Oleh Benni Setiawan
Pendapat Koran Tempo, Sabtu, 2 Agustus 2014
Konflik politik Israel dengan Palestina (Hamas) kembali pecah. Hingga, Rabu, 30 Juli 2014, operasi Israel berlabel "Operation Protective Edge" ini telah menewaskan lebih dari 1.200 jiwa.
Perang saudara Israel-Palestina tampaknya akan terus berlanjut. Kondisi demikian menggugah kesadaran berbagai kelompok untuk mendorong adanya rekonsiliasi. Salah satu tokoh penyeru perdamaian Israel-Palestina adalah Gilad Atzmon. Ia menyeru, Zionis Israel harus hengkang dari negara yang sejak 1948 dinamakan Israel itu. Dengan hengkangnya Zionisme, entah ke mana, akan tercipta sebuah negara Palestina merdeka, yang di dalamnya warga Yahudi dan Palestina dapat hidup damai dalam iklim demokrasi yang sehat dan modern, persis seperti era sebelum membanjirnya migran asing ke sana.
Migran Yahudi asing inilah yang bikin kacau, tidak saja di kawasan panas itu, tapi juga memiliki dampak global yang mencemaskan. Keberanian Gilad dalam menyuarakan kemerdekaan bangsa Palestina membuat ia disebut sebagai "anak haram Yahudi". Ia pun bangga ketika disebut self-halting Jew (Yahudi pembenci diri sendiri). Bagi Gilad, Zionisme yang rasis tidak mungkin menjadi bagian dari kemanusiaan, dan sangat mengancam perdamaian dunia. Pernyataan Gilad tersebut membenarkan pembelaan terhadap nasib rakyat Palestina (Ahmad Syafii Maarif, 2012).
Selain upaya yang telah dilakukan Gilad tersebut, tampaknya perlu adanya upaya untuk bertindak atas nama cinta untuk konflik berkepanjangan ini. Menurut Benny Susetyo, gerakan atas nama cinta itulah yang membuat manusia tidak buas terhadap sesama. Israel sudah hampir kehilangan cintanya terhadap sesama saudaranya di Palestina. Israel telah buta hati dan beku nuraninya jika tak menghentikan kekerasan ini. Tindakan Israel adalah tindakan yang tidak mengenal moralitas cinta. Sanksi terberat dari kaum barbar adalah dikucilkan dari pergaulan internasional. Sikap sok kuasa kaum Israel telah melenyapkan semua. Mereka merasa hanya dirinya yang jagoan.
Karena itu, sudah saatnya seluruh umat manusia mampu berpikir, berbuat, serta bertindak nyata untuk kemanusiaan. Bertindak atas nama cinta sebagai solidaritas kemanusiaan terhadap warga sipil di Palestina.
Mengucilkan Israel merupakan bentuk solidaritas nyata atas aksi brutal Zionis terhadap bangsa Palestina. Aksi babar Israel yang juga tidak mengindahkan seruan dunia merupakan teror terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasalnya, Israel bertindak atas nalar kekerasan, kebengisan, dan menghalalkan darah sesama serta tak mengindahkan perdamaian dunia.
Nalar kekerasan harus dilawan dengan nalar kebenaran, cinta, dan mau hidup damai dalam bingkai kemanusiaan. Bangunan kemanusiaan selayaknya menjadi spirit seluruh bangsa untuk mengecam aksi barbar Zionis Israel.
Kecaman terhadap Israel bukan didasarkan pada kebencian atas nama agama. Namun, aksi ini merupakan protes terhadap tindakan barbar Israel yang telah membunuh manusia demi ambisi menguasai sebuah wilayah.
Inilah mesiu cinta yang dapat kita kirimkan ke Jalur Gaza untuk meredam konflik berkepanjangan. Hanya cintalah yang mampu melakukan itu. Sebab, cinta itu menenteramkan dan menyemai keadilan yang beradab.
Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Minggu, 03 Agustus 2014
Petaka Mudik
Oleh Benni Setiawan
Opini, Sinar Harapan, Kamis, 31 Juli 2014
"Kematian super dahsyat di masa mudik Lebaran masihkah dianggap hal biasa atau wajar?"
Musim mudik Lebaran telah tiba. Masyarakat siap berbondong menuju rumah asal. Keriangan pun tampak dari wajah mereka. Namun, sering keriangan itu berujung kesedihan karena anggota keluarga meninggal di jalan raya.
Berdasarkan data Polri, jumlah kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada Lebaran 2011 mencapai 4.744 kasus dan meningkat 10,3 persen menjadi 5.233 kasus pada 2012. Dari jumlah tersebut, kasus kecelakaan yang melibatkan sepeda motor mendominasi pada 2011 dan 2012 masing-masing mencapai 76 persen dan 72 persen.
Dari jumlah kecelakaan itu, setidaknya lebih dari 908 orang meninggal dunia dalam rentang 14 hari (H-7 sampai H+7 Lebaran). Berarti, rata-rata setiap hari ada sekitar 60 lebih manusia meninggal sia-sia di jalan. Pada Lebaran 2013, tercatat terjadi 3.061 kecelakaan, dengan rincian 686 orang meninggal dunia, 1.120 orang luka berat, dan 4.034 mengalami luka ringan.
Sebuah bencana yang sering tidak pernah kita sadari. Jika dilihat usianya, korban kecelakaan rata-rata usia produktif dan menjadi tulang punggung keluarganya. Sebuah potret pematian generasi muda bangsa Indonesia.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, kenapa kematian di jalan senantiasa meningkat dari tahun ke tahun? Masihkah kematian super dahsyat ini dianggap hal biasa atau wajar?
Budaya Negatif
Samuel Huntington dan Lawrence Harison dalam Culture Matters (2000) menyatakan, sampai saat ini kita masih dihantui budaya negatif. Budaya negatif mengiring imajinasi kita menuju pemahaman yang simpel dan sederhana (baca, menyederhanakan persoalan dan masalah).
Dalam hal meninggal di jalan, kita menganggap kecelakaan yang menewaskan ratusan orang dalam waktu singkat sebagai sebuah kewajaran dan hal biasa.
“Siapa suruh mati di jalan”.
Bahkan, dalam bahasa pemerintah, meninggal di jalan merupakan pilihan hidup di tengah ketidakberdayaan menyediakan angkutan massal yang aman dan ramah.
Ini kesalahan rakyat, bukan tanggung jawab pemerintah, celetuk sang penguasa. Pemerintah selalu beralasan telah menyediakan tambahan gerbong dan keberangkatan kereta api guna mengantisipasi lonjakan penumpang; Juga menyediakan kapal TNI Angkatan Laut untuk mengangkut pemudik sepeda motor secara gratis menuju kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sikap pesimistis dan acuh inilah yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas dalam arus mudik dan balik Lebaran senantiasa meninggi dari tahun ke tahun. Pemerintah seperti membiarkan semua ini terjadi tanpa berusaha berbuat dengan kuasanya.
Kuasa untuk menjalankan mandat rakyat hanya mewujud dalam mengeruk kekayaan nasional guna memenuhi kantor pribadi dan partai politik pendukung. Kuasa kesejahteraan sosial untuk peri kehidupan yang lebih baik hanya mewujud dalam catatan sidang atau lampiran teks pidato.
Pemerintah selalu saja bergeming ketika ditanya, mengapa perbaikan jalan selalu saja mendekati Lebaran? Mengapa tidak jauh-jauh hari? Mengapa meningkatnya jumlah pemudik selalu diantisipasi dengan cara-cara instan dan jauh dari pemanusiaan manusia merdeka?
Pemerintah sepertinya membiarkan rakyat terkapar mati di jalan raya. Nyawa manusia merdeka tampaknya tidak mendapat penghargaan atas nama kemanusiaan. Sebuah potret betapa bengisnya tatanan sosial pemerintah di Republik ini.
Budaya negatif ini sudah selayaknya dibongkar. Pasalnya, ia bertentangan dengan semangat falsafah bangsa Indonesia. Falsafah bangsa mengajarkan menghargai dan menghormati hak hidup dan peri kehidupan yang layak. Bukan membiarkan seseorang meninggal di tengah ketidakberdayaan.
Budaya negatif pun menghambat kemajuan bangsa. Bangsa Indonesia akan sulit bersaing di kancah internasional karena menganggap sesuatu sebagai sebuah kewajaran tanpa ingin mengetahui mengapa hal tersebut terjadi.
Budaya Progresif
Proses kreatif perlu mendapat sokongan di tengah semakin masifnya perilaku instan di negeri ini. Manusia Indonesia yang suka foya-foya tanpa bekerja keras, menerabas dan berperilaku curang, sebagaimana penilaian Mochtar Lubis sekian tahun silam, perlu disadarkan untuk bangkit dengan budaya progresif. Budaya progresif adalah berhenti menyalahkan orang lain sebagai sumber bencana. Dalam hal kecelakaan lalu lintas, human error bukanlah alasan pembenar atas meningkatnya jumlah korban.
Pemerintah sudah selayaknya melibatkan seluruh potensi bangsa guna mencegah semakin banyaknya manusia meninggal di jalan raya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah selayaknya terus memacu pendidikan keselamatan di jalan raya. Salah satunya dengan mendidik anak bangsa untuk tertib berlalu lintas sejak dini. Pengenalan rambu lalu lintas dan perilaku sopan di jalan pada tingkat taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD) akan membekas hingga dewasa kelak. Inilah proses pendidikan sesungguhnya sebagaimana disinyalir Romo YB Mangunwijaya.
Kementerian Pekerjaan Umum sudah selayaknya menggejarkan proyek perbaikan jalan jauh-jauh hari sebelum Lebaran. Kerja Dinas PU pun akan lancar tentunya karena dana dari APBN cair tepat waktu. Tugas presiden dan DPR untuk tidak bertele-tele dalam proses penganggaran dan pencairan dana.
Demikian pula dengan Kementerian Perhubungan. Kerja nyata menyiapkan moda transportasi massal yang nyaman dan ramah menjadi sebuah keniscayaan. Tanpa hal yang demikian, masyarakat akan tetap menggunakan sepeda motor sebagai pilihan pahit untuk mudik Lebaran.
Akhirnya, meninggal di jalan saat mudik tentu bukanlah pilihan. Niatan mulia untuk menjalin komunikasi dengan sanak saudara di desa sudah selayaknya mendapat perhatian ekstra dari pemerintah. Bukan dengan membiarkan mereka terkapar dalam ketidakberdayaan. Tanpa hal demikian, pemerintah sedang “merayakan” petaka mudik yang selalu terulang dari tahun ke tahun.
Opini, Sinar Harapan, Kamis, 31 Juli 2014
"Kematian super dahsyat di masa mudik Lebaran masihkah dianggap hal biasa atau wajar?"
Musim mudik Lebaran telah tiba. Masyarakat siap berbondong menuju rumah asal. Keriangan pun tampak dari wajah mereka. Namun, sering keriangan itu berujung kesedihan karena anggota keluarga meninggal di jalan raya.
Berdasarkan data Polri, jumlah kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada Lebaran 2011 mencapai 4.744 kasus dan meningkat 10,3 persen menjadi 5.233 kasus pada 2012. Dari jumlah tersebut, kasus kecelakaan yang melibatkan sepeda motor mendominasi pada 2011 dan 2012 masing-masing mencapai 76 persen dan 72 persen.
Dari jumlah kecelakaan itu, setidaknya lebih dari 908 orang meninggal dunia dalam rentang 14 hari (H-7 sampai H+7 Lebaran). Berarti, rata-rata setiap hari ada sekitar 60 lebih manusia meninggal sia-sia di jalan. Pada Lebaran 2013, tercatat terjadi 3.061 kecelakaan, dengan rincian 686 orang meninggal dunia, 1.120 orang luka berat, dan 4.034 mengalami luka ringan.
Sebuah bencana yang sering tidak pernah kita sadari. Jika dilihat usianya, korban kecelakaan rata-rata usia produktif dan menjadi tulang punggung keluarganya. Sebuah potret pematian generasi muda bangsa Indonesia.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, kenapa kematian di jalan senantiasa meningkat dari tahun ke tahun? Masihkah kematian super dahsyat ini dianggap hal biasa atau wajar?
Budaya Negatif
Samuel Huntington dan Lawrence Harison dalam Culture Matters (2000) menyatakan, sampai saat ini kita masih dihantui budaya negatif. Budaya negatif mengiring imajinasi kita menuju pemahaman yang simpel dan sederhana (baca, menyederhanakan persoalan dan masalah).
Dalam hal meninggal di jalan, kita menganggap kecelakaan yang menewaskan ratusan orang dalam waktu singkat sebagai sebuah kewajaran dan hal biasa.
“Siapa suruh mati di jalan”.
Bahkan, dalam bahasa pemerintah, meninggal di jalan merupakan pilihan hidup di tengah ketidakberdayaan menyediakan angkutan massal yang aman dan ramah.
Ini kesalahan rakyat, bukan tanggung jawab pemerintah, celetuk sang penguasa. Pemerintah selalu beralasan telah menyediakan tambahan gerbong dan keberangkatan kereta api guna mengantisipasi lonjakan penumpang; Juga menyediakan kapal TNI Angkatan Laut untuk mengangkut pemudik sepeda motor secara gratis menuju kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sikap pesimistis dan acuh inilah yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas dalam arus mudik dan balik Lebaran senantiasa meninggi dari tahun ke tahun. Pemerintah seperti membiarkan semua ini terjadi tanpa berusaha berbuat dengan kuasanya.
Kuasa untuk menjalankan mandat rakyat hanya mewujud dalam mengeruk kekayaan nasional guna memenuhi kantor pribadi dan partai politik pendukung. Kuasa kesejahteraan sosial untuk peri kehidupan yang lebih baik hanya mewujud dalam catatan sidang atau lampiran teks pidato.
Pemerintah selalu saja bergeming ketika ditanya, mengapa perbaikan jalan selalu saja mendekati Lebaran? Mengapa tidak jauh-jauh hari? Mengapa meningkatnya jumlah pemudik selalu diantisipasi dengan cara-cara instan dan jauh dari pemanusiaan manusia merdeka?
Pemerintah sepertinya membiarkan rakyat terkapar mati di jalan raya. Nyawa manusia merdeka tampaknya tidak mendapat penghargaan atas nama kemanusiaan. Sebuah potret betapa bengisnya tatanan sosial pemerintah di Republik ini.
Budaya negatif ini sudah selayaknya dibongkar. Pasalnya, ia bertentangan dengan semangat falsafah bangsa Indonesia. Falsafah bangsa mengajarkan menghargai dan menghormati hak hidup dan peri kehidupan yang layak. Bukan membiarkan seseorang meninggal di tengah ketidakberdayaan.
Budaya negatif pun menghambat kemajuan bangsa. Bangsa Indonesia akan sulit bersaing di kancah internasional karena menganggap sesuatu sebagai sebuah kewajaran tanpa ingin mengetahui mengapa hal tersebut terjadi.
Budaya Progresif
Proses kreatif perlu mendapat sokongan di tengah semakin masifnya perilaku instan di negeri ini. Manusia Indonesia yang suka foya-foya tanpa bekerja keras, menerabas dan berperilaku curang, sebagaimana penilaian Mochtar Lubis sekian tahun silam, perlu disadarkan untuk bangkit dengan budaya progresif. Budaya progresif adalah berhenti menyalahkan orang lain sebagai sumber bencana. Dalam hal kecelakaan lalu lintas, human error bukanlah alasan pembenar atas meningkatnya jumlah korban.
Pemerintah sudah selayaknya melibatkan seluruh potensi bangsa guna mencegah semakin banyaknya manusia meninggal di jalan raya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah selayaknya terus memacu pendidikan keselamatan di jalan raya. Salah satunya dengan mendidik anak bangsa untuk tertib berlalu lintas sejak dini. Pengenalan rambu lalu lintas dan perilaku sopan di jalan pada tingkat taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD) akan membekas hingga dewasa kelak. Inilah proses pendidikan sesungguhnya sebagaimana disinyalir Romo YB Mangunwijaya.
Kementerian Pekerjaan Umum sudah selayaknya menggejarkan proyek perbaikan jalan jauh-jauh hari sebelum Lebaran. Kerja Dinas PU pun akan lancar tentunya karena dana dari APBN cair tepat waktu. Tugas presiden dan DPR untuk tidak bertele-tele dalam proses penganggaran dan pencairan dana.
Demikian pula dengan Kementerian Perhubungan. Kerja nyata menyiapkan moda transportasi massal yang nyaman dan ramah menjadi sebuah keniscayaan. Tanpa hal yang demikian, masyarakat akan tetap menggunakan sepeda motor sebagai pilihan pahit untuk mudik Lebaran.
Akhirnya, meninggal di jalan saat mudik tentu bukanlah pilihan. Niatan mulia untuk menjalin komunikasi dengan sanak saudara di desa sudah selayaknya mendapat perhatian ekstra dari pemerintah. Bukan dengan membiarkan mereka terkapar dalam ketidakberdayaan. Tanpa hal demikian, pemerintah sedang “merayakan” petaka mudik yang selalu terulang dari tahun ke tahun.