Oleh Benni Setiawan
Koran Tempo, Rabu, 04 Februari 2015
Kebinekaan kian rapuh. Itulah hasil diskusi dan peluncuran Jurnal Maarif Volume 9 Nomor 2 Tahun 2014 pertengahan Januari lalu, yang bertajuk "Masa Depan Politik Kebhinekaan di Indonesia". Hal itu didasari angka intoleransi yang cukup tinggi di republik ini. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dalam laporan akhir tahun 2014, menerima 67 berkas pengaduan. Pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terjadi akibat dominasi kelompok intoleran yang menyebarkan kebencian dan intoleransi dengan beraneka cara (Kompas, 24 Januari 2015).
Intoleransi yang didasari sikap emosional dan destruktif-meminjam istilah Lester Kurtz dalam Gods in the Global Village-semakin memperkeruh situasi kebangsaan. Situasi kebangsaan sudah saatnya dibangun dengan suasana tenang dan damai. Jika kedamaian dicederai dengan berbagai urusan politik (kekuasaan) dan ekonomi (urusan perut dan kuasa modal), persoalan keagamaan hanya dijadikan kedok kebrutalan pihak-pihak yang tidak bertangung jawab.
Karena itu, falsafah bangsa, bhineka tunggal ika, tampaknya perlu kembali didengungkan. Guna mewujudkan hal tersebut, pemerintah selayaknya menjadi pelopor perdamaian. Pemerintah seharusnya berdiri sebagai dewa keadilan, keamanan, keadaban, dan kemakmuran. Mereka adalah dewa pelindung bagi semua. Mereka adalah pengejawantah nilai-nilai dasar Pancasila dan UUD 1945.
Saat pemerintah mewujud menjadi hal tersebut, saya kira ia akan berdiri sebagai pemimpin. Mereka tak lagi menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi ataupun golongan. Ia menjadi seorang yang dapat bersikap ikhlas, adil, dan tulus dalam menjalankan amanat kepemimpinan.
Pemerintah pun selayaknya berdiri di atas semua golongan. Pemerintah mendorong dirinya untuk menghargai dan menghormati masyarakat dalam hal pengamalan kesalehan individu yang mewujud dalam kesalehan publik. Sebuah potret kesalehan yang menguatkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lebih lanjut, upaya pemerintah dalam hal ini-Kementerian Agama (Kemenag) merancang Undang-Undang Kerukunan Beragama-sudah selayaknya ditujukan untuk diri sendiri. Artinya, UU tersebut pada dasarnya bukan untuk mengatur umat beragama, melainkan sebagai acuan bagi pemerintah sendiri dalam bertindak dalam mewujudkan harmoni kehidupan beragama dan keberagamaan di Indonesia.
Hal tersebut didasari fakta bahwa kehidupan umat beragama relatif baik. Pemerintah, sebagaimana temuan The Wahid Institute, merupakan biang intoleransi yang perlu belajar kepada umat beragama dalam membangun keadaban publik. Pemerintah tak perlu malu mengakui kekurangannya. Pemerintah pun perlu belajar kepada umat beragama di Nusantara.
Semoga 2015 membawa kehidupan keagamaan yang lebih baik dibanding 2014. Pemerintah juga perlu meminta maaf kepada rakyat Indonesia atas tingginya angka intoleransi yang disebabkan oleh ulah aparatur negara. Permohonan maaf ini tidak akan menurunkan martabat pemerintah. Bahkan, pemerintah akan mendapat posisi mulia dari proses kepemimpinan yang mengakui kekurangan dan kesalahan guna menuju kehidupan yang lebih penuh kedamaian dan ketenteraman.
Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Selasa, 10 Februari 2015
Selasa, 06 Januari 2015
Harmoni Keberagamaan
Oleh Benni Setiawan
"Pendapat", Koran Tempo, SELASA, 06 JANUARI 2015
Tahun baru senantiasa membawa harapan baru. Salah satunya harmoni kehidupan beragama di Indonesia. Pasalnya, 2014 masih diwarnai oleh aksi intoleransi yang cukup tinggi. The Wahid Institute menyebutkan jumlah pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan serta intoleransi di Indonesia pada 2014 mencapai 154 peristiwa atau turun 40 persen dibanding pada 2013 yang mencapai 245 peristiwa. Kasusnya tersebar di 18 wilayah. Jumlah kasus terbanyak ada di Jawa Barat (55 peristiwa), disusul Daerah Istimewa Yogyakarta (21 peristiwa), Sumatera Utara (18 peristiwa), DKI Jakarta (14 peristiwa), Jawa Tengah (10 peristiwa), dan Sulawesi Selatan (10 peristiwa).
Namun aktor pelanggaran intoleransi paling banyak justru berasal dari aparat negara, khususnya kepolisian dan pemerintah kabupaten/kota. Kasusnya antara lain berupa larangan atau penyegelan rumah ibadah, kriminalisasi atas dasar agama, dan diskriminasi atas dasar agama (Kompas, 30 Desember 2014). Bagaimana membangun harmoni keberagamaan pada 2015?
Harmoni keberagamaan terbangun atas rasa ikhlas dan tulus. Tanpanya, kehidupan beragama terasa hambar. Umat saling berjabat tangan, namun tersimpan kebencian di dalam hatinya. Umat saling bertemu, namun mereka saling mencaci saat di belakang.
Selain sikap ikhlas dan tulus, dalam membangun harmoni keberagamaan perlu sikap adil dari negara. Negara bersikap dan bertindak adil kepada semua penganut agama dan keyakinan yang hidup di Indonesia. Negara tidak boleh bersikap memihak terhadap kelompok keagamaan tertentu dan berbuat diskriminatif terhadap kelompok lainnya. Dalam konteks ini, sebaiknya tidak ada istilah mayoritas dan minoritas, agama induk dan agama sempalan, agama resmi dan tidak resmi, agama yang telah diakui dan yang belum diakui (Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr., Bahia G. Tahzib Lie, ed, 2010).
Intoleransi keagamaan yang terjadi di Indonesia menjadi senjakala dan sekaligus ujian umat beragama. Apa yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini merupakan potret betapa kelompok minoritas masih dianggap liyan. Kelompok minoritas belum diterima dengan baik oleh masyarakat dan pemerintah. Masyarakat masih menganggap kelompok minoritas sebagai ancaman bagi kehidupan umat beragama.
Padahal kelompok minoritas wajib dilindungi sebagai bagian dari kehidupan berbangsa. Maka dari itu, konsep mayoritas dan minoritas tampaknya perlu direka ulang. Dua konsep ini menimbulkan syak wasangka yang kemudian memunculkan superioritas kelompok.
Ironisnya, pemerintah hanya termangu melihat perilaku menyimpang. Inilah bukti empiris betapa pemerintahan saat ini telah gagal melindungi warga negaranya. Pasalnya, pemerintah menjadi stempel bagi perilaku intoleransi yang jauh dari semangat Pancasila dan UUD 1945.
Maka, penggolongan mayoritas-minoritas hanya akan mengerdilkan fungsi keberagamaan. Apalagi mayoritas-minoritas hanya dilihat dari segi jumlah (kuantitatif). Padahal keberagamaan mensyaratkan kesalehan sosial. Kesalehan sosial membutuhkan kontribusi umat dalam harmoni kehidupan menuju peradaban utama.
Peradaban utama terbangun atas fitrah manusia sebagai makhluk berakal, yaitu mereka yang senantiasa mau berkomunikasi dan berbesar hati untuk menerima perbedaan.
"Pendapat", Koran Tempo, SELASA, 06 JANUARI 2015
Tahun baru senantiasa membawa harapan baru. Salah satunya harmoni kehidupan beragama di Indonesia. Pasalnya, 2014 masih diwarnai oleh aksi intoleransi yang cukup tinggi. The Wahid Institute menyebutkan jumlah pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan serta intoleransi di Indonesia pada 2014 mencapai 154 peristiwa atau turun 40 persen dibanding pada 2013 yang mencapai 245 peristiwa. Kasusnya tersebar di 18 wilayah. Jumlah kasus terbanyak ada di Jawa Barat (55 peristiwa), disusul Daerah Istimewa Yogyakarta (21 peristiwa), Sumatera Utara (18 peristiwa), DKI Jakarta (14 peristiwa), Jawa Tengah (10 peristiwa), dan Sulawesi Selatan (10 peristiwa).
Namun aktor pelanggaran intoleransi paling banyak justru berasal dari aparat negara, khususnya kepolisian dan pemerintah kabupaten/kota. Kasusnya antara lain berupa larangan atau penyegelan rumah ibadah, kriminalisasi atas dasar agama, dan diskriminasi atas dasar agama (Kompas, 30 Desember 2014). Bagaimana membangun harmoni keberagamaan pada 2015?
Harmoni keberagamaan terbangun atas rasa ikhlas dan tulus. Tanpanya, kehidupan beragama terasa hambar. Umat saling berjabat tangan, namun tersimpan kebencian di dalam hatinya. Umat saling bertemu, namun mereka saling mencaci saat di belakang.
Selain sikap ikhlas dan tulus, dalam membangun harmoni keberagamaan perlu sikap adil dari negara. Negara bersikap dan bertindak adil kepada semua penganut agama dan keyakinan yang hidup di Indonesia. Negara tidak boleh bersikap memihak terhadap kelompok keagamaan tertentu dan berbuat diskriminatif terhadap kelompok lainnya. Dalam konteks ini, sebaiknya tidak ada istilah mayoritas dan minoritas, agama induk dan agama sempalan, agama resmi dan tidak resmi, agama yang telah diakui dan yang belum diakui (Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr., Bahia G. Tahzib Lie, ed, 2010).
Intoleransi keagamaan yang terjadi di Indonesia menjadi senjakala dan sekaligus ujian umat beragama. Apa yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini merupakan potret betapa kelompok minoritas masih dianggap liyan. Kelompok minoritas belum diterima dengan baik oleh masyarakat dan pemerintah. Masyarakat masih menganggap kelompok minoritas sebagai ancaman bagi kehidupan umat beragama.
Padahal kelompok minoritas wajib dilindungi sebagai bagian dari kehidupan berbangsa. Maka dari itu, konsep mayoritas dan minoritas tampaknya perlu direka ulang. Dua konsep ini menimbulkan syak wasangka yang kemudian memunculkan superioritas kelompok.
Ironisnya, pemerintah hanya termangu melihat perilaku menyimpang. Inilah bukti empiris betapa pemerintahan saat ini telah gagal melindungi warga negaranya. Pasalnya, pemerintah menjadi stempel bagi perilaku intoleransi yang jauh dari semangat Pancasila dan UUD 1945.
Maka, penggolongan mayoritas-minoritas hanya akan mengerdilkan fungsi keberagamaan. Apalagi mayoritas-minoritas hanya dilihat dari segi jumlah (kuantitatif). Padahal keberagamaan mensyaratkan kesalehan sosial. Kesalehan sosial membutuhkan kontribusi umat dalam harmoni kehidupan menuju peradaban utama.
Peradaban utama terbangun atas fitrah manusia sebagai makhluk berakal, yaitu mereka yang senantiasa mau berkomunikasi dan berbesar hati untuk menerima perbedaan.