Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Selasa, 26 April 2011
Jihad dengan Teror Bom
Opini, Harian Joglosemar, Selasa, 26/04/2011
Benni Setiawan
Peneliti, alumnus
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Rasanya belum lekang dari ingatan, bom buku di Utan Kayu Jakarta, masyarakat Indonesia kembali dihebohkan dengan bom bunuh diri yang mengguncang Masjid Al-Dzikra di kompleks Mapolresta Kota Cirebon, Jumat, 15 April 2011 lalu. Bom meledak sekitar pukul 12.17 WIB, saat jemaah akan melaksanakan ibadah salat Jumat seusai mendengar khotbah.
Akibat peristiwa ini, korban luka ringan mencapai 24 orang, dengan delapan di antaranya menjalani rawat jalan. Korban luka berat enam orang, termasuk Kepala Polres Kota Cirebon Ajun Komisaris Besar Herukoco dan Kepala Bagian Administrasi Polres Kota Cirebon Komisaris Sugadi. Korban meninggal seorang, yakni sang pelaku. Seorang di antara para korban luka adalah warga sipil, yakni Ustaz Abbas.
Menilik hasil penyidikan kepolisian, pelaku bom bunuh diri adalah Muhammad Syarif (MS). MS aktif dalam aksi berbagai demonstrasi pembubaran Ahmadiyah di Kuningan. Dia juga berusaha mencegat mobil polisi yang sedang mengamankan terdakwa penistaan agama.
Bom bunuh diri di masjid merupakan hal baru di Indonesia. Aktivitas seperti ini mengingatkan kita akan serangkaian bom bunuh diri di Timur Tengah.
Lebih lanjut, pascaperistiwa Jumat kelabu Cirebon, masyarakat juga dihebohkan dengan teror bom yang akan diledakkan di Gereja Christ Cathedral Serpong, Tangerang Selatan. Dari penyelidikan pihak berwajib, telah ada 19 tersangka dalam aksi tersebut. Termasuk di antaranya adalah Imam Firdaus (IF) seorang juru kamera Global TV (MNC Groups). Adapun Pepi Fernando (P), seorang alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat, Jakarta, asal Fakultas Pendidikan (Tarbiyah) yang juga tertangkap, menurut penyelidikan sementara diketahui sebagai penggagas dan yang mengorganisasi kelompok teror bom buku dan teror bom di Serpong.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mengapa aksi biadab seperti ini masih terjadi di bumi Nusantara?
Otoritarianisme
Bom bunuh diri sering kali disandarkan kepada pemahaman doktrin keagamaan (jihad). Pelaku sengaja direkrut dan mendapat pembinaan secara intens (brain washing) untuk menjadi “pengantin“. Mereka mendapat iming-iming surga, ketika melakukan hal ini.
Perekrutan semacam ini tentunya tidak sesuai dengan kaidah keislaman. Meminjam bahasa Khaled M Abou El Fadl, dalam Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, and Woman (2003) manusia bukanlah pemegang mutlak otoritas menafsir. Otoritas menafsir menjadi hak mutlak Tuhan. Ketika manusia melakukan hal ini maka apa yang dikhawatirkan oleh Khaled akan terjadi.
Yaitu maraknya otoritarianisme yang sangat parah dalam diskursus hukum Islam kontemporer. Epistemologi dan premis-premis normatif yang mengarahkan pada perkembangan dan pengembanan tradisi hukum Islam klasik kini sudah tidak ada lagi. Sementara tradisi hukum Islam klasik menjunjung premis-premis pembentukan hukum yang antiotoritarianisme, premis-premis serupa tidak lagi diberlakukan dalam tradisi hukum Islam belakangan ini.
Otoritarianisme hanya akan meninggalkan kegelisahan bagi umat Islam. Pasalnya, setiap orang merasa paling benar dengan apa yang dipahami dari teks Alquran. Pada gilirannya, umat akan saling klaim dan bunuh atas nama Tuhan.
Keadilan dan Kedamaian
Padahal menurut Mohammad Abu-Nimer dalam, Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam Islam, Teori dan Praktik (2010) seruan utama agama Islam adalah untuk mewujudkan realitas sosial yang adil. Karena itu, tindakan atau pernyataan muslim apapun harus dinilai dari kontribusi potensialnya terhadap pencapaian tujuan tersebut. Dalam Islam, bertindak karena Tuhan sama dengan mengupayakan adl, keadilan. Islam menyerukan hal tersebut kepada yang kuat maupun yang lemah. Adalah kewajiban muslim untuk mengupayakan keadilan dan melawan penindasan di tingkat interpersonal maupun struktural.
Beberapa ayat Alquran mengungkapkan dengan tegas pandangan ini, “Allah memerintahkan keadilan, kebajikan, dan kedermaan pada kerabat dan keluarga, dan Dia melarang perbuatan keji, kecurangan, dan kedurhakaan. Dia memerintahkanmu, agar kamu mendapatkan peringatan“ (an-Nahl, 16:90).
“Wahai orang-orang yang beriman! Tegakkanlah keadilan dengan teguh, sebagai saksi karena Allah, meskipun terhadap dirimu sendiri, atau orangtuamu, atau kaum kerabatmu, miskin atau kaya: karena Allah Maha Melindungi keduanya. Maka janganlah mengikuti hawa nafsu, agar kalian tidak menyimpan dari berbuat adil, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala yang kamu perbuat“ (an-Nisa, 4: 135).
“Hai orang-orang yang beriman, tegakkanlah karena Allah, sebagai saksi yang adil, dan janganlah kebencianmu terhadap seseorang menyimpangkanmu dari kebenaran dan menjauhkanmu dari keadilan. Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat pada takwa, dan bertakwalah kepada Allah, karena Allah Maha Mengetahui segala yang kamu kerjakan“ (al-Maidah, 5;8).
Lebih lanjut, Abu-Nimer menyatakan, kedamaian dalam Islam dipahami sebagai suatu keadaan harmonis secara fisik, mental, spiritual, dan sosial-berdamai dengan Tuhan lewat ketaatan, dan berdamai dengan sesama manusia dengan menghindari pelanggaran. Islam mewajibkan para pengikutnya untuk mencari kedamaian di segala bidang kehidupan. Tujuan utama Alquran bagi kaum muslim adalah untuk menciptakan tatanan sosial yang adil dan damai.
Bom bunuh diri dan teror bom kepada umat lain atas nama jihad hanya akan semakin menyudutkan umat Islam dalam percaturan dunia. Umat Islam akan selalu dipandang negatif. Menurut Keith Ward (2009), teroris telah menghancurkan nama baik Islam. Padahal Islam sangat berkomitmen pada kemerdekaan, keadilan, persamaan hak, dan perdamaian dunia.
Peristiwa teror bom sudah saatnya diakhiri. Hal ini karena, teror bom hanya menimbulkan keresahan dan kecemasan. Jihad dengan bom juga tidak sesuai dengan ajaran Nabi. Nabi bersabda, “Jihad terbaik adalah perkataan yang benar (haq) kepada penguasa yang menindas“. Wallahu alam. n