan makin banyak guru yang simpati dengan pemerintahan. Pada akhirnya mereka akan dipilih kembali karena telah membawa aspirasi guru (PNS).
‘’Kampanye gratis’’ menggunakan uang negara, dengan kedok kenaikan gaji guru, untuk Pemilu 2009 sangatlah kentara. Salah satu indikatornya adalah pemerintah berusaha menaikkan anggaran pendidikan 20 persen menjelang akhir massa jabatan.

Sebelumnya pemerintah selalu berkelit ketika dimintai keterangan mengenai anggaran pendidikan minimal 20 persen. Anggaran 20 persen akhirnya dipenuhi pemerintahan SBY-JK menjelang Pemilu 2009, walaupun pemerintah harus kembali berutang kepada lembaga donor atau memangkas anggaran bidang lain.

Hal lain yang menjadi indikatornya adalah kenaikan anggaran pendidikan 20 persen tidak serta merta menjadikan sekolah gratis. Pemerintah berkelit tidak akan menggratiskan sekolah. Pemerintah hanya akan ingin meningkatkan mutu pendidikan. Pendidikan tetap saja harus bayar. Tidak ada yang gratis di negeri ini (no free lunch).

Maka tidak aneh jika sekarang marak demonstrasi yang dilakukan oleh guru swasta agar hak-hak mereka disamakan. Mereka menuntut kenaikan gaji. Mereka juga menuntut segera di-PNS-kan, jika pemerintah tetap tidak mau menyejahterakan guru swasta. Guru swasta memang harus tetap bersabar dan terus menunggu kehadirian ’’Semar’’: pemimpin bijaksana yang mau melihat realitas dengan nyata.

Guru swasta juga harus terus berpuasa dan menahan keinginan (kebutuhan) hidup yang mendesak. Kemiskinan akan terus menghantui setiap tidur mereka. Anak-anak mereka akan tetap menangis karena kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi. Guru swasta juga manusia. Mereka butuh kesejahteraan dengan gaji yang layak. Hal ini dikarenakan mereka juga pendidik bangsa. Bahkan keberadaan mereka lebih tua daripada usia negeri ini.

Pemerintah harus berperilaku adil terhadap guru. Tidak membedakan guru swasta dan guru negeri. Jika pemerintah masih saja berpegang teguh pada pendiriannya, bahwa guru PNS harus sejahtera dan guru swasta dimiskinkan, maka kehancuan negeri ini akan semakin dekat. Hal ini dikarenakan pemimpin negeri ini lalim dan menyia-nyiakan guru swasta yang notabene adalah pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia. Wallahu aĆ­lam. (32)

—Benni Setiawan, pemerhati pendidikan, penulis buku ’’Manifesto Pendidikan Indonesia’’ dan ’’Agenda Pendidikan Nasional’’.

Minggu, 19 Oktober 2008

Ketika Wong Cilik Jadi Dermawan




Kompas edisi Jatim, Jum'at, 17 Oktober 2008.

Penyaluran dana bantuan tunai langsung (BLT) yang menuai protes dari sejumlah kalangan ternyata menyisakan pelajaran berharga. Sebuah pelajaran (pendidikan) yang diajarkan secara langsung oleh orang miskin (wong cilik) kepada siapa saja yang ingin belajar dan mengambil hikmahnya. Pelajaran tersebut adalah solidaritas.

Solidaritas
Di tengah keadaan yang semakin susah, solidaritas biasanya akan pudar. Hal ini dikarenakan, ego pribadi akan muncul karena banyak tekanan baik dari intern maupun ekstern setiap manusia. Solidaritas biasanya muncul karena ada faktor kepentingan bersama.
Namun, wong cilik mengajarkan kepada kita semua arti penting saling berbagi. Mereka memberikan rizki yang telah diberikan Tuhan kepada sesamanya. Uang BLT yang sedianya Rp. 400.000,- tidak mereka terima secara penuh. Artinya, uang tersebut disisihkan sebagian dan disetor kepada Ketua RT atau Kepala Dusun (Kadus) untuk diberikan kepada sesama warga miskin yang tidak mendapat jatah BLT.
Mereka menyadari bahwa penderitaan yang mereka alami juga dialami oleh orang lain. Maka rizki sedikit dari program BLT juga harus dirasakan oleh sesamanya. Sebagaimana terjadi di berbagai daerah, seperti di Jember, Probolinggo, Surabaya dan daerah-daerah lain di Jawa Timur.
Warga di Surabaya, misalnya, dengan tulus ikhlas menyumbangkan Rp. 75.000,- kepada Kadus untuk dibagikan kepada warga lain yang tidak mendapat jatah BLT. Mereka berujar, “kulo niki tiyang mlarat. Namung, kulo tasih saget (gadah) pidamelan lan tasih gadah arto kagem dhahar. Kulo mboten kuwowo manawi mirsani sederek kulo ingkang langkung mlarat ketimbang kulo”. Saya ini orang miskin. Namun, saya masih dapat bekerja dan masih punya uang untuk makan. Saya tidak kuat kalu melihat saudara saya yang lebih miskin daripada saya.

Welas asih
Ketika saya mendengarkan perkataan tulus warga desa yang notabene adalah tetangga, saya langsung merinding. Betapa orang miskin di desa, masih mempunyai rasa welas asih kepada sesamanya. Mereka tidak pernah meng-aku-kan dirinya. Mereka lebih menekankan bagaimana ke-kita-an.
Ke-aku-an hanya akan meninggalkan kesombongan. Sedangkan ke-kita-an akan meninggalkan meminjam istilah A. Munir Mulkhan teologi welas asih.
Teologi welas asih adalah perwujudun cinta tulus ikhlas manusia kepada sesamanya. Manusia menyadari bahwa dirinya tidaknya berarti tanpa adanya orang lain. Manusia menyadari bahwa orang lain di sana lebih membutuhkan daripada dirinya.
Dengan demikian, apa yang mereka kerjakan senantiasa hanya mengharap ridho dari Tuhan Yang Maha Kasih. Ketulusan dan keikhlasan dalam memberi barang yang berharga muncul dengan sendirinya tanpa ada paksaan dari orang lain.
Orang-orang yang demikian mungkin adalah manusia pilihan Tuhan. Manusia yang sempurna dalam ibadahnya.
Sebagaimana dalam filsafat, Tzu Chi (sebuah gerakan yang dipelopori oleh biksuni Cheng Yen di Taiwan). Jika ingin berhasil mencapai suatu tingkatan dalam ibadah, jangan tinggal di atas gunung yang sepi atau dalam ruangan tertutup sambil membaca Parita untuk diri sendiri. Pencapaian tingkatan dalam melatih diri itu hanya dapat didapat di masyarakat. Master Cheng Yen, tak menekankan berapa banyak uang yang disumbangkan, melainkan seberapa besar niat baik dalam menyumbang (Intisari, April 2008).
Wong cilik, telah mempraktekan teori-teori di atas. Mungkin, mereka juga tidak tahu teori tentang welas asih. Namun, dalam jiwanya ada hati yang selalu mendorong untuk berbuat baik, tanpa harus ada yang memerintah.
Wong cilik—yang notabene mereka tidak berpendidikan tinggi--telah mengajarkan kepada kita semua tentang arti penting hidup berdampingan. Saling merasakan penderitaan orang lain di tengah himpitan ekonomi yang sebenarnya mendera dirinya sendiri.
Wong cilik, sepertinya sejenak melupakan kepenatan dalam hidupnya. Ia masih bisa tersenyum melihat secercah cahaya hidup. Ia sering kali “menundukkan kepala” guna melihat orang-orang yang hidup lebih menderita jika dibandingkan dengan dirinya.
Perilaku dan keteladanan wong cilik ini patut kita tiru. Kesederhanaan, ketabahan, dan sikap welas asih kepada orang lain disaat senang. Kesenangan atau kegembiraan dalam pandangan wong cilik harus dibagi. Karena mereka menyadari, bahwa hidup ini tidak akan bermanfaat tanpa melakukan derma (amal). Beramal dalam waktu lapang dan sempit selalu diajarkan oleh tuntunan keyakinan dan keagamaan apapun.
Dengan demikian, patutlah kita, sebagai orang yang mempunyai kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, mempunyai jabatan, pangkat dan kedudukan, serta rizki yang melimpah malu kepada wong cilik, jika kita tidak pernah berempati dan berderma kepada sesama.
Jabatan, pangkat, dan kedudukan tidaklah langgeng. Ia sewaktu-waktu hilang ditelan massa.
Jika disaat diberi rizki lebih oleh Tuhan Yang Maha Kaya, tidak pernah berempati dan berderma kepada sesama, maka, suatu saat ketika kita jatuh miskin, tidak mempunyai jabatan, pangkat dan kedudukan, kita akan dinistakan oleh Tuhan dan masyarakat.
Maka, pada dasarnya, saat ini kita telah “ditertawakan” kalau tidak mau disebut “dipermalukan” oleh wong cilik (orang miskin). Karena disaat himpitan ekonomi dan kerasnya hidup, mereka masih menyisakan ruang untuk berderma dan merasakan penderitaan orang lain. Bagaimana dengan diri Anda? Wallahu a’lam.

Benni Setiawan, Peneliti Lentera Institute.

Jumat, 10 Oktober 2008

Memotret Partisipasi dalam Pendidikan



Suara Merdeka, PEREMPUAN, 08 Oktober 2008

PARTISIPASI sejajar antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan publik merupakan salah satu prinsip mendasar yang diamanatkan di dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau CEDAW).

Ada data dari Susenas dalam Draf Ringkasan-Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia Per 25 Agustus 2005. Untuk jenjang SD/ MI rasio Angka Partisipasi Murni (APM) perempuan terhadap laki-laki selalu di sekitar angka 100.

Namun demikian rasio APM perempuan terhadap laki-laki untuk jenjang SMP/ MTs sejak tahun 1994 selalu lebih dari 100 persen, dan pada tahun 2004 sebesar 103,4.

Adanya rasio Angka Partisipasi Kasar (APK) perempuan terhadap laki-laki tampak, partisipasi perempuan pada jenjang SMP/ MTs lebih tinggi dibanding laki-laki dengan rasio sebesar 103,1 pada tahun 2003. Hal tersebut menunjukkan partisipasi penduduk perempuan lebih tinggi dibanding penduduk laki-laki.

Analisis lebih lanjut menemukan bahwa partisipasi penduduk perempuan pada kelompok miskin cenderung lebih tinggi dibanding penduduk laki-laki.

Rasio APM perempuan terhadap laki-laki pada jenjang pendidikan menengah menunjukkan fluktuasi yang cukup besar dari 95,2 (1994) menjadi 103,7 (2000) dan menjadi 98,7 (2004).

Peningkatan yang tajam pada tahun 1998-2000 diduga karena pengaruh menurunnya taraf ekonomi masyarakat yang menyebabkan banyaknya anak laki-laki yang putus sekolah karena harus bekerja.

Di tingkat perguruan tinggi, rasio angka partisipasi perempuan terhadap laki-laki meningkat dari 85,1 persen pada tahun 1992 menjadi 94,3 persen pada tahun 2003, dan sedikit menurun menjadi 93,2 persen pada tahun 2004.

Masih Rendah

Meskipun rasio APM tersebut cukup tinggi, jika dilihat nilai absolutnya tampak bahwa partisipasi pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi masih sangat rendah baik untuk laki-laki maupun perempuan.

Pada tahun 2004 APM jenjang pendidikan menengah mencapai 43,0 persen dan APM jenjang pendidikan tinggi sebesar 8,6 persen. Sementara itu, APK jenjang pendidikan menengah mencapai 54,4 persen dan APK jenjang pendidikan tinggi mencapai 10,8 persen.

Faktor yang menghambat di antaranya adalah aksesibilitas yang masih terbatas, seperti jumlah sekolah dan perguruan tinggi yang terbatas dan jarak tempuh yang jauh sehingga membatasi anak untuk bersekolah.

Lebih lanjut, pada tahun ajaran 2000/2001, persentase siswa perempuan yang bersekolah di SMK program studi teknologi industri baru mencapai 18,5 persen, program studi pertanian dan kehutanan 29,7 persen, sementara untuk bidang studi bisnis dan manajemen 64,6 persen.

Cukup tingginya tingkat partisipasi perempuan dalam dunia pendidikan setidaknya mendorong terjadinya perbaikan tingkat kemampuan keaksaraan.

Rasio APM Perempuan terhadap Laki-laki menurut Jenjang Pendidikan dan Tipe Daerah penduduk yang diukur dengan angka melek aksara, menunjukkan adanya peningkatan tingkat melek aksara penduduk usia 15-24 tahun ke atas. Dari 96,2 persen pada 1990 menjadi 98,7 persen pada tahun 2004.

Kesenjangan tingkat melek aksara laki-laki dan perempuan juga semakin kecil, yang ditunjukkan oleh meningkatnya rasio angka melek aksara penduduk perempuan terhadap penduduk laki-laki usia 15-24 tahun dari 97,9 persen pada tahun 1990 menjadi 99,7 persen pada tahun 2004.

Apabila kelompok penduduk usia diperluas menjadi 15 tahun ke atas, maka tingkat kesenjangan tingkat melek aksara penduduk laki-laki dan perempuan menjadi semakin lebar dengan rasio melek aksara perempuan terhadap laki-laki sebesar 92,3 persen.

Melek Aksara

Tingkat melek aksara penduduk perempuan naik secara berarti pada semua kelompok pengeluaran keluarga. Selain itu untuk kelompok usia 15-24 tahun tidak terdapat perbedaan tingkat melek aksara yang besar antara perempuan dan laki laki di semua kelompok.

Data tahun 2004 menunjukkan rasio angka melek aksara perempuan terhadap laki-laki sebesar 99,2 untuk kelompok termiskin dan sebesar 99,9 untuk kelompok terkaya.

Namun demikian jika rentang usia diperbesar menjadi 15 tahun ke atas, kesenjangan cukup nampak dengan rasio angka melek aksara perempuan terhadap laki-laki sebesar 89,1 untuk kelompok termiskin dan 96,4 untuk kelompok terkaya.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa tingkat melek aksara penduduk usia 15-24 tahun di pedesaan tidak memiliki perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan penduduk perkotaan.

Hal ini ditunjukkan oleh angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun yang hanya sedikit lebih tinggi di perkotaan dibanding perdesaan baik untuk laki-laki maupun perempuan.

Apabila kisaran usia diperlebar menjadi 15 tahun ke atas, tampak bahwa pada tahun 2004 kesenjangan tingkat melek aksara penduduk laki-laki dan perempuan di perdesaan (rasio 90,1) lebih besar dibanding penduduk perkotaan (rasio 94,9).

Tingkat keaksaraan penduduk usia 15-24 tahun pada tahun 2003 masih beragam antarprovinsi dengan kisaran angka melek aksara antara 94,2 persen sampai dengan 99,8 persen dengan rata-rata sebesar 98,6 persen.

Rasio angka melek aksara perempuan terhadap laki-laki secara rata-rata pada tahun 2003 sudah mencapai 100, namun demikian jika dipilah menurut provinsi kesenjangan masih nampak besar dengan kisaran rasio antara 89,6 (Papua) sampai dengan 103,1 (Gorontalo).

Apabila kisaran usia diperluas menjadi 15 tahun keatas, maka perbedaan antarprovinsi menjadi lebih nyata dengan rentang rasio melek aksara perempuan terhadap laki-laki antara 83,2 (NTB) dan 99,9 (Sulawesi Utara).

Pendidikan bagi perempuan bukan berarti mengerdilkan pendidikan bagi laki-laki. Pendidikan bagi perempuan pada dasarnya merupakan bukti nyata tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan untuk mendapat pengajaran yang layak di Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Wallahu a’lam.(Benni Setiawan, Penulis buku Agenda Pendidikan Nasional-80)