Orang yang mempunyai alat sedikit. Orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri (Marhaen, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat)
Search
Sabtu, 04 Juni 2011
Sukoharjo bukan sarang teroris
Solo Pos, Jum'at, 27 Mei 2011 , Hal.4
Kabupaten Sukoharjo populer akhir-kahir ini. Kabupaten ini selalu disebut ketika Densus 88 Antiteror Polri menunaikan tugas menumpas teroris. Baru-baru ini Densus 88 Antiteror menembak mati dua terduga teroris Sigit Qurdhowi dan Hendro Yunianto di wilayah itu.
Sebagai warga Sukoharjo, saya prihatin atas kondisi itu. Sukoharjo dulu dikenal sebagai lumbung pangan nasional, kini punya citra jadi sarang teroris akibat ulah sedikit oknum.
Selain lumbung pangan nasional, Sukoharjo telah melahirkan tokoh bangsa, dr Soepomo. Sebagai warga Sukoharjo, saya juga belum lama tahu mengenai tokoh ini. Bermula dari perkenalan saya dengan David Reeve (sejarawan dan Associate Professor ACICIS ILTI Academic Coordinator) di Universitas Gadjah Mada pertengahan tahun lalu.
Ketika saya memperkenalkan diri berasal dari Sukoharjo, dia langsung menyebut nama Soepomo. “Saya dengar ada jalan dan patung dr Soepomo di sana?” tanyanya, singkat. Saya tergagap dan tidak bisa menjawab. Sependek pengetahuan saya tidak ada jalan utama di wilayah Sukoharjo yang dinamai dengan nama tokoh bangsa ini. Kalau jalannya saja tidak ada, apa mungkin ada patungnya sebagai tetenger?
dr Soepomo adalah putra Sukoharjo. Ia lahir di Sukoharjo, 22 Januari 1903. Meninggal di Jakarta, 12 September 1958. Dalam umur yang relatif singkat, 55 tahun, ia telah berkontribusi bagi peletakkan dasar negara. Ia adalah salah satu arsitek Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pemikirannya mengontruksi konstitusi negara yang menjadi landasan fundamental kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baginya, tidak perlu pemisahan tiga lembaga tinggi negara (legislatif, yudikatif dan eksekutif). Konsep ini kemudian disebut sebagai negara integralistik. Konsep negara integralistik menekankan peran negara yang tidak hanya menjamin kepentingan individu dan golongan saja.
Negara merupakan kesatuan yang dapat memainkan peran sebagai pelindung seluruh warga negara, tanpa diskriminasi, tanpa membedakan kelas-kelas sosial. Sebuah konsep orisinal yang jarang dipahami secara komprehensif.
Namun, tokoh ini tidak dikenal luas oleh masyarakat, khususnya di Kabupaten Sukoharjo. Masyarakat, akhir-akhir ini, lebih melihat Sukoharjo dalam ranah kontestasi Islam radikal dan bersemayamnya jaringan teroris lokal dan internasional.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa Sukoharjo menjadi ladang tempat tumbuh suburnya radikalisme di kawasan Soloraya?
Merangkul pesantren
Sukoharjo tidak mungkin menolak kehadiran masyarakat dari seluruh penjuru daerah. Dataran Sukoharjo yang lebih bersahabat mungkin banyak dipilih oleh masyarakat untuk bertempat tinggal.
Seiring dengan berdatangannya masyarakat, tempat-tempat kajian Islam tumbuh secara pesat di Sukoharjo. Pondok Pesantren misalnya. Setidaknya ada 37 pondok pesantren yang tumbuh dan berkembang di sini. Di antaranya pondok pesantren yang tergolong besar, yaitu Al-Mukmin Ngruki, Assalaam Pabelan, Imam Suhodo Bekonang dan Al-Ukhuwah Joho. Corak dan gaya pendidikannya beragam. Mulai dari Muhammadiyah (20%), Nahdlatul Ulama (10%) dan Salafi (70%).
Bermunculannya pondok pesantren sebagai basis penyebaran Islam tentu merupakan hal baik. Artinya, Islam tidak hanya dipahami dalam sebuah dimensi yang sempit, namun telah menyentuh pada setiap relung jiwa masyarakat.
Meningkatnya kualitas keagamaan seseorang tak seharusnya menjadi alasan untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum dan tatanan agama. Agama bukanlah alat pembenar atas tindakan barbar. Agama merupakan penawar racun kejahatan dan tindakan tidak terpuji lainnya.
Dalam konteks masyarakat Sukoharjo, sudah saatnya potensi daerah semacam ini dikelola dengan baik. Pondok pesantren sebagai pusat kajian Islam merupakan modal sosial membentengi masyarakat dari perbuatan keji.
Ketika pondok pesantren mampu melaksanakan tugas seperti itu, kecilk kemungkinan disusupi ideologi yang merusak citra Islam. Selain itu, pondok pesantren juga akan terbebas dari stigma negatif yang belakangan mengemuka akibat pemberitaan di berbagai media massa.
Bagaimana pondok pesantren mampu menunaikan tugas mulia ini? Salah satunya adalah dengan keramahan pemerintah daerah untuk merangkul pondok pesantren. Pondok Pesantren bukan hanya media penyumbang suara saat Pilkada, namun merupakan bagian masyarakat yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah daerah.
Pemerintah daerah tidak boleh meninggalkan pondok pesantren dalam kondisi babak belur dihajar pemberitaan miring. Pondok pesantren berhak mendapatkan kesempatan untuk terus berkarya dan mendidik anak bangsa di daerah.
Perhatian terhadap tumbuh kembang pondok pesantren ini bukan untuk mengawasi, namun sebagai upaya untuk saling mengenal dan tolong-menolong dalam kebaikan.
Belajar dari Solo
Kini saatnya Pemerintah Kabupaten Sukoharjo “melawan” stigma negatif dengan cara yang santun sebagaimana telah dipraktikkan oleh Pemerintah Kota Solo. Walikota Solo tidak pernah mengeluarkan pernyataan Solo berperang melawan teroris, namun ia melaksanakan program pencitraan Solo Berseri dengan mengangkat khasanah budaya lokal ke pentas internasional.
Pemerintah Kabupaten Sukoharjo perlu belajar dari Solo. Misalnya, pengkajian secara serius tokoh sosok dr Soepomo dan mencoba mengaktualisasikan ide-idenya dalam ranah lokal. Pekerjaan ini lebih mulia daripada sekadar mengadopsi program kontraterorisme yang mungkin tidak sesuai dengan kondisi dan potensi daerah.
Pada akhirnya, usaha pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat untuk menggangkat kembali citra Kabupaten Sukoharjo dengan jalan kebudayaan merupakan tugas yang tidak ringan. Maka dari itu kesungguhan dan kerja keras merupakan kata kuncinya. - Oleh : Benni Setiawan Penulis tinggal di Sukoharjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar