Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Sabtu, 04 Juni 2011
Sukoharjo bukan sarang teroris
Solo Pos, Jum'at, 27 Mei 2011 , Hal.4
Kabupaten Sukoharjo populer akhir-kahir ini. Kabupaten ini selalu disebut ketika Densus 88 Antiteror Polri menunaikan tugas menumpas teroris. Baru-baru ini Densus 88 Antiteror menembak mati dua terduga teroris Sigit Qurdhowi dan Hendro Yunianto di wilayah itu.
Sebagai warga Sukoharjo, saya prihatin atas kondisi itu. Sukoharjo dulu dikenal sebagai lumbung pangan nasional, kini punya citra jadi sarang teroris akibat ulah sedikit oknum.
Selain lumbung pangan nasional, Sukoharjo telah melahirkan tokoh bangsa, dr Soepomo. Sebagai warga Sukoharjo, saya juga belum lama tahu mengenai tokoh ini. Bermula dari perkenalan saya dengan David Reeve (sejarawan dan Associate Professor ACICIS ILTI Academic Coordinator) di Universitas Gadjah Mada pertengahan tahun lalu.
Ketika saya memperkenalkan diri berasal dari Sukoharjo, dia langsung menyebut nama Soepomo. “Saya dengar ada jalan dan patung dr Soepomo di sana?” tanyanya, singkat. Saya tergagap dan tidak bisa menjawab. Sependek pengetahuan saya tidak ada jalan utama di wilayah Sukoharjo yang dinamai dengan nama tokoh bangsa ini. Kalau jalannya saja tidak ada, apa mungkin ada patungnya sebagai tetenger?
dr Soepomo adalah putra Sukoharjo. Ia lahir di Sukoharjo, 22 Januari 1903. Meninggal di Jakarta, 12 September 1958. Dalam umur yang relatif singkat, 55 tahun, ia telah berkontribusi bagi peletakkan dasar negara. Ia adalah salah satu arsitek Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pemikirannya mengontruksi konstitusi negara yang menjadi landasan fundamental kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baginya, tidak perlu pemisahan tiga lembaga tinggi negara (legislatif, yudikatif dan eksekutif). Konsep ini kemudian disebut sebagai negara integralistik. Konsep negara integralistik menekankan peran negara yang tidak hanya menjamin kepentingan individu dan golongan saja.
Negara merupakan kesatuan yang dapat memainkan peran sebagai pelindung seluruh warga negara, tanpa diskriminasi, tanpa membedakan kelas-kelas sosial. Sebuah konsep orisinal yang jarang dipahami secara komprehensif.
Namun, tokoh ini tidak dikenal luas oleh masyarakat, khususnya di Kabupaten Sukoharjo. Masyarakat, akhir-akhir ini, lebih melihat Sukoharjo dalam ranah kontestasi Islam radikal dan bersemayamnya jaringan teroris lokal dan internasional.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa Sukoharjo menjadi ladang tempat tumbuh suburnya radikalisme di kawasan Soloraya?
Merangkul pesantren
Sukoharjo tidak mungkin menolak kehadiran masyarakat dari seluruh penjuru daerah. Dataran Sukoharjo yang lebih bersahabat mungkin banyak dipilih oleh masyarakat untuk bertempat tinggal.
Seiring dengan berdatangannya masyarakat, tempat-tempat kajian Islam tumbuh secara pesat di Sukoharjo. Pondok Pesantren misalnya. Setidaknya ada 37 pondok pesantren yang tumbuh dan berkembang di sini. Di antaranya pondok pesantren yang tergolong besar, yaitu Al-Mukmin Ngruki, Assalaam Pabelan, Imam Suhodo Bekonang dan Al-Ukhuwah Joho. Corak dan gaya pendidikannya beragam. Mulai dari Muhammadiyah (20%), Nahdlatul Ulama (10%) dan Salafi (70%).
Bermunculannya pondok pesantren sebagai basis penyebaran Islam tentu merupakan hal baik. Artinya, Islam tidak hanya dipahami dalam sebuah dimensi yang sempit, namun telah menyentuh pada setiap relung jiwa masyarakat.
Meningkatnya kualitas keagamaan seseorang tak seharusnya menjadi alasan untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum dan tatanan agama. Agama bukanlah alat pembenar atas tindakan barbar. Agama merupakan penawar racun kejahatan dan tindakan tidak terpuji lainnya.
Dalam konteks masyarakat Sukoharjo, sudah saatnya potensi daerah semacam ini dikelola dengan baik. Pondok pesantren sebagai pusat kajian Islam merupakan modal sosial membentengi masyarakat dari perbuatan keji.
Ketika pondok pesantren mampu melaksanakan tugas seperti itu, kecilk kemungkinan disusupi ideologi yang merusak citra Islam. Selain itu, pondok pesantren juga akan terbebas dari stigma negatif yang belakangan mengemuka akibat pemberitaan di berbagai media massa.
Bagaimana pondok pesantren mampu menunaikan tugas mulia ini? Salah satunya adalah dengan keramahan pemerintah daerah untuk merangkul pondok pesantren. Pondok Pesantren bukan hanya media penyumbang suara saat Pilkada, namun merupakan bagian masyarakat yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah daerah.
Pemerintah daerah tidak boleh meninggalkan pondok pesantren dalam kondisi babak belur dihajar pemberitaan miring. Pondok pesantren berhak mendapatkan kesempatan untuk terus berkarya dan mendidik anak bangsa di daerah.
Perhatian terhadap tumbuh kembang pondok pesantren ini bukan untuk mengawasi, namun sebagai upaya untuk saling mengenal dan tolong-menolong dalam kebaikan.
Belajar dari Solo
Kini saatnya Pemerintah Kabupaten Sukoharjo “melawan” stigma negatif dengan cara yang santun sebagaimana telah dipraktikkan oleh Pemerintah Kota Solo. Walikota Solo tidak pernah mengeluarkan pernyataan Solo berperang melawan teroris, namun ia melaksanakan program pencitraan Solo Berseri dengan mengangkat khasanah budaya lokal ke pentas internasional.
Pemerintah Kabupaten Sukoharjo perlu belajar dari Solo. Misalnya, pengkajian secara serius tokoh sosok dr Soepomo dan mencoba mengaktualisasikan ide-idenya dalam ranah lokal. Pekerjaan ini lebih mulia daripada sekadar mengadopsi program kontraterorisme yang mungkin tidak sesuai dengan kondisi dan potensi daerah.
Pada akhirnya, usaha pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat untuk menggangkat kembali citra Kabupaten Sukoharjo dengan jalan kebudayaan merupakan tugas yang tidak ringan. Maka dari itu kesungguhan dan kerja keras merupakan kata kuncinya. - Oleh : Benni Setiawan Penulis tinggal di Sukoharjo
Komunitas Muhammadiyah Kultural (Berjuang dari Garis Pinggir)
Basis
“Tadi, habis ada pertemuan alumni JIMM di PDM Solo. Kita berencana membuat jaringan Muhammadiyah-Non Struktural yang didukung oleh seorang anggota DPRD Solo”
Kira-kira itu pesan singkat (SMS) dari teman yang saya terima pertengahan bulan Oktober lalu. Muhammadiyah non-struktural yang kemudian disebut Muhammadiyah Kultural bukanlah sebuah gerakan vis-à-vis Muhammadiyah struktural. Muhammadiyah kultural merupakan komunitas kader-kader Muhammadiyah yang tidak tertampung oleh Muhammadiyah struktural, entah karena keterbatasan ruang di Muhammadiyah, perbedaaan cara pandang dengan “Muhammadiyah resmi”, atau karena rasa nyaman untuk membesarkan Muhammadiyah melalui jalur kultural.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapa saja Muhammadiyah kultural itu? Bagaimana mereka melakukan transformasi teologis guna turut serta dalam membesarkan Muhammadiyah dan memberi kontribusi positif bagi bangsa Indonesia?
Beberapa komunitas Muhammadiyah kultural yang hingga saat ini masih eksis adalah Ma’arif Institute, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Lembaga Studi Islam dan Sosial (LSIP Yogyakarta), dan Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS Surabaya). Sebenarnya masih banyak lagi komunitas Muhammadiyah kultural. Namun dalam tulisan ini hanya akan dibatasi oleh empat lembaga tersebut.
Ma’arif Institute
Dalam buku Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam, Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme, Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: LSAF dan Paramadina, Juni 2010), Maarif Institute digolongkan dalam lembaga Islam progresif yang mengembangkan pengarustamaan (mainstreaming) dan diseminasi ide-ide sekulisme, liberalisme, dan pluralisme.
Maarif Institute didirikan pada 28 Februari 2003 di Jakarta atas prakarsa Ahmad Syafii Maarif. Gagasan pokok Maarif Institute adalah menyosialisasikan gagasan pembaruan Islam, melakukan dialog, dan kerjasama antaragama, antarkebudayaan, dan antarperadaban guna mewujudkan keadaban, perdamaian, saling pengertian, dan kerjasama yang konstruktif bagi kemanusiaan. Oleh karena itu, apa yang kini dikembangkan oleh Maarif Institute tidak lain merupakan ikhtiar untuk merealisasikan gagasan besar Syafii Maarif yang terangkum dalam konsep keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan (Budhy Munawar-Rachman, 2010: 111-112).
Dalam pandangan Ahmad Syafii Maarif sebagaimana dikutip Budhy Munawar-Rachman (115-116), Islam harus fleksibel atas perubahan yang terjadi, sehingga kitab suci tidak tersubordinasi oleh kekuasaan yang mengatasnamakan semangat Islam, dan selanjutnya malah melakukan tirani atas nama Islam. Syafii Maarif menekankan pentingnya dimensi etik dalam praktik kenegaraan ketimbang formalisme. Dasar-dasar kenegaraan itu adalah keadilan untuk kemanusiaan, dan itulah yang menurutnya dituntut al-Qur’an, bukan bentuk formal negara Islam.
Lebih lanjut, dalam mengapresiasi pemikiran Nurcholish Madjid, cita-cita keislaman dan cita-cita keindonesiaan bertemu dalam Pancasila sebagai ideologi terbuka yang harus ditafsirkan secara “proaktif”. Dengan semangat Sumpah Pemuda dan nilai-nilai luhur Pancasila, maka dimensi negatif politik identitas yang bermuatan agama, etnisitas, dan ideologi, akan dikawal dan diarahkan, demi memperkokoh semangat integrasi nasional, sesuatu yang mutlak bagi masa depan Indonesia sebagai bangsa dan negara (Ahmad Syafii Maarif, “Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia, dalam Ihsan Ali Fauzi dan Samsul Riza Panggabean, 2010: 28).
Pikiran-pikiran tentang sekularisme politik Syafii Maarif inilah yang selanjutnya dikembangkan dalam Maarif Institute—sehingga Maarif Institute menjadi wadah pengembangan pikirian Syafii Maarif.
Untuk memperkuat dan menyebarkan wacana yang dikembangkannya, Maarif Institute membuat website dengan alamat www.maarifinstitute.org. Selain membuat website Maarif Institute juga menerbitkan jurnal Maarif yang terbit setiap bulan.
Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Sebagaimana Maarif Institute, JIMM masuk dalam kategori lembaga Islam progresif ala Budhy Munawar-Rachman. JIMM berdiri tahun 2003. Dalam perekrutan anggota, JIMM menyelenggarakan berbagai workshop dengan tiga pilar kajian, yaitu pemikiran Islam kontemporer, ilmu sosial kritis, dan the social movement (gerakan sosial baru). Ketiga wacana itu diolah sebagai pemikiran Islam kontemporer yang di dalamnya mengkaji soal hermeneutika al-Qur’an, hermeneutika sosial, syariat demokratik, teologi pembebasan, pluralisme, dan multikulturalisme (Pradana Boy (ed), 2004: viii-ix). Dari ketiga tema kajian itu, yang paling mendapat banyak kritik dari Muhammadiyah adalah hermeneutika. Walaupun kini tema ini sudah mulai banyak diperbincangkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan beberapa pemimpin harian Majelis dan Lembaga.
Kelahiran JIMM tidak dapat dipisahkan dari peran serta Ahmad Syafii Maarif yang kala itu menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Selain Buya Syafii, beberapa tokoh yang kala itu mendukung sepenuhnya lahirnya perkumpulan anak muda progresif karena gelisah melihat kondisi Muhammadiyah dan kebangsaan adalah M. Amin Abdullah (pendekar dan bapak hermeneutika Indonesia), Abdul Munir Mulkhan (syekh siti jenar-nya Muhammadiyah, kini komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), dan M. Dawam Rahardjo (ekonom dan budayawan Muhammadiyah yang fasih dan menguasai wacana keislaman).
Selain itu, embrio JIMM dirintis oleh Moeslim Abdurrahman (dulu Direktur Maarif Institute, kini Direktur al-Maun Institute). Moeslim yang pernah memimpin Lembaga Buruh Tani dan Nelayan PP Muhammadiyah yang menjadi cikal bakal Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) menegaskan bahwa JIMM mencoba membangun pemikiran baru dan menjadikan tajdid (pembaruan)—nilai yang selama ini dijunjung tinggi oleh Muhammadiyah—sebagai langkah JIMM menafsir kembali makna Islam yang lebih relevan (Moeslim Abdurrahman dalam Ahmad Fuad Fanani, 2004: xxi. Baca juga Budhy Munawar-Rachman, 2010: 117-118).
Aktivis JIMM kini banyak bersembunyi di balik lembaga-lembaga yang mereka didirikan. JIMM pasca Muktamar Malang 2005 memang kian meredup. Banyak pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah belum rela jika nama Muhammadiyah berdiri di belakang Jaringan Intelektul Muda (JIM).
Kemunculan tulisan-tulisan kritis anak muda Muhammadiyah yang tergabung dalam JIMM pasca 2005 pun kian menurun—jika tidak mau disebut meredup. Walaupun demikian, aktivis JIMM masih terus berkarya dengan sesekali menulis di berbagai media massa namun tidak menggunakan atribut JIMM lagi. Namun dalam setiap gagasannya trilogi JIMM masih terus menjadi spirit kader muda Muhammadiyah ini.
Lembaga Studi Islam dan Politik (LSIP)
Seiring terus menurunnya intensitas atau aktivitas JIMM, kader JIMM terus mengembangkan sayap geraknya. Mereka tidak lagi melekatkan nama JIMM di belakang namanya, namun menggunakan atribut baru yang lebih dapat diterima oleh warga Muhammadiyah khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Salah satunya adalah LSIP.
Latar belakang berdirinya LSIP adalah, situasi keterbukaan, globalisasi, hegemoni, ketidakadilan serta pluralisme bergabung menjadi satu di bumi republik ini. Ada tarik menarik yang demikian hebat antara keterbukaan, globalisasi, hegemoni dengan ketidakadilan dan pluralisme di pihak lain.
Situasi seperti itu jelas membutuhkan transformasi yang lebih memadai, tidak bisa secara gradualistik. Dibutuhkan kerja-kerja pemihakan dan pembelaan yang jelas atas kondisi timpang. Tidak bisa ketimpangan dibebankan pada satu kelompok masyarakat, yang tergolong mustadz’afin dan terhegemoni.
Pihak-pihak yang terhegemoni oleh sebuah tradisi tertentu adalah bukti bahwa kita belum berhasil “melepaskan diri”, sehingga butuh ruang dan pemihakan yang jelas. Tradisi-tradisi yang membiarkan masyarakat terpuruk bisa jadi merupakan penyebab lain yang menimbulkan adanya frustasi sosial dan banyaknya kemungkaran-kemungkaran sosial di tengah masyarakat agama.
Oleh sebab itulah, menjadi penting hadirnya sebuah ruang dan suasana baru untuk bisa menerjemahkan problem-problem sosial yang dilihat dan dialami masyarakat. Tafsir-tafsir atas kondisi sosial yang timpang hanya akan mungkin muncul ketika ada ruang dan kedewasaan untuk saling terbuka, kritik, dan kritis.
Dari manakah situasi terbuka akan tumbuh? Di situlah, pilar-pilar memahami problem sosial dari sisi teks-teks dan konteks keagamaan menjadi sangat dibutuhkan. Tetapi bukan hanya itu saja, tradisi berpikir kritis dan membebaskan harus senantiasa menjadi bagian dari kehidupannya.
Kemajuan teknologi dan informasi jelas memberikan banyak manfaat, tetapi akan menyebabkan kita terpuruk apabila di antara kita dan lingkungan sekitar tidak tumbuh mental pembebasan dan kesadaran diri yang memadai. Kepalsuan dan fatamorga-fatamorgana harus diakhiri (Sekilas tentang LSIP).
Dari latar belakang tersebut, dapat dibaca lembaga yang didirikan Zuly Qodir, Isngadi, Thufail AM, Budi Asyhari-Afwan, dan lain-lain yang notabene adalah aktivis JIMM di Yogyakarta, merupakan perwujudan atau implementasi nyata dari spirit trilogi JIMM. LSIP memosisikan dirinya sebagai sebuah lembaga yang ingin memberi kontribusi positif bagi perkembangan kajian keislaman dipadu dengan realitas politik kekinian sebagai cikal bakal pembebasan manusia dari hegemoni yang tidak memihak.
Hal ini tercermin dari maksud dan tujuan LSIP, untuk ikut serta membantu pemerintah Republik Indonesia khususnya umat Islam dalam mewujudkan partisipasi warga negara yang demokratis dan berkeadilan berdasarkan kearifan lokal melalui pencerahan wacana dan praksis sosial; menjadi ruang untuk terjadinya perbedaaan pandangan, bertukar pikiran, dan menggali khazanah keagamaan yang inklusif, terbuka, toleran, dan pluralis dari mana saja asalnya; didedikasikan untuk persemaian rahmat semua agama bagi tumbuhnya masyarakat sipil yang demokratis, yang mampu menghormati dan menghargai segala bentuk perbedaaan.
Sependek pengetahuan penulis, LSIP telah mengadakan workshop tentang perempuan yang melibatkan seluruh elemen lintas agama. Salah satu hasil workshop-workshop itu adalah lahirnya buku Abdur Rozaki dan Nur Khalik Ridwan, Pemberdayaan Politik Perempuan Lintas-Agama (2008) dan M. Subkhi Ridho (ed), Perempuan, Agama dan Demokrasi (2007).
Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS)
LKAS, Institute for Religion and Social Studies (IRSS) at Surabaya (Multikultural-Transformatif, Mencerahkan-Inklusif dan Progresif-Membebaskan). Lembaga ini didirikan pada 17 Ramadhan tahun 2003 oleh sekelompok kaum muda JIMM kritis di Surabaya, seperti Choirul Mahfud dan Muh Kholid AS. Ia berdiri berdasarkan fakta sosial-agama yang bertalian erat dalam penciptaan damai-konflik di Indonesia.
Kegiatan LKAS selain diskusi rutin, seminar, workshop yang bekerja sama dengan lembaga lain juga dalam hal penerbitan. Sebagai lembaga yang digawangi anak-anak muda, LKAS mampu membangun komunikasi intensif dengan etnis Tionghoa di Surabaya dan sekitarnya.
Garis pinggir
Maarif Institute, JIMM, LSIP, LKAS tidak menggunakan nama Muhammadiyah—meskipun JIMM, menggunakan Muhammadiyah di belakangnya. Walaupun chasing-nya bukan Muhammadiyah, tetapi ruhnya adalah Muhammadiyah. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa tidak semua kader Muhammadiyah dapat tertampung oleh organisasi yang didirikan oleh K. H. Ahmad Dahlan satu abad yang lalu. Selain karena porsi kepemimpinan masih didominasi oleh empat L (Loe Lagi Loe Lagi), jabatan di Muhammadiyah sangat terbatas. Mereka juga menyadari bahwa berkarya dan membesarkan Muhammadiyah serta berkiprah untuk bangsa tidak mesti harus masuk dalam struktur Muhammadiyah. Masih banyak cara dan jalan guna mendarmabaktikan tenaga dan pikiran untuk nusa dan bangsa.
Kader-kader Muhammadiyah yang mencoba berijtihad untuk mendirikan lembaga atau organisasi lain di luar persyarikatan merupakan potensi bagi organisasi yang kini dipimpin oleh M Din Syamsuddin ini. Keberadaan mereka perlu diuri-uri. Adalah hal yang kontraproduktif jika mereka dimusuhi atau bahkan mendapat resistensi atas nama warga Muhammadiyah atau persyarikatan.
Komunitas Muhammadiyah kultural ini merupakan berkat bagi Muhammadiyah. Komunitas ini dapat menjadi penopang Muhammadiyah di tengah ketidakmampuan persyarikatan menjangkau beberapa bidang gerak. Komunitas ini pun sayap gerak Muhammadiyah selain Majelis dan Lembaga yang resmi di bentuk atas usulan dan hasil Muktamar.
Komunitas Muhammadiyah kultural merupakan kelompok ikhlas yang berjuang dari garing pinggir persyarikatan. Mereka mendedikasikan ilmu yang mereka peroleh dari berbagai belahan dunia untuk membesarkan Muhammadiyah secara tidak langsung. Keterbatasan ruang di Muhammadiyah tidak menyiutkan nyali mereka untuk berkarya.
Maka dari itu, sudah selayaknya Muhammadiyah memberi ruang lebih bagi komunitas-komunitas ini untuk terus berkembang. Salah satunya dengan sentuhan atau pemihakan tokoh-tokoh atau pun pimpinan yang kini mengelola organisasi. Sebagaimana ketika Buya Syafii, Amin Abdullah, Munir Mulkhan, dan Dawam Rahardjo membidani lahirnya Maarif Institute dan JIMM.
Komunitas Muhammadiyah kultural yang dalam bahasa Miftachul Huda (Ikhwanul Muhammadiyah, Benturan Ideolohgis dan Kaderisasi dalam Muhammadiyah, 2007: 86-90) sebagai kaum pinggiran ini, harapan Muhammadiyah tetap menyandang sebagai gerakan pembaruan dapat dipenuhi. Tentu saja jika kaum pinggiran ini mampu secara terus menerus melakukan kritik dan masukan terhadap Muhammadiyah dari waktu ke waktu. selain itu, kaum pinggiran yang mayoritas dihuni oleh para kalangan terdidik secara akademis ini diharapkan mampu mempertahankan nuansa intelektual akademis yang selalu dihembuskan yang berfungsi sebagai kontrol rutinitas aktivitas Muhammadiyah.
Komunitas Muhammadiyah kultural yang mungkin lebih luwes dan lincah karena dibidani oleh anak-anak muda produktif ini memang kadang menyampaikan statement tanpa tedeng aling-aling (terbuka, ceplas-ceplos). Lebih dari itu, mainstreamnya mungkin agak berbeda dari Muhammadiyah structural merupakan keragaman yang tidak perlu dipersoalkan.
Komunitas Muhammadiyah kultural biarkan bermain di garis pinggir, tanpa harus terjebak oleh rutinitas persyarikatan yang kadang menjemukan. Mereka adalah bagian dari Muhammadiyah. Maka tidak elok jika mereka harus dimusuhi atau dicap liberal, sekuler, pluralis, dan seterusnya. Biarkan mereka menemukan “surganya” sendiri. Hal ini karena Muhammadiyah adalah tenda besar, bukan payung yang sempit.
“Tadi, habis ada pertemuan alumni JIMM di PDM Solo. Kita berencana membuat jaringan Muhammadiyah-Non Struktural yang didukung oleh seorang anggota DPRD Solo”
Kira-kira itu pesan singkat (SMS) dari teman yang saya terima pertengahan bulan Oktober lalu. Muhammadiyah non-struktural yang kemudian disebut Muhammadiyah Kultural bukanlah sebuah gerakan vis-à-vis Muhammadiyah struktural. Muhammadiyah kultural merupakan komunitas kader-kader Muhammadiyah yang tidak tertampung oleh Muhammadiyah struktural, entah karena keterbatasan ruang di Muhammadiyah, perbedaaan cara pandang dengan “Muhammadiyah resmi”, atau karena rasa nyaman untuk membesarkan Muhammadiyah melalui jalur kultural.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapa saja Muhammadiyah kultural itu? Bagaimana mereka melakukan transformasi teologis guna turut serta dalam membesarkan Muhammadiyah dan memberi kontribusi positif bagi bangsa Indonesia?
Beberapa komunitas Muhammadiyah kultural yang hingga saat ini masih eksis adalah Ma’arif Institute, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Lembaga Studi Islam dan Sosial (LSIP Yogyakarta), dan Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS Surabaya). Sebenarnya masih banyak lagi komunitas Muhammadiyah kultural. Namun dalam tulisan ini hanya akan dibatasi oleh empat lembaga tersebut.
Ma’arif Institute
Dalam buku Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam, Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme, Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: LSAF dan Paramadina, Juni 2010), Maarif Institute digolongkan dalam lembaga Islam progresif yang mengembangkan pengarustamaan (mainstreaming) dan diseminasi ide-ide sekulisme, liberalisme, dan pluralisme.
Maarif Institute didirikan pada 28 Februari 2003 di Jakarta atas prakarsa Ahmad Syafii Maarif. Gagasan pokok Maarif Institute adalah menyosialisasikan gagasan pembaruan Islam, melakukan dialog, dan kerjasama antaragama, antarkebudayaan, dan antarperadaban guna mewujudkan keadaban, perdamaian, saling pengertian, dan kerjasama yang konstruktif bagi kemanusiaan. Oleh karena itu, apa yang kini dikembangkan oleh Maarif Institute tidak lain merupakan ikhtiar untuk merealisasikan gagasan besar Syafii Maarif yang terangkum dalam konsep keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan (Budhy Munawar-Rachman, 2010: 111-112).
Dalam pandangan Ahmad Syafii Maarif sebagaimana dikutip Budhy Munawar-Rachman (115-116), Islam harus fleksibel atas perubahan yang terjadi, sehingga kitab suci tidak tersubordinasi oleh kekuasaan yang mengatasnamakan semangat Islam, dan selanjutnya malah melakukan tirani atas nama Islam. Syafii Maarif menekankan pentingnya dimensi etik dalam praktik kenegaraan ketimbang formalisme. Dasar-dasar kenegaraan itu adalah keadilan untuk kemanusiaan, dan itulah yang menurutnya dituntut al-Qur’an, bukan bentuk formal negara Islam.
Lebih lanjut, dalam mengapresiasi pemikiran Nurcholish Madjid, cita-cita keislaman dan cita-cita keindonesiaan bertemu dalam Pancasila sebagai ideologi terbuka yang harus ditafsirkan secara “proaktif”. Dengan semangat Sumpah Pemuda dan nilai-nilai luhur Pancasila, maka dimensi negatif politik identitas yang bermuatan agama, etnisitas, dan ideologi, akan dikawal dan diarahkan, demi memperkokoh semangat integrasi nasional, sesuatu yang mutlak bagi masa depan Indonesia sebagai bangsa dan negara (Ahmad Syafii Maarif, “Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia, dalam Ihsan Ali Fauzi dan Samsul Riza Panggabean, 2010: 28).
Pikiran-pikiran tentang sekularisme politik Syafii Maarif inilah yang selanjutnya dikembangkan dalam Maarif Institute—sehingga Maarif Institute menjadi wadah pengembangan pikirian Syafii Maarif.
Untuk memperkuat dan menyebarkan wacana yang dikembangkannya, Maarif Institute membuat website dengan alamat www.maarifinstitute.org. Selain membuat website Maarif Institute juga menerbitkan jurnal Maarif yang terbit setiap bulan.
Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Sebagaimana Maarif Institute, JIMM masuk dalam kategori lembaga Islam progresif ala Budhy Munawar-Rachman. JIMM berdiri tahun 2003. Dalam perekrutan anggota, JIMM menyelenggarakan berbagai workshop dengan tiga pilar kajian, yaitu pemikiran Islam kontemporer, ilmu sosial kritis, dan the social movement (gerakan sosial baru). Ketiga wacana itu diolah sebagai pemikiran Islam kontemporer yang di dalamnya mengkaji soal hermeneutika al-Qur’an, hermeneutika sosial, syariat demokratik, teologi pembebasan, pluralisme, dan multikulturalisme (Pradana Boy (ed), 2004: viii-ix). Dari ketiga tema kajian itu, yang paling mendapat banyak kritik dari Muhammadiyah adalah hermeneutika. Walaupun kini tema ini sudah mulai banyak diperbincangkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan beberapa pemimpin harian Majelis dan Lembaga.
Kelahiran JIMM tidak dapat dipisahkan dari peran serta Ahmad Syafii Maarif yang kala itu menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Selain Buya Syafii, beberapa tokoh yang kala itu mendukung sepenuhnya lahirnya perkumpulan anak muda progresif karena gelisah melihat kondisi Muhammadiyah dan kebangsaan adalah M. Amin Abdullah (pendekar dan bapak hermeneutika Indonesia), Abdul Munir Mulkhan (syekh siti jenar-nya Muhammadiyah, kini komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), dan M. Dawam Rahardjo (ekonom dan budayawan Muhammadiyah yang fasih dan menguasai wacana keislaman).
Selain itu, embrio JIMM dirintis oleh Moeslim Abdurrahman (dulu Direktur Maarif Institute, kini Direktur al-Maun Institute). Moeslim yang pernah memimpin Lembaga Buruh Tani dan Nelayan PP Muhammadiyah yang menjadi cikal bakal Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) menegaskan bahwa JIMM mencoba membangun pemikiran baru dan menjadikan tajdid (pembaruan)—nilai yang selama ini dijunjung tinggi oleh Muhammadiyah—sebagai langkah JIMM menafsir kembali makna Islam yang lebih relevan (Moeslim Abdurrahman dalam Ahmad Fuad Fanani, 2004: xxi. Baca juga Budhy Munawar-Rachman, 2010: 117-118).
Aktivis JIMM kini banyak bersembunyi di balik lembaga-lembaga yang mereka didirikan. JIMM pasca Muktamar Malang 2005 memang kian meredup. Banyak pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah belum rela jika nama Muhammadiyah berdiri di belakang Jaringan Intelektul Muda (JIM).
Kemunculan tulisan-tulisan kritis anak muda Muhammadiyah yang tergabung dalam JIMM pasca 2005 pun kian menurun—jika tidak mau disebut meredup. Walaupun demikian, aktivis JIMM masih terus berkarya dengan sesekali menulis di berbagai media massa namun tidak menggunakan atribut JIMM lagi. Namun dalam setiap gagasannya trilogi JIMM masih terus menjadi spirit kader muda Muhammadiyah ini.
Lembaga Studi Islam dan Politik (LSIP)
Seiring terus menurunnya intensitas atau aktivitas JIMM, kader JIMM terus mengembangkan sayap geraknya. Mereka tidak lagi melekatkan nama JIMM di belakang namanya, namun menggunakan atribut baru yang lebih dapat diterima oleh warga Muhammadiyah khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Salah satunya adalah LSIP.
Latar belakang berdirinya LSIP adalah, situasi keterbukaan, globalisasi, hegemoni, ketidakadilan serta pluralisme bergabung menjadi satu di bumi republik ini. Ada tarik menarik yang demikian hebat antara keterbukaan, globalisasi, hegemoni dengan ketidakadilan dan pluralisme di pihak lain.
Situasi seperti itu jelas membutuhkan transformasi yang lebih memadai, tidak bisa secara gradualistik. Dibutuhkan kerja-kerja pemihakan dan pembelaan yang jelas atas kondisi timpang. Tidak bisa ketimpangan dibebankan pada satu kelompok masyarakat, yang tergolong mustadz’afin dan terhegemoni.
Pihak-pihak yang terhegemoni oleh sebuah tradisi tertentu adalah bukti bahwa kita belum berhasil “melepaskan diri”, sehingga butuh ruang dan pemihakan yang jelas. Tradisi-tradisi yang membiarkan masyarakat terpuruk bisa jadi merupakan penyebab lain yang menimbulkan adanya frustasi sosial dan banyaknya kemungkaran-kemungkaran sosial di tengah masyarakat agama.
Oleh sebab itulah, menjadi penting hadirnya sebuah ruang dan suasana baru untuk bisa menerjemahkan problem-problem sosial yang dilihat dan dialami masyarakat. Tafsir-tafsir atas kondisi sosial yang timpang hanya akan mungkin muncul ketika ada ruang dan kedewasaan untuk saling terbuka, kritik, dan kritis.
Dari manakah situasi terbuka akan tumbuh? Di situlah, pilar-pilar memahami problem sosial dari sisi teks-teks dan konteks keagamaan menjadi sangat dibutuhkan. Tetapi bukan hanya itu saja, tradisi berpikir kritis dan membebaskan harus senantiasa menjadi bagian dari kehidupannya.
Kemajuan teknologi dan informasi jelas memberikan banyak manfaat, tetapi akan menyebabkan kita terpuruk apabila di antara kita dan lingkungan sekitar tidak tumbuh mental pembebasan dan kesadaran diri yang memadai. Kepalsuan dan fatamorga-fatamorgana harus diakhiri (Sekilas tentang LSIP).
Dari latar belakang tersebut, dapat dibaca lembaga yang didirikan Zuly Qodir, Isngadi, Thufail AM, Budi Asyhari-Afwan, dan lain-lain yang notabene adalah aktivis JIMM di Yogyakarta, merupakan perwujudan atau implementasi nyata dari spirit trilogi JIMM. LSIP memosisikan dirinya sebagai sebuah lembaga yang ingin memberi kontribusi positif bagi perkembangan kajian keislaman dipadu dengan realitas politik kekinian sebagai cikal bakal pembebasan manusia dari hegemoni yang tidak memihak.
Hal ini tercermin dari maksud dan tujuan LSIP, untuk ikut serta membantu pemerintah Republik Indonesia khususnya umat Islam dalam mewujudkan partisipasi warga negara yang demokratis dan berkeadilan berdasarkan kearifan lokal melalui pencerahan wacana dan praksis sosial; menjadi ruang untuk terjadinya perbedaaan pandangan, bertukar pikiran, dan menggali khazanah keagamaan yang inklusif, terbuka, toleran, dan pluralis dari mana saja asalnya; didedikasikan untuk persemaian rahmat semua agama bagi tumbuhnya masyarakat sipil yang demokratis, yang mampu menghormati dan menghargai segala bentuk perbedaaan.
Sependek pengetahuan penulis, LSIP telah mengadakan workshop tentang perempuan yang melibatkan seluruh elemen lintas agama. Salah satu hasil workshop-workshop itu adalah lahirnya buku Abdur Rozaki dan Nur Khalik Ridwan, Pemberdayaan Politik Perempuan Lintas-Agama (2008) dan M. Subkhi Ridho (ed), Perempuan, Agama dan Demokrasi (2007).
Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS)
LKAS, Institute for Religion and Social Studies (IRSS) at Surabaya (Multikultural-Transformatif, Mencerahkan-Inklusif dan Progresif-Membebaskan). Lembaga ini didirikan pada 17 Ramadhan tahun 2003 oleh sekelompok kaum muda JIMM kritis di Surabaya, seperti Choirul Mahfud dan Muh Kholid AS. Ia berdiri berdasarkan fakta sosial-agama yang bertalian erat dalam penciptaan damai-konflik di Indonesia.
Kegiatan LKAS selain diskusi rutin, seminar, workshop yang bekerja sama dengan lembaga lain juga dalam hal penerbitan. Sebagai lembaga yang digawangi anak-anak muda, LKAS mampu membangun komunikasi intensif dengan etnis Tionghoa di Surabaya dan sekitarnya.
Garis pinggir
Maarif Institute, JIMM, LSIP, LKAS tidak menggunakan nama Muhammadiyah—meskipun JIMM, menggunakan Muhammadiyah di belakangnya. Walaupun chasing-nya bukan Muhammadiyah, tetapi ruhnya adalah Muhammadiyah. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa tidak semua kader Muhammadiyah dapat tertampung oleh organisasi yang didirikan oleh K. H. Ahmad Dahlan satu abad yang lalu. Selain karena porsi kepemimpinan masih didominasi oleh empat L (Loe Lagi Loe Lagi), jabatan di Muhammadiyah sangat terbatas. Mereka juga menyadari bahwa berkarya dan membesarkan Muhammadiyah serta berkiprah untuk bangsa tidak mesti harus masuk dalam struktur Muhammadiyah. Masih banyak cara dan jalan guna mendarmabaktikan tenaga dan pikiran untuk nusa dan bangsa.
Kader-kader Muhammadiyah yang mencoba berijtihad untuk mendirikan lembaga atau organisasi lain di luar persyarikatan merupakan potensi bagi organisasi yang kini dipimpin oleh M Din Syamsuddin ini. Keberadaan mereka perlu diuri-uri. Adalah hal yang kontraproduktif jika mereka dimusuhi atau bahkan mendapat resistensi atas nama warga Muhammadiyah atau persyarikatan.
Komunitas Muhammadiyah kultural ini merupakan berkat bagi Muhammadiyah. Komunitas ini dapat menjadi penopang Muhammadiyah di tengah ketidakmampuan persyarikatan menjangkau beberapa bidang gerak. Komunitas ini pun sayap gerak Muhammadiyah selain Majelis dan Lembaga yang resmi di bentuk atas usulan dan hasil Muktamar.
Komunitas Muhammadiyah kultural merupakan kelompok ikhlas yang berjuang dari garing pinggir persyarikatan. Mereka mendedikasikan ilmu yang mereka peroleh dari berbagai belahan dunia untuk membesarkan Muhammadiyah secara tidak langsung. Keterbatasan ruang di Muhammadiyah tidak menyiutkan nyali mereka untuk berkarya.
Maka dari itu, sudah selayaknya Muhammadiyah memberi ruang lebih bagi komunitas-komunitas ini untuk terus berkembang. Salah satunya dengan sentuhan atau pemihakan tokoh-tokoh atau pun pimpinan yang kini mengelola organisasi. Sebagaimana ketika Buya Syafii, Amin Abdullah, Munir Mulkhan, dan Dawam Rahardjo membidani lahirnya Maarif Institute dan JIMM.
Komunitas Muhammadiyah kultural yang dalam bahasa Miftachul Huda (Ikhwanul Muhammadiyah, Benturan Ideolohgis dan Kaderisasi dalam Muhammadiyah, 2007: 86-90) sebagai kaum pinggiran ini, harapan Muhammadiyah tetap menyandang sebagai gerakan pembaruan dapat dipenuhi. Tentu saja jika kaum pinggiran ini mampu secara terus menerus melakukan kritik dan masukan terhadap Muhammadiyah dari waktu ke waktu. selain itu, kaum pinggiran yang mayoritas dihuni oleh para kalangan terdidik secara akademis ini diharapkan mampu mempertahankan nuansa intelektual akademis yang selalu dihembuskan yang berfungsi sebagai kontrol rutinitas aktivitas Muhammadiyah.
Komunitas Muhammadiyah kultural yang mungkin lebih luwes dan lincah karena dibidani oleh anak-anak muda produktif ini memang kadang menyampaikan statement tanpa tedeng aling-aling (terbuka, ceplas-ceplos). Lebih dari itu, mainstreamnya mungkin agak berbeda dari Muhammadiyah structural merupakan keragaman yang tidak perlu dipersoalkan.
Komunitas Muhammadiyah kultural biarkan bermain di garis pinggir, tanpa harus terjebak oleh rutinitas persyarikatan yang kadang menjemukan. Mereka adalah bagian dari Muhammadiyah. Maka tidak elok jika mereka harus dimusuhi atau dicap liberal, sekuler, pluralis, dan seterusnya. Biarkan mereka menemukan “surganya” sendiri. Hal ini karena Muhammadiyah adalah tenda besar, bukan payung yang sempit.