Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Rabu, 26 November 2008
Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga (?)
PEREMPUAN, Suara Merdeka, 26 November 2008
DALAM sebuah perkenalan kelas dengan dosen di Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga sekian bulan lalu, Prof Akh Minhaji, PhD, alumnus McGill University, Kanada, menanyakan, ”Apa pekerjaan Anda?”, kepada seorang teman perempuan. Dengan agak malu, dia menjawab, ”Ibu Rumah Tangga”.
Dengan nada yang agak sedikit kecewa, Minhaji, berkata: ”Pekerjaan Anda itu mulia, mengapa Anda tidak percaya diri (PD)?”. Kemudian Minhaji bercerita panjang lebar mengenai peran atau partisipasi perempuan di Barat. Ia mencontohkan di Kanada dan Amerika Serikat. Di sana perempuan lebih PD menjadi Ibu Rumah Tangga. Ibu Rumah Tangga menjadi pekerjaan yang mulia di Barat sekarang ini.
Hal ini tentunya sangat paradoks dengan di Indonesia. Perempuan-perempuan di Indonesia lebih PD menjadi perempuan karier yang bekerja di luar rumah daripada menjadi Ibu Rumah Tangga. Ibu Rumah Tangga dan Bapak Rumah Tangga kini lebih disibukkan oleh urusan bisnis, sedangkan anak-anak mereka diserahkan sepenuhnya kepada pembantu rumah tangga.
Maka tidak aneh, jika sekarang ini banyak anak-anak sekolah menjadi agak kurang terkendali dan melakukan hal-hal yang aneh diluar kewajaran sebagai seorang peserta didik.
Sebagaimana kita ketahui bersama, beberapa peristiwa yang melibatkan peserta didik seperti Geng Motor di Bandung Jawa Barat, Geng Nero di Pati Jawa Tengah, dan baru-baru ini tindak kekerasan di SMA 70 Jakarta, menunjukkan betapa generasi penerus bangsa ini begitu buas dan bengis. Ia tidak segan untuk menampar, memukul, bahkan meraba alat-alat vital atas nama senioritas. Mereka bak seorang ”komandan” yang tak pernah salah dan dipersalahkan.
Peristiwa-peristiwa tersebut sudah saatnya diselesaikan atau dicarikan jalan keluar dengan baik dan bijak. Salah satunya adalah mengubah pola pengasuhan yang selama ini diserahkan kepada pembantu rumah tangga kepada Ibu dan masyarakat.
Sebuah data menunjukkan, pergeseran pola pengasuhan dan pendidikan sudah terjadi di Indonesia. Jika pada dekade tahun 1970 hingga medio 1990-an pola pendidikan diasuh 60 persen oleh Ibu dan keluarga dan 40 persen di sekolah dan masyarakat, kini sudah terbalik. 70 persen lebih dilakukan di sekolah dan masyarakat dan 30 persen dilakukan di rumah. Maka tidak aneh, jika sekarang ini slogan ”rumahku surgaku” tidak begitu populer. Yang ada kebalikan dari itu semua, ”rumahku nerakaku”.
Mengapa demikian, banyak orangtua di kota-kota besar seperti di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan, berangkat kerja sebelum anak-anak mereka bangun pagi, karena faktor kemacetan yang tidak kunjung dapat diselesaikan, sedangkan ketika mereka pulang anak-anak mereka sudah tertidur lelap. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah kapan mereka dapat mendidik anak-anaknya. Alih-alih untuk mendidik anak-anaknya, untuk sekadar tegur sapa saja, orangtua zaman sekarang sudah sangat sulit.
Sekali lagi, mereka lebih memercayakan pendidikan tumbuh kembang anak-anaknya kepada pembantu rumah tangga dan guru di sekolah. Maka tidak aneh, jika kualitas intelektual anak-anak kita sekarang sama dengan ótanpa mengecilkan peran pembantu— kualitas intelektual pekerja yang dibayar setiap bulannya. Sangat langka dan jarang, anak-anak zaman sekarang mempunyai kualitas intelektual atau kemampuan kepribadian seperti Ayah dan Ibunya yang telah meraih gelar Master atau bahkan Doktor.
Kembali ke rumah
Guna menyelesaikan persoalan tersebut di atas, sudah saatnya keluarga atau dalam hal ini Ibu Rumah Tangga kembali ke rumah. Mereka harus mendidik anak-anaknya menjadi insan mandiri yang berkepribadian. Namun, sebelum mereka harus mendidik generasi penerus bangsa ini, Ibu Rumah Tangga harus dibekali ilmu pengetahuan dan keterampilan yang cukup.
Perempuan harus diberi pendidikan lebih. Hal ini dikarenakan, merekalah yang akan melahirkan generasi-generasi penerus bangsa yang tangguh. Bagaimana mungkin bangsa ini mampu melahirkan generasi yang cerdas dan tangguh jika perempuan yang nantinya menjadi Ibu Rumah Tangga lemah dan tidak berdaya.
Maka, meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan bagi perempuan menjadi sebuah keniscayaan. Perempuan perlu terus didorong untuk melanjutkan studi mereka. Perubahan paradigma yang selama ini mengerdilkan peran perempuan sudah saatnya diubah.
Perempuan yang nantinya menjadi Ibu Rumah Tangga bukanlah pekerjaan ringan, sebagaimana ada di dalam masyarakat selama ini. Mereka adalah ujung tombak masa depan bangsa ini. Dari rahim merekalah akan lahir generasi muda yang akan memimpin bangsa ini.
Dengan semakin banyaknya perempuan menempuh pendidikan tinggi, maka, akan lahir generasi muda yang berkepribadian, cerdas, dan mandiri. Generasi muda ini tidak akan mudah terpengaruh oleh pergaulan bebas yang akan mengantarkan mereka ke jurang kehinaan. Hal ini dikarenakan, generasi muda ini dididik dengan kasih sayang dan kelembutan orangtua. Pendidikan dengan kasih sayang inilah yang akan menghasilkan generasi muda yang bertanggung jawab.
Pada akhirnya, perempuan adalah pendidik utama. Dari rahim merekalah akan lahir generasi muda penerus bangsa. Maka, membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang layak menjadi kata kunci. Tanpa pendidikan yang memadai bagi kaum perempuan, bangsa ini akan terus melahirkan generasi muda yang lemah dan tidak berdaya.
Maka, berbahagia dan banggalah menjadi Ibu Rumah Tangga yang senantiasa dapat mendidik dan mengawasi tumbuh kembang anak dari detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, hari ke hari dan seterusnya, karena masa depan bangsa ini ditanganmu. Wallahu a’lam. (Benni Setiawan, penulis buku Manifesto Pendidikan Indonesia (2006), Agenda Pendidikan Nasional (2008), dan mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta- 80)
Rabu, 19 November 2008
Kepemimpinan Profetik Muhammadiyah
WACANA Suara Merdeka, Rabu, 19 November 2008
MUNCULNYA nama Dien Syamsuddin dalam bursa Calon Presiden (Capres) 2009-2014 mendapat tanggapan beragam dari warga Muhammadiyah. Ada yang menyatakan bahwa biarkan Bang Dien (begitu dia disapa) maju sebagai capres, itu hak politiknya. Ada juga yang menyayangkan pencalonan itu.
Mereka berpandangan bahwa amanat muktamar di Malang pada 2005 akan tercederai jika ada pimpinan Muhammadiyah maju sebagai presiden pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Dien yang kini resmi diusung oleh Partai Matahari Bangsa (PMB), sebuah partai yang konon lahir dari rahim Muhammadiyah, akan semakin meramaikan perebutan suara warga Muhammadiyah di Pemilu 2009.
Cita-cita warga Muhammadiyah, bahwa kepemimpinan era Dien dapat menjaga jarak dengan partai politik (parpol) atau politik praktis berkesan tinggal gaungnya saja. Hal itu dikarenakan oleh karena —selaian PMB— sudah ada partai yang lebih dulu ada di hati warga Muhammadiyah, sebut saja PAN dan PKS.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah kepemimpian Muhammadiyah ke depan cukup mampu menjaga jarak dengan parpol atau politik praktis? Memasuki usia yang semakin senja (96 tahun, 18 November 1912-18 November 2008) Muhammadiyah tampaknya tidak cukup memiliki pemimpinan yang mampu menjaga jarak dengan politik praktis. Pemimpin Muhammadiyah ke depan setidaknya mempunyai jiwa profetis.
Kepemimpinan profetik Muhammadiyah tersebut sebagaimana telah disampaikan oleh Kuntowijoyo (2001) dalam memahami Surat al- Imron: 110. Misi profetik pertama adalah ta’muruna bil ma’ruf, yang diartikan sebagai proses humanisasi. Humanisasi berarti memanusiakan manusia, mengangkat harkat hidup manusia, dan menjadikan manusia bertanggung jawab atas apa yang telah dikerjakannya.
Dalam konteks kepemimpinan sekarang, seorang pemimpin dituntut untuk mampu mendayagunakan atau mengoptimalkan potensi yang telah dimiliki oleh kader dengan baik. Potensi kader yang berbeda-beda seharusnya dapat dijadikan modal utama dalam setiap pengambilan program kerja selama lima tahun ke depan.
Humanisasi juga dapat diartikan sebagai proses peremajaan dalam tubuh Muhammadiyah. Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) sebagai pengayom pimpian daerah (PD), pimpinan cabang (PC), dan pimpinan ranting (PR), selayaknya memperhatikan (menempatkan) kader-kader muda dalam jajarannya.
Peremajaan itu diperlukan sebagai proses aktualisasi dan regenerasi dalam setiap kepemimpinan. Ketika kader-kader muda sudah tidak lagi mendapatkan penghargaan diri guna mengembangkan potensinya di PWM, maka akan terjadi stagnasi gerakan yang berakibat menghambat laju gerak persyarikatan.
Kedua, tanhauna ’anil munkar. Misi liberasi, yaitu membebaskan manusia dari belenggu keterpurukan dan ketertindasan tersistem. Artinya, kepemimpinan Muhammadiyah ke depan harus mampu menjadi garda depan pencerahan kehidupan bangsa dan bernegara.
Kembangkan Dakwah
Persoalan bangsa dan negara yang semakin rumit menjadi tantangan berarti bagi Muhammadiyah. Ambil contoh, persoalan korupsi yang semakin menggurita. Pemimpin Muhammadiyah mempunyai kewajiban turut serta mengembangkan dakwah nahi munkar dengan mengatakan tidak untuk korupsi.
Korupsi adalah perbuatan yang dapat merugikan orang banyak. Perilaku korupsi hanya akan membawa kepada kesengsaraan dan ketidakadilan yang pada ujungnya membuka kembali strata sosial yang telah ditutup rapat.
Ketiga adalah tu’minuna billah. Misi transendensi, yaitu manifestasi dari misi humanisasi dan liberasi. Artinya, transendensi adalah kegiatan sadar bahwa manusia adalah hamba Tuhan yang harus beribadah secara vertikal maupun horizontal. Transendensi juga berarti sebagai kesadaran ilahiyah yang mampu menggerakkan hati bersikap ikhlas terhadap segala yang telah dilakukan. Semua hal yang kita lakukan adalah sebagai penghambaan diri kepada Tuhan, dan manusia hanya mengharap rido-Nya terhadap apa yang telah dilakukan.
Tiga misi profetik tersebut merupakan kunci keberhasilan dalam menjalankan amanah. Pada akhirnya, kepemimpinan Muhammadiyah ke depan —meminjam bahasa Abdul Munir Mulkhan— bukan hanya inklusif atau ekslusif, liberal atau konserfatif, berpolitik atau kukuh kepada khitah sosial, melainkan juga yang berfungsi profetik.
Sosok pemimpin profetis itu memiliki kekayaan spiritual di dalam kesediaanya mendengar dan menghargai sesama, memiliki pergaulan luas sesama golongan, berempati kemanusiaan disertai kesadaran kritis kepada tradisinya sendiri, selalu bersifat terbuka, dan dinamis serta mampu membangkitkan partisipasi publik.
Semoga, dengan kemunculan banyak partai yang mengklaim lahir dari Muhammadiyah dan pencalonan Dien Syamsuddin sebagai Capres 2009-2014, Muhammadiyah tidak terjebak dalam politik praktis yang menyesatkan. Organisasi itu sudah saatnya memikirkan bagaimana dapat lepas dari belenggu parpol. Hal itu dikarenakan, sangat disayangkan jika organisasi besar tersebut hanya dijadikan batu loncatan untuk kepentingan politik praktis.
Meminjam istilah Mohammad Sobary, memisahkan Muhammadiyah dari kepentingan politik praktis tidak akan menjadikan Muhammadiyah kudisan. Artinya, Muhammadiyah akan tetap besar dan menjadi organisasi sosial kemasyarakat yang diperhitungkan oleh masyarakat dalam negeri maupun internasional.
Pada akhirnya, semoga dengan milad kali ini, Muhammadiyah benar-benar mendapatkan pemimpin yang memiliki jiwa profetis. Yaitu, seseorang yang tidak haus kekuasaan. Hal itu sangat diperlukan karena tantangan Muhammadiyah ke depan tidak hanya berkutat kepada tahayul, bidah dan churofat (TBC), demokratisasi bangsa, moralitas, dan pentingnya dialog antaragama, melainkan bagaimana dapat bertahan dan mempunyai spirit al-maun dalam usianya yang semakin senja. Wallahu aílam. (68)
–– Benni Setiawan, aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).
Selasa, 18 November 2008
96 Tahun Muhammadiyah Rekonsiliasi pemikiran kaum tua-muda
Solo Pos, Selasa, 18 November 2008 , Hal.4
Perkembangan pemikiran Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid pada awal dekade ini mengalami kemajuan yang cukup signifikan.
Hal ini tampak sejak kepemimpinan KH Azhar Basyir, Amien Rais hingga Ahmad Syafi’i Maarif. Kemajuan ini ditandai oleh banyaknya generasi yang digawangi kaum muda, seperti Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP), al-Maun Institute, Ma’arif Institute dan sebagainya berkembang di komunitas matahari terbit itu.
Kemunculan lembaga-lembaga tersebut dilatarbelakangi oleh kegelisahan kaum muda Muhammadiyah sebagai generasi penerus bangsa dan perserikatan. Kaum muda dituntut lebih berani menyuarakan aspirasi dan kepentingan rakyat demi perubahan dan pemihakan.
Adanya keterbatasan wadah dalam menyalurkan berbagai potensi, mendorong kaum muda Muhammadiyah melakukan perubahan. Mengubah citra yang selama ini terkesan ”manja” menjadi generasi yang mandiri dan siap berperan dalam banyak hal.
Corak pemikiran dan perkembangan yang dibawa oleh kaum muda tentu akan berbeda dengan pemikiran golongan tua. Gesekan antargenerasi dan perbedaan cara pandang seharusnya menjadi energi bagi Muhammadiyah untuk selalu eksis di tengah masyarakat yang plural.
Corak pemikiran
Yang termasuk golongan tua sering kebanyakan menafsirkan teks yang terdapat di dalam Alquran dan hadis dengan metode penafsiran yang tekstual (saklek, taken for granted), sehingga terkesan kaku dan kurang sesuai dengan perkembangan zaman.
Produk pemikiran yang dihasilkan dalam ranah gerakan tajdid akan terasa literer atau terpaku pada teks suci. Teks suci adalah sebagai pegangan utama yang kebenarannya mutlak sehingga dianggap sebagai satu-satunya jalan keluar untuk memecahkan segala permasalahan yang timbul. Keterpakuan kepada teks ini seharusnya diimbangi dengan kontekstualisasi produk pemikiran.
Teks suci harus mulai diinterpretasikan agar mendapat sebuah produk pemikiran baru yang dapat menjawab permasalahan yang timbul. Teks suci harus berani dikontekstualisasikan dengan keadaan sekarang dengan mempertimbangkan pluralitas keberagamaan dan maslahat bagi umat. Ketika hal ini tidak dilakukan, akan terjadi jurang pemisah produk pemikiran yang dihasilkan oleh kaum tua dan muda.
Kaum muda Muhammadiyah yang sudah menampakkan geliat dalam kancah pemikiran. Kaum muda juga harus memulai mengkaji hal-hal yang sebenarnya telah tersirat maupun tersurat dalam teks suci. Yaitu dengan upaya perbandingan antara produk pemikiran pribadi dengan ulama terdahulu maupun kontemporer dalam membedah kandungan teks Alquran. Kaum muda jangan hanya mengadopsi pemikiran kontemporer tanpa memahami substansi teks Alquran. Hal ini bertujuan untuk menghindari stigma masyarakat bahwa kaum muda latah dalam menyikapi sebuah persoalan baru.
Kaum muda dengan semangat mudanya seharusnya mulai memformulasikan pemikiran yang khas di tengah banyaknya ragam atau corak pemikiran yang berkembang. Dengan demikian, diharapkan masyarakat mendapatkan pemahaman baru yang benar-benar segar. Keberpihakan kaum muda harus mulai ditampakkan dengan tidak hanya pandai dalam memproduksi wacana tetapi juga dalam dataran praksis. Idealnya, kedua hal tersebut berada dalam diri kaum muda sebagai generasi penerus bangsa.
Kaum muda Muhammadiyah jangan hanya pandai mengkritik dan mencoba mendekonstruksi pemikiran tanpa membangun konstruksi dan melakukan rekonstruksi. Mencoba memproduksi pemikiran baru dalam dunia intelektual sah-sah saja, akan tetapi, bagaimana proses pembentukan pemikiran itu tidak melalui jalan menghujat dan menyalahkan aliran pemikiran lain.
Muhammadiyah harus dapat bekerja sama dengan siapa saja. Demikian pesan Ahmad Syafi’i Maarif dalam Halaqah Tarjih III di Solo pada tahun 2004.
Buya Syafi’i juga menandaskan arti penting diskusi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang berbeda pendapat dalam internal Muhammadiyah. Sehingga gagasan yang nantinya dikonsumsi oleh masyarakat tidak menjadi tanggung jawab pribadi melainkan menjadi tanggung jawab kelembagaan.
Dengan demikian, penting kiranya pesan-pesan moral yang disampaikan oleh Syafi’i Ma’arif ini dijadikan sebuah pelajaran bagi siapa pun (golongan tua maupun muda) untuk melakukan perdamaian (rekonsiliasi). Pesan moral ini juga berlaku bagi siapa saja yang mengharapkan serta mencita-citakan terciptanya sebuah bangsa yang damai.
Seluruh elemen Muhammadiyah, mulai dari pusat hingga ranting, organisasi otonom (Ortom), seyogianya dapat memanfaatkan dan mengoptimalkan forum diskusi untuk merumuskan dan menghasilkan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara kelembagaan. Forum diskusi juga dapat menjembatani perbedaan pendapat antara golongan tua dan golongan muda.
Maka, saat usia Muhammadiyah 96 tahun (18 November 1912-18 November 2008), rekonsiliasi produk pemikiran menjadi hal yang penting. Hal ini dikarenakan, tantangan Muhammadiyah hari ini bukan hanya masalah internal, melainkan persoalan kebangsaan dan internasional yang semakin kompleks. -
Oleh : Benni Setiawan, Kader Muhammadiyah, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta