Oleh Benni Setiawan
"Pendapat", Koran Tempo, SELASA, 06 JANUARI 2015
Tahun baru senantiasa membawa harapan baru. Salah satunya harmoni kehidupan beragama di Indonesia. Pasalnya, 2014 masih diwarnai oleh aksi intoleransi yang cukup tinggi. The Wahid Institute menyebutkan jumlah pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan serta intoleransi di Indonesia pada 2014 mencapai 154 peristiwa atau turun 40 persen dibanding pada 2013 yang mencapai 245 peristiwa. Kasusnya tersebar di 18 wilayah. Jumlah kasus terbanyak ada di Jawa Barat (55 peristiwa), disusul Daerah Istimewa Yogyakarta (21 peristiwa), Sumatera Utara (18 peristiwa), DKI Jakarta (14 peristiwa), Jawa Tengah (10 peristiwa), dan Sulawesi Selatan (10 peristiwa).
Namun aktor pelanggaran intoleransi paling banyak justru berasal dari aparat negara, khususnya kepolisian dan pemerintah kabupaten/kota. Kasusnya antara lain berupa larangan atau penyegelan rumah ibadah, kriminalisasi atas dasar agama, dan diskriminasi atas dasar agama (Kompas, 30 Desember 2014). Bagaimana membangun harmoni keberagamaan pada 2015?
Harmoni keberagamaan terbangun atas rasa ikhlas dan tulus. Tanpanya, kehidupan beragama terasa hambar. Umat saling berjabat tangan, namun tersimpan kebencian di dalam hatinya. Umat saling bertemu, namun mereka saling mencaci saat di belakang.
Selain sikap ikhlas dan tulus, dalam membangun harmoni keberagamaan perlu sikap adil dari negara. Negara bersikap dan bertindak adil kepada semua penganut agama dan keyakinan yang hidup di Indonesia. Negara tidak boleh bersikap memihak terhadap kelompok keagamaan tertentu dan berbuat diskriminatif terhadap kelompok lainnya. Dalam konteks ini, sebaiknya tidak ada istilah mayoritas dan minoritas, agama induk dan agama sempalan, agama resmi dan tidak resmi, agama yang telah diakui dan yang belum diakui (Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr., Bahia G. Tahzib Lie, ed, 2010).
Intoleransi keagamaan yang terjadi di Indonesia menjadi senjakala dan sekaligus ujian umat beragama. Apa yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini merupakan potret betapa kelompok minoritas masih dianggap liyan. Kelompok minoritas belum diterima dengan baik oleh masyarakat dan pemerintah. Masyarakat masih menganggap kelompok minoritas sebagai ancaman bagi kehidupan umat beragama.
Padahal kelompok minoritas wajib dilindungi sebagai bagian dari kehidupan berbangsa. Maka dari itu, konsep mayoritas dan minoritas tampaknya perlu direka ulang. Dua konsep ini menimbulkan syak wasangka yang kemudian memunculkan superioritas kelompok.
Ironisnya, pemerintah hanya termangu melihat perilaku menyimpang. Inilah bukti empiris betapa pemerintahan saat ini telah gagal melindungi warga negaranya. Pasalnya, pemerintah menjadi stempel bagi perilaku intoleransi yang jauh dari semangat Pancasila dan UUD 1945.
Maka, penggolongan mayoritas-minoritas hanya akan mengerdilkan fungsi keberagamaan. Apalagi mayoritas-minoritas hanya dilihat dari segi jumlah (kuantitatif). Padahal keberagamaan mensyaratkan kesalehan sosial. Kesalehan sosial membutuhkan kontribusi umat dalam harmoni kehidupan menuju peradaban utama.
Peradaban utama terbangun atas fitrah manusia sebagai makhluk berakal, yaitu mereka yang senantiasa mau berkomunikasi dan berbesar hati untuk menerima perbedaan.