Search

Sabtu, 23 Desember 2006

Kompas, Rabu, 13 Desember 2006
Forum
Reorientasi dan Pengawasan Dana BOS
Oleh Benni Setiawan
Dana bantuan operasional sekolah atau yang akrab disebut BOS menjadi bahasan menarik akhir-akhir ini. Dana BOS yang diambil dari dana kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak menjadi permasalahan yang tidak kunjung usai.
Penerima (baca: pengelola) dana BOS, yaitu sekolah, sering kali kewalahan dalam mengelola dana ini. Orangtua murid pun menjadi bingung dengan dana ini. Mereka sering mengeluhkan, mengapa setelah adanya dana BOS pembiayaan sekolah menjadi mahal.
Persoalan lain yang mengitari BOS adalah rawannya penyelewengan. Di beberapa daerah diindikasikan banyak dana BOS yang menjadi lahan korupsi baru, perilaku yang akhir-akhir ini menjadi penyakit yang membahayakan bangsa dan negara.
Sebagaimana tercantum dalam buku petunjuk BOS, hanya delapan jenis yang boleh dibiayai dengan dana BOS, yaitu uang formulir pendaftaran, buku pelajaran pokok dan penunjang perpustakaan, peningkatan mutu guru, pemeliharaan, honor guru dari tenaga kependidikan honorer, kegiatan kesiswaan, ujian sekolah, dan transpor bagi murid yang mengalami kesulitan biaya transpor ke sekolah. Reorientasi
Reorientasi dana BOS menjadi bagian tak terpisahkan dari program ini. Artinya, ke mana dan untuk apa dana BOS digunakan harus sesuai dengan asas manfaat dan kepentingan yang mendesak.
Ketika kepentingan yang mendesak di sekolah adalah membantu meringankan beban orangtua murid, dana BOS harus lebih diorientasikan pada pengurangan beban biaya yang dibayarkan setiap bulan melalui sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP).
Hal ini juga berlaku apabila sekolah kekurangan dalam penyediaan fasilitas, misalnya ketika sekolah kekurangan dalam penyediaan buku-buku perpustakaan. Buku adalah sumber ilmu. Ketika perpustakaan sekolah masih kosong dan belum banyak buku ajar, pihak sekolah wajib mengalokasikan dana BOS untuk menyediakan buku-buku sebagai bahan referensi peserta didik atau guru.
Reorientasi penggunaan dana BOS dapat dilakukan dengan jalan mengundang wali murid, dewan sekolah atau komite sekolah, guru, dan pihak-pihak berwenang. Mereka diajak untuk membahas dan menyatukan persepsi mengenai dana BOS. Hal ini dilakukan untuk mengurangi prasangka atau ketidakjelasan yang diakibatkan tidak transparannya penggunaan dana BOS. Pengawasan dana BOS
Setelah dilakukan penyatuan persepsi mengenai apa dan untuk apa dana BOS, langkah selanjutnya yang dilakukan pihak sekolah dan masyarakat pada umumnya adalah mengawasi jalannya penggunaan dana itu.
Pengawasan dana BOS menjadi agenda yang tak kalah penting. Artinya, pengasawan ini dilakukan dalam bingkai keterbukaan atau akuntabilitas publik. Selain itu, pengawasan dana BOS juga dilakukan guna menekan sedemikian rupa praktik korupsi yang telah mendarah daging di negeri ini.
Pengawasan dana BOS dapat dilakukan oleh beberapa pihak. Pertama, komite atau dewan sekolah. Komite sekolah yang terdiri dari wakil pemerintah daerah, guru, tokoh masyarakat, dan wakil alumni mempunyai tanggung jawab dalam menjalankan fungsi kontrol. Komite sekolah dapat mengawasi jalannya penggunaan dana BOS dari dalam. Artinya, mereka dapat memantau segala kegiatan dan penggunaan dana BOS sebagai representasi sekolah itu sendiri.
Kedua, peran serta organisasi sosial keagamaan. Organisasi sosial keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) mempunyai tanggung jawab mengawasi penggunaan dana BOS. Muhammadiyah dan NU dapat melakukan pengawasan dengan menjalankan fungsi majelis pendidikan yang ada.
Sebagaimana kita ketahui, kedua organisasi ini mempunyai sistem atau amal usaha pendidikan dari tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Dengan demikian, tentunya mereka mempunyai badan yang secara khusus mengurus pendidikan.
Badan ini mempunyai tugas mengawasi penggunaan dana BOS dari dalam diri mereka sendiri. Hal ini dikarenakan dana BOS tidak hanya diturunkan oleh pemerintah untuk sekolah negeri, tetapi juga sekolah swasta yang dikelola yayasan pendidikan atau organisasi sosial keagamaan. Fungsi kontrol dari dalam tentunya memiliki kekuatan tersendiri bagi terciptanya masyarakat yang bersih.
Ketiga, peran lembaga swadaya masyarakat (LSM). LSM melalui lembaganya sendiri atau forum LSM mempunyai tugas untuk mencerdaskan masyarakat. LSM dapat berperan sebagai mitra kerja pemerintah dalam menginformasikan apa dan bagaimana seharusnya dana BOS digunakan.
Pada akhirnya, dana BOS sebagai program peningkatan kualitas pendidikan Indonesia sudah saatnya menjadi contoh yang baik untuk bangsa. Artinya, penggunaan dana BOS harus dapat mencerminkan setiap kebutuhan dan kepentingan yang mendesak untuk kemajuan pendidikan Indonesia. Hal yang lebih utama adalah penggunaan dana BOS harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa.
BENNI SETIAWAN Pemerhati Pendidikan

Bendera Parpol di Lokasi Bencana

Sinar Harapan, 24 Januari 2006
Bendera Parpol di Lokasi Bencana
OlehBenni Setiawan
Setelah diserang dengan isu korupsi dan menjadi lembaga terkorup dengan index 4.0, partai polilik (parpol) mengubah wujudnya menjadi lembaga yang dekat dengan rakyat. Hal ini tampak dengan merebaknya berbagai macam bendera Parpol yang membentang di beberapa wilayah bencana alam.Seorang teman bersama Keluarga Mahasiswa Banjarnegera yang berdomisilisi di Yogyakarta, beberapa hari yang lalu menyerahkan bantuan dari hasil sumbangan masyarakat untuk korban banjir dan tanah longsor di Banjarnegera. Pemandangan unik lagi menggelikan langsung mencolok mata. Berbagai macam atribut parpol yang biasanya keluar pada saat kampanye, menghiasi lokasi bencana itu. Bendera besar berwarna menyala sempat menutupi badan jalan menuju ke lokasi.Keberadaaan bendera parpol ini bukanlah hal yang baru di dalam masyarakat Indonesia. Ketika terjadi gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara awal tahun 2005 yang lalu, berbagai macam bendera partai pun berkibar dengan gagah di tempat penampungan, tenda-tenda darurat bahkan di berbagai tempat ibadah.Bahkan, konon, ada salah satu kontestan Pemilu 2004 yang berhasil masuk dalam tujuh besar perolehan suara melakukan perbuatan yang tidak perlu dicontoh. Parpol tersebut dengan telah sengaja memasang bendera partainya besar-besar di hampir seluruh sudut kota Aceh. Anehnya, mereka tidak berkeringat sama sekali. Artinya, mereka hanya memasang bendera partainya setelah lokasi tersebut bersih dari puing-puing bangunan yang hancur mayat-mayat yang membusuk. Relawan JengkelTentu hal ini membuat jengkel relawan yang dengan tulus ikhlas membersihkan tempat tersebut. Maka, setelah aksi pemasangan bendera selesai, para relawan juga melancarkan aksi, pencabutan atau pembersihan bendera dari lokasi bencana tsunami.Pemasangan bendera parpol telah menjadi simbol bahwa, parpol tersebut benar-benar mengakar dan peduli dengan keadaan rakyat. Walaupun pada kenyataanya, mereka hanya ongkang-ongkang dan main tunjuk. Perilaku picik ini dalam politik mungkin halal dan bahkan sangat dianjurkan. Akan tetapi, dari segi etika bangsa Indonesia, hal ini sangat memalukan dan merendahkan. Kehadiran parpol dengan misi pemasangan seribu bendera di lokasi bencana alam hanyalah bentuk pemihakan semu. Artinya, mereka nampaknya ingin cuci tangan terhadap dosa-dosa politik yang telah mereka lakukan.Parpol ingin mengembalikan kepercayaan masyarakat bahwa dirinya adalah lembaga yang patut untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Hal ini ditunjukkan dengan model pemasangan benderanya di lokasi bencana alam. Akan tetapi, mereka melupakan satu hal, bahwa rakyat sekarang tidak mudah dibohongi dengan janji-janji politik yang muluk-muluk.Masyarakat sekarang sudah bisa menganalisis sebuah persoalan. Melalui media cetak dan elektronik, masyarakat akan tahu dalam hitungan menit bahkan detik apa yang telah dilakukan oleh anggota DPR. Anggota dewan sebagai representasi parpol telah banyak melukai bangsa Indonesia. Bahkan, luka yang lebih dahsyat dari pada musibah bencana alam. Ketika, bencana alam menyerang, masyarakat masih dapat meminta bantuan dari tetangga di lain desa atau kepada masyarakat yang terketuk hatinya untuk menyumbangkan (menyisihkan) sebagian hartanya untuk orang lain yang kesusahan.Tutup Mata Hal ini jelas berbeda dengan sepak terjang anggota dewan yang terhormat. Mereka telah membuat dan atau menyetujui kenaikan harga BBM dengan kompensasi gaji dan tunjangan mereka naik sekian ratus persen, sesuai dengan Kelayakan Hidup Layak (KHL) seorang pejabat negara.Mereka menutup mata dan pendengarannya terhadap rintihan rakyat dan buruh yang menderita akibat kenaikan harga BBM. Anggota dewan juga dengan ”PD” melancong ke luar negeri, yang konon katanya kunjungan dinas atau studi banding. Akan tetapi di luar negeri malah membeli barang-barang bermerek untuk oleh-oleh keluarganya. Kembali pada persoalan pemasangan seribu bendera di lokasi bencana alam. Pemasangan seribu bendera ini juga digunakan sebagai alat kampanye (baca: pencurian start kampanye). Sebagaimana di wilayah Banjarnegera. Beberapa bulan lagi, Banjarnegera, akan melangsungkan pilkada Bupati dan Wakil Bupati. Beberapa calon sudah menebarkan senyum dan memberikan bahan makanan, obat-obatan dan kebutuhan hidup pokok lainnya. Truk-truk penggangkut barang-barang tersebut terbentang bendera parpol dan spanduk yang bertuliskan, ”Sumbangan dari Bapak/ Ibu B”.Pamer kekuatan dan seberapa besar jumlah sumbangan yang diberikan kepada masyarakat dijadikan sarana atau media kampanye yang paling efektif. Sekarang mereka menyumbang dengan uang pribadinya. Kelak setelah menjadi pejabat, mereka akan minta ganti rugi atau mengembalikan modal yang telah ia keluarkan dengan membuat program kerja fiktif.
Penulis adalah Direktur Yayasan Nuansa Sejahtera, Yogyakarta
Wednesday, March 29, 2006

Rumah Ibadah adalah Hak
SUARA PEMBARUAN DAILY , 29 Maret 2006
Rumah Ibadah adalah Hak
Oleh Benni Setiawan
AKHIRNYA, Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri ditandatangani juga. SKB ini adalah revisi dari SKB No 1 Tahun 1969 tentang kerukunan umat beragama. Munculnya SKB baru ini menimbulkan pro dan kontra. Di antaranya, persoalan pendirian rumah ibadah. SKB Dua Menteri ini menyaratkan pendirian rumah ibadah dengan dukungan 90 warga (umat) yang dibuktikan dengan KTP dan 60 dukungan dari warga sekitar.
Di alam keterbukaan seperti sekarang ini, mengapa hal-hal agama masih saja menjadi urusan pemerintah. Kebijakan yang ada pun cenderung merugikan kalau tidak mau disebut meresahkan pemeluk agama lain.
Sebagaimana hasil keputusan yang tertuang di dalam SKB Dua Menteri di atas. Mendirikan rumah ibadah menjadi hal yang sulit dan cenderung dipersulit. Mengapa kebebasan beragama belum dapat terwujud di bumi Indonesia yang multikultural?
Terbitnya SKB Dua Menteri ini menunjukkan masih kuatnya dominasi pemerintah dalam urusan agama. Lebih lanjut, SKB Dua Menteri ini telah menyalahi aturan utama bangsa Indonesia, yaitu UUD 1945. Dalam Pasal 29 UUD 1945 dinyatakan bahwa, pemerintah menjamin agama dan kepercayaan masyarakat dan memberikan kebebasan untuk menjalankannya sesuai dengan aturan atau tata cara yang berlaku.
Dalam Pasal 29 tersebut di atas, dengan jelas menyatakan bahwa pemerintah menjamin kebebasan beragama. Dengan demikian, pemerintah seharusnya juga memberikan kemudahan kepada pemeluk agama dan kepercayaan untuk menjalankan ibadahnya. Tentunya menjalankan ibadah membutuhkan sarana dan prasarana, termasuk di dalamnya rumah ibadah.
Rumah ibadah bukan hanya digunakan untuk beribadah saja, melainkan untuk tegur sapa, saling mengenal, dan berdiskusi guna menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Jika kita menilik sejarah Islam misalnya, kita akan dapat menemui bahwa tempat ibadah (Masjid) dijadikan Muhammad tempat untuk menyusan strategi dakwah demi mensiarkan Islam. Ketika pendirian rumah ibadah sebagai basis pencerahan masyarakat sudah dibatasi dan cenderung dipersulit, bagaimana bangsa Indonesia dapat berkembang dan maju?
Rumah ibadah adalah sentral kegiatan umat. Artinya, rumah ibadah adalah salah satu alat untuk mendekatkan diri kita kepada Tuhan dan umat. Di dalamnya akan terjadi proses keberagamaan yang saling menyapa. Dengan demikian, umat tidak hanya terjebak kepada rutinitas ritual keagamaan, akan tetapi, lebih dari itu, umat dapat menggunakannya sebagai tempat beraktualisasi diri.
Mendirikan rumah ibadah dengan syarat yang ndakik-ndakik ini juga telah melanggar Resulusi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Intoleransi Berdasarkan Agama. Pada Pasal 6 ayat 1 dinyatakan bahwa, "untuk beribadah atau berkumpul berkaitan dengan agama atau keyakinan, dan untuk mendirikan dan mempertahankan tempat-tempat bagi maksud-maksud itu".
Dalam pasal ini dijelaskan bahwa, setiap pemeluk agama dan keyakinan berhak membuat dan mempertahankan rumah ibadah sebagai sarana beribadah dan berkumpul. Dengan demikian, Deklarasi ini sangat melindungi pendirian rumah ibadah dengan tanpa syarat apapun. Hal ini dikarenakan, rumah ibadah adalah salah satu hak kebebasan berfikir, nurani, agama, atau keyakinan.
Lebih lanjut, pada Pasal 3 dinyatakan bahwa, "diskriminasi antarmanusia berdasarkan agama atau keyakinan merupakan penghinaan terhadap martabat manusia dan pengingkaran terhadap prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan akan dijatuhi hukuman sebagai pelanggaran terhadap Hak-hak Asasi Manusia dan dinyatakan secara rinci dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia, dan sebagai rintangan bagi hubungan persahabatan dan perdamaian antarbangsa".
Dua aturan di atas (UUD 1945 Pasal 29 dan Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Intoleransi Berdasarkan Agama) dengan jelas memberikan kebebasan tanpa syarat tentang pendirian rumah ibadah. Hal ini dikarenakan rumah ibadah adalah hak setiap pemeluk agama dan keyakinan, guna mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan umatnya.
Terbitnya SKB Dua Menteri ini setidaknya telah "menganggu" jalannya kerukunan umat beragama. Lebih lanjut, kebebasan berekspresi beragama, masih menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan. Artinya, masih ada rasa saling curiga (takut) antarpemeluk agama.
Umat beragama sudah saatnya tanggap terhadap persoalan ini. Persoalan ini bukan hanya akan mengancam kerukunan umat beragama, lebih dari itu dapat mengancam disintegrasi bangsa.
Umat beragama sudah saatnya legowo dalam menerima kehadiran umat beragama lain. Menjauhkan rasa atau sikap curiga menjadi kunci utamanya. Agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan kepada umatnya. Tidak ada satupun agama dan kepercayaan yang mengajarkan permusuhan antarsesamanya.
Dengan banyaknya rumah ibadah yang dibangun dan dirikan, hal ini berarti umat beragama di Indonesia mempunyai sikap toleransi yang baik. Sikap ini akan mendorong terwujudnya tatanan masyarakat adil, makmur dan sejahtera yang diridhoi Tuhan YME.
Banyaknya rumah ibadah yang dibanjiri umat juga akan mendorong terciptanya transformasi sosial. Lebih dari itu, rumah ibadah yang banyak didatangi umat, menandakan umat beragama dekat dengan Tuhan dan dekat dengan umat. Dengan demikian, ia akan mampu bertanggung jawab terhadap apa yang telah dikerjakan. Hal ini disebabkan umat memaknai kebesaran Tuhan dan fungsi hidup rukun dan damai. Semoga. *
Penulis adalah alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Direktur Yayasan Nuansa Sejahtera.

Menggugat Sekolah Sehari Penuh

Sinar Harapan, 14 Januari 2006
Menggugat Sekolah Sehari Penuh
OlehBenni SetiawanSekolah dengan sistem full day (sehari penuh) menjadi tren masyarakat modern yang semakin sibuk. Ia rela mengeluarkan banyak uang untuk membiayai sekolah untuk pendidikan anak-anaknya. Orang tua telah banyak sibuk beraktifitas di luar rumah. Kondisi yang demikian telah dimanfaatkan oleh pengelola sekolah untuk melakukan (baca: menyediakan) pendidikan secara maraton dari pagi hingga sore hari.Sekolah sehari penuh juga menjadi keprihatian bagi kondisi orang tua sekarang ini. Orang tua telah menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak-anaknya kepada sistem sekolah. Ia tidak mau tahu lagi bagaimana anaknya. Artinya, tidak ada waktu lagi bagi orang tua untuk bercengkerama dan berdiskusi kecil dengan anaknya. Anak telah lelah dengan sekolah hingga sore, demikian pula orang tua telah lunglai dengan pekerjaan yang menumpuk.Sekolah telah mencabut kewajiban orang tua mendidik anak-anaknya. Kewajiban mendidik anak ada pada orang tua, bukan sekolah. Yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan psikis anak dan yang lain adalah karena didikan orang tua, bukan sekolah. Sekolah hanya fasilitator dan pengembang terhadap potensi yang dimiliki anak. Sekolah sehari penuh juga telah mencabut kedaulatan anak. Artinya, anak usia dini 5-13 adalah masa pencarian dengan bergembira dengan teman-teman sebayanya. Ia akan sangat keberatan dengan sekolah sistem sehari penuh, di mana mereka hanya dihadapkan pada mata pelajaran dan buku-buku. Hanya sedikit waktu untuk bergurau dan bermain bersama kawan-kawannya. Hakikat PendidikanKerugian lainnya adalah habisnya waktu mereka untuk bersama keluarga sebagai tempat bernaung. Keluarga hanya dijadikan tempat meminta uang saku dan uang bulanan sekolah. Keluarga tidak tahu bagaimana anak-anak mereka beraktifitas dengan bebas. Sekolah jenis ini konon memadukan sistem pendidikan nasional dengan pendidikan agama. Budi pekerti juga tidak terlepas dari problem sosial yang sudah mendarahdaging, yaitu mahalnya biaya pendidikan. Bahkan lebih mahal dari pada universitas negeri sekalipun. Orang tua anak diformat sedemikian rupa untuk mau membayar uang bulanan dan biaya pengasuhan anak. Paparan di atas adalah sedikit dari gambaran kelemahan sistem sekolah sehari penuh di samping kelebihannya, seperti, membangun sikap disiplin dalam belajar, kutu buku dan seterusnya. Sebagaimana telah disampaikan di muka, bahwa orang tua sekarang sudah banyak disibukkan dengan aktifitas pribadinya dan melupakan anak dan keluarganya. Ia hanya mengejar kebahagiaan dunia yang tidak akan ada habisnya. Mereka bekerja siang dan malam tanpa memikirkan aspek-aspek yang selama ini telah memperburuk kondisi bangsa indonesia. Mengembalikan hakikat pendidikan mungkin adalah solusinya. Artinya, hakikat pendidikan pada dasarnya terletak atau menjadi tanggung jawab orang tua. Orang tualah yang bertanggung jawab mencetak dan membentuk anak menjadi orang yang beriman, preman, penjahat, koruptor dan seterusnya. Pendidikan orang tua adalah esensi dari pendidikan. Meluangkan WaktuKecenderungan orang tua zaman sekarang yang telah sibuk dengan materi selayaknya menjadi keprihatinan bangsa Indonesia. Indonesia ternyata mempunyai generasi yang dididik bukan dari orang tuanya secara langsung melainkan oleh ”pembantu” yang dibayar dan diperintah kapan pun. Orang tua yang baik adalah yang mampu menyeimbangkan pekerjaan dan mendidik anak. Ketika salah satu timpang maka yang terjadi adalah kerusakan rumah tangga—kalau tidak mau disebut broken home. Orang tua harus meluangkan waktunya untuk mendidik anak. Mendidik anak tidak melulu menanyakan apakah hari ini ada PR atau tidak, atau hanya bertanya dapat nilai apa hari ini. Mendidik juga berupa sikap orang tua yang perhatian terhadap anaknya. Ambil contoh, ia selalu membangunkan anaknya di pagi hari dan mengajaknya untuk beribadah tepat pada waktunya, mengajak menyapu, bersosialisasi dengan keluarga dan tetangga.Semua itu dapat dilakukan dengan banyaknya waktu luang antara orang tua dan anak. Orang tua harus sudah pulang sebelum petang atau siang hari dan menyiapkan makan untuk anak-anaknya ketika pulang sekolah. Demikian juga anak, ia harus segera pulang ke rumah, ketika tidak ada kepentingan penting yang harus dikerjakan.Kondisi ini tentunya paradoks dengan sistem full day school. Anak dipaksa pulang sore hari dan istirahat menjelang petang, bertemu dengan orang tua sudah larut malam. Ia tidak lagi sempat bercengkerama dengan orang tuanya karena ia harus segera tidur dan menyiapkan segala sesuatunya untuk esok hari. Kondisi yang demikian juga membuat anak didik tidak lagi dapat bersosialisasi dengan keluarga atau tetangganya. Waktunya habis untuk sekolah dan belajar. Ia akan menjadi anak yang buta terhadap realitas sosial dan menjadi anak yang individualistik.Oleh karena itu, sudah selayakanya keberadaan sekolah sehari penuh ini ditinjau kembali. Artinya, kewajiban untuk mengasuh dan mendidik anak utamanya menjadi tanggung jawab orang tua, bukan guru.
Penulis adalah pemerhati pendidikan, tinggal di Yogyakarta

Fenomena Bunuh Diri Peserta Didik

Pikiran Rakyat, Selasa, 07 Februari 2006
Fenomena Bunuh Diri Peserta Didik
Oleh BENNI SETIAWAN
BUNUH diri yang dilakukan oleh peserta didik (siswa) akhir-akhir ini kembali marak. Jumat (27/01/2006) seorang anak di Lampung bunuh diri, dua hari sebelumnya seorang anak di Bantul Yogyakarta gantung diri, karena frustrasi dengan kemiskinan yang membelit keluarganya. Masih segar dalam ingatan kita, betapa seorang anak nekat gantung diri akibat seragam pramukanya masih basah, tidak mampu membayar SPP sebesar Rp 2.500,00 per bulan, tidak mampu membayar biaya ekstrakurikuler, dan seterusnya.
Peristiwa tersebut di atas sungguh menyedihkan. Artinya, peserta didik sebagai generasi penerus bangsa dan negera bermental rendah dan takut menghadapi hidup. Peserta didik tidak lagi mendapatkan kebahagiaan yang semestinya mereka dapatkan di masa anak-anak. Kemiskinan dan keterbelakangan telah merenggut hak-haknya untuk hidup bahagia.
Mengapa peserta didik, dengan mudah mengakhiri hidupnya dengan cara-cara yang tidak wajar? Ada apa dengan sistem pendidikan di Indonesia?
Fenomena bunuh diri peserta didik yang marak akhir-akhir ini menjadikan bukti tidak sehatnya sistem pendidikan di Indonesia. Artinya, pendidikan Indonesia sekarang ini lebih berorientasi pada kognitis belaka. Lebih daripada itu, pendidikan di Indonesia seringkali memperlihatkan perbedaan yang mencolok mengenai status sosial.
Anak orang miskin, sekolah dengan sederhana dan apa adanya. Tidak ada fasilitas pendukung seperti laboratorium, fasilitas olah raga yang lengkap dan seterusnya. Di sini lain, anak orang-orang kaya bergelimangan dengan fasilitas dan kehidupan mewah mengitarinya. Perbedaan mencolok ini seringkali menjadi kecemburuan di dalam masyarakat.
Hal ini diperparah oleh kondisi sosial kemasyarakatan. Artinya, kehidupan masyarakat Indonesia seringkali sama dengan apa yang telah dipertontonkan di layar televisi. Televisi telah menyulap kebaikan dengan keburukan dan sebaliknya. Dalam televisi, peserta didik digambarkan dengan penuh persaingan dan saling ejek mengenai status dan strata sosial.
Peserta didik selalu ditekan oleh keadaan yang tidak menentu. Di sekolah mereka tidak mendapatkan teman dan kebebasan untuk berekspresi. Dan di rumah mereka berhadapan langsung dengan kondisi keluarga yang miskin.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana peristiwa tersebut dapat disiasati dan dicarikan jalan keluarnya? Pertama, pemerintah harus bertanggung jawab dalam menyediakan anggaran pendidikan yang lebih daripada bidang lain. Anggaran pendidikan 20% dari APBN sudah saaat diusahakan. Dengan anggaran ini diharapkan keluarga miskin tidak lagi terbebani masalah biaya pendidikan yang mahal. Kedua, peran serta guru di sekolah. Guru di sekolah harus menciptakan suasana dialogis dan menyenangkan bagi peserta didik. Artinya, kondisi sekolah yang damai, ramah, dan menyenangkan akan dapat menekan tingkat frustrasi peserta didik. Ketiga, adalah penciptaan kondisi kesetiakawanan. Rasa persahabatan antara sesama peserta didik harus mulai ditumbuhkan lagi. Artinya, gap-gap (kelompok-kelompok kecil) sudah harus diakhiri. Peserta didik harus didorong untuk dapat menerima perbedaan. Hal ini disebabkan, perbedaan adalah kenyataan yang harus dihadapi. Keadaan seperti ini dapat diwujudkan dengan peran serta orang tua, guru, dan masyarakat itu sendiri.
Pada akhirnya, peran serta semua pihak untuk mencegah terjadinya bunuh diri peserta didik adalah kunci utama. Masyarakat tentunya tidak menginginkan generasi masa depan bangsa tidak dewasa dalam menyikapi persoalan dalam hidup.***
Penulis, penulis buku ”Manifesto Pendidikan Indonesia”.

Ketika Peserta Didik Kesurupan

Jumat, 24 Maret 2006 Republika
Ketika Peserta Didik Kesurupan
Benni Setiawan
Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia
Sungguh ironis dunia pendidikan Indonesia. Setelah merebaknya bunuh diri peserta didik dan unjuk rasa ribuan guru menuntut kesejahteraan, kini kembali peserta didik menjadi korban. Baru-baru ini, di berbagai wilayah Indonesia, peserta didik diberitakan kesurupan.
Peserta didik kesurupan terjadi di Yogyakarta, 6 Maret 2006; Madura, awal Februari; dan pertengahan Maret lalu, puluhan peserta didik di Surabaya dan Banjarmasin mendadak kejang-kejang, konon katanya kesurupan.
Keadaan tersebut di atas sungguh kurang dapat diterima oleh akal sehat. Artinya, peserta didik yang dididik berdasarkan ilmu pengetahuan dengan berbagai ragam teori yang dapat dipertanggung jawabkan secara moral, menjadi ''bulan-bulanan'' makhluk halus. Menariknya, fenomena kesurupan ini justru menjelang dan saat diadakan ujian tengah semester atau ulangan harian. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah ada apa dibalik kesurupan peserta didik?
TekananKesurupan dapat terjadi ketika pikiran kosong dan keadaan peserta didik yang kurang baik. Kesurupan bisa terjadi atau disebabkan adanya makhluk halus yang masuk. Kesurupan bisa juga datang ketika banyak melamun atau karena banyak tekanan dari luar maupun dari dalam diri.
Menurut Dr Dadang Hawari sebagaimana dikutip oleh Republika, 23 Maret 2006, mengatakan kesurupan adalah reaksi kejiwaaan yang dinamakan desosiasi. Reaksi itu mengakibatkan hilangnya kemampuan untuk menyadari realitas sekitarnya, disebabkan tekanan fisik maupun mental.
Tekanan berupa dari dalam bisa disebabkan banyaknya persoalan dalam rumah tangga yang menjadi beban pikiran. Lainnya persoalan ekonomi keluarga dan kurang pergaulan, sehingga waktunya banyak dihabiskan untuk melamun dan seterusnya.
Tekanan dari luar, seperti banyaknya beban pelajaran yang harus diselesaikan berdasarkan tenggang waktu yang tersedia. Hal ini banyak dikeluhkan dan dikritik oleh pakar pendidikan. Beban mata pelajaran di Indonesia melebihi kapasitas dan kewajaran. Beban mata pelajaran di Indonesia setiap pekan lebih dari 48 jam. Hal ini jauh jika dibandingkan mata pelajaran yang ada di luar negeri: sekitar 22 jam per pekan.
Beban berat mata pelajaran ini masih ditambah dengan program les (jam tambahan) yang diadakan sekolah dan sistem sekolah sehari penuh. Peserta didik juga semakin tertekan oleh keadaan sekitar yang kurang mendukung. Seperti teman-teman yang kurang baik, guru yang kurang responsif, keadaan sekolah yang kotor, dan seterusnya.
SinetronTekanan dari luar juga dapat berbentuk maraknya tayangan sinetron yang mengklaim dirinya religius. Tayangan ini telah banyak mempengaruhi masyarakat Indonesia dalam pola pikir dan tingkah laku. Bahkan beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah surat pembaca di sebuah harian nasional dinyatakan bahwa seorang anak kecil berumur lima tahun merasa ketakutan oleh suara atau bunyi lagu soundtrack yang mengiringi tayangan tersebut. Sungguh keadaan yang menyedihkan.
Lebih lanjut, tayangan ini telah merasuk dalm pikiran dan jiwa masyarakat Indonesia, sehingga setiap kejadian yang sebenarnya dapat diselesaikan dengan pikiran yang akademis dan logis, menjadi sebuah perkara yang selalu disandingkan dengan peristiwa mistik atau klenik.
Faktor-faktor tersebut di atas sudah seharusnya disadari oleh pihak-pihak yang terkait dalam dunia pendidikan. Peristiwa kesurupan sudah saatnya dijelaskan atau diurai secara ilmiah, bukan dengan pendekatan mistik atau klenik. Guna mengurangi atau setidaknya menekan keadaan ini, beberapa hal yang perla dilakukan adalah: pertama, kesediaan dan kerelaan guru membimbing dan mengarahkan peserta didik dengan kasih sayang.
Guru adalah orang tua kedua bagi peserta didik. Dengan demikian, menjadi tugas guru untuk selalu memperhatikan perkembangan setiap peserta didik. Mungkin yang lebih dapat berperan dalam masalah ini adalah guru wali kelas atau guru Bimbingan Konseling (BK). Hal ini dikarenakan mereka lebih banyak bersinggungan atau bertatap muka dengan peserta didik.
Mendidik dengan kasih sayang akan dapat menghasilkan peserta didik yang mampu bertanggung jawab. Artinya, peserta didik akan mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Dengan demikian, ia akan merasa senang dan bahagia dengan apa yang telah diperbuatnya.
Kedua, peran orang tua. Orang tua wajib mengingatkan atau mendampingi anak-anaknya dalam setiap kesempatan. Artinya, ketika di berbagai tayangan televisi sudah tidak lagi menyuguhkan hal-hal yang mendidik, menjadi kewajiban orang tua untuk mendampingi dan kalau perlu mengingatkannya. Proses pendampingan dan tegur sapa ini akan semakin mendekatkan peserta didik dengan orang tuanya. Dengan demikian, peserta didik merasa diperhatikan dan mempunyai teman untuk berkeluh kesah.
Pada akhirnya, fenomena kesurupan yang melanda dunia pendidikan kita, pada dasarnya bukan hanya karena ''faktor X'' saja. Fenomena ini adalah kejadian yang biasa terjadi. Maka dari itu, fenomena kesurupan sudah saatnya diselesaikan dengan pendekatan pedagogis (pendidikan), bukan dengan mistik atau klenik. ( )

Sinergi antara Penulis, Penerbit, dan Toko Buku

Senin, 01 Mei 2006
Forum Kompas
Sinergi antara Penulis, Penerbit, dan Toko Buku
Oleh Benni Setiawan
Menarik membaca tulisan Abdul Muid Badrun (Kompas, 28/3), berjudul Memperbaiki Hubungan Penulis dan Penerbit. Dalam ulasannya, ditandaskan pada tiga hal. Pertama, perjanjian penerbitan yang cenderung merugikan penulis dan banyak menguntungkan penerbit. Kedua, inkonsistensi penerbit. Banyak penerbit yang lari dari tanggung jawab untuk membayar royalti kepada penulis. Dan ketiga, pasar perbukuan.
Tulisan ini hanya sebagai catatan tambahan atas pemikiran tersebut di atas.
Dunia penerbitan pascadicabutnya Surat Izin Usaha Penerbitan dan Percetakan (SIUPP) bak jamur di musim hujan. Kebebasan berekspresi dan melontarkan gagasan melalui tulisan ditanggapi dengan munculnya banyak penerbit. Penerbit tidak hanya berdiri di kota-kota besar, ia sudah berdiaspora dan mengembangkan jaringannya hingga ke pelosok desa.
Persoalan yang muncul kemudian adalah banyaknya penerbit buku yang dicap ilegal. Artinya, mereka tidak memiliki badan hukum yang menjamin keberadaannya. Selain itu, banyak penerbit kecil yang memulai usahanya dengan buku-buku terjemahan terganjal copyright (hak cipta) dari penulis aslinya. Hal ini ditambah dengan kualitas terjemahan yang jauh dari sempurna.
Persoalan-persoalan tersebut sering kali dihadapi penerbit- penerbit baru. Mungkin benar apa yang dikatakan Abdul Muid Badrun, banyak penerbit yang hidup berdasarkan "koncoisme". Dengan sistem ini, mereka dapat bertahan hidup dan dapat menunjukkan eksistensi pada publik. Walaupun penulis atau penerjemah tidak mendapatkan hasil dari jerih payahnya.
Persoalan lain yang sering menghinggapi penulis adalah kurang pahamnya penulis tentang bahasa "penerbit korup". Penerbit korup adalah penerbit yang dengan sengaja mencari keuntungan dari kelemahan penulis dalam mencermati surat perjanjian penerbitan. Penerbit sengaja mengaburkan beberapa hal penting dalam surat perjanjian, misalnya waktu pembayaran royalti.
Dalam surat perjanjian, dan hal ini sering tidak dipahami penulis adalah kejelasan tanggal pembayaran. Biasanya dalam surat perjanjian tertera pembayaran akan dilakukan selama empat bulan sekali pada bulan Januari, Mei, dan September, misalnya. Kebanyakan surat perjanjian tidak mencantumkan pada tanggal berapa penulis mendapatkan kepastian. Selain itu, dalam surat perjanjian tidak secara jelas disebutkan kapan waktu cetak ulang. Sehingga, banyak penulis yang tidak mendapatkan royalti walaupun bukunya telah dicetak berulang kali. Tidak jujur
Hal lain yang menjadi kendala atau memutus mata rantai dunia perbukuan adalah toko buku yang korup. Artinya, macetnya pembayaran royalti untuk penulis juga dikarenakan banyaknya toko buku yang tidak jujur.
Ambil contoh, banyak penerbit dan bahkan merupakan keharusan penerbit untuk menyediakan diskon bagi pembeli (konsumen). Diskon ini diberikan penerbit kepada toko buku agar konsumen tidak merasa berat membeli buku. Apa yang terjadi? Banyak toko buku yang tidak memberikan diskon pada konsumen. Ini menyebabkan banyak konsumen yang komplain kepada penerbit mengenai mahalnya buku-buku terbitannya.
Biasanya, toko-toko buku besar cenderung menguasai pangsa pasar perbukuan nasional lebih korup dibandingkan toko buku kecil. Banyak toko buku besar, katakan X, sering kali "memeras" penerbit untuk meminta diskon hingga 50 persen. Persoalannya adalah diskon sebesar itu tidak pernah diberikan kepada konsumen. Toko buku besar juga sering kali melempar buku-buku yang ada jika dalam waktu dua bulan atau jangka waktu tertentu tidak laku.
Toko buku merasa dia adalah penguasa atau pemegang beberapa kawasan penjualan di seluruh Indonesia. Kesewenangan toko buku besar itu dirasakan (merugikan) penerbit buku dan konsumen. Lebih dari itu, toko buku sering kali mengulur-ulur waktu pembayaran atau laporan hasil penjualan. Dengan sistem konsinyasi (nitip), penerbit sering kali percaya kepada toko buku untuk memasarkan produk-produknya. Dalam surat kerja sama penjualan biasanya ada nota yang menyatakan bahwa toko buku harus memberikan laporan tertulis kepada penerbit tentang hasil penjualan bukunya.
Kesepakatan ini sering kali diingkari toko buku. Sering kali toko buku tidak memberikan laporannya tepat waktu dan cenderung memanipulasi data penjualan.
Bagi penerbit kecil, ia harus menahan mimpi mendapat keuntungan yang banyak. Hal ini dikarenakan setiap naik cetak, penerbit harus membiayai terlebih dahulu ongkos cetak, mulai dari membeli kertas, cetak, ongkos pekerja, dan seterusnya, yang hal itu semua harus dibayar tunai di muka.
Guna mengakhir ketimpangan-ketimpanganitu, beberapa hal mungkin dapat dilakukan. Pertama, adanya kejujuran dari penerbit pada penulis mengenai mekanisme pembayaran yang dimulai dari pembuatan surat perjanjian. Penerbit setidaknya memelopori bagaimana mencari keuntungan dengan benar dan baik tanpa harus merugikan salah satu pihak.
Penulis pun juga harus dapat belajar dari penulis-penulis senior yang banyak pengalaman mengenai dunia penerbitan buku. Penulis diharapkan mampu membaca setiap isi perjanjian guna menghindari kerugian yang disebabkan oleh kelalaian penulis sendiri. Kedua, keberanian penerbit buku untuk keluar memasarkan produknya sendiri. Artinya, ia dapat menggunakan momen pameran atau bazar buku untuk mendekatkan dirinya dengan konsumen. Dengan demikian, penerbit dapat mendengar keluh kesah konsumen. Dengan menggelar atau ikut serta dalam bazar atau pameran buku, penerbit dapat memangkas atau memotong birokrasi toko buku yang korup.
Ketiga, kejujuran toko buku. Toko buku harus dapat bersikap arif terhadap keberadaan penerbit. Hal ini dikarenakan tidak semua penerbit bermodal besar, dengan berbagai proyek. Masih banyak penerbit yang bermodalkan idealisme dan semangat untuk menyebarluaskan hasil karya orang lain.
Benni Setiawan Penulis Buku, Pernah Bekerja pada Sebuah Penerbit Kecil Tinggal di Sukoharjo Jawa Tengah

Menguak Agenda Besar Pendidikan

Menguak Agenda Besar Pendidikan NasionalOleh Benni Setiawan
Rabu, 22 November 2006Pendidikan memainkan peranan penting dalam proses pencerdasan dan kemandirian bangsa. Pendidikan harus dapat memecahkan problematika sosial bangsa. Pendidikan juga merupakan serangkaian aktivitas menuju perubahan yang lebih baik.
Persoalan yang muncul kemudian adalah pendidikan seringkali belum mampu menjadikan dirinya sebagaimana yang diharapkan. Seringkali pendidikan masih menjadi persoalan sosial yang menyengsarakan. Artinya, pendidikan yang berwujud dalam sekolah (pendidikan formal), seringkali tidak tanggap zaman dan jauh dari realitas sosial.
Guna menyelesaikan persoalan tersebut di atas diperlukan agenda besar dalam pendidikan nasional. Agenda pendidikan nasional itu harus mampu mengembalikan hakikat pendidikan sebagai hal yang memihak, berdaya guna dan mampu menyelesaikan persoalan sosial yang semakin kompleks.
Pendidikan nasional Indonesia yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) harus mengubah wujudnya menjadi hal yang membumi. Artinya, pendidikan yang selama ini dirasakan mahal dan kurang membantu rakyat kecil sudah saatnya dicarikan solusinya.
Dikabulkannya gugatan mengenai anggaran pendidikan nasional dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga harus menjadi komitmen bersama. Artinya, seluruh jajaran menteri dan bidang-bidang yang terkait maupun yang tidak terkait sudah selayaknya mendukung kebijakan itu.
Tapi nyatanya sejumlah menteri beberapa waktu lalu mengadakan konferensi pers untuk menyatakan "ketidaksetujuannya" dengan adanya anggaran ini. Sejumlah menteri malah memperkeruh keadaan dengan pernyataan yang kurang mendukung, seperti kenaikan anggaran pendidikan akan menimbulkan inflasi dan perimbangan dana yang tidak seimbang.
Kebangkitan pendidikan Indonesia adalah tonggak awal melawan neokolonialisme yang telah mencengkeram bangsa Indonesia. Penjajahan sektor ekonomi, politik, sosial budaya yang tidak kentara dapat diselesaikan ketika manusia Indonesia melek realitas dengan pendidikan.
Sudah bukan zamannya lagi, jika penjajah langsung masuk ke bumi Indonesia dengan cara merampas lewat perang senjata. Di era baru ini, penjajahan dapat berupa penguasaan aset-aset negara seperti BUMN, Blok Cepu, PT Freeport dan seterusnya. Pemilik modal asing telah banyak mendikte bangsa Indonesia untuk menyepakati hal-hal merugikan semacam itu.
Dengan demikian, ketika seluruh aset bangsa telah dikuasai, manusia Indonesia akan hidup dengan kondisi yang hampir sama dengan masa kolonialisme Hindia Belanda. Beras susah diperoleh, minyak langka, pupuk mahal, lapangan pekerjaan semakin sempit dan seterusnya. Mereka berada di negeri sendiri, tapi seakan-akan hidup menumpang. Tidak ada sedikit pun celah bangsa Indonesia hidup damai dengan penuh kemandirian.
Model agenda pendidikan nasional tidak mesti dilakukan dengan pendidikan formal. Artinya, meningkatkan sektor pendidikan informal dapat menjadi salah satu kunci keberhasilan. Bakunya sistem pendidikan nasional Indonesia yang berwujud pendidikan formal, seringkali tidak berpihak.
Maksudnya, kesempatan untuk mengenyam pendidikan formal yang lebih tinggi masih didominasi oleh kelas borjuis, meminjam analisis kelas ala marxis. Kaum proletar hanya dijadikan alat legitimasi untuk mengeruk keuntungan dan batu loncatan dalam menggapai tujuan.
Kesempatan belajar yang sama sudah saatnya menjadi agenda utama pendidikan nasional. Tidak membedakan antara si miskin dan si kaya adalah aplikasi nyata dalam kehidupan bermasyarakat. Hal itu bukan berarti dengan adanya anggaran pendidikan 20 persen, semua orang kaya membayarnya sama dengan orang miskin.
Prioritas pendidikan bagi orang miskin dapat berwujud menggratiskan sekolah atau meringankan beban biaya pendidikannya. Bagi orang kaya, mereka tetap membayar sesuai aturan yang berlaku atau bahkan lebih. Hal ini digunakan untuk subsidi silang antara yang miskin dan yang kaya.
Selain pendidikan formal, diperlukan usaha bersama untuk menggairah pendidikan informal. Pendidikan informal dapat dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan organisasi sosial keagamaan serta LSM.
Keluarga adalah benteng pendidikan utama. Artinya, dari keluarga peserta didik mengenal lingkungan, watak dan sifat orang lain. Maka dari itu, kewajiban orang tua untuk mendidik anaknya untuk mengenal lingkungannya dengan baik.
Orang tua juga berkewajiban untuk mengarahkan anak-anaknya dan membantunya ketika menghadapi kesulitan. Hal ini dikarenakan, waktu pendidikan informal lebih banyak jika dibandingkan dengan pendidikan formal.
Masyarakat adalah keluarga kedua bagi peserta didik. Ia harus mendidik sebagaimana keluarga. Masyarakat dapat mendidik peserta didik dengan cara mengajarkan norma-norma yang berlaku dengan perbuatan. Mengajar dengan sikap inilah yang dibutuhkan oleh peserta didik sebagai gerenasi penerus bangsa untuk mengetahui dan memahami keragaman hidup bermasyarakat.
Organisasi sosial keagamaan yang ada di tengah masyarakat adalah keluarga ketiga bagi peserta didik. Artinya, mereka dapat mengajarkan ilmu pengetahuan, baik agama maupun umum lewat pengajian atau pertemuan-pertemuan rutin yang di adakan. Ormas juga dapat mengarahkan banyak hal kepada orang tua peserta didik dan peserta didik itu sendiri.
LSM sebagai organisasi independen yang dibentuk untuk mengawasi jalannya pemerintahan dapat melakukan proses advokasi dan pendidikan bagi rakyat Indonesia. Yaitu dengan melakukan pengawasan terhadap anggaran pendidikan, melatih keterampilan masyarakat dan masih banyak lagi.
Pendidikan formal dan informal harus berjalan bersama. Keduanya tidak boleh ada yang dominan. Hal ini dikarenakan kedua model pendidikan ini saling menopang satu sama lain. Ketimpangan dalam model pendidikan hanya akan menimbulkan kecemburuan di tengah masyarakat. ***
Penulis adalah pengarang buku"Manifesto Pendidikan Indonesia"
suarakarya 22 November 2006