Search

Senin, 29 Desember 2014

Bencana, Alam, dan Manusia

Oleh Benni Setiawan


Esai, Koran Sindo, Minggu, 28 Desember 2014.

Bencana longsor besar mengubur Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, pada dua pekan lalu menelan ratusan korban nyawa.

Bencana senantiasa meninggalkan tangis dan kedukaan. Namun, seakan hal itu belum mampu menggugah kesadaran manusia untuk menyesali segala kekeliruannya. Bencana pun terus berlangsung. Bencana seakan menjadi cara alam mengingatkan keangkuhan manusia.

Manusia adalah makhluk kecil di tengah kuatnya kuasa alam. Inilah mungkin yang dalam bahasa Emha Ainun Najib dalam Markesot Bertutur sebagai manifestasi penciptaan manusia oleh Tuhan. Walaupun manusia terus melakukan perusakan, Tuhan Maha Asih kepadanya. Perusakan yang dilakukan oleh manusia sering membuat gunung, bumi, dan laut geram.

Namun, Tuhan Maha Penyayang. Dengan bijak Tuhan berseru kepada bumi, gunung, dan laut. ”Wahai gunung, laut, dan bumi, tenanglah! Tingkat kemakhlukan kalian lebih rendah daripada manusia. Jadi, kalian tidak akan sanggup menghayati betapa Aku amat mencintai manusia.

Manusia adalah masterpiece ciptaan-Ku. Mereka itu ahsanu taqwim. Tenanglah kalian. Aku Maha Mengerti apa yang Aku kehendaki. Dan ketahuilah, seandainya engkau yang menciptakan manusia, akan demikian juga cintamu kepada manusia...” (Emha Ainun Najib, 2012).

Saling Berkomunikasi

Namun, Ian G. Barbour dalam Nature, Human Nature and God (2002), mengingatkan bahwa hubungan manusia tidak hanya sebatas antara manusia saja akan tetapi juga termasuk sikap pertanggungjawaban dengan Tuhan, berkonsentrasi pada kesejahteraan ciptaan Tuhan yang lain. Ketika kedua hubungan ini saling berkomunikasi maka manusia akan memberikan kontribusi pada etika penjagaan dan sikap tanggung jawab terhadap sifat dasar dunia yang membutuhkan hubungan keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan.

Manusia menjadikan alam sebagai nilai dalam dirinya sendiri, yang perlu juga untuk dihormati, dijaga dan tidak disakiti. Alam adalah tempat makhluk hidup berlindung. Dengannya makhluk bertahan hidup dan berlindung. Alam telah menyediakan berbagai kebutuhan manusia. Seperti, buah-buahan, sayuran, daging hewan dan seterusnya. Jika alam rusak, manusia tidak dapat lagi menikmati hasil alam tersebut.

Manusia dan alam selayaknya berkomunikasi. Artinya, manusia sebagai makhluk berakal selayaknya memahami posisi dan kedudukannya. Posisi manusia adalah sebagai pemimpin (khalifah ) di muka bumi. Pemimpin ialah yang mampu menjadi harmoni antar sesama hidup. Tugas seorang pemimpin adalah melakukan kebaikan (islah ).

Kebaikan demi keberlangsungan makhluk hidup di muka bumi. Manusia adalah pengembang persaudaraan semakhluk. Semua makhluk berhak mendapatkan penghidupan yang layak. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk yang dikaruniai akal dan nurani mempunyai kewajiban menjamin semua makhluk dapat berkembang biak dengan baik di alam raya ini. Saat manusia tak mampu menjaga alam raya, maka ia akan menerima buahnya. Alam raya pun akhirnya yang berkomunikasi dengan manusia. Alam mengingatkan manusia dengan dahsyatnya bencana.

Sahabat

Bencana dengan demikian merupakan komunikasi bisu alam dengan manusia. Komunikasi ini bisa menjadi awal bagi terciptanya harmoni baru. Hal itu terjadi saat manusia menyadari kesalahannya. Namun, saat manusia tak mampu menyadari segala kekhilafannya, maka alam akan terus menunjukkan superioritasnya. Alam pun terus bergerak dan menyapa manusia dengan kedukaan yang mendalam.

Bencana sekali lagi menjadi penanda betapa alam mampu mengubur setiap impian mulia manusia. Bencana kini seakan telah bersinergi dengan alam dan menyatakan diri sebagai ”pemenang”. Dan manusia pun akhirnya menjadi pecundang (the looser ). Sudah saatnya manusia menyadari bahwa alam merupakan sahabat.

Mengeksploitasi alam secara berlebihan tanpa menghiraukan kehidupan selanjutnya, menjadikannya rusak. Kerusakan alam merupakan lonceng kematian bagi manusia. Pada akhirnya, bencana dan alam kini sedang mengingatkan manusia untuk kembali ke jalan yang benar. Jalan perbaikan bukan perusakan. Semoga bencana Banjarnegara memberi pelajaran bagi manusia tentang pentingnya berkomunikasi dan berkonsentrasi menjadi harmoni sesama makhluk.

Senin, 22 Desember 2014

Bencana dan Harmoni Hidup

oleh Benni Setiawan


Opini Tribun Jogja, Selasa, 16 Desember 2014 halaman 1 sambung 11


Kabar duka hadir dari Banjarnegara, Jawa Tengah. Hingga Minggu petang (14) Desember 2014, telah ditemukan 39 korban tanah longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar. Korban yang sudah teridentifikasi tersebut, 18 orang di antaranya laki-laki, termasuk seorang anak, dan 17 korban lainnya perempuan. Petugas hingga kini masih terus mencari ratusan korban yang diperkirakan tertimbun longsoran Bukit Telagalele.

Bencana tersebut seakan membenarkan temuan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dimana banjir dan tanah longsor mendominasi bencana di Tanah Air dalam kurung waktu tahun 2014. Yaitu, sedikitnya tercatat 332 bencana longsor dan menewaskan 262 jiwa.

Tingginya bencana banjir dan tanah longsor selayaknya menjadi catatan penting bagi pemerintah. Pemerintah tentu tidak menginginkan melihat kerusakan dan kematian warga negaranya akibat bencana. Kemudian bagaimana selayaknya menyikapi bencana tersebut?

Proses
Irwan Abdullah (2008) menyatakan bencana seyogyanya ditanggapi sebagai “proses” yang harus dilihat dari tahapan historis, dalam sumber-sumber pembentukan dan kelahirannya, dalam nilai-nilai yang dipilih, dan dalam kekuatan yang menggerakkan proses itu hingga menjadi suatu bencana.

Sebagai sebuah proses, bencana dapat dikelola dan dikendalikan pada tingkatan yang berbeda-beda berdasarkan kemampuan pengetahuan, sikap, tindakan-tindakan, dan kelembagaan yang tersedia. Pemahaman yang lengkap tentang keseluruhan hubungan manusia dengan lingkungan dalam proses mutual production of each others existence, memungkinkan adanya prediksi dan kesiapan dalam menghadapi bencana itu sendiri dan juga memungkinkan minimalisasi status kerentanan masyarakat terhadap suatu bencana.

Oleh karena itu, hasil penelitian dari pakar selayaknya menjadi dasar para pengambil kebijakan untuk berbuat dan bertindak. Hasil penelitian bukan hanya sekadar coretan kertas yang kemudian termuat dalam lembaran jurnal. Namun, sebuah upaya bersama memahami karakter bencana, menyiapkan kemungkinan terburuk, dan menjadi masyarakat senantiasa waspada terhadap bencana.

Aplikasi Riset
Keberanian pemerintah untuk mengambil dan mengaplikasikan riset menjadi hal utama. Pemerintah sudah selayaknya bekerja berdasarkan temuan ilmiah. Tanpa hal tersebut, pemerintah hanya akan menjadi semacam petugas pemadam kebarakaran. Saat bencana terjadi, semua seakan sibuk berbenah dan mengurai masalahnya. Namun, saat kondisi normal, tak ada upaya mencegah dan kerja sistematis menyemalatkan warga dari zona bencana.

Inilah yang kemudian dalam bahasa Zakaria Ngelo (2007) sebagai kajian teologi konstekstual. Teologi kontekstual menyangkut bencana, dapat berupa program-program antisipasi bencana—baik bencana alam maupun bencana sosial—atau penanganan korban bencana secara darurat (jangka pendek) maupun jangka panjang. Penyembuhan trauma merupakan suatu kebutuhan yang serius bagi para korban bencana. Bencana memerlukan sosialisasi pengetahuan mengenai berbagai karakter alam, early warning system, dan perlunya mengontrol keserakahan dan kelalaian manusia merusak alam.
Keserakahan manusia mengeksplotasi alam hanya akan menimbulkan kedukaan. Manusia akan binasa karena alam mempunyai cara “mengatur sendiri” hidupnya.

Sinergi
Manusia selayaknya menyadari bahwa alam merupakan makhluk hidup. Ia butuh untuk terus tetap lestari. Saat manusia melalaikan itu dan cenderung merusaknya, maka alam akan memberontak. Pemberontakan alam ini akan menjadikan manusia menderita. Pasalnya, manusia akan kehilangan semuanya, termasuk jiwa yang menjadi sumber hidup.
Oleh karenanya, selayaknya manusia mampu bersinergi dengan alam. Manusia dan alam selayaknya hidup berdampingan saling membutuhkan satu sama lain. Saling membutuhkan berarti menghormati sesama hidup, bukan saling menguasai atau menegasikan satu sama lain.

Bencana merupakan pengingat manusia untuk kembali membuka lembaran sejarah. Lembaran sejarah yang mengamanatkan manusia untuk menjadi pengelola kehidupan di dunia. Manusia hari ini bukan pemilik mutlak alam raya. Masih ada banyak generasi mengantre untuk tetap hidup dan berkembangan biak di bumi ini.

Pada akhirnya, bencana bukan sekadar untuk disesali. Namun, selayaknya memberikan banyak pelajaran bagi manusia untuk berubah. Berubah dalam mewujudkan harmoni antar sesama hidup.