Search

Senin, 26 Mei 2014

Pemimpin

Oleh Benni Setiawan



"Pendapat" Koran Tempo, Sabtu, 24 Mei 2014

Pemilu merupakan sarana mencari pemimpin. Pemimpin bukan sekadar pengumbar janji. Ia juga bukan yang paling populer di mata media dan tinggi elektabilitasnya di tangan lembaga survei.

Bagi Jim Clemmer (2009), pemimpin harus mampu membuat perbedaan. Itulah semangat utama yang mesti dimiliki seorang pemimpin. Tampil beda dengan gagasan yang kuat akan mengantarkan seseorang menduduki posisi penting dalam pemerintahan.

Seorang pemimpin, bagi pemikir terkemuka Amerika Utara itu, juga harus memiliki keotentikan. Para pemikir yang otentik membangun kepercayaan yang menjembatani celah-celah pemisah antara "kami dan mereka". Para pemimpin seperti itu memiliki integritas dan konsistensi yang tinggi. Mereka mengembangkan lingkungan yang penuh keterbukaan dan transparansi, yang menampilkan masalah-masalah yang sebenarnya.

Pemimpin, dengan demikian, mampu menyuarakan kata "kita". Kata kita merupakan wahana membangun ideologi sifat mementingkan kebersamaan, menanggung duka dan suka, salingmembantu, menolong, serta mengingatkan. Ke-kita-an harus menjadi ancangan dan sikap seorang pemimpin. Pemimpin hadir bukan untuk "kami dan mereka", tapi untuk "kita".

Pemimpin itu berintegritas. Integritas seorang pemimpin dilihat dari sepak terjang (track record) sejak ia masuk di gelanggang politik. Integritas itu terbangun atas usaha dan karya pribadi yang mempribadi. Ia hadir bukan karena polesan dan goresan wartawan. Namun, tulus ikhlas bekerja, berusaha, dan berkarya sekaligus menjadi panutan bagi masyarakat. Inilah dalam bahasa Ki Hajar Dewantara yang disebut sebagai ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Lebih lanjut, seorang pemimpin selayaknya mempunyai konsistensi yang tinggi. Konsistensi itu dapat dilihat dari kata dan laku. Apa yang mereka ucapkan merupakan janji suci kehidupan. Kata bukan hanya menggerakkan lidah, tapi juga mewujud dalam keseharian, sehingga ia tak mudah mengumbar janji. Kata dan laku seorang pemimpin harus selaras, sabda pandita ratu, tan kena wala-wali.

Ketika pemaknaan kepemimpinan menyentuh pada ranah ini, sebuah bangsa akan dipimpin dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan akan mengantarkan pada kemakmuran dan keadilan. Hal itu lantaran seorang pemimpin sadar betul akan eksistensi dirinya. Ia bukanlah pejabat publik yang pantas untuk selalu dihormati dan dipuja-puji. Namun ia adalah pelayan masyarakat yang siap mendengar keluh-kesah dan bergerak cepat dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Ia selalu bekerja sekuat tenaga untuk kemakmuran bangsanya, bukan kepentingan pribadi dan kroni-kroninya.

Takhta merupakan amanat kepemimpinan. Artinya, seorang pemimpin harus mempunyai jiwa yang bersih dan selalu berjuang (bertekad) untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat menjadi program utama seorang pemimpin bangsa. Seorang pemimpin bangsa harus mau dan rela meninggalkan (meletakkan) segala atribut yang pernah melekat dalam dirinya ketika menjadi pemimpin (presiden). Tanpa hal itu, akan sulit mewujudkan kepemimpinan yang berpihak pada kesejahteraan rakyat.

Pada akhirnya, mari mencermati sosok calon pemimpin bangsa Indonesia dalam hajatan pemilihan presiden 9 Juli. Pilihlah pemimpin yang bisa ngemong (mengasuh) dan menjadi pamong praja (pemimpin peradaban).

Korupsi dan Kesalehan Semu

Oleh Benni Setiawan


Republik koruptor. Tampaknya kata itu tepat menggambarkan praktik korupsi di Indonesia. Betapa tidak, seorang pejabat yang selayaknya menjadi benteng penyelamatan uang negara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ternyata tak mampu lepas dari jerat korupsi. Bahkan, sang ketua HP, dinyatakan tersangka di akhir masa jabatannya.
Korupsi di negeri ini telah melembaga. Melembaga menjadi sebuah ritus harian.
Ironisnya, ritus harian ini juga sejalan dengan ibadah individu. “Ibadah jalan, korupsi pantang mundur”. Pameo yang pas dengan kondisi kebangsaan.

Kebangsaan yang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa ternyata tidak mewujud dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa korupsi tumbuh subur di Republik ini?

Keranjang Sampah
M. Amin Abdullah (Guru Besar Filsafat Islam Universitas Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta) sering menyebut, Tuhan di Indonesia saat ini tak lebih seperti keranjang sampah. Ia hanya sebagai tempat buangan dan mendapat kotoran dari perbuatan buruk manusia. Tuhan tak lebih sebagai tempat bersih-bersih kotoran manusia.
Tuhan hanya ada dalam lisan yang senantiasa dikecap setiap hari. Namun, praktik keseharian masyarakat jauh dari manifestasi ketuhanan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Nama Tuhan senantiasa dilafalkan dalam ibadah dan doa keseharian. Ia dipuja sebagai Yang Maha Agung, dan memosisikan manusia sebagai makhluk lemah (daif). Namun, setelah ibadah usai, kondisi berbalik 180 derajat. Manusia menjadi makhluk yang angkuh tanpa pengawasan dan Tuhan pun menjadi tanpa makna.

Manusia kemudian lalai dengan lafal ketuhanan yang senantiasa terucap saat ibadah. Kata-kata yang baik dan memiliki makna filosofis itu malah dibajak oleh koruptor untuk menumpuk harta dengan segala cara.

Benarlah jika Deddy Mizwar, aktor kawakan dalam filmnya menyebut “Alangkah Lucunya Negeri ini”. Negeri ini berlandaskan pada asas ketuhanan dan kemanusiaan. Namun, perilaku kesehariannya menuju pada sifat iblis penuh kesesatan dan mencabik kehidupan yang beradab.

Benarlah, pitutur Emha Ainun Nadjib, dalam Markesot Bertutur (2012). Manusia itu rata-rata adalah tukang dusta! Mereka pura-pura menyembah Tuhan, padahal setiap saat mereka tidak menomorsatukan Tuhan. Mereka merusak alam. Mereka rakus dan serakah. Mereka hanya tahu kepentingan diri sendiri. Mereka itu pencuri-pencuri yang mengaku alim!

Menyuap Tuhan
Lebih lanjut, koruptor dengan sengaja menggasak uang rakyat dan digunakan untuk bermewah-mewahan. Uang tersebut pun digunakan untuk berderma (zakat, infaq, sadaqah), dan pergi ke tanah suci (umrah dan haji). Amal kebajikan itu menjadi sarana menyogok atau menyuap Tuhan agar memaafkan dosa-dosanya.

Tuhan diposisikan sebagai penguasa dunia yang mau disuap. Ironisnya, upaya penyuapan Tuhan dengan jalan beribadah dan memoles perilaku dengan kesalahen seakan dibenarkan oleh kehidupan masyarakat. Masyarakat memuja koruptor dan memberi tempat terhormat untuk menampung segala aspirasinya. Tampil di televisi memberikan keterangan pers tanpa wajah penyesalan menjadi hal biasa.

Padahal, koruptor dengan bangga dan telanjang menunjukkan kepada khalayak luas, bahwa kuasa menentukan prestasi. Dengan menjadi anggota DPR, Bupati, Gubernur, dan pejabat pemerintah lainnya palu hakim loyo. Hukum tidak akan pernah menyentuh mereka. Ketetapan hukum pun hanya formalitas. Jika menjalani hukuman, mereka akan mendapatkan remisi, dan keluar dari penjara dalam waktu singkat.

Setelah keluar penjara pun, mereka tetap kaya. Bahkan masyarakat sudah lupa dengan perilaku bejat yang pernah mereka lakukan. Koruptor seakan berdiri mengangkang dan mengebiri hak-hak kaum miskin (mustadh’afin). Pujian mulia untuk Tuhan menjadi tameng pembenar untuk perbuatan yang merusak dan membunuh.

Manusia Najis
Menilik hal tersebut, Sindhunata menyatakan, korupsi adalah perbuatan najis. Berarti koruptor adalah manusia najis. Barang najis wajib dijauhi sebelum disucikan. Jika kita dekat dan membela koruptor berarti kita bergelut (setidaknya kecipratan) najisnya.

Manusia najis selayaknya dijauhi. Mengasingkan mereka dalam kehidupan tampaknya menjadi sebuah keniscayaan. Dalam pengasingan itu, mereka diminta untuk bekerja untuk kehidupan sosial tanpa digaji. Pekerjaan tersebut sebagai balasan atas perilaku buruknya.

Namun, koruptor di negeri ini menempati strata sosial tinggi. Mereka masih tersenyum, riang gembira, dan dapat kembali menempati posisi strategis di jenjang pemerintahan.
Sebuah potret yang jauh dari kebangsaan. Bangsa di mana mayoritas penduduknya memeluk dan mengimani kebenaran ajaran Islam (ajaran keselamatan). Semua berpenampilan alim (mengerti dan taat agama), namun, perbuatannya sungguh diluar batas kemanusiaan.

Kesemuanya hanya dijadikan bedak menutupi kebusukan. Jika perlu, ajaran kebajikan itu digunakan untuk merampas hak orang lain demi kepentingan pribadi dan golongan.

Pada akhirnya, perilaku pejabat Indonesia saat ini seakan mengusik keimanan dan alam bawah sadar kita. Betapa kesalehan yang selama ini ditampilkan oleh pejabat yang terindikasi korupsi telah menjadi tameng sekaligus pelindung ampuh atas perbuatan yang telah merusak tatanan hidup dan kebangsaan. Wallahu a’lam. (ID,3-4/05/2014)