Search

Kamis, 10 Juli 2014

Pemilihan Presiden; Antara Dwi Tunggal dan Kebangsaan

Oleh Benni Setiawan*)


Dua poros Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden siap bertarung. Bertarung memperebutkan suara rakyat pada 9 Juli 2014. Yaitu poros Indonesia Bangkit, Prabowo Subianto-Hatta Radjasa dan poros Indonesia Hebat, Joko Widodo-Muhammad Jusuf Kalla
Masyarakat berharap lahirnya dua poros tersebut, tidak hanya sekadar memenuhi syarat konstitusional. Namun, sebagai upaya menyatukan pandangan menemukan kata sepakat (kalimatus sawa') guna kemakmuran bangsa.

Kamimatus sawa’ merupakan manifestasi kebangsaan putra terbaik Nusantara. Mereka membincang, mendiskusikan, dan mendarmabaktikan segala kekuatan untuk menyatukan langkah perbaikan. Pembicaraan guna menuju kalimatus sawa’ mendasarkan pada kepentingan bersama, bukan atas nama partai politik, ego sektoral, dan kepentingan kelompok-kelompok pendukung.

Visi Kepemimpinan
Cita mulia itu perlu menjadi agenda calon pemimpin bangsa. Pasalnya, di tangan merekalah sebagian tanggung jawab kebangsaan ini dipertaruhkan. Saat pemimpin tidak mempunyai visi itu, maka poros politik hanya menjadi ajang pertaruhan gengsi minus prestasi.

Poros politik hanya ritual politik minus harapan. Padahal, bangsa ini sedang menghadapi tantangan dan peluang yang cukup menjanjikan, selain mempunyai beberapa kelemahan. Memantik harapan kerjasama untuk ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, permusyawaratan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya dilisan, namun mewujud dalam kesatuan kata dan laku.
Poros politik pun hanya menjadi sekadar pepesan kosong. Pasalnya, pemimpin hanya mengabdi kepada kekuasaan. Kekuasaan sebagai hasrat menguasai hajat hidup orang banyak tanpa simpati dan empati. Saat hal itu menguasai jalan pemikiran dan hati seorang pemimpin, maka harmoni dan kejayaan bangsa akan punah.

Kejayaan sebuah peradaban bangsa pun hanya mimpi yang didedah saat kampanye tanpa pernah mewujud dalam keseharian. Padahal bangsa ini mempunyai sejuta satu potensi. Potensi untuk menjadi negara besar, kuat, dan bermartabat.

Potensi kebangsaan ini selayaknya menyadarkan calon pemimpin bangsa untuk menggerakkan dan menumbuhkembangkan. Potensi itu bukan untuk dibunuh melalui basa-basi politik transaksional. Politik yang hanya didasarkan nafsu sesaat dan meraih tampuk kekuasaan.
Kekuasaan selayaknya mewujud dalam energi positif meraih cita kemakmuran bersama. Cita kemakmuran merupakan wujud asli kuasa. Kuasa dalam rentang kesadaran individu dan komunal. Saat semua itu bersenyawa, maka Republik gemah ripah loh jinawi tata titi tentrem kerta raharja (negeri adil dan makmur) menjadi kenyataan.

Dwi Tunggal
Poros politik selayaknya dibangun atas persahabatan yang erat. Seperti persahabatan Dwi Tunggal (Sukarno-Hatta). Lahirnya pasangan itu bukan tanpa proses panjang. Ia lahir dari proses panjang menuju kemerdekaan Republik.

Dwi Tunggal mengajarkan kepada kita, betapa Presiden dan Wakil Presiden tidak mesti sama. Sukarno seringkali berseberangan pendapat dengan Muhammad Hatta. Mereka bahkan saling berseteru. Namun, mereka tidak saling menjelekkan atau menjegal.
Disaat Bung Hatta, mengundurkan diri dari posisi Wapres, ia masih terus menjalin komunikasi dengan Bung Karno. Bahkan, disaat akhir hayatnya, Bung Hatta masih bertemu, berbincang, sambil memijit lengan Bung Karno.

Dua tokoh besar bangsa Indonesia itu mengajarkan kepada Republik, bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih untuk melanjutkan cita kebangsaan yang mulia. Mereka bertindak atas nama bangsa, bukan ego pribadi dan hasutan kelompok pendukung.

Itu adalah modal utama guna mewujudkan harapan besar masyarakat. Studi IndoStrategi, misalnya, menunjukkan harapan publik yang cukup besar terhadap Presiden 2014. Presiden 2014 diharapkan mampu menjaga stabilitas kehidipan politik di Indonesia atau memperbaikinya sehingga lebih baik dan kondusif lagi.

Cara Suci
Lebih dari itu, dendang koalisi menuju tampuk kekuasaan perlu diraih dengan cara yang kalis. Kalis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa bermakna, suci, bersih, dan murni. Melalui laku itu seorang pemimpin akan mampu mengemban amanat rakyat. Amanat rakyat merupakan amanat ketuhanan (vox populi vox die). Amanat ketuhanan perlu diraih dengan cara yang suci. Tak mungkin menciptakan kemakmuran, tanpa didahului niatan dan cara yang baik.

Oleh karenanya, kesucian dalam bertutur kata, bertindak, dan meraih kedudukan menjadi hal utama. Pasalnya, seorang pemimpin (khalifah) adalah mereka yang senantiasa melakukan perbaikan (islah/shalah). Jika niatan, pikiran, dan tindakan dipenuhi oleh hal-hal yang buruk, maka perbaikan yang diemban oleh seorang khalifah akan menjadi perbuatan aniaya dan kerusakan.

Pada akhirnya, pemilihan presiden bukan hanya sekadar ritual lima tahunan. Pilpres merupakan sarana mencari pemimpin yang mampu mewujudkan Indonesia bermartabat lahir dan batin. Indonesia sejahtera yang bukan hanya meluncur saat debat dan orasi politik. Namun, jiwa kepemimpinan yang menyatu dengan harapan masyarakat menuju Indonesia Bangkit dan Indonesia Hebat. (ID, 5-6/07/14)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar